🦅 Insiden Di Tengah Badai Salju
Di masa itu, di dekat kota Lin’an, sebelah Timur wilayah Jin, dua orang pemuda yang bersahabat karib sedang minum arak sambil menikmati cerita rakyat di sebuah kedai, di pinggiran kota.
Pemuda pertama bertubuh tinggi dan sangat kekar seperti seorang militer, matanya lebar dengan sepasang alis tebal, ia bernama Guo Xiaotian. Pemuda lainnya yang bernama Yang Tiexin terlihat lebih halus, dengan wajah putih dan tampan.
Salah satu hiburan rakyat di masa itu adalah mendengarkan cerita yang dilatar belakangi alunan musik di salah satu kedai sambil menikmati makanan dan minuman yang tersedia. Saat itu mereka sedang mendengarkan kisah sedih mengenai seorang Nona Yie yang tewas secara mengenaskan dalam upaya mempertahankan kehormatannya, di tangan seorang perwira dari bangsa Jin yang saat itu sedang menguasai wilayah Utara Song.
“Saudara-saudara,” katanya. “Sekarang ini bangsa Jin sudah menguasai setengah dari Negeri Song kita. Mereka membunuh, memperkosa, merampok, dan mengambil tanah-tanah kita. Hampir tidak ada kejahatan yang tidak mereka kerjakan. Tapi ternyata pemerintah Song gagal mengambil tindakan apapun. Rakyat menderita tanpa perlindungan. Pemerintah kita yang harus disalahkan karena gagal melindungi rakyatnya sendiri. Ada banyak cerita seperti kisah tentang Nona Yie. Nama saya Zhang Shiwu, terima kasih untuk perhatian Anda semua mendengarkan cerita saya.”
Yang Tiexin dan Guo Xiaotian sangat tertarik mendengar cerita Zhang Shiwu, dan akhirnya mereka pun mengambil kesempatan untuk berkenalan. Mereka bertiga akhirnya terlibat pembicaraan akrab sambil minum arak dan menikmati makanan ringan di kedai itu.
“Mendengar logat kalian, kedengarannya seperti dari wilayah Utara ya?” tebak Zhang Shiwu.
Yang Tiexin membenarkan dugaan itu, dan mengatakan bahwa mereka berdua datang dari propinsi Shandong. Mereka pindah ke Lin’an karena tidak tahan melihat ulah para perwira Jin di wilayah Utara, dan akhirnya memilih untuk pindah ke daerah yang lebih aman seperti Desa Niu (Kerbau) ini. Mereka sedang berpikir, apakah Jin akan menyerang ke Selatan. Akhirnya karena melihat luasnya pengetahuan Zhang Shiwu, mereka pun melontarkan pertanyaan ini.
“Emas dan perak berlimpah di wilayah kita, selain juga dipenuhi oleh wanita cantik.” kata Zhang Shiwu. “Siapa yang tidak ingin menguasai daerah yang begitu kaya? Tapi sebenarnya keputusan apakah Jin akan menyerang Song ataukah tidak, bukan terletak di tangan bangsa Jin, tapi ada di tangan para pejabat Song di wilayah Lin’an ini!”
Yang Tiexin dan Guo Xiaotian saling pandang dengan heran.
“Kenapa begitu?” tanya keduanya, hampir bersamaan.
“Kita bangsa Song jauh lebih banyak dari Jurchen, boleh dibilang seratus banding satu.” lanjut Zhang Shiwu. “Kalau seratus orang kita melawan satu orang mereka, mana mungkin mereka bisa menang? Kalau saja para pejabat teras Kekaisaran mulai memakai orang yang jujur dan setia, mana mungkin bangsa Jin menang melawan kita. Mulai dari jaman Hui Zong, Qin Zong, dan Gao Zong, boleh dibilang setengah wilayah Utara Negeri Song diserahkan secara cuma-cuma kepada bangsa Jin. Ketiga kaisar itu, mempercayai para pejabat korup yang menggerogoti negara, menindas rakyat, dan juga karena persaingan politik akhirnya membunuh para jendral setia yang melawan bangsa Jin. Tentu saja bangsa Jin sangat senang melihat ini, dan jajaran pemerintahan selanjutnya masih terus melanjutkan kebijakan seperti ini sampai sekarang. Kalau begini ya sama saja dengan mengundang bangsa Jin untuk datang. Mana mungkin mereka menolak kesempatan emas seperti sekarang?”
Zhang Shiwu menggelengkan kepala mengakhiri uraiannya.
Kedua kaisar Qin Zong dan Gao Zong adalah saudara seayah berlainan ibu, mereka berdua sama-sama anak dari Kaisar Hui Zong. Qin Zong lebih dahulu bertahta sebagai Kaisar.
Pada tahun 1127 ketika bangsa Jin menyerang Song, Gao zong sedang tidak ada di ibukota, dan akhirnya Jin berhasil menaklukkan ibukota. Untuk menghindari kejaran Jin, akhirnya Gao Zong melarikan diri ke Selatan, dan sampai ke Lin’an. Ia kemudian mengambil alih tahta dan memulihkan pemerintahan Song di wilayah Selatan setelah berhasil mengumpulkan kekuatan militer berdasarkan para prajurit yang melawan bangsa Jin.
Ia sempat mengalami periode pemberontakan sampai turun tahta pertama kali ketika pengawal istana Miao Fu (苗傅) dan Liu Zhengyan (劉正彥) merasa tidak puas atas keputusan yang dibuatnya, yang menimbulkan kerugian atas keduanya.
Pejabat korup yang disinggung dalam uraian Zhang Shiwu sebelumnya adalah Qin Hui, yang pada tahun 1138 diberi tugas untuk bernegosiasi dengan bangsa Jin di wilayah Utara Song. Hasil negosiasi tersebut dikritik dengan nada keras oleh Yue Fei, Han Shizhong, dan beberapa pejabat lain. Untuk melindungi posisinya, Qin Hui kemudian menyingkirkan para saingan politiknya, dan meneruskan negosiasi damai tersebut menurut idenya sendiri.
Gao Zong akhirnya melihat bahwa kalau usaha Yue Fei dalam merebut kembali wilayah Song dari bangsa Jin sampai sukses, maka Kaisar sebelumnya, yaitu Qin Zong, akan kembali bertahta, karena itu ia tidak ingin mereka sukses. Pikiran ini sejalan dengan apa yang ada di benak Qin Hui. Karena itulah mereka lebih memilih negosiasi damai. Akhirnya Gao Zong pun mengirimkan perintah kepada Yue Fei untuk menarik mundur pasukan.
Ketika melihat perintah tersebut, Yue Fei menangis dan berkata, “Perjuangan keras selama 30 tahun berakhir dengan sia-sia.”
Karena putra tunggal Gao Zong, yaitu Zhao Fu (趙旉), meninggal di usia 2 tahun, akhirnya Gao Zong mengadopsi saudara sepupu jauhnya, yaitu Zhao Bocong (趙伯琮), sebagai anaknya. Melalui beberapa proses yang agak rumit, dan beberapa kali ganti nama, akhirnya Zhao Bocong menjadi calon pewaris tahta dengan nama Zhao Shen (趙眘).
Gao Zong sendiri akhirnya memilih untuk pensiun sebagai kaisar di masa tuanya, dan Zhao Shen naik tahta sebagai Kaisar Xiao Zong. Mulai dari Gao Zong, Kekaisaran Song hanya tinggal separuh wilayah mereka yang sebenarnya, dan ibukota berpindah ke Lin’an.
Ketika Guo Xiaotian, Yang Tiexin, dan Zhang Shiwu sedang berbicara santai di kedai itu, Kaisar Ning Zong sedang berkuasa di Song Selatan, dan bangsa Jin masih terus mengganggu wilayah mereka dari waktu ke waktu. Lin’an yang dipilih sebagai ibukota Song Selatan, sebenarnya berada cukup dekat dengan daerah Selatan wilayah yang dikuasai oleh Jin. Karena itulah gangguan dari para tentara Jin sangat terasa bagi rakyat.
Zhang Shiwu melanjutkan, “Kalau kita pikir lagi ke belakang, Hui Zong dan Qin Zong sudah siap untuk hidup abadi sebagai semacam dewa, mereka dikelilingi oleh para penjilat korup yang hanya menggerogoti negara semacam Zai Jing dan Wong Yu, mereka hanya tahu bagaimana cara menaikkan pajak, yang hanya menambah kesengsaraan rakyat. Tong Guan dan Liang Shichen hanya kasim, mereka cuma tahu cara menjilat. Gao Qiu dan Li Bangyan hanya tahu cara menipu dan mencari perempuan untuk menyenangkan Kaisar. Sang Kaisar sama sekali tidak mengurus urusan negara. Kalau bukan mencari tuntunan dari para biksu, dia pasti jalan-jalan sambil mencari batu antik yang mahal. Begitu orang Jin datang, ia langsung ketakutan seperti kura-kura, cari tempat persembunyian, lalu mewariskan tahta kepada putranya, Qin Zong. Saat itu Li Gang melawan bangsa Jin, tapi di luar dugaan, ternyata Qin Zong lebih mempercayai gosip yang diedarkan para pejabat korup, dan malah memecat Li Gang. Lebih dari itu, ia bukan mengganti Li Gang dengan jendral yang lebih baik, dan malah mengangkat seseorang yang mengaku sebagai Utusan Para Dewa, Gao Zong, dan menyuruhnya untuk mengirim Balatentara Surga untuk mempertahankan kota. Tapi Balatentara Surga ini ternyata tidak muncul. Terus bagaimana kita bisa mempertahankan ibukota? Katakanlah akhirnya Hui Zong dan Qin Zong ditawan oleh Jin, mereka memang pantas mendapat hukuman seperti itu. Tapi bagaimana dengan jutaan rakyat Song? Mereka tidak melakukan apa pun yang pantas dihukum seperti tindakan tentara Jin ini.”
Pada saat Xiao Zong bertahta, Gao Zong sudah pensiun sebagai kaisar, dan ia masih tetap hidup di istana dengan gelar Taishang Huang.
Setelah Zhao Shen bertahta sebagai Kaisar Xiao Zong, sebenarnya ia melakukan beberapa perubahan penting untuk memperbaiki keadaan. Ia menyingkirkan sisa-sisa pejabat seperti Qin Hui dan komplotannya secara bertahap dari pemerintahan, dan secara otomatis menstabilkan perekonomian negara. Ia juga melakukan pendekatan dengan para saudagar dari Arab dan India untuk melakukan trading, dengan demikian membuka terobosan dalam perekonomian rakyat. Pengaruh Islam dan Hindu secara otomatis ada di era pemerintahan Xiao Zong.
Tetapi orang-orang semacam Zhang Shiwu, yang sudah terlanjur bersimpati kepada Yue Fei dan jajarannya di era sebelumnya, dan juga merasakan sendiri penindasan yang terjadi sebagai akibat dari berkuasanya bangsa Jin di wilayah mereka, tentu saja gagal melihat perubahan yang terjadi, karena memang belum cukup signifikan untuk melindungi rakyat Song dari kemungkinan serbuan musuh. Tambahan lagi, era di mana mereka hidup saat itu sudah cukup jauh dari era Kaisar Xiao Zong sendiri.
Uraian Zhang Shiwu juga menyinggung soal Insiden Jing Kang, yang tentu saja sudah diketahui oleh Guo Xiaotian dan Yang Tiexin, dari cerita-cerita yang beredar secara turun-temurun. Cerita tersebut akan terus berlanjut selama berabad-abad, dan akhirnya menjadi bagian dari sejarah sampai saat ini dengan Jendral Yue Fei sebagai tokoh sentral.
Guo Xiaotian dan Yang Tiexin merasa gusar mendengar uraian Zhang Shiwu, semakin mendengar mereka semakin marah, terutama sekali ketika sampai pada cerita tentang dieksekusinya Jendral Yue Fei.
“Kami memang sudah pernah dengar cerita ini,” kata Guo Xiaotian. “tapi sebelumnya kami agak ragu apa mungkin hal semacam ini memang sungguh terjadi.”
“Semuanya memang benar.” jawab Zhang Shiwu.
Yang Tiexin menambahkan, “Sebetulnya saat itu Yue Fei pasti mampu menaklukkan wilayah yang dikuasai Jin tanpa masalah besar. Tapi pengkhianat Qin Hui maunya bernegosiasi damai, dan Kaisar mendengarkan dia, sampai akhirnya Jendral Yue Fei tewas.”
Insiden tersebut terjadi pada tahun 1127, dan tentu saja pada saat itu mereka berdua belum dilahirkan. Zhang Shiwu menuangkan arak untuk mereka bertiga sambil melanjutkan komentarnya, “Sayangnya kita semua terlambat 60 tahun dilahirkan.”
“Maksudnya?” tanya Guo Xiaotian.
“Kalau tidak begitu, pastilah para pendekar seperti kalian akan sampai di sini dan membunuh Qin Hui. Dan kita akan duduk di sini sambil minum darahnya, tidak perlu lagi minum arak dingin begini.” kata Zhang Shiwu sambil tertawa.
Mereka tertawa terbahak-bahak membayangkan kejadian semacam itu.
Yang Tiexin melihat bahwa arak mereka sudah habis, ia lalu memesan lagi berikut sepiring besar kacang untuk menemani obrolan mereka. Pemilik kedai itu melayani pesanan mereka sendiri, kakinya cacat, dan ia harus berjalan dengan bantuan dua tongkat kayu sederhana.
Mereka masih terus bercanda sambil menertawakan lelucon tentang Qin Hui dan para pejabat lain yang seperti dia ketika si pemilik kedai datang mengantarkan pesanan arak dan kacang untuk mereka. Ketika mendengar obrolan tentang Qin Hui, si pemilik kedai itu mendengus.
“Ada apa, Qu San?” kata Yang Tiexin sambil memandangnya. “Apa menurutmu kita salah kalau memaki-maki Qin Hui dan jajarannya?”
Qu San, si pemilik kedai, menjawab, “Bagus, bagus! Tidak ada yang salah dengan makian itu. Hanya saja, kudengar Qin Hui bukan bajingan utama dalam negosiasi damai keparat itu.”
Ketiga tamunya agak terkejut, dan bertanya, “Kalau bukan dia, lalu siapa?”
“Qin Hui hanya seorang menteri.” kata Qu San. “Mau berhasil atau tidak negosiasi damai itu, dia akan tetap jadi menteri. Tapi jendral kesayangan kita, Yue Fei, hanya ingin merebut kembali wilayah kita yang jatuh ke tangan Jin, dan juga membebaskan kedua kaisar Hui Zong dan Qin Zong dari tangan mereka. Lalu kalau upaya Yue Fei berhasil, menurutmu bagaimana Kaisar Gao Zong akan mempertahankan tahtanya?”
Begitu ia selesai bicara, ia memandang ke langit sambil melamun, agak susah payah berusaha berdiri tegak mengingat kakinya yang cacat. Melihat mukanya ia seharusnya masih dua puluhan, tapi punggungnya agak bongkok, dan ada beberapa helai rambut putih di kepalanya. Dari belakang ia terlihat seperti orang tua.
Zhang Shiwu sudah berusia lima puluhan, meskipun ia terlihat lebih muda dengan potongan tubuh yang kurus dan ramping. Ia saling pandang dengan kedua teman ngobrolnya dalam diam.
“Itu betul sekali,” katanya setelah beberapa saat. “Pandanganmu sangat tajam, Pak. Bajingan sebenarnya dalam kasus tewasnya Yue Fei bisa jadi bukan Qin Hui, tapi adalah Kaisar Gao Zong. Kok bisa-bisanya dia melakukan hal semacam ini.”
Guo Xiaotian bertanya, “Masa dia sampai segitu tidak tahu malunya?”
Zhang Shiwu menjawab, “Waktu itu Jendral Yue Fei baru mengalahkan pasukan Jin beberapa kali, bersamaan dengan pemberontakan beberapa saudara kita dari Utara, kita sebetulnya berhasil mendesak mundur pasukan Jin. Suku Tatar saat itu panik tidak tahu harus berbuat apa, lalu tiba-tiba Gao Zong mengirimkan surat tanda menyerah kepada mereka, dan meminta perundingan damai. Sudah pasti pihak Jin langsung kegirangan, tapi mereka membalas pesan tersebut dengan begini: ‘Tidak ada negosiasi damai kecuali Yue Fei dibunuh.’, karena itu Qin Hui lalu merancang rencana jahat dan membunuh Jendral Yue Fei. Ia tewas pada tanggal 11 bulan sebelas di dekat Zhao Xing. Sebulan kemudian, perdamaian pun disetujui. Perbatasan antara Song dan Jin diletakkan di Sungai Huai, dan Kaisar Gao Zong memanggil dirinya sendiri sebagai bawahan dari Kaisar Jin. Menurutmu bagaimana cara perjanjian damai itu ditulis?”
“Tentunya dengan cara memalukan.” kata Yang Tiexin.
Zhang Shiwu membenarkan, lalu ia menguraikan apa yang diketahuinya tentang isi surat balasan dari Gao Zong tersebut, lalu melanjutkan komentarnya, “Ini bukan hanya menjual dirinya sendiri sebagai jongos bangsa Jin, bahkan juga semua keturunannya. Sebetulnya tak jadi soal dia mau jadi jongos atau apa, tapi bagaimana dengan kita semua? Apa ini bukan sama saja bilang bahwa kita juga jongos?”
Guo Xiaotian menggebrak meja dengan begitu kerasnya, sampai arak di cawan mereka tumpah membasahi meja. Ia berteriak dengan emosi, “Memalukan! Bagaimana bangsat seperti ini bisa jadi kaisar kita!”
“Semua orang Song yang mendengar cerita ini ya pasti akan marah,” kata Zhang Shiwu. “Mereka yang tinggal di sebelah Utara Sungai Huai adalah yang paling berduka ketika menyadari bahwa negeri kita tidak lagi utuh. Gao Zong, setelah tahu bahwa kursinya aman, lalu menghadiahkan tanda jasa untuk pelayanannya. Qin Hui sudah punya gelar Lord dari Lu, dan Gao Zong menambahkan gelar Grand Marshal yang hanya sedikit di bawah kaisar kepada dirinya.”
“Xiao Zong menggantikan Gao Zong, dan Guang Zong menggantikan Xiao Zong, selama mereka berkuasa bangsa Jin masih menguasai wilayah Utara negeri kita. Sekarang Ning Zong naik tahta, dan kalau dihitung-hitung sudah berjalan 5 tahun sampai saat ini.” lanjut Zhang Shiwu. “Ia boleh dibilang hanya mengikuti semua pendapat Penasihat Agung Han Tuozhou. Masa depan akan seperti apa, sulit diperkirakan, sulit…!”
Sambil bicara ia terus menggelengkan kepalanya.1
“Apanya yang sulit?” kata Guo Xiaotian, agak emosi. “Ini daerah pinggiran, bukan Lin’an. Tidak ada yang akan memenggal kepalamu. Tidak ada orang di dunia yang tidak menjuluki Han Tuozhou bajingan! Kalau kita lihat caranya mengkhianati negara dan menekan rakyat, dia boleh dibilang saudara angkat Qin Hui!”
Sebetulnya di jaman itu yang berkembang adalah Neo Konfusianisme, tetapi sejauh ini Kaisar Ning Zong sendiri agak alergi kepada Neo Konfusianisme. Akhirnya ia melarang praktek ajaran ini. Lebih buruk lagi, Ning Zong juga tidak suka membicarakan urusan strategi perang apapun. Justru Han Tuozhou yang terus-menerus berusaha menyodorkan isu mengenai perang untuk menyingkirkan Jurchen, tetapi perhatian utama Ning Zong adalah tentang inflasi yang membumbung tinggi dan mengancam perekonomian. Dalam hal perang melawan Dinasti Jin yang berkuasa di Utara, kebijakan Han Tuozhou justru sangat agresif.
Karena sekarang mereka membicarakan isu politik terkini, Zhang Shiwu terlihat mulai takut, tidak lagi seperti sebelumnya. Sambil menuangkan arak untuk mereka bertiga, ia bicara dengan hati-hati, “Terima kasih untuk arak ini, saudara-saudaraku. Kalau boleh aku ingin menawarkan sedikit nasehat, sebaiknya kita lebih bijaksana dalam kata dan tindakan, untuk menghindari kesulitan yang tidak perlu. Sampai di sini, kebanyakan dari kita hanyalah rakyat biasa, kita hanya bisa mengikuti arus dan berusaha melakukan yang terbaik untuk bertahan hidup. Aih! Seperti pepatah yang berbunyi: ‘Dikelilingi pegunungan di dalam gedung, danau di daerah Barat akhirnya mengalir kemana? Keharuman Selatan memabukkan semua orang, dengan senang hati menerima Hangzhou sebagai Bianliang!’”
Yang Tiexin bertanya, “Apa arti sajak itu?”
“Tidak ada yang istimewa.” jawab Zhang Shiwu. “Hanya mengatakan bahwa para pejabat di negeri kita hanya ingin berpesta dan minum-minum di tepi danau Barat. Mereka ingin membayangkan bahwa Hangzhou adalah ibukota kita, dan tidak mau repot berusaha kembali ke Bianliang.”
Ketika mereka akhirnya berpisah, Zhang Shiwu sangat mabuk. Ia terus mengoceh tentang Bianliang, Insiden Jing Kang, dan kesengsaraan rakyat.
Yang Tiexin membayar makanan dan minuman mereka, lalu mengajak Guo Xiaotian pulang. Mereka berdua bertetangga. Hanya jalan sedikit mereka pun sampai di rumah.
Istri Guo Xiaotian, Li, sedang mengejar ayam. “Kalian berdua pasti pergi minum-minum lagi ya? Yang Xiongdi, kenapa tidak kau ajak istrimu kesini untuk makan bersama, hari ini kita akan masak ayam.”
Yang Tiexin tertawa, “Baiklah! Rasanya kami berdua akan mengganggu kalian lagi. Kami sebetulnya punya banyak ayam dan bebek, tapi kami tidak tega berpisah dengan mereka semua.”
Li menanggapi, “Istrimu itu terlalu baik. Dia bilang dia yang merawat ayam dan bebek itu sejak mereka semua masih bayi, gimana bisa tega membunuh mereka.”
Yang Tiexin tertawa lagi, lalu menjawab, “Aku pernah bilang aku yang akan membunuh mereka kalau dia tidak bisa, tapi dia lalu mulai menangis. Aih! Aku bisa berbuat apa? Gini saja, aku akan pergi berburu di hutan, besok malam aku yang undang kalian ke rumah.”
Guo Xiaotian memotongnya, “Kita sekeluarga. Hentikan omongan soal siapa mengundang siapa diundang. Malam ini kita berburu bersama.”
Tengah malam itu mereka berdua pergi ke hutan di sebelah Barat perkampungan itu, dan berharap untuk menemukan babi hutan atau binatang lainnya yang enak dimakan. Tapi setelah menunggu dua jam ternyata mereka tidak mendengar apa-apa. Lalu tiba-tiba mereka mendengar suara logam beradu. Mereka saling bertukar pandang. “Nah, apa itu?”
Dari kejauhan terdengar suara beberapa orang, “Hei, kau mau kemana? Berhenti!”
Lalu sebuah bayangan melompat ke dalam hutan. Di bawah sinar bulan Guo Xiaotian dan Yang Tiexin bisa melihat orang itu. Mereka berdua terkejut. Ternyata orang itu cacat, dan dia adalah si pemilik kedai minum, Qu San. Ia menghentakkan tongkat kirinya ke tanah, dan melompat ke pepohonan, memperlihatkan ilmu Qing Gong yang tinggi. Guo Xiaotian dan Yang Tiexin bertukar pandang lagi, mereka terpana.
“Tak disangka kungfu Qu San bisa setinggi ini.” pikir mereka. Dan mereka sudah tinggal di daerah itu selama tiga tahun. Mereka berusaha tetap diam di semak-semak, tidak berani bersuara.
Akhirnya muncul tiga orang lain. Mereka saling berbisik dan berjalan masuk ke hutan. Mereka bertiga berpakaian militer dan masing-masing memegang golok. Salah satunya membentak, “Pincang keparat! Bapakmu ada di sini, cepat keluar dan menyerah!”
Mereka mengayun-ayunkan golok dengan liar, memotong benda apapun di sepanjang jalan. Qu San tetap diam di balik pohon. Mereka terlihat semakin mendekat. Tiba-tiba terdengar suara gebukan. Qu San menyodokkan tongkat kanannya dan mengenai salah seorang prajurit itu tepat di dadanya. Orang itu mengeluh sebelum melayang ke belakang dan jatuh ke tanah.
Kedua orang lainnya mulai mengepung Qu San. Terjadi perkelahian seru. Kungfu para prajurit itu kelihatannya juga tidak buruk. Qu San meladeni mereka dengan menggunakan salah satu tongkatnya saling bergantian. Meskipun ia hanya bisa menggunakan satu tongkat, sementara tongkat lain dipakai untuk menyanggah tubuhnya, ia tidak terlihat kalah.
Guo Xiaotian dan Yang Tiexin melihat ada bungkusan besar di punggung Qu San, kelihatannya cukup merepotkan. Setelah bertarung beberapa jurus, akhirnya salah satu golok mendarat di punggung Qu San dan merobek bungkusan tersebut hingga isinya tumpah ke tanah. Salah satu prajurit itu sempat menengok untuk mengamati apa yang jatuh. Qu San mengambil kesempatan pada saat ia lengah, dan tongkatnya menghantam dengan keras ke batok kepala orang itu. Ia pun roboh tanpa banyak bersuara. Satu orang lainnya terlihat ketakutan, ia berbalik lalu melarikan diri.
Qu San merogoh saku baju di dadanya, lalu dengan cepat mengangkat tangannya. Sebutir benda bulat melayang secepat kilat di bawah sinar bulan menuju kepala orang itu dan menghantamnya. Si prajurit malang itu menjerit dan menjatuhkan goloknya, lalu tangannya terayun-ayun dengan liar tak terkendali. Tak lama kemudian ia jatuh ke tanah, berkelojotan sejenak, lalu tidak bergerak lagi.
Guo Xiaotian dan Yang Tiexin barusan melihat Qu San membunuh tiga orang berturut-turut, dan memamerkan kungfu di tingkat yang belum pernah mereka lihat. Jantung mereka berdetak kencang. Mereka berpikiran sama. “Dia barusan membunuh tiga orang prajurit kekaisaran, ini kejahatan besar. Kita tidak bakalan bisa melawan kalau tetap di sini dan dia sampai menemukan kita berdua, lalu bermaksud membunuh kita untuk menutup mulut.”
Qu San berpaling ke arah mereka, lalu berkata pelan, “Guo Xiongdi, Yang Xiongdi, kalian bisa keluar sekarang.”
Mereka berdua keluar dari semak-semak setelah menenangkan hati. Tidak ada pilihan lain sekarang, meskipun mereka berdua masing-masing memegang sebuah penggaruk rumput. Yang Tiexin melirik Guo Xiaotian dan penggaruk rumput di tangannya, lalu maju dua langkah ke depan.
Qu San tersenum ringan. “Yang Xiongdi,” katanya kepada Yang Tiexin. “Ilmu tombak keluarga Yang (Yang Jia Qiang Fa) bisa diterapkan menggunakan sebuah penggaruk rumput, tapi saudara angkatmu memakai sepasang tombak pendek, dan sepertinya penggaruk rumput tidak cocok untuk itu. Karenanya kau yang maju ke depan. Benar-benar terpuji…”
Yang Tiexin mendengar Qu San bicara terang-terangan membongkar apa yang ada di benaknya, dia merasa ditelanjangi, dan seketika itu tidak tahu harus berbuat apa.
Qu San melanjutkan, “Katakanlah seandainya Guo Xiongdi sekarang ini memegang sepasang tombak pendek itu. Menurutmu kalian berdua bisa mengalahkan aku?”
Guo Xiaotian menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa. Kami berdua buta, tinggal sekampung sekian lama masih tidak tahu kalau kau punya kungfu, dan bahkan seorang jagoan.”
Qu San menggeleng. “Aku orang cacat, bagaimana bisa jadi jagoan.” Dan ketika semangatnya memudar, ia melanjutkan. “Waktu kakiku masih berfungsi, apa aku sampai serepot ini hanya untuk menghadapi beberapa pengawal bersenjata. Aih! Aku sekarang tidak berguna. Tidak berguna!”
Guo Xiaotian dan Yang Tiexin saling melirik. “Apa kalian berdua bisa bantu aku mengubur tiga orang ini?” tanya Qu San.
“Baiklah!” kata Yang Tiexin.
Mereka berdua menggali kuburan untuk ketiga prajurit itu dengan menggunakan penggaruk rumput. Ketika mengangkat tubuh orang terakhir, Yang Tiexin melihat benda hitam yang sebelumnya dilontarkan Qu San masih tertancap di kepala orang itu. Ia mencabutnya dengan hati-hati. Senjata itu berbentuk 8 Diagram, dan terbuat dari besi. Ia lalu mengembalikan benda itu kepada Qu San.
Qu San menerimanya sambil berkata, “Maaf aku merepotkan kalian.” Ia memasukkan benda itu kembali ke sakunya, lalu mulai memungut semua isi bungkusan yang sebelumnya ada di punggungnya dari tanah.
Yang Tiexin selesai menguruk tanah untuk menutup kuburan. Ia mulai mengamati benda-benda yang sekarang terhambar di tanah, beralaskan bungkusan Qu San. Ada tiga gulung lukisan, lalu beberapa barang berharga yang terbuat dari emas dan perak. Qu San mengambil dua barang berharga, lalu memberikannya kepada Guo Xiaotian dan Yang Tiexin.
“Ini semua aku curi dari istana,” katanya. “Kaisar sudah melakukan terlalu banyak kejahatan yang menyengsarakan rakyat. Mengambil sedikit barang yang dia curi dari kita kurasa juga bukan sebuah kejahatan. Anggaplah ini hadiah dari aku.”
Mereka berdua saling pandang sambil melongo, tidak ada yang berani menerima hadiah itu.
Qu San menatap keduanya dengan serius. “Kenapa? Kalian takut, apa tidak mau?”
“Kami berdua tidak melakukan apapun yang layak untuk menerima hadiah itu, jadi tidak bisa menerimanya.” kata Guo Xiaotian. “Soal apa yang terjadi malam ini, jangan kuatir, saudaraku. Kami berdua tidak akan membocorkan rahasia ini.”
“Hmm,” Qu San bergumam. “Kenapa aku harus takut kalian membocorkan rahasia? Aku sudah tahu kalian siapa. Guo Xiongdi, kau adalah keturunan dari Guo Sheng, pendekar dari gunung Liang. Kau memakai ilmu tombak keluargamu, tapi tombakmu pendek, dan bukan tombak panjang, dan punya dua mata pisau, bukan hanya satu. Yang Xiongdi, kau salah satu keturunan dari Yang Zaixin, salah satu jendral yang jadi bawahan Yue Fei. Kalian berdua keturunan dari dua pahlawan besar, ketika bangsa Jin menyerang ke Song Utara, kalian saling mengangkat saudara, lalu bertualang ke rimba persilatan. Kalian lalu pindah kemari bersama-sama. Sejauh ini benarkah?”
Guo Xiaotian dan Yang Tiexin tahu kalau Qu San sudah meneliti riwayat mereka berdua, dan tidak ada gunanya juga disembunyikan. Akhirnya mereka tertawa senang, lalu tak lama kemudian terlibat pembicaraan lebih akrab. Ketika Qu San menanyakan apakah mereka masih menolak hadiahnya, mereka berdua merasa tidak ada gunanya juga menolak, yang bahkan bisa bikin Qu San tersingggung. Jadi akhirnya hadiah itu mereka terima.
Qu San sempat menyinggung bahwa hari ini ia berhasil mencuri 2 lukisan karya Kaisar Dao Jun, satu karya kaligrafinya. Ia merasa sangat senang waktu mengatakannya. Waktu mereka akan berpisah Yang Tiexin sempat menanyakan bahwa kalau sebelumnya Qu San sempat menyinggung sebagian besar wilayah Song hilang gara-gara kaisar, lalu apa yang berharga dari lukisannya? Kenapa ia harus repot-repot menyelundup ke istana untuk mencurinya.
“Ada sesuatu yang tidak kalian pahami di sini,” kata Qu San.
“Kalau kaisar bisa melukis dan menulis seindah itu, pastilah ia bukan orang bodoh.” kata Guo Xiaotian. “Dulu waktu aku masih kecil, ayahku pernah bilang bahwa seseorang harus berusaha melakukan satu hal dengan konsentrasi penuh, apapun juga itu. Kalau orang melakukan sedikit ini, lalu sedikit itu, maka akhirnya ia akan gagal menyelesaikan apapun juga dalam hidupnya.”
Qu San tersenyum. “Umumnya memang begitu, tapi di dunia ini ternyata ada seorang jenius yang bisa jadi ahli dalam beberapa hal sekaligus, mulai dari melukis, kaligrafi, pengobatan, kungfu, taktik militer, permainan Go, astrologi, dan juga 5 elemen. Rasanya tidak ada hal yang tidak diketahuinya. Dan juga tidak ada hal yang tidak dia kuasai dengan baik. Tapi sayangnya, kalian berdua tidak punya kesempatan menemui orang ini.”
Ia memandang ke bulan sambil melamun.
Malam itu Yang Tiexin dan Guo Xiaotian pulang ke rumah masing-masing, dan langsung mengubur kedua barang berharga dari emas itu di halaman mereka. Dan mereka bahkan tidak menceritakan apa yang terjadi kepada istri mereka.
Selanjutnya mereka berdua masih tetap mengunjungi kedai minum Qu San, dan Qu San juga masih melayani mereka seperti biasa. Tetapi mulai saat itu setiap kali mereka melihat Qu San duduk di dekat jendela sambil melamun, mereka memandangnya dengan kagum.
Tanpa terasa akhirnya tibalah musim salju. Saat itu Yang Tiexin bermaksud mengundang suami-istri Guo untuk makan malam di rumahnya. Ia lalu pergi ke kedai arak Qu San dengan maksud membeli 3 liter arak. Tapi ternyata Qu San tidak ada di tempat, dan kedai tersebut memang tidak dibuka. Waktu ia perhatikan lebih teliti, ternyata label nama kedai itu juga sudah diturunkan. Ia memang sudah beberapa hari tidak berkunjung kesitu, dan kelihatannya Qu San juga sudah beberapa hari pergi.
Ia pergi membeli semua keperluan makan malam di tempat lain yang sekitar 5 li lebih jauh dari situ.
Istri Yang Tiexin bermarga Bao, dan bernama Xiruo, putri seorang guru di kampung itu. Mereka sudah menikah kira-kira 2 tahun. Ia segera mengolah semua bahan yang dibeli suaminya untuk makan malam, lalu pergi ke rumah keluarga Guo untuk mengundang mereka.
Guo Xiaotian sangat senang mendengarnya. Istrinya sedang kurang enak badan karena kehamilannya. Hari itu ia sudah beberapa kali muntah, jadi ia memutuskan untuk tidak ikut hari itu. Istri Guo Xiaotian bermarga Li dan bernama Ping. Ia dan Bao Xiruo sudah seperti saudara. Malam itu ia menyiapkan teh hangat untuk Li Ping, sebelum akhirnya pulang.
Begitu sampai di rumah, ternyata kedua suami mereka sudah duduk di meja makan, dan mulai menyantap makanan karena sudah tidak sabar menunggu dia pulang. Ia tersenyum simpul. Di daerah itu mereka semua memang tidak terlalu ketat memperhatikan aturan mengenai pria dan wanita, dan lagi suaminya dan Guo Xiaotian adalah orang yang berpikiran terbuka, dan selalu bicara terus-terang. Jadi tanpa ragu ia lalu duduk di meja yang sama dan menambahkan arang untuk menghangatkan arak bagi mereka.
Setelah diperhatikan ternyata wajah kedua pria di hadapannya agak muram, kelihatannya mereka marah. Bao Xiruo lalu bertanya, “Ada apa? Kok kalian kelihatannya marah?”
“Kami sedang bicara soal apa yang terjadi di istana Lin’an.” jawab suaminya.
Guo Xiaotian menambahkan, “Kemarin kudengar cerita tentang si bangsat menteri Han Tuozhou. kedengarannya juga tidak dibuat-buat. Mereka bilang kalau seseorang menyodorkan laporan, dan kalau laporan itu tidak mengandung kalimat: ‘Juga menitipkan ini… untuk Bapak Menteri.’ maka laporan itu tidak akan dilirik oleh Han Tuozhou.”
Yang Tiexin kemudian menimpali dengan beberapa cerita lain yang didengarnya, tapi dengan kehadiran Xiruo akhirnya mereka bisa bercerita sambil tertawa. Di sana-sini Bao Xiruo ikut menimpali anekdot tentang para pejabat itu dengan komentar-komentar yang memancing tawa.
Mereka bertiga minum arak sebentar sambil menikmati turunnya salju di luar, mereka memang merasa agak dingin, tetapi arak yang sudah masuk ke perut membuat mereka merasa tetap hangat. Tiba-tiba dari arah Timur mereka mendengar suara langkah orang berlari, dan akhirnya mereka melihat seorang pendeta Tao.
Pendeta itu memakai sebuah topi anyaman dari bambu, tubuhnya sepenuhi butiran salju. Ada sebuah pedang terselip di punggungnya, di gagang pedang itu terdapat jumbai kuning, yang melambai-lambai ditiup angin.
Di bawah langit yang penuh salju berdiri sosok seorang pria yang berjalan sendirian, sungguh pemandangan yang megah dan mempesona.
Guo Xiaotian bicara, “Pendeta itu bisa kungfu. Kelihatannya seperti seorang terhormat.”
“Betul!” kata Yang Tiexin. “Ayo kita undang dia, sekaligus berkenalan sambil minum-minum.”
Saat itu Si Pendeta sudah berjalan kurang lebih 2 zhang dari tempat mereka (1 zhang kita-kira adalah 3,3 meter). Mereka berdua suka mencari kenalan baru dan berteman dengan siapa saja, karena itu mereka dengan segera menuju ke arah Si Pendeta. Kelihatannya Qing Gong pendeta itu sangat bagus, meskipun dia hanya berjalan tetapi mereka harus berlari untuk mengejarnya.
“Dao Zhang2, tolong berhenti!” panggil Yang Tiexin. “Cuaca begini buruk, kenapa Dao Zhang tidak mampir dulu sambil minum-minum supaya lebih hangat.”
Pendeta itu menengok, lalu mengejek. Dalam sekejap ia sudah berdiri di hadapan Yang Tiexin. “Kau suruh aku berhenti, mau apa? Terus terang saja.” katanya dengan nada dingin, mukanya agak muram.
Yang Tiexin merasa kekasaran pendeta itu agak sulit dimengerti, karenanya ia diam saja tidak menanggapi. Guo Xiaotian merangkapkan kedua tangannya untuk memberi hormat.
“Kami berdua sedang duduk-duduk di dekat perapian sambil minum arak ketika Dao Zhang lewat. Karena itu kami memberanikan diri untuk mengundang Dao Zhang datang bergabung. Maafkan kami kalau Dao Zhang tersinggung.” katanya dengan sopan.
Si Pendeta menjawab, agak lantang, “Baiklah, baiklah! Kau mau minum, mari kita minum!”
Caranya menjawab membuat Yang Tiexin lebih gusar, ia lalu mencekal pergelangan tangan si pendeta sambil berkata, “Kau masih belum bilang siapa namamu.”
Tiba-tiba Yang Tiexin merasa ia sedang memegang ikan yang licin, pergelangan tangan si pendeta pun lolos. Yang Tiexin tahu bahwa ia dalam kesulitan, ia berusaha mundur. Tapi sebelum ia melakukannya, ia merasa pergelangan tangannya sakit, si pendeta mencekalnya. Rasanya seperti diborgol, ia merasakan tekanan berat dan juga hawa panas. Ia berusaha meloloskan diri, tapi tangan kanannya terasa lemah, dan ia sangat kesakitan.
Guo Xiaotian bisa menilai dari mukanya yang merah bahwa saudaranya marah. Ia sendiri hanya ingin berkenalan, dan menghindari perseteruan dengan si pendeta, atau orang lain dari dunia persilatan. Ia berkata, “Dao Zhang, silakan duduk.”
Si pendeta mengejek lagi beberapa kali, lalu melepaskan Yang Tiexin. Ia melangkah ke tengah ruangan, lalu duduk di situ dengan sikap agak arogan. “Kalian berdua sudah jelas berasal dari Shandong.” katanya. “Tapi kalian di sini pura-pura jadi petani. Sayangnya logat kalian tetaplah kentara dari Shandong. Bagaimana mungkin seorang warga biasa bisa ilmu silat.”
Yang Tiexin merasa malu dan juga marah, ia melangkah ke belakang rumah. Ia mengambil belati dan menyembunyikannya di balik baju. Lalu ia melangkah kembali ke ruang tamu. Ia menuangkan tiga cawan arak, tapi kemudian meminum cawannya sendiri tanpa bicara.
Si pendeta hanya menatap salju di luar rumah dengan raut muka arogan, ia juga tidak bicara sama sekali, juga tidak minum araknya. Guo Xiaotian melihat bahwa si pendeta curiga bahwa ada sesuatu di dalam araknya. Ia lalu menenggak arak di cawannya dan berkata dengan nada ringan, “Arak cepat dingin. Biar kutuangkan satu lagi untuk Dao Zhang.”
Ia menuang secawan arak lagi untuk si pendeta, yang dengan segera dihabiskan oleh si pendeta dengan sekali tenggak, setelah itu ia berkata, “Meskipun ada obat bius di dalam arak ini, tidak akan mempengaruhi aku.”
Akhirnya kesabaran Yang Tiexin habis. “Kita bermaksud baik mengundang Dao Zhang datang untuk minum bersama. Kenapa kami harus mencoba mencelakai Dao Zhang? Kalau kau terus bicara dengan nada begini, maka sebaiknya pergi sekarang! Kami bukannya kelebihan arak jelek dan makanan busuk yang tidak bisa kami buang!”
Si Pendeta mengabaikannya, lalu membuka topinya dan melemparkannya ke lantai. Guo Xiaotian dan Yang Tiexin menatapnya dengan teliti. Pendeta itu kira-kira 30 tahunan. Mukanya kotak dan kemerahan, alisnya melengkung. Matanya bersinar cerah dan sangat tajam. Berikutnya ia membuka bungkusan kulit di punggungnya, lalu melemparkannya ke atas meja.
Yang Tiexin dan Guo Xiaotian melompat kaget, ternyata isi bungkusan itu adalah kepala manusia. Bao Xiruo menjerit ngeri dan berlari ke belakang rumah.
Si Pendeta menggoyangkan bungkusan itu dan mengeluarkan dua benda lagi dari dalamnya. Isinya jantung dan hati. Sudah jelas bukan hati dan jantung babi, ini organ dalam manusia.
Yang Tiexin merogoh bajunya untuk memastikan belatinya masih ada. “Pendeta bangsat!” ia berteriak sambil mengeluarkan pisaunya dan menikam dada si pendeta.
Si Pendeta terkekeh, “Cakar Elang, jadi sekarang kau mau berkelahi ya?” Ia memukul pergelangan tangan Yang Tiexin perlahan dengan tangan kirinya. Yang Tiexin merasa sakit dan tangannya mati rasa, jari-jarinya kehilangan tenaga. Sebelum ia sadar, pisaunya sudah berhasil direbut.
Guo Xiaotian terkesiap melihat semua itu. Ia tahu bahwa saudara angkatnya adalah keturunan pendekar tangguh, dan dalam setiap latihan yang mereka lakukan bersama ia tahu bahwa ia kalah sedikit dari saudaranya. Tapi kelihatannya saudaranya seperti bukan apa-apa dibandingkan si pendeta Tao. Gerakan yang baru dilakukannya tadi adalah ‘Tangan Kosong Merebut Pisau’ adalah sebuah jurus yang hanya pernah ia dengar di dunia ini.
Ia dengan segera mengangkat bangku yang didudukinya, dan bersiap seandainya si pendeta bermaksud menikam saudaranya dengan belati tersebut. Tapi Si Pendeta hanya mengabaikan mereka berdua. Ia lalu memotong-motong jantung dan hati manusia di atas meja itu menjadi beberapa bagian kecil. Tiba-tiba ia mengaum keras, begitu kerasnya sehingga menggetarkan atap rumah. Ia mengangkat tangan kanannya, lalu menghempaskannya ke bawah dengan keras sehingga seluruh isi meja terpental. Kedua bersaudara itu terpana, si pendeta baru saja menghantam tengkorak kepala manusia itu dan meremukkannya, bahkan bagian tengah meja ikut remuk.
Mereka berdua masih berusaha memulihkan diri dari shock ketika si pendeta berteriak keras, “Bajingan tengik! Hari ini Pinto akan melanggar larangan membunuh!”
Yang Tiexin begitu marahnya sampai tidak bisa bicara. Ia meraih tombaknya yang tersandar di sudut ruangan dan melompat keluar. “Ayo! Coba kau jajal Ilmu Tombak Keluarga Yang.”
Si Pendeta terkekeh, “Kau pikir kau cukup layak memakai Ilmu Tombak Keluarga Yang, hanya karena kesombongan palsu begini?” Ia melangkah keluar begitu selesai bicara.
Melihat situasi memburuk, Guo Xiaotian segera pulang untuk mengambil sepasang tombak pendeknya. Ketika ia kembali, ternyata si pendeta masig berdiri diam dengan pedang di tangan, masih dalam sarungnya.
“Hunus pedangmu!” bentak Yang Tiexin. Si Pendeta menjawab, “Meskipun kalian maju berdua, aku tetap akan memakai tangan kosong.”
Yang Tiexin memberi tanda bahwa ia siap mulai, lalu langsung merangsek ke depan dengan jurus ‘Naga Beracun Keluar dari Gua’. Rumbai merah di tombaknya bergetar, meninggalkan bayangan merah menuju ke jantung si pendeta.
Si pendeta agak terkejut dan mamuji, “Bagus!” Tubuhnya bergerak mengikuti tombak, lalu menghindar ke arah kiri. Telapak kirinya berputar melingkar dan menyambut ujung tombak untuk mencekalnya.
Yang Tiexin sudah melatih diri sejak kecil, dan ilmu tombaknya tidak bisa diremehkan. Beberapa tahun yang lalu, Yang Zaixin, leluhurnya, bersama dengan tiga ribu prajurit berperang melawan empat puluh ribu tentara Jin di Jembatan Saudagar Kecil. Dalam pertempuran itu ia membunuh lebih dari dua ribu prajurit Jin, belum lagi satu komandan dari sepuluh ribu prajurit, dan juga seratus komandan dari seribu prajurit. Saat itu anak panah musuh datang bagaikan siraman air hujan, akhirnya kudanya terjebak di dalam lumpur, dan ia memberikan nyawanya bagi negara. Ketika balatentara Jin membakar jenazahnya, jumlah total anak panah yang meleleh dari tubuhnya mencapai kira-kira 1 kg. Peperangan itu sangat mengerikan bagi tentara Jin, dan membuat Ilmu Tombak Keluarga Yang terkenal di seluruh negeri.
Meskipun Yang Tiexin tidak setangguh para leluhurnya, namun saat itu ia berjuang mati-matian dengan segenap tenanganya, memperlihatkan tontonan yang luar biasa. Tapi setelah mengerahkan seluruh, 72 jurus dari ilmu tombaknya, akhirnya ia putus asa dan merasa sangat marah.
Ia memutar tubuh, lalu berjalan pergi sambil membawa tombaknya. Seperti yang sudah diduga, Si Pendeta mengejarnya secepat kilat. Yang Tiexin membentak keras, memegang tombak dengan kedua tangannya, lalu tiba-tiba ia memutar tubuhnya sambil menusuk ke belakang tepat ke muka si pendeta. Ini gerakan yang sangat berbahaya. Dulu sebelum Yang Zaixin berubah aliansi ke Song, ia menggunakan jurus ini untuk melawan Yue Fei, dan ia berhasil membunuh Yue Fan, adik kandung Yue Fei.
Ketika melihat tiba-tiba mata tombak sudah di depan hidungnya, Si Pendeta langsung memuji, “Bagus sekali! Bagus!” Dengan menepuk kedua tangannya ia berhasil menjepit mata tombak. Yang Tiexin mendorong tombak dengan kuat, tapi ternyata tombak itu sama sekali tidak bergerak. Terkesiap, ia pun berusaha menarik kembali tombaknya dengan sekuat tenaga, tapi tombak itu seolah-olah tertimpa sebuah gunung, tanpa celah sedikitpun untuk keluar. Mukanya memerah setelah berusaha menarik tiga kali dengan sia-sia.
Akhirnya si pendeta tertawa, mendadak telapak kanannya menghantam pegangan tombak dengan kecepatan seperti angin. Yang Tiexin merasa pangkal jempol dan telunjuknya mati rasa, dan dengan segera ia melepaskan tombak ke tanah yang diselimuti salju.
Si Pendeta tersenyum dan berkata, “Kau betul-betul menggunakan Ilmu Tombak Keluarga Yang. Maafkan aku kalau sempat bersikap kasar. Kalau boleh aku ingin tahu siapa namamu.”
Yang Tiexin masih belum pulih dari shock, ia menjawab seenaknya. “Aku bermarga Yang, namaku Tiexin.”
“Kau punya hubungan keluarga dengan Jendral Yang, Yang Zaixin?” tanya si pendeta.
“Dia kakek buyutku,” jawab Yang Tiexin.
Si Pendeta segera merangkapkan kedua tangannya untuk memberi hormat. “Kelihatannya aku salah paham kepada kalian berdua. Tadinya kukira kalian bajingan, tidak tahunya keturunan patriot. Maaf. Boleh aku tahu juga nama sahabat ini?”
“Aku bernarga Guo, namaku Xiaotian,” jawab Guo Xiaotian.
Yang Tiexin menambahkan, “Dia saudara angkatku, juga keturunan pendekar Guo Sheng dari gunung Liang.” Si Pendeta segera menanggapi, “Pendeta hina ini bersikap kasar dan terburu-buru, maafkan aku.” Ia membungkuk sekali lagi.
Guo Xiaotian dan Yang Tiexin merangkap kedua tangan mereka dan balas menghormat. “Dao Zhang silakan masuk untuk menikmati tiga cawan lagi.” Yang Tiexin dengan tenang memungut kembali tombaknya. Si Pendeta tersenyum, “Aku memang ingin minum dengan kalian.”
Bao Xiruo kuatir suaminya terluka, tapi ketika melihat mereka bertiga sudah saling membungkuk untuk saling memberi hormat dalam dama, ia merasa lega, dan membereskan meja supaya mereka bisa duduk ngobrol di situ.
Ketika ditanya soal namanya, Si Pendeta menjawab, “Namaku Qiu Chuji…”
Yang Tiexin dan Guo Xiaotian terlompat dan berseru, “Ah ya!”
Qiu Chuji tersenyum.
“Pendekar ‘Musim Semi Abadi’ (Chang Chunzi) dari Perguruan Quanzhen, kami sangat senang berkenalan dengan Dao Zhang.” kata Guo Xiaotian. Ia berlutut bersama dengan Yang Tiexin untuk memberi hormat.
Qiu Chuji buru-buru membangunkan keduanya. “Aku hari ini telah membunuh seorang pengkhianat dengan tanganku sendiri.” katanya. “Orang-orang istana sedang mengejar aku. Kalian tiba-tiba mengundang minum tanpa sebab. Ini ibukota, dan kalian bukan petani biasa. Aku jadi langsung curiga.”
Guo Xiaotian tertawa. “Saudaraku punya adat jelek. Sebelum kita masuk rumah dia sudah menjajal Dao Zhang, kukira itu juga menambah kecurigaan Dao Zhang.”
Qiu Chuji mengiyakan. “Kenapa petani biasa bisa begitu kuat. Tadinya kupikir kalian berdua anjing pemerintah yang sedang menyamar dan menungguku di sini. Makanya sikapku jadi kasar dan terburu-buru.”
Yang Tiexin tersenyum dan menjawab, “Itu tidak bisa disalahkan.”
Setelah menenggak araknya beberapa kali, Qiu Chuji berkata sambil menuding kepala manusia yang sekarang pecah berantakan. “Orang ini bernama Wang Daokun, seorang pengkhianat. Tahun lalu ketika kaisar mengutusnya untu mengirimkan ucapan selamat ulang tahun kepada Kaisar Jin, ia mulai kolusi dengan Jin dengan rencana untuk menginvasi wilayah Song Selatan. Aku mengejarnya selama sepuluh hari sebelum berhasil membunuhnya.”
Kedua bersaudara itu sudah pernah mendengar sepak terjang Qiu Chuji di dunia persilatan, dan hari ini setelah bertemu muka. mereka semakin kagum. Mereka mengambil kesempatan untuk menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan ilmu silat kepada pendeta itu. Qiu Chuji melayani pertanyaan keduanya dengan senang hati.
Meskipun Ilmu Tombak Keluarga Yang sangat tangguh, tetapi kalau berhadapan dengan seorang master dari dunia persilatan, kelihatannya agak lemah. Qiu Chuji bukan termasuk jajaran paling atas dari segi ilmu silat dan tenaga dalam, tetapi kalau dibandingkan dengan Yang Tiexin, tentunya sangat jauh. Ia melihat bahwa ilmu tombak yang digunakan oleh Yang Tiexin sungguh-sungguh ilmu sejati yang seharusnya dipakai di atas kuda. Kalau dipakai untuk bertarung biasa, orang harus lebih kreatif dan memakai imajinasi, tidak boleh kaku. Kedua orang muda itu mendengarkan penjelasan Qiu Chuji dengan tekun.
Daun telinga mereka bertiga mulai terasa agak panas karena pengaruh arak, dan mereka mulai lelah. Yang Tiexin menawarkan kepada Qiu Chuji untuk menginap selama beberapa hari. Tapi muka Qiu Chuji tiba-tiba membeku. “Ada orang sedang mencari aku. Apapun yang terjadi, kalian berdua tetap tinggal di sini, dan jangan keluar. Mengerti?”
Mereka berdua mengangguk.
Qiu Chuji memungut kepala manusia di atas meja, lalu berjalan keluar rumah dan melompat ke atas pohon dan bersembunyi di antara dedaunan. Guo Xiaotian dan Yang Tiexin belum memahami apa yang terjadi, dan keduanya beranggapan Qiu Chuji bersikap aneh, karena selama beberapa saat mereka masih belum melihat perubahan apapun di luar rumah.
Beberapa saat kemudian barulah samar-samar terdengar derap kaki kuda dari sebelah Barat.
“Pendengarannya luar biasa,” pikir Yang Tiexin. Ia sedang membayangkan siapa yang akan menang seandainya Qiu Chuji sampai bertarung dengan Qu San. Tapi lamunannya segera buyar ketika akhirnya sekitar 20 orang berkuda mendekat ke depan rumah, mereka berpakaian serba hitam.
Pemimpin kelompok itu menghentikan kudanya sambil berkata, “Jejak kaki berakhir di sini. Kelihatannya sempat terjadi pertarungan.” Beberapa orang kawannya melompat turun dari kuda, dan memeriksa jejak kaki di atas salju.
Si pemimpin memberikan perintah, “Geledah seisi rumah ini!”
Dua orang lagi turun dari kuda dan mengetuk pintu rumah. Tiba-tiba sebuah benda melayang turun dari pohon, dan menghantam kepala salah seorang dari mereka. Tenaga lemparan itu begitu kerasnya, sehingga hantamannya terasa sampai ke tulang tengkorak. Salah seorang dari mereka memungut benda itu dari tanah dan memeriksanya. Ia menjerit kaget, “Ini kepala Yang Mulia Wang!”
Si pemimpin menghunus goloknya, dan dengan segera diikuti sekitar 10 orang lainnya. Mereka mengepung pohon itu. Ia memberikan perintahnya. Lima orang dengan segera mengangkat busur dan membidik ke arah Qiu Chuji.
Yang Tiexin mengambil tombaknya dan bersiap keluar, tapi Guo Xiaotian berkata, “Dao Zhang melarang kita keluar. Lagi pula, kalau dia memang mengalami kesulitan menghadapi orang sebanyak itu, kita tetap masih belum terlambat membantunya.” Begitu ia selesai bicara, sebuah anak panah meluncur keluar dari pohon itu.
Ternyata Qiu Chuji berhasil menghindar dari empat anak panah, dan menangkap salah satunya, lalu dengan tenaga dalamnya ia membidikkan anak panah tersebut kembali ke tuannya seperti melempar senjata rahasia.
“Ah!” terdengar seruan dari mulut salah seorang penyerangnya. Orang itu kemudian terjatuh dari kudanya, terguling-guling di atas salju ke semak-semak dan berhenti di situ.
Qiu Chuji menghunus pedangnya dan melompat turun. “Pendeta keparat!” bentak si pemimpin. Ia menembakkan 3 anak panah berturut-turut, lalu menghentakkan tali kekang kudanya dan menerjang ke depan dengan golok terhunus. Pedang Qiu Chuji berkilat di tengah hujan salju, berturut-turut dua orang ambruk dari kudanya.
Yang Tiexin terpesona. Meskipun ia berlatih 10 tahun lagi, rasanya tetap belum mampu melihat sambaran pedang secepat itu, apalagi membalasnya. Kalau Qiu Chuji tidak memberi angin pada saat mereka bertarung, pastilah ia sudah mati sekarang.
Qiu Chuji bergerak seolah-olah sedang menunggangi angin, dan sekarang ia menyerang si penunggang kuda yang membawa golok. Kungfu orang itu sama sekali tidak buruk, setiap gerakannya entah menusuk atau membabat terlihat sangat ganas. Yang Tiexin dan Guo Xiaotian bisa melihat bahwa Qiu Chuji sengaja menahan serangannya, maksudnya adalah menahan mereka semua dan mengumpulkannya ke sudut tertentu yang lebih bisa diandalkan untuk membunuh semuanya tanpa ada yang lolos. Kalau si pemimpin terbunuh terlebih dahulu, maka semua sisa anak buahnya akan melarikan diri.
Setelah bertarung beberapa saat, jumlah mereka menyusut tinggal enam orang. Si pemimpin merasa tidak sanggup melawan Qiu Chuji, ia berbalik dan bermaksud melarikan diri. Tapi Qiu Chuji mengulurkan tangan kirinya dan berhasil menyambar ekor kuda. Dengan sekali tarik tubuhnya melayang di udara dengan pedang terhunus. Tanpa mendarat di atas kuda pedangnya sudah menembus punggung penunggangnya sampai ke dada. Qiu Chuji melemparkan tubuhnya ke tanah, lalu menunggangi kuda itu untuk mengejar yang lainnya. Dalam waktu singkat ia berhasil menghabisi mereka semua tanpa sisa. Hamparan salju pun berwarna merah oleh darah mereka.
Qiu Chuji berhenti sambil memandang ke sekelilingnya. Yang terlihat hanya beberapa ekor kuda tanpa penunggangnya berlarian di sekeliling tempat itu. Ia tertawa sambil menatap kedua anak muda yang mengamati di pintu rumah.
“Nah, bagaimana menurut kalian?” katanya.
Guo Xiaotian baru saja membuka pintu rumah, dan belum sempat menenangkan diri.
“Dao Zhang, siapa orang-orang ini?” tanyanya.
Qiu Chuji menjawab, “Kita akan tahu begitu memeriksa jenazah mereka.”
Guo Xiaotian menggeledah isi saku mereka, dan menemukan sebuah surat resmi. Rupanya surat itu dari Hakim Zhao, yang isinya mengatakan bahwa Utusan dari Jin punya perintah, supaya prajurit Song dan Jin bekerja sama untuk menangkap orang yang membunuh Wang Daokun secepat mungkin.
Guo Xiaotian baru saja ingin meledak ketika Yang Tiexin berteriak. Ia menemukan sebuah tag dari balik baju salah satu orang. Di situ terdapat tulisan berbahasa Jurchen, yang artinya adalah dalam kelompok itu terdapat beberapa orang prajurit Jin.
Guo Xiaotian berkata dengan geram, “Musuh ternyata bisa berbuat apa saja, termasuk menangkap dan membunuh, di wilayah perbatasan, dan para pejabat Song kita ternyata betul-betul tunduk kepada Duta mereka! Negara macam apa ini!”
Yang Tiexin menghela nafas, “Kalau Kaisar dari Song membungkuk hormat dan menyebut diri pejabat dari Kaisar Jin, ya tidak heran kalau sekarang para pejabat dan jendral kita sudah menjadi jongos mereka.”
Qiu Chuji berkata dengan nada pahit, “Kami para pendeta seharusnya berbelas kasihan dan murah hati, baik di dalam hati maupun tindakan. Tapi kalau melihat gerombolan musuh dan pengkhianat yang selain tidak berbuat apa-apa, malah menambah kesengsaraan rakyat kita, aku jadi tidak sanggup berbelas kasihan dan murah hati.”
Kedua orang lainnya langsung menyambut ucapan itu, “Kau benar! Mereka pantas mati!”
Penduduk desa itu hanya sedikit, dan di tengah badai salju seperti itu semua orang malas keluar rumah. Kalaupun ada orang yang kebetulan menyaksikan peristiwa itu, maka mereka pasti sudah lari jauh-jauh sebelumnya. Siapa yang cukup berani memeriksa dan bertanya? Yang Tiexin mengambil sekop dan pacul untuk mereka bertiga, dan mereka mengubur semua jenazah itu ke satu lubang yang sama.
Bao Xiruo mengambil sapu dan mulai membersihkan sisa-sisa darah yang berceceran di atas salju. Setelah beberapa saat, bau amis darah menembus langsung ke perutnya. Pandangannya gelap, dan ia merintih pelan lalu duduk di atas salju. Yang Tiexin terkejut, cepat-cepat mendekat sambil bertanya, “Ada apa? Kenapa?”
Bao Xiruo menutup matanya tanpa menjawab. Melihat mukanya yang pucat dan merasa tangannya dingin, Yang Tiexin jadi semakin kuatir. Qiu Chuji mendekat, lalu memegang pergelangan tangan Xiruo untuk memeriksa nadinya.
Mendadak ia tertawa. “Selamat! Selamat!”
Bao Xiruo mendadak bangun dan mendengus. Melihat ketiga orang pria yang mengelilinginya, ia merasa agak malu, lalu berjalan masuk rumah.
“Istrimu sedang hamil,” kata Qiu Chuji sambil tersenyum.
Yang Tiexin berlari ke dalam rumah dengan girang. Mereka semua akhirnya merayakan kehamilan Bao Xiruo dengan penuh kegembiraan sambil menyelesaikan pekerjaan menguburkan mayat para penyerang itu.
Yang Tiexin memikirkan kehamilan istrinya sambil tersenyum simpul. Ia lalu bertanya kepada Qiu Chuji, “Dao Zhang, istri Guo Da Ge juga sedang hamil, apa kau punya usul nama apa yang cocok untuk anak-anak kami ini?”
Qiu Chuji berpikir sejenak, lalu menjawab, “Anak Guo Xiongdi diberi nama Guo Jing, sedangkan anak Yang Xiongdi diberi nama Yang Kang. Dengan begini tidak jadi masalah mereka laki-laki atau perempuan, nama-nama itu akan tetap bisa dipakai.”
Guo Xiaotian menjawab, “Bagus sekali! Dao Zhang mengingatkan supaya kita selalu mengenang Insiden Jing Kang, peristiwa memalukan untuk kedua kaisar yang ditawan itu.”
“Betul.” kata Qiu Chuji. Ia mengeluarkan dua belah pisau dari sakunya. Keduanya sama, dengan sarung kulit berwarna hijau. Ujung pegangannya berlapis emas, dengan gagang berwarna hitam. Ia kemudian mengukirkan nama anak-anak itu di gagang pisau masing-masing dengan kecepatan yang luar biasa. Bahkan sebelum Guo Xiaotian dan Yang Tiexin menyadari apa yang ditulisnya, pekerjaan kecil itu sudah selesai. “Aku tidak punya apapun yang berharga kecuali sepasang pisau ini.” katanya sambil tersenyum. “Bagaimana kalau aku sumbangkan barang ini kepada anak-anak kalian?”
Yang Tiexin dan Guo Xiaotian tentu saja menjerit kegirangan. Mereka buru-buru berterima kasih sambil membungkuk hormat menerima hadiah tersebut sesuai nama anak masing-masing. Ketika mereka menghunus pisau itu, terasa semacam hawa dingin keluar dari dalamnya. Mata pisaunya sungguh-sungguh tajam.
“Sepasang pisau ini aku dapatkan secara kebetulan. Meskipun sangat tajam, tapi karena terlalu kecil, maka sama sekali tidak cocok untuk aku. tapi anak-anak kalian bisa memakainya untuk melindungi diri. Sepuluh tahun dari sekarang aku akan datang lagi, dan mengajarkan kungfu kepada anak-anak ini. Menurut kalian bagaimana?”
Tak terhingga rasa terima kasih mereka berdua ketika mendengar hal itu. Qiu Chuji akhirnya berkata, “Para tentara Jin datang ke Utara dan menyengsarakan rakyat di situ. Hal seperti ini tidak boleh berlangsung terlalu lama. Jaga diri kalian baik-baik.”
Ia mengangkat cawan araknya, lalu menghabiskan isinya dengan sekali teguk. Lalu ia bangkit dan berjalan keluar. Guo Xiaotian dan Yang Tiexin melompat dan berusaha memintanya menginap beberapa hari. Tetapi langkahnya sangat cepat dan mantap, ia sudah lari terlalu jauh.
“Pendekar seperti dia selalu datang dan pergi seenaknya,” kata Guo Xiaotian. “Kita tidak tahu kapan bisa ketemu dia lagi.”
Mereka lalu membicarakan apa yang baru saja terjadi dengan gembira, sambil memain-mainkan pisau kecil itu. Tiba-tiba Yang Tiexin bertanya, “Da Ge, aku punya usul yang rada konyol, jangan tertawa ya.”
“Usul apa?” tanya Guo Xiaotian.
“Kalau anak kita sama-sama laki-laki atau perempuan, biarlah mereka jadi saudara.” jelas Yang Tiexin. Guo Xiaotian memotongnya, “Dan kalau laki-laki dan perempuan, biarlah mereka menikah.”
Mereka lalu tertawa terbahak-bahak.
Bao Xiruo keluar dari kamar sambil tersenyum dan bertanya, “Ada apa kalian begitu girangnya?”
Yang Tiexin menceritakan rencana mereka berdua. Bao Xiruo tersipu, tapi ia sangat senang mendengar rencana itu. Yang Tiexin lalu mengusulkan, “Ayo kita tukar pisau sekarang, anggap saja sebagai semacam tanda pertunangan. Kalau ternyata mereka sama-sama laki-laki atau perempuan kan kita tetap bisa tukar lagi. Tapi kalau ternyata laki-laki dan perempuan…”
“Ya kalau begitu, mohon maaf,” kata Guo Xiaotian bercanda. “kedua pisau ini jadi milik keluargaku.”
Bao Xiruo tertawa dan berkata, “Kau tahu dari mana? Mungkin saja malah jadi milik keluarga kami.”
Dengan begitu mereka saling tukar pisau sebagai tanda perjanjian.
Guo Xiaotian membawa pulang pisaunya dan memberi tahu istrinya. Li Ping sangat senang mendengar berita itu.
Yang Tiexin masih bermain-main dengan pisau pemberian Qiu Chuji sambil minum arak sendirian. Tanpa sadar ia sudah mabuk. Bao Xiruo membantunya pindah ke tempat tidur, lalu menyelimutinya. Ia merapikan cawan dan kendi arak yang tercecer.
Karena hari sudah semakin malam, ia lalu pergi ke halaman belakang untuk mengumpulkan kandang ayam dan merapikannya. Ketika ia menutup pintu belakang, ia sekilas melihat ada noda darah tertinggal tepat di atas salju di depan pintu. “Aih! Rupanya masih ada yang tersisa.” pikirnya. “Kalau sampai ada pejabat yang mendengar tentang ini, kita semua akan sulit.” Ia lalu mengambil sapu, lalu mulai membersihkannya.
Tetesan darah itu kalau ditelusuri ternyata mengarah ke tumpukan kayu di belakang rumah. Ada tanda-tanda bahwa seseorang merangkak di sepanjang jalan menuju ke sebuah pohon pinus di situ. Bao Xiruo mengikuti arah jejak itu dengan curiga. Ia tiba di dekat sebuah kuburan tua. Ia melihat sesuatu berwarna hitam melingkar di atas tanah.
Karena kurang jelas dan ia masih penasaran, ia pun berjalan mendekat. Ternyata sesosok mayat yang berpakaian hitam. Jelas sekali orang ini salah satu dari para penyerang yang bertempur melawan Qiu Chuji tadi sore. Orang ini tidak langsung mati di tempat, dan masih sempat merangkak ke sini.
Ketika ia berpikir untuk memanggil suaminya untuk menguburkan mayat itu, mendadak pikiran lain melintas di benaknya. “Bagaimana kalau seseorang tiba-tiba muncul dan melihat mayat ini di sini?” Ia lalu mengumpulkan tenaga, dan bermaksud menyeret mayat itu ke semak-semak terdekat, sebelum masuk rumah dan membangunkan suaminya. Suaminya sedang mabuk, pasti agak susah dibangunkan. Baru menarik sedikit, tiba-tiba mayat itu mengejang, dan juga mengeluh.
Bao Xiruo sangat ketakutan. Seketika itu ia ingin lari menyelamatkan diri, tetapi kakinya seperti dipaku ke tanah dan ia terdiam kaku beberapa saat. Setelah menunggu agak lama, mayat itu tidak bergerak lagi. Dengan agak takut, Bao Xiruo menyentuh mayat itu dengan sapunya. Mayat itu mengeluh lagi, tapi kali ini suaranya jauh lebih lemah.
Sekarang ia baru sadar kalau orang itu ternyata masih hidup! Ia mangamatinya dari jarak lebih dekat, dan melihat bahwa sebelah belakang bahu orang itu terkena anak panah yang menembus sangat dalam ke dagingnya. Anak panah itu berlumuran darah. Salju masih terus turun. Muka orang itu mulai diselimuti salju. Hanya sedikit waktu lagi orang itu pasti akan mati kedinginan.
Bao Xiruo sejak kecil punya hati yang sangat lembut. Kalau ia melihat kelinci, burung, kodok, atau bahkan kutu, yang sedang terluka, ia akan membawanya pulang untuk merawatnya sampai sembuh. Setelah binatang itu sembuh, barulah ia akan melepaskannya. Kalau sampai ia gagal merawat dan menyembuhkan binatang terluka itu, dan akhirnya mereka mati, maka ia akan merasa sangat tidak enak sepanjang hari. Sifat ini tidak berubah sampai ia dewasa, bahkan sampai sekarang, setelah ia menikah. Kebiasaan kecil ini membuat rumah mereka selalu dipenuhi binatang-binatang aneh, mulai dari jangkrik, kodok, burung, kelinci, dan sejumlah besar ayam, yang semuanya tidak boleh dimasak. Ayahnya memberi nama yang sangat cocok dengan kepribadiannya: Xiruo, yang berarti lemah, atau penuh kasih.
Nah, sekarang yang dilihatnya adalah seorang manusia, yang tadinya dikira sudah tewas, tapi ternyata masih hidup, dam nafasnya tinggal satu-satu. Meskipun ia jelas tahu orang ini sebelumnya menyerang ke rumahnya dan terlihat sangat ganas, tapi saat itu sifatnya yang sudah menjadi watak tiba-tiba menguasai. Hatinya tersentuh. Hanya sedetik ia ragu-ragu apakah harus lebih dahulu berunding dengan suaminya. Suaminya yang sedang mabuk pasti susah dibangunkan. Bukan hanya sulit, bahkan kemungkinan besar tidak bakalan bangun.
Akhirnya ia mengambil obat luka untuk meghentikan pendarahan milik suaminya, lalu mengambil kendi arak yang masih hangat, dan beberapa helai kain bersih. Ia berlari kembali ke halaman belakang. Orang itu masih ada di tempatnya. Bao Xiruo membantunya duduk, lalu menuangkan sisa arak di kendi ke mulutnya. Sejak kecil ia sudah terbiasa merawat luka, dan tahu bahwa sekali anak panah itu ditarik, maka pendarahan hebat pasti akan terjadi, tapi kalau tidak ditarik, maka tidak mungkin luka itu akan bisa ditangani.
Dengan memberanikan diri dan menggigit bibirnya sendiri, ia lalu memakai pisau untuk menyayat sedikit kulit di sekitar luka akibat anak panah itu. Orang itu berteriak kesakitan, lalu pingsan. Bao Xiruo membalut gagang anak panah dengan kain, lalu mengumpulkan tenaga dan menariknya kuat-kuat. Dalam pingsannya orang itu masih mengeluh tertahan.
Darah mengucur deras, dan sebagian baju Bao Xiruo terkena cucuran darah, tapi ia berhasil menarik keluar anak panah itu. Melihat begitu banyak darah mengalir, jantung Bao Xiruo berdetak keras dan ia merasa mau pingsan. Ia buru-buru membubuhkan obat dari suaminya untuk menghentikan pendarahan hebat itu, lalu membalut luka tersebut dengan kain bersih. Orang itu mulai bergerak sedikit, tetapi terlihat sangat lemah dan kelihatannya ia sangat lelah, sampai tidak bisa bersuara.
Bao Xiruo begitu ketakutan, sampai tidak bisa memikirkan cara untuk membantu orang itu pindah dari tempatnya. Untuk mengangkatnya, jelaslah ia tidak kuat. Tiba-tiba ia mendapat sekilas ide, lalu mengambil bekas daun pintu yang tergeletak di halaman belakang, dan dengan sekuat tenaga ia menarik tubuh orang itu ke atas daun pintu yang ia letakkan di dekat tempat orang itu terdiam, setangah pingsan. Setelah itu ia menyeret daun pintu itu seperti menyeret sebuah tandu di atas salju ke arah rumah mereka, lalu membawanya ke lumbung. Ia mengatur tumpukan jerami sekenanya supaya orang itu bisa berbaring dengan agak nyaman.
Setelah melalu situasi menegangkan sekian lama, baru sekarang ia merasa agak tenang. Ia kembali ke rumah, lalu mengganti bajunya yang berlumuran darah, mencuci muka dan membersihkan tangan. Lalu ia mengambil sisa sup ayam yang masih ada, mengambil lilin, dan kembali ke lumbung. Orang itu kelihatannya tertidur, nafasnya agak lemah tetapi cukup teratur.
Bao Xiruo merasa agak lega, lalu mencoba menyuapinya dengan semangkuk sup yang dibawanya. Orang itu minum setengah mangkuk, lalu batuk-batuk hebat.
Bau Xiruo terkejut, mungkin ia tersedak. Tanpa sadar ia mulai mengamati wajah orang itu. Di bawah cahaya lilin ia melihat seraut wajah yang halus, dengan hidung yang mancung. Ternyata seorang pemuda yang sangat tampan. Muka Bao Xiruo mendadak merona, dan tangannya agak gemetar, setetes lilin jatuh ke wajah pemuda itu.
Pemuda itu membuka matanya. Ia menatap seraut wajah secantik bunga, yang agak memerah karena malu, sepasang mata yang seperti bintang berkedip, penuh dengan simpati. Ia merasa seolah-olah sedang bermimpi, dan ia terpesona.
Bao Xiruo berbisik, “Sudah lebih baikkah? Ayo habiskan sisa sup ini.”
Pemuda itu berusaha meraih mangkuk sup, tapi tangannya serasa tak bertenaga sama sekali, dan sup itu nyaris tumpah membasahi bajunya. Bao Xiruo buru-buru memegang mangkuk itu. Saai ini yang paling penting adalah menyelamatkan nyawanya. Jadi ia tanpa ragu-ragu menyuapi si pemuda dengan sabar, sedikit demi sedikit.
Setelah minum semangkuk sup ayam, mata pemuda itu kelihatannya mulai bersinar dan memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Ia menatap Bao Xiruo dengan penuh rasa terima kasih, melampaui segala kata-kata. Ditatap seperti itu, Bao Xiruo mulai merasa malu, ia lalu mengambil sedikit jerami untuk menyelimuti pemuda itu supaya tetap hangat, lalu kembali ke rumahnya sambil membawa lilin.
Sepanjang malam itu ia tidak bisa tidur nyenyak, dan beberapa kali mengalami beberapa kali mimpi buruk. Mula-mula ia melihat suaminya menikam pemuda itu dengan tombak sampai mati. Lalu ia melihat pemuda itu membunuh suaminya, dan mulai mengejarnya. Ia dikelilingi kegelapan, dan tidak tahu harus lari atau bersembunyi di mana. Beberapa kali ia terbangun dari mimpi dengan berkeringat dingin.
Ketika terbangun keesokan harinya, ternyata suaminya sudah bangun, dan sedang mengikir mata tombaknya. Ia langsung teringat mimpi buruk semalam, lalu segera lari ke lumbung dan membuka pintunya. Ia terkejut, karena ternyata tidak ada orang di situ, hanya tumpukan jerami yang terlihat kacau. Orang itu sudah menghilang.
Ia berlari ke halaman belakang, dan melihat pintunya setengah terbuka. Di atas salju terlihat jejak seseorang yang mencoba merangkak dan berguling ke arah Barat. Ia melamun sendirian di situ sambil menatap jejak itu.
Setelah agak lama, tiupan angin dingin menerpa wajahnya dan ia merasa perutnya sakit, kakinya terasa lemah. Mengantuk, ia lalu kembali ke ruang tamu. Di situ Yang Tiexin ternyata sudah membuatkan bubur, dan meletakkannya di atas meja. Tersenyum, ia berkata, “Coba lihat, bubur buatanku tidak terlalu jelek kok.”
Bao Xiruo tahu bahwa suaminya jadi lebih pengertian setelah dia hamil. Ia tersenyum, lalu mulai makan. Ia tahu kalau ia menceritakan kejadian semalam, suaminya pasti akan cemburu dan marah, lalu mengejar pemuda itu dan membunuhnya. Apa ini bukan sama saja dengan membunuh pemuda itu sendiri? Jadi dia lalu memutuskan untuk tidak akan pernah menceritakan kejadian itu kepada siapapun juga.
Musim dingin berlalu, dan datanglah musim semi. Dalam sekejap beberapa bulan berlalu, insiden malam itu seakan terselip dalam ingatan Bao Xiruo sementara kandungannya semakin besar, dan ia merasa lebih cepat lelah.
Malam itu mereka baru saja selesai makan, dan Bao Xiruo duduk di dekat penerangan sambil menjahit celana untuk suaminya. Yang Tiexin menggantungkan dua pasang sandal yang terbuat dari jerami di dinding. Ia baru selesai membuatnya. Karena ia teringat akan mata bajak yang rusak ketika ia sedang menggarap sawah tadi siang, ia lalu menoleh kepada istrinya dan berkata, “Mata bajakku rusak tadi, besok aku akan ketemu Zhang Mu’Er di desa sebelah Timur, supaya ia bisa memperbaikinya.”
“Baiklah.” kata Bao Xiruo.
“Aku sudah punya banyak baju, kau tidak perlu repot-repot bikin terlalu banyak. Apalagi sekarang kondisimu sangat lemah, seharusnya lebih banyak istirahat.”
Bao Xiruo menoleh kearahnya dan tersenyum, tapi tangannya tidak berhenti.
Yang Tiexin kemudian mendekat, mengambil bahan pakaian yang sedang dijahit itu, berikut benang dan jarumnya. Baru pada saat itu Bao Xiruo menguap, lalu ia meniup api lilin dan masuk ke kamar.
Di tengah malam ia terbangun, dan melihat suaminya duduk di dekatnya. Dari kejauhan terdengar derap kaki kuda sedang mendekat. Suara itu datang dari arah Barat. Tak lama kemudian terdengar lagi derap kaki kuda dari arah Timur datang mendekat, dan kemudian dari arah Utara dan Selatan. Bao Xiruo terkesiap, lalu bangun dan duduk di tempat tidur.
“Kenapa ada suara kuda dari empat penjuru?” tanyanya.
Yang Tiexin melompat berdiri dan berpakaian. Suara kuda itu semakin dekat, diikuti gonggongan anjing dari rumah-rumah penduduk desa. Yang Tiexin menjawab, “Kita dikepung.”
Terkejut, Bao Xiruo kembali bertanya, “Mengapa?”
“Aku tidak tahu.” kata Yang Tiexin. Ia mengulurkan pisau pemberian Qiu Chuji kepada istrinya, “Pegang ini, untuk melindungi diri.” Ia lalu melihat keluar dari jendela. Saat itu suara ringkikan kuda dan suara manusia sangat keras dari semua penjuru, dan terdengan kacau. Mereka mengepung seluruh desa dengan obor di tangan. Tujuh atau delapan orang mondar-mandir di atas kuda sambil berteriak-teriak.
Salah satunya berseru, “Tangkap para pengkhianat itu! Jangan biarkan mereka lari!”
Yang Tiexin berpikir, “Apa mungkin mereka mau menangkap Qu San? Sudah agak lama aku tidak ketemu dia. Untungnya dia tidak di sini. Kalau tidak, mana mungkin lolos dari kepungan orang sebanyak ini, seberapa tinggi pun kungfunya.”
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak, “Yang Tiexin, Guo Xiaotian, kalian berdua pengkhianat, ayo cepat keluar!”
Yang Tiexin terkejut, muka Bao Xiruo berubah pucat. Yang Tiexin berbisik, “Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan pemerintah kita yang sekarang. Mereka hanya tahu cara mengganggu penduduk biasa. Kita tidak mungkin melawan mereka. Satu-satunya cara adalah melarikan diri. Jangan panik, dengan tombak ini aku pasti akan bisa membawamu lari.”
Kungfunya bagus, jadi ia tidak panik meskipun menghadapi bahaya. Ia mengambil busur dan anak panah, lalu membawanya di punggung. Ia menggandeng tangan istrinya.
“Aku akan berkemas.” kata Bao Xiruo.
“Berkemas gimana?” kata Yang Tiexin. “Semuanya kita tinggalkan.”
Bao Xiruo tiba-tiba gemetar, air matanya mulai menitik. Ia bertanya dengan suara gemetar, “Bagaimana dengan rumah kita?”
“Yang paling penting adalah tetap hidup. Soal rumah bisa kita mulai lagi yang baru, di tempat lain.” kata Yang Tiexin.
“Bagimana dengan ayam, bebek, dan kucing kita?” tanya Bao Xiruo lagi.
Yang Tiexin mengeluh, “Aduh, bodoh. Masa saat ini kau masih juga kuatir soal mereka semua?” Setelah berhenti sejenak, ia lalu menghibur istrinya, “Buat apa orang-orang dari pemerintah ini peduli sama ayam, bebek, atau kucing segala?”
Tepat setelah ia selesai bicara, cahaya obor di luar terlihat bergerak. Beberapa prajurit menyalakan dua onggok jerami dengan api dari obornya. Beberapa orang mendekati rumah dengan membawa obor, mereka bermaksud membakar rumah.
“Yang Tiexin, Guo Xiaotian! Kalau kalian masih tidak mau keluar, kami akan membakar seluruh isi Desa Niu ini sampai rata dengan tanah!” seru salah seorang dari mereka.
Yang Tiexin kehilangan kesabarannya. Ia membuka pintu, lalu berkata dengan gagah dan lantang, “Aku Yang Tiexin, kalian mau apa?”
Prajurit yang ada di hadapannya terkejut dan terlihat takut. Ia berbalik dan lari ke arah deretan kawan-kawannya. Dari arah belakang seorang pria maju dengan kudanya sambil berkata, “Bagus! Jadi kau Yang Tiexin, ayo ikut ke Kehakiman, tangkap dia!”
Serempak empat atau lima prajurit maju. Yang Tiexin memutar tombaknya, mengayun dan memamerkan jurus ‘Pelangi Putih Di Langit’, ia menyapu sekaligus tiga orang prajurit rebah ke atas tanah. Ia meneruskan dengan menangkap seorang prajurit lainnya, lalu melemparkannya ke arah kerumunan.
Ia berseru, “Kalau mau menangkapku, mula-mula kalian harus menyebutkan kejahatan apa yang aku lakukan!”
“Pengkhianat! Kau berani menolak perintah penangkapan!” jawab orang itu. Meskipun mereka menyebutkan namanya dengan lantang, tapi mereka terlihat gentar melihat keberaniannya, dan juga ilmu silatnya, jadi mereka tidak berani mendekat. Seorang lain yang ada di belakangnya menyahut, “Ikut saja dengan damai ke pengadilan. Jadi hukuman atas kejahatanmu tidak bertambah berat. Kami punya perintah resmi untuk menangkapmu.”
Yang Tiexin menjawab, “Kalau begitu tunjukkan!”
Orang itu balas bertanya, “Bagaimana dengan pengkhianat satunya, Guo Xiaotian?”
Guo Xiaotian menyelipkan tangannya sambil memegang busur dan anak panah keluar dari jendela sambil berseru, “Guo Xiaotian di sini!” Panah itu mengarah ke orang berkuda yang bicara dengan Yang Tiexin.
Orang itu berkeringat dingin. “Turunkan panahmu.” katanya. “Aku akan membacakan perintahnya.”
“Baca sekarang!” kata Guo Xiaotian dengan geram. Ia menarik tali busurnya sampai penuh.
Karena tidak punya pilihan lain, orang itu lalu membacakan perintah, “Guo Xiaotian dan Yang Tiexin dari Desa Niu, Propinsi Lin’an, berkolusi dengan para pengkhianat dan penjahat dengan tujuan kejahatan. Tangkap mereka dan bawa ke pengadilan.”
Guo Xiaotian bertanya, “Siapa pejabat yang mengeluarkan surat ini?”
“Menteri Han sendiri.” jawab orang itu.
Guo Xiaotian dan Yang Tiexin sama-sama terkejut dan juga heran, “Masalah apa yang sepenting itu, sampai Menteri Han juga ikut campur? Apa mungkin tindakan Qiu Chuji waktu itu sudah terbongkar?”
Guo Xiaotian bertanya, “Siapa yang penggugat? Dan berdasarkan bukti macam apa?”
Orang itu balas berseru, “Tugas kami hanya menangkap kalian. Kalau kau ingin membela kasusmu, ikut saja dengan kami ke pengadilan.”
Yang Tiexin balas berseru, “Menteri Han tahunya hanya mencelakai rakyat yang tidak bersalah seperti kami, semua orang tahu itu. Kami tidak akan masuk perangkap licik macam ini.”
Yang Tiexin berpaling kepada istrinya dan berkata, “Cepat pakai baju rangkap. Aku ambil kuda, begitu pemimpin mereka kena tembak, mereka pasti akan panik.”
Suara busur ditarik dan anak panah dilepaskan terdengar tajam, diikuti oleh sambaran anak panah seperti meteor ke arah pemimpin di atas kuda. Orang itu menjerit keras, “Aiyo!” Lalu jatuh dari kudanya. Para prajurit berteriak nyaring karena terkejut. Salah satunya berseru, “Cepat, tangkap mereka!” Serentak para prajurit itu memburu ke depan.
Yang Tiexin dan Guo Xiaotian melepaskan anak panah dengan cepat berturut-turut. Dalam sekejap mereka sudah berhasil menjatuhkan enam sampai tujuh prajurit. Tetapi jumlah mereka sangat banyak, dan beberapa orang berhasil menerjang sampai ke depan kedua rumah mereka.
Dengan teriakan keras Yang Tiexin melompat keluar dari pintu rumah, lalu menyerang seorang penunggang kuda putih dengan tombaknya. Orang itu juga sedang menyerang ke arahnya dengan tombak, tetapi Ilmu Tombak Keluarga Yang sangat cepat, tombak Yang Tiexin menghantam kaki orang itu secepat kilat, lalu ia mengangkat tombaknya, menjatuhkan orang itu dari kudanya.
Dengan bantuan hentakan tombak ke atas tanah, Yang Tiexin melompat ke punggung kuda. Dalam sekejap ia kemudian melompat bersama kuda ke arah rumah. Ia lengsung membunuh prajurit di dekat pintu rumah dengan tusukan tombak, lalu membungkuk dan mengulurkan tangannya untuk meraih Bao Xiruo, dan mengangkatnya ke atas kuda. Ia menoleh ke arah Guo Xiaotian dan berseru, “Da Ge, ikuti aku!”
Guo Xiaotian mengayunkan sepasang tombak pendeknya untuk melindungi istrinya, sambil menerjang ke depan ke arah kerumunan. Melihat ketangguhan kedua pria itu, para prajurit tidak berani mendekat. Jadi mereka mulai menyerang mereka dengan panah.
Yang Tiexin melarikan kudanya ke sisi Li Ping, lalu ia melompat turun. “Da Sao, cepat naik!”
Li Ping berkata dengan nada cemas, “Ini tidak bagus.”
Yang Tiexin tidak peduli apa yang dikatakannya, ia langsung mengangkat Li Ping ke atas kuda. Kedua pria itu mengikuti di belakang kuda sambil terus melawan. Pelan-pelan mereka mulai meninggalkan tempat itu.
Setelah bejalan sedikit mereka mendengar suara dari kelompok lain mendekat ke arah mereka. Keduanya mengeluh. Ketika mereka sedang mencari arah lain untuk melarikan diri, tiba-tiba anak panah menyerang. Bao Xiruo menjerit tertahan, “Aiyoo!”
Kudanya tertembak anak panah dan langsung jatuh, melemparkan kedua penunggangnya ke tanah. “Da Ge, kau lindungi mereka!” seru Yang Tiexin. “Aku cari kuda lain.”
Ia menerjang ke arah kerumunan prajurit. Sekitar sepuluh orang prajurit berbaris di depannya sambil mengacungkan tombak, dan berseru serentak.
Melihat banyaknya jumlah musuh, Guo Xiaotian berpikir, “Bagi kita berdua, meloloskan diri tidak sulit. Tapi istri-istri kita tidak akan lolos. Ini bukan seperti kita melakukan kejahatan besar, jadi sebetulnya menghadap ke pengadilan sepertinya lebih baik daripada mati konyol di sini. Waktu Qiu Chuji membunuh para penyerang itu, rasanya tak satupun lolos. Jadi mustinya tidak akan ada saksi mengenai peristiwa itu. Lagipula, kita berdua sama sekali tidak membunuh satupun dari pejabat maupun prajurit Jin.” Karena itu ia lalu berseru, “Xiong Di, hentikan! Ayo kita ikut mereka.”
Yang Tiexin terkejut mendengar itu, jadi ia berbalik sambil menyeret tombaknya.
Pemimpin pasukan itu berseru, “Jatuhkan senjatamu, dan nyawamu akan diampuni.”
Yang Tiexin berkata, “Da Ge, jangan masuk perangkap mereka.” Tapi Guo Xiaotian menggelengkan kepalanya, lalu menjatuhkan sepasang tombak pendeknya. Yang Tiexin berpaling ke arah istrinya, dan ia tidak tahan melihat ketakutan di wajah Bao Xiruo. Ia menghela nafas dan melemparkan tombaknya ke atas tanah. Begitu kedua pria itu menjatuhkan senjata, dengan segera sepuluh tombak lebih mengepung mereka berempat. Delapan orang datang dan mengikat keempat orang itu dengan tangan di belakang punggung.
Yang Tiexin mengangkat kepala dan menyeringai. Pemimpin pasukan itu mengangkat cambuk kudanya, lalu melecut Yang Tiexin tepat di mukanya. “Pengkhianat keparat! Kau mau mati ya!” Bilur cambuk terlihat di muka Yang Tiexin mulai dari dahi sampai ke lehernya.
Dengan geram Yang Tiexin berkata, “Baiklah, siapa namamu?”
Pejabat itu makin marah, cambuknya menyambar deras seperti hujan, “Orang tua ini bernama Duan Tiande! Ingat itu! Begitu sampai di pintu gerbang neraka kau bisa bilang semua tentang aku.”
Yang Tiexin sama sekali tidak mundur ataupun berkedip, ia tetap berdiri di situ sambil menatap Duan Tiande, yang segera melanjutkan, “Di mukaku ada bekas luka pisau, dan juga ada tanda lahir! Ingat itu baik-baik!” Cambuknya menyambar lagi.
Melihat suaminya diperlakukan kasar, Bao Xiruo dan menjerit, “Dia orang baik dan tidak melakukan kejahatan apapun. Mengapa kau.. memukulnya? Apa kau tidak mengerti keadilan?”
Yang Tiexin mendadak meludahinya, kena tepat di mukanya. Duan Tiande sangat murka, menarik golornya dan berteriak, “Kubunuh kau, pengkhianat keparat!” Ia mengangkat goloknya dan menghujamkannya ke bawah.
Yang Tiexin menghindar ke samping. Dua prajurit di sampingnya menyodokkan tombak ke sisinya untuk membuatnya tidak bisa bergerak sementara Duan Tiande sekali lagi memotong dengan goloknya. Karena tidak ada ruang gerak lagi, Yang Tiexin hanya bisa melompat mundur untuk menghindari serangan itu. Kelihatannya si Duan Tiande ini mengerti sedikit kungfu. Meskipun luput lagi, ia dengan segera menusukkan goloknya ke depan. Golok yang digunakannya bergerigi, dengan gerigi itu ia berhasil melukai bahu kiri Yang Tiexin. Dengan segera ia meneruskan dengan bacokan berikutnya.
Melihat saudaranya dalam bahaya, Guo Xiaotian mendadak melompat dan menendang muka Duan Tiande. Dalam kagetnya, Duan Tiande menarik goloknya untuk mengusir tendangan itu. Meskipun kedua tangan Guo Xiaotian terikat ke belakang, tapi gerakan kakinya masih cukup berbahaya. Ia dengan cepat memutar kaki kirinya, bersamaan dengan itu ia mengirim kaki kanannya ke arah perut Duan Tiande.
Dalam kesakitan dan amarah yang hebat, Duan Tiande berteriak nyaring, “Tikam keparat-keparat ini! Perintah dari atas, kalau mereka menolak ditangkap, bunuh di tempat!”
Para prajurit meyerang serentak dengan tombak mereka. Guo Xiaotian menendang jatuh dua orang prajurit, tetapi karena tangannya terikat, maka kecepatannya terganggu, ia harus melompat untuk menghindari tusukan tombak. Duan Tiande muncul dari arah belakangnya, goloknya menghujam deras, membacok putus tangan kanan Guo Xiaotian di bagian bahunya.
Yang Tiexin berusaha keras untuk melepaskan ikatan tangannya, tapi berusaha sekeras apapun ternyata ia gagal. Melihat kakaknya tergeletak luka di tanah, seolah gelombang tenaga raksasa keluar dari dalam dirinya. Ia menghentak putus ikatan tangannya, lalu menghantam salah seorang prajurit terdekat dan merebut tombaknya. Mengamuk dengan ilmu tombak keluarganya, seolah-olah ia sedang berhadapan dengan sepuluh ribu pasukan bersenjata sendirian. Ia baru mulai bergerak dan sudah menjatuhkan dua orang. Ia tidak lagi mempedulikan keselamatannya sendiri.
Melihat keadaan memburuk, Duan Tiande segera mundur. Dalam gebrakan sebelumnya, Yang Tiexin agak menahan diri, sebenarnya ia tidak mau membunuh prajurit kekaisaran, tapi sekarang ia sudah sama sekali tidak peduli. Melihat keganasannya para prajurit itu takut, dan mereka lari tunggang langgang.
Yang Tiexin tidak mau mengejar mereka. Ia lalu memebantu kakak angkatnya duduk. Darah mengalir deras dari tangan kanan Guo Xiaotian yang putus dan saat ini seluruh tubuhnya berlumuran darah. Air mata Yang Tiexin mengucur deras tak tertahan melihat pemandangan itu. Tapi Guo Xiaotian menggertakkan giginya dan berseru, “Xiong Di, jangan pedulikan aku. Cepat pergi… Pergi…!”
Yang Tiexin menjawab dengan panik, “Aku akan cari kuda, aku akan berjuang mati-matian supaya kau bisa lolos.”
Guo Xiaotian menjawab samar-samar, “Tidak… tidak…” Ia pingsan.
Yang Tiexin segera membuka baju luarnya untuk digunakan sebagai pembalut luka di bahu Guo Xiaotian yang dibabat putus, tapi bacokan Duan Tiande bukan hanya membabat putus lengan kanan Guo Xiaotian, tetapi juga melukai sebagian dadanya. Luka itu hampir sepanjang setengah badan, tidak mungkin dibalut. Guo Xiaotian tiba-tiba tersadar dan berkata perlahan dengan lemah, “Xiong Di, cepat selamatkan istri-istri kita. Aku… aku.. tidak bisa… selamat…” Sebelum menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya merosot, ia meninggal.
Kedua saudara angkat itu selalu berpikir seakan-akan mereka sungguh-sungguh saudara kandung. Melihat saudaranya tewas secara mengenaskan begini, telinga Yang Tiexin seolah-olah mendengar kalimat yang mereka ucapkan pada saat mereka mengangkat sumpah bersaudara, “Berharap untuk mati di hari yang sama, bulan yang sama, tahun yang sama…”
Ia mengangkat kepalanya dan melihat ke sekeliling. Kedua istri mereka sudah hilang tanpa jejak di tengah kekacauan tadi. Ia berteriak nyaring, “Da Ge, aku akan membalas dendam!” Ia menggenggam tombaknya erat-erat dan berlari ke arah kerumunan prajurit yang masih ada. Saat itu para prajurit berbaris rapi. Duan Tiande memberi komando, dan hujan anak panah segera melumcur dengan deras ke arah Yang Tiexin. Ia tidak peduli, dan ia menangkis serbuan anak panah sambil menerjang ke depan. Seorang prajurit yang menunggang kuda mengayunkan goloknya ke arah Yang Tiexin, tapi Yang Tiexin merunduk sambil menyelinap di bawah perut kudanya. Orang itu baru bermaksud memutar kudanya ketika sebuah tombak tiba-tiba menembus jantungnya dari belakang. Yang Tiexin melompat ke atas kuda dan melemparkan mayat itu ke tanah. Ia kemudian memutar-mutar tombaknya dengan ganas. Para prajurit itu ketakutan dan tidak berani mendekat, mereka mulai berlarian menyelamatkan diri.
Setelah mengejar beberapa saat, Yang Tiexin melihat seorang prajurit berkuda secepat mungkin sambil membawa seorang perempuan. Ia lalu melompat turun dari kuda dan menjatuhkan seorang prajurit yang berjalan kaki, mengambil busur dan anak panahnya. Ia membidik sebaik-baiknya di bawah penerangan minim dari obor. Panah itu menembus pantat kuda, yang dengan segera jatuh dan melemparkan penunggangnya. Yang Tiexin membidik sekali lagi untuk membunuh prajurit itu.
Ia cepat-cepat berlari mendekat, dan melihat bahwa wanita yang terduduk di tanah itu ternyata istrinya. Terkejut dan girang melihat suaminya, Bao Xiruo langsung memeluknya. Yang Tiexin langsung bertanya, “Da Sao di mana?”
“Di depan,” jawab Bao Xiruo. “dengan… dengan lebih banyak prajurit.”
Yang Tiexin memberi instruksi tegas, “Kau tetap di sini. Aku akan menyelamatkan dia.”
“Tapi di belakang kita ada lebih banyak prajurit.” kata Bao Xiruo, terkejut.
Yang Tiexin menengok ke belakang, dan seperti kata istrinya, ternyata ada sekelompok prajurit dengan obor di tangan mendatangi mereka. Yang Tiexin menggertakkan giginya dan berkata, “Da Ge sudah tewas. Bagaimanapun juga aku harus menyelamatkan Da Sao untuk menyelamatkan garis keturunan keluarga Guo. Kalau Surga mengasihani kita, pasti kita akan bertemu lagi suatu hari nanti.”
Bao Xiruo melingkarkan tangan di leher suaminya, dan tidak mau melepaskannya. Dalam isakan tangis ia berkata, “Kita tidak akan berpisah, kau bilang sendiri, mati pun kita akan tetap bersama, kau bilang sendiri! Kau sudah lupa itu? Kau bilang sendiri!”
Yang Tiexin merasakan kepahitan memenuhi dadanya dan terdiam sejenak. Lalu ia mencium istrinya. Betapapun ingin ia tetap bersama, ia kemudian melepaskan tangan istrinya dengan paksa, lalu menerjang ke arah para prajurit itu dengan tombaknya. Setelah kira-kira sepuluh langkah ia menengok ke belakang dan melihat istrinya menangis di tengah debu yang beterbangan, dan sekelompok prajurit sudah berkerumun di sekitarnya.
Sambil menghapus air mata, darah, dan keringat di wajahnya, Yang Tiexin menepis segala pikiran untuk menyelamatkan diri jauh-jauh, dan hanya berpikir tentang menyelamatkan saudara iparnya, supaya kakak angkatnya memiliki keturunan.
Setelah mengejar beberapa saat, akhirnya ia mendapatkan seekor kuda. Setelah menginterogasi seorang prajurit dengan bengis, akhirnya ia tahu bahwa Li Ping ternyata tidak jauh di depan. Karena itu ia memacu kuda secepat-cepatnya. Tiba-tiba ia mendengar jeritan seorang perempuan dari dalam hutan di tengah jalan. Ia segera berbalik dan memasuki hutan itu.
Li Ping berhasil membebaskan diri dari ikatan, dan sekarang ia melawan dua orang prajurit tanpa kuda dengan mati-matian. Ia lahir dan dibesarkan di daerah pertanian, karenanya ia tumbuh sebagai wanita yang sangat kuat. Meskipun ia tidak bisa kungfu, tapi perlawanan mati-matian yang ditunjukkannya cukup sulit diatasi.
Kedua prajurit itu memaki dan menertawakan dia, tapi nyatanya sampai sekarang mereka belum berhasil mengatasi perlawanannya. Tanpa basa-basi apapun Yang Tiexin langsung membunuh mereka dengan dua tusukan tombak. Ia membantu Li Ping naik ke atas kuda, lalu mereka segera kembali ke arah Yang Tiexin semula untuk mencoba menemukan Bao Xiruo.
Ketika mereka tiba d tempat itu, ternyata tidak ada seorang pun tersisa. Tapi saat itu langit mulai terang. Yang Tiexin turun dari kuda dan mulai memeriksa jejak kaki di tanah. Ada tanda-tanda orang diseret ke suatu tempat di situ. Kemungkinan besar istrinya tertangkap lagi oleh kawanan prajurit yang sama.
Yang Tiexin segera melompat kembali ke atas kuda, dan menendang perutnya beberapa kali. Kudanya langsung melompat dengan kecepatan penuh. Sementara mereka sedang berpacu, dari sisi jalan terdengar tiupan terompet, lalu sepuluh atau lebih prajurit berbaju hitam menerjang keluar. Salah seorang yang memegang tongkat ‘taring serigala’ memukul deras. Yang Tiexin menangkis dengan tombaknya, lalu membalas dengan tusukan. Orang itu membals dengan ayunan tongkat ke samping. Gerakan tongkatnya agak aneh, sepertinya bukan dari wilayah pusat.
Waktu Yang Tiexin dan Guo Xiaotian membahas soal kungfu, mereka sempat menyinggung salah satu pahlawan yang bernama Qing Ming, yang terkenal karena menggunakan senjata seperti ini. Tapi selain dia, jarang sekali ada orang lain yang menggunakan senjata sejenis ini. Karena beratnya senjata itu, penggunanya harus memiliki otot punggung sebelah atas yang sangat kuat. Namun demikian, para tentara Jin sangat menyukai senjata ini, karena bangsa Jin hidup di puncak dingin membeku di Liaodong, jadi mereka sangat kuat. Kalau digunakan di medan perang, senjata seperti ini sangat menguntungkan karena beratnya3.
Setelah beberapa saat bertarung dengan orang ini, Yang Tiexin yang teringat diskusinya dengan Guo Xiaotian jadi curiga. Melihat teknik yang digunakan, orang ini jelas adalah seorang prajurit Jin. Ngapain dia ada di sini? Beberapa jurus kemudian, ia mempercepat permainan tombaknya, lalu menikam orang itu hingga jatuh dari kudanya. Para prajurit lain berbalik, lalu melarikan diri saking terkejut.
Yang Tiexin berbalik untuk memeriksa apakah Li Ping terluka setelah pertarungan tadi. Mendadak dari dalam hutan sebuah anak panah meluncur deras dan menyambar Yang Tiexin dari belakang. Dengan panik Li Ping menjerit, “Yang Xiongdi, awas panah, panah!”
Hati Yang Tiexin membeku. “Jadi begini rupanya aku mati. Tapi sebelumnya aku pasti akan membunuh keparat-keparat ini, jadi Da Sao bisa meloloskan diri.” Ia lalu dengan nekat menerjang maju ke arah kerumunan prajurit. Tapi luka di punggungnya terlalu serius, pandangannya kabur, ia pingsan.
Pada saat Yang Tiexin mendorong tangannya, Bao Xiruo merasa hatinya tersayat. Dalam sekejap para prajurit itu sudah ada di dekatnya. Sebelum ia sempat melarikan diri, tangannya sudah terikat, dan ia dilemparkan ke atas kuda. Salah seorang prajurit yang memegang obor mengamatinya dari jarak dekat, lalu menganggukkan kepala. “Sulit dipercaya kedua bangsat itu ternyata bisa berbuat begitu banyak, sampai membunuh banyak orang kita.”
Salah satu lainnya tersenyum dan berkata, “Yah, akhirnya kan kita berhasil menyelesaikan tugas dengan baik. Setelah susah-payah ini setidaknya masing-masing orang berhak mendapat 10 tael perak atau lebih.”
Yang pertama menjawab, “Hmm! Mari berharap para atasan tidak mengambilnya untuk diri mereka sendiri.” Ia menoleh kepada para peniup terompet. “Ayo kita pulang!”
Para peniup terompet meniupkan satu atau dua nada panjang-panjang. Bao Xiruo tidak bisa menangis lagi, karena yang ia pikirkan hanya suaminya, dan apakah suaminya masih hidup. Saat itu langit sudah mulai terang, dan para penduduk mulai bermunculan di sepanjang jalan. Ketika mereka melihat para prajurit, para petani buru-buru minggir untuk memberi jalan. Bao Xiruo mula-mula kuatir para prajurit itu akan mengganggunya, tapi ternyata mereka bersikap sangat sopan, jadi kekuatirannya lenyap.
Setelah berjalan beberapa li, terdengar teriakan dari arah depan, sepuluh orang atau lebih yang berpakaian hitam menyerang dari pinggir jalan. “Tidak tahu malu! Bisanya membunuh orang tidak bersalah!” seru pemimpin kelompok itu.
Pemimpin pasukan sangat marah dan balas membentak, “Kalian pikir kalian ini siapa, Anjing! Berani bikin masalah di pinggiran ibukota! Ayo minggir, minggir!”
Gerombolan berbaju hitam itu tidak menjawab, malah maju menerjang. Meskipun jumlah mereka lebih kecil, tapi ternyata gerombolan itu semuanya ahli kungfu, jadi untuk sementara tidak pasti pihak mana yang lebih unggul.
Bao Xiruo diam-diam merasa senang, ia pikir mungkin teman-teman Yang Tiexin sudah mendengar kabar tentang hal ini, dan datang untuk menyelamatkan mereka. Dalam situsi kacau itu sebuah anak panah tiba-tiba meluncur dan melukai pantat kuda. Kesakitan hebat dan terkejut, kuda itu lari secepat-cepatnya ke arah Utara. Bao Xiruo memegang leher kuda dengan kedua tangannya karena takut jatuh.
Derap kaki kuda terdengar dari belakang mengejar ke arahnya. Dalam sekejap seekor kuda hitam berhasil melampauinya. Seorang pria yang menunggangi kuda itu memutar-mutar seutas tali laso di atas kepalanya, lalu melemparkannya ke leher kuda Bao Xiruo. Kedua kuda itu lari berdampingan dengan cepat. Orang itu kemudian menarik talinya dan secara berangsur-angsur kuda mereka melambat. Setelah beberapa langkah kemudian, orang itu bersiul keras, dan kuda hitam itu mendadak berhenti sama sekali. Karena lehernya terikat, kuda Bao Xiruo tidak bisa jalan terus, lalu mendadak berdiri di atas kedua kaki belakangnya, meringkik keras. Tenaga Bao Xiruo sudah terkuras habis oleh peristiwa malam itu, ditambah dengan kesedihan dan ketakutan, ia tidak kuat lagi menahan tali kekang kuda. Ia pun jatuh dan pingsan.
Setelah tertidur sangat lama, pelan-pelan akhirnya ia membuka mata. Rasanya ia tidur di atas ranjang yang sangat nyaman dan empuk, juga dengan selimut dari kapas yang sangat tebal. Saat membuka mata yang pertama dilihatnya adalah tirai berwarna hijau dari tempat tidurnya, dan ternyata ia memang tidur di atas ranjang. Lampu menyala di atas meja di dekat ranjang itu, dan sepertinya ada seorang pria berbaju hitam sedang duduk di sisi tempat tidurnya. Mendengar gerakannya, pria itu segera bangkit, lalu menyibakkan tirai tempat tidurnya dan bertanya, “Kau sudah bangun?”
Kesadaran Bao Xiruo belum sepenuhnya pulih, yang dia tahu hanyalah bahwa orang ini sepertinya sangat familiar. Orang itu meletakkan tangan di dahinya, lalu berkata, “Masih sangat panas, jangan kuatir. Tabib akan segera datang.”
Dengan linglung, Bao Xiruo akhirnya kembali tertidur.
Setelah beberapa lama, rasanya seorang tabib sedang memeriksa dia, lalu seseorang datang menyuapi dia minum obat. Setelah itu yang bisa dia lakukan hanyalah tidur. Ia bermimpi, lalu berteriak-teriak memanggil suaminya. Lalu seseorang menepuk-nepuk pundaknya dengan lembut sambil menghiburnya.
Berikutnya ketika ia terbangun ternyata tengah hari, dan ia mengeluh. Seseorang datang mendekat dan membuka tirai. Kali ini mereka berhadapan muka, Bao Xiruo bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia sangat terkejut, karena wajah tampan ini, dan pria yang tersenyum di hadapannya ini adalah orang yang diselamatkannya beberapa bulan yang lalu di tengah salju.
Bao Xiruo bertanya, “Aku di mana? Mana suamiku?”
Pemuda itu melambaikan tangannya, lalu mengatakan supaya ia jangan bicara terlalu keras. Dengan suara pelan ia menjawab, “Para prajurit ada di depan, mereka mencari-cari di sekitar tempat ini. Saat ini kita meminjam kamar dari petani setempat. Aku tadi harus berbohong dan bilang bahwa aku suamimu. Jangan sampai keterlepasan ngomong yang sebenarnya.”
Bao Xiruo tersipu dan menganggukkan kepalanya, tetapi ia masih bertanya, “Mana suamiku?”
“Saat ini tubuhmu sangat lemah,” kata pemuda itu. “Kalau sudah lebih baik, akan kuceritakan semuanya.”
Bao Xiruo sangat shock. Ia memegang ujung selimut dengan kedua tangannya erat-erat, dari nada suara pemuda itu ia merasa sesuatu yang sangat buruk telah menimpa suaminya. Ia bertanya dengan suara gemetar, “Dia… apa yang terjadi? Dia kenapa?”
Pemuda itu menjawab, “Saat ini kekuatiran tidak akan menghasilkan apa-apa. Yang paling penting adalah kesehatanmu.”
Bao Xiruo terus bertanya, “Dia… apa dia tewas?”
Dari wajahnya jelas pemuda itu sadar bahwa ia tidak punya pilihan lain kecuali menjawab, dan ia mengangguk pelan. “Pendekar Yang tewas di tangan para prajurit keparat itu.” Ia menggelengkan kepalanya dan menghela nafas.
Bao Xiruo merasa hatinya dirobek-robek, dan ia pingsan seketika. Ketika akhirnya sadar, barulah tangisnya meledak.
Orang itu menghiburnya dengan lembut. Sambil terisak-isak, Bao Xiruo bertanya lagi, “Dia… bagaimana dia tewas?”
Orang itu menjawab, “Pendekar Yang, dia bertubuh tinggi, bahunya lebar, umur sekitar 20 tahun, dan bersenjata tombak, benarkah?”
“Ya, itu memang dia.” kata Bao Xiruo.
“Tadi pagi aku melihatnya bertarung melawan beberapa prajurit dan membunuh beberapa orang dari mereka. Tapi… Aih! Salah satu prajurit itu berhasil menikamnya dari belakang.”
Bao Xiruo pingsan lagi. Ia tidak mau makan dan minum sepanjang hari. Ia merasa wajib mati bersama dengan suaminya. Pemuda itu tidak memaksanya juga, dan dia hanya menemaninya bicara dengan sikap yang sangat lembut dan sopan.
Setelah beberapa waktu berlalu, Bao Xiruo merasa bahwa ia telah mengacuhkan kehadiran pemuda itu, ia lalu bertanya, “Namamu siapa? Dari mana kau tahu kalau kami dalam kesulitan, dan kemudian datang membantu?”
“Aku bermarga Yan, namaku Lie.” kata pemuda itu. “Aku dan teman-teman cuma kebetulan lewat kemarin, kami lihat para prajurit itu bikin masalah. Kami tidak suka, jadi kami membantu. Siapa sangka ternyata aku menolong penyelamatku. Sepertinya kita ditakdirkan bertemu dengan cara seperti ini.”
Waktu mendengar kalimat ‘kita ditakdirkan’ wajah Bao Xiruo, ia berusaha mengabaikan pemuda itu dan memalingkan muka ke arah lain. Ia memikirkan masalah ini sejenak. Tiba-tiba sesuatu yang mencurigakan melintas di benaknya, ketika ia menemukan titik lemah dalam cerita pemuda itu. Ia berpaling dan bertanya, “Kau sekongkolan dengan para prajurit itu ya?”
“Aa.. apa?” Yan Lie terkesiap.
Bao Xiruo menjelaskan, “Waktu itu bukannya kau satu grup dengan para prajurit yang berusaha menangkap pendeta Tao itu? Itu sebabnya kau terluka kan?”
Yan Lie menjawab, “Hari itu aku sedang sial. Aku datang dari arah Utara dan sedang menuju Lin’an melewati desamu. Siapa sangka tiba-tiba sebuah anak panah muncul entah dari mana dan menancap di pundakku. Kalau kau tidak berbaik hati dan mau menolong, tentulah aku sudah mati sekarang, tanpa tahu apa dan bagaimana itu terjadi. Mau apa sih mereka menangkap pendeta Tao? Pendeta Tao kan menangkap hantu, tapi prajurit menangkap pendeta Tao, logika macam apa ini?” Sampai di sini ia tiba-tiba tertawa.
Bao Xiruo mengamatinya baik-baik. “Oh, jadi kau hanya kebetulan lewat dan bukan bagian dari mereka. Tadinya kukira kau salah satu orang yang berusaha menangkap pendeta Tao itu. Aku betul-betul tidak tahu apa sebenarnya aku harus menyelamatkanmu.”
Ia kemudian menjelaskan mengapa para prajurit itu ada di situ dan bagaimana Qiu Chuji membunuh mereka semua.
Setelah bicara agak lama, Bao Xiruo tiba-tiba sadar bahwa Yan Lie sedang menatapnya sambil terpesona dan ia mendadak berhenti bicara. Ini membangunkan Yan Lie. Ia tersenyum dan berkata, “Maaf, aku tadi sedang memikirkan bagaimana caranya kita bisa lolos tanpa ketahuan para prajurit itu.”
Bao Xiruo menangis dan menjawab, “Suamiku sudah tewas, bagaimana aku bisa terus hidup. Kau saja yang melarikan diri dan jangan pedulikan aku.”
Yan Lie menjawab dengan wajah kaku, “Fu Ren, suamimu tewas dibunuh bangsat-bangsat itu, dan kematiannya belum dibalas. Tapi kau tidak berusaha membawa bajingan-bajingan itu ke pengadilan, dan hanya cari mati. Waktu masih hidup suamimu adalah seorang pendekar. Rasanya dia tidak akan tenang kalau tahu soal ini di alam baka.”
Bao Xiruo menjawab, “Aku hanya seorang wanita lemah. Bagaimana mau membalas?”
Dalam kemarahannya, Yan Lie menjawab, “Beban Fu Ren, aku dengan senang hati akan ikut memikulnya di pundakku. Kau tahu siapa orang yang bertanggung jawab untuk masalah ini?”
Bao Xiruo berpikir sejenak dan menjawab, “Pemimpin pasukan itu namanya Duan Tiande, ia punya bekas sayatan pisau di dahinya, dan tanda lahir di wajahnya.”
Yan Lie menjawab dengan serius, “Dengan adanya nama dan cara mengenalinya, seberapa jauh pun dia melarikan diri, kita akan menyeretnya ke pengadilan!”
Ia keluar sebentar dan kembali dengan semangkuk bubur dan telur asin. Ia bicara lagi, “Kalau kau tidak peduli pada kesehatanmu, bagaimana kamu mau membalas dendam?”
Bao Xiruo merasa omongannya sangat masuk akal, jadi ia mengambil bubur itu lalu mulai makan perlahan-lahan.
Pagi berikutnya Bao Xiruo bangkit dari tempat tidur dan merapikan bajunya. Ia menyisir rambut sepantasnya di depan cermin, menemukan seperangkat baju putih dan menyelipkan sekuntum bunga putih di rambutnya sebagai tanda penghormatan kepada suaminya. Yang di lihatnya di depan cermin adalah seorang wanita cantik di puncak kehidupannya, namun demikian suaminya telah meninggalkan dia terlebih dahulu.
Diliputi kesedihan dan kesepian, ia menundukkan kepalanya dan mulai menangis. Yan Lie masuk dan melihatnya. Ia berkata dengan lembut, “Para prajurit sudah pergi sekarang, ayo kita pergi.”
Yan Lie memberi beberapa tail perak kepada pemilik rumah dan mengeluarkan dua ekor kuda. Kuda yang ditunggangi Bao Xiruo kena panah waktu itu, tapi Yan Lie sudah merawatnya baik-baik.
“Kita sekarang mau kemana?” tanya Bao Xiruo.
Yan Lie menatapnya, memberi tanda supaya jangan bicara terlalu banyak di depan orang lain. Ia membantunya naik ke atas kuda, dan mereka berdua menuju ke arah Utara. Setelah berjalan beberapa li Bao Xiruo bertanya lagi, “Kita mau kemana?”
Yan Lie menjawab, “Kita cari tempat yang tenang dulu untuk sementara, dan menunggu badai reda. Setelah tentara berhenti melacak kita dan mengendorkan pengawasan, aku akan mencari jenazah suamimu dan kita akan menguburkannya dengan layak. Setelah itu aku akan mencari si keparat Duan Tiande itu, dan membunuhnya.”
Bao Xiruo orang yang sangat lembut dan tidak mementingkan diri sendiri. Ia jarang sekali punya pendapat pribadi. Ditambah lagi, saat ini ia merasa sangat sendirian di dunia ini. Ia melihat bahwa Yan Lie bisa mengatur segala hal dengan rapi, ia merasa sangat terharu. Ia berkata, “Yan Xiansheng, aku tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikanmu.”
YanLie menjawab dengan mantap, “Fu Ren, hidupku ini adalah karena diselamatkan oleh Fu Ren. Meskipun aku harus melompat masuk ke dalam minyak mendidih, atau hancur jadi debu, aku akan terus melayanimu seumur hidupku.”
Bao Xiruo menjawab, “Aku hanya berharap kita bisa segera membalas kematian suamiku dan membunuh Duan Tiande secepat mungkin, supaya aku bisa segera mengikuti suamiku ke alam lain.” Ketika ia berpikir sampai di sini, air mata mulai menetes di pipinya.
Mereka berkuda sepanjang hari dan kemudian berhenti di sebuah penginapan kecil di Chang’an. Yan Lie mendaftarkan diri mereka sebagai pasangan, dan hanya memesan sebuah kamar. Bao Xiruo merasa ada yang salah di sini. Ia tidak bicara apa-apa saat makan malam, dan ia diam-diam menyentuh pisau yang diberikan Qiu Chuji untuk memastikan pisau itu tetap ada. Ia bertekad, “kalau ternyata dia mau macam-macam, aku akan langsung bunuh diri.”
Yan Lie memesan dua tumpukan jerami kepada pelayan kamar. Ia menunggu sampai pelayan itu keluar, lalu mengatur jerami itu di lantai sebagai alas tidur. Ia berbaring di atas tumpukan jerami dan menyelimuti diri dengan selimut kulit. Ia menoleh ke Bao Xiruo dan berkata, “Selamat malam, Fu Ren.” Ia memejamkan matanya.
Jantung Bao Xiruo berdegup kencang. Teringat akan suaminya yang tewas, ia merasa hancur di dalam. Ia duduk di situ selama satu jam lebih, sebelum menghela nafas dan meniup lilin. Sambil tetap mencengkeram pisaunya, ia merangkak ke tempat tidur dengan pakaian lengkap.
Ketika ia bangun keesokan harinya, Yan Lie sudah berkemas dan menyiapkan semuanya, dan sudah memesan sarapan untuk mereka berdua. Ia sangat berterima kasih untuk semua kebaikan Yan Lie, dan mulai mengendorkan kekuatirannya. Saat mereka sarapan, ia melihat ada mie ayam goreng, ham, sosis, ikan asap, seporsi nasi harum, dan juga bubur kaldu.
Bao Xiruo tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga menengah. Meskipun menikah dengan Yang Tiexin, ia sudah terbiasa dengan kehidupan petani. Menu sarapannya yang biasa adalah sayur asin dan telur asin. Kecuali Tahun Baru dan acara perkawinan, ia tidak pernah makan makanan semewah itu. Akhirnya ia merasa kurang nyaman saat sarapan.
Setelah selesai makan, pelayan kamar datang membawa bungkusan. Saat itu Yan Lie sudah meninggalkan kamar. “Apa ini?” tanya Bao Xiruo.
Pelayan itu menjawab, “Gong Zi keluar segera setelah matahari terbit. Dia membeli pakaian baru untuk Fu Ren. Dia menyuruhku mengantarkan pakaian ini supaya Fu Ren bisa ganti pakaian.” Setelah bicara ia meletakkan bungkusan itu di atas meja, lalu keluar.
Bao Xiruo membuka bungkusan itu, dan ia terkejut. Isinya ternyata seperangkat pakaian berkabung warna putih terbuat dari sutra, sepasang kaus kaki putih, sepatu putih, pakaian dalam, dan juga jaket putih. Termasuk di dalamnya juga syal, pengikat rambut, dan aksesori lainnya. Semuanya berwarna putih. Ia berpikir, “Agak sulit untuk pemuda seperti dia kalau harus memikirkan semuanya.” Ketika ia ganti pakaian dengan memakai semua bahan yang dibeli Yan Lie, ia agak tersipu. Ia meninggalkan rumah dalam keadaan terburu-buru di tengah malam. Setelah mengalami petualangan tak terduga yang sangat tidak menyenangkan, ia dipenuhi debu dan keringat. Sekarang setelah sedikit membersihkan diri, semangatnya mulai bangkit. Ketika Yan Lie kembali, diperhatikannya bahwa pemuda itu juga sudah berganti pakaian dengan memakai setelan berwarna yang terlihat mewah.
Mereka berdua berangkat lagi. Di sepanjang jalan kadang-kadang salah satu ada di depan, kedang-kadang mereka berdampingan. Musim semi sedang ada di puncaknya di sebelah Selatan Sungai Yangtze. Pohon willow melambai ke bahu orang di sepanjang jalan, semerbak aroma bunga memenuhi udara dan hati manusia. Saat itu tanaman mulai tumbuh di sawah-sawah.
Untuk mengalihkan perhatian Bao Xiruo dari kesedihannya, Yan Lie terus mengajaknya bicara mengenai topik-topik lain sekenanya. Ayah Bao Xiruo adalah seorang pelajar yang tidak berprestasi dari desa kecil. Suami, dan juga saudara angkatnya, sama-sama adalah orang yang cenderung blak-blakan dan kurang mengerti sopan-santun pergaulan. Ia belum pernah bertemu dengan orang yang penuh sopan-santun, terpelajar, lembut, dan berpengetahuan luas seperti Yan Lie. Waktu mereka bicara, Bao Xiruo merasa bahwa semua ucapannya, setiap kata, setiap kalimat, adalah sangat cerdas dan menggugah pikiran. Ia tidak bisa, tapi diam-diam mulai, memandangnya dengan kagum.
Namun demikian, ternyata mereka terus berjalan ke arah Utara, dan mereka makin lama makin jauh dari Lin’an. Tak hanya itu, ia juga tidak sekalipun menyinggung soal balas dendam dan topik mengenai penguburan jenazah suaminya. Akhirnya, ia tidak tahan lagi dan bertanya, “Yan Xiansheng, bagaimana rencanamu mengenai jenazah suamiku?”
Yan Lei menjawab, “Aku bukannya tidak mau mencari jenazah suamimu dan memberikan upacara penguburan selayaknya. Tapi aku membunuh sejumlah prajurit pemerintah waktu menolongmu. Saat ini sangat berbahaya buat aku di situ. Begitu aku muncul di sekitar Lin’an, para prajurit pasti akan langsung membunuhku. Selain itu sekarang ini para prajurit itu berkeliaran di semua tempat untuk mencari Fu Ren. Bagaimanapun juga, suamimu memang membuat kejahatan dengan membunuh prajurit pemerintah. Ini kejahatan besar. Kalau keluarganya sampai ditemukan, para pria akan dieksekusi mati, para wanita akan dijadikan pelacur untuk memuaskan prajurit. Bagi aku mati bukan apa-apa, tapi kalau aku tidak ada, dan sampai tentara menangkap Fu Ren, aku tidak bisa membayangkan bagaimana konsekuensinya. Sampai di alam baka sekalipun aku akan merasa sedih sekali.” Bao Xiruo melihat betapa jujur dan tulusnya dia. Ia mengangguk. Yan Lie melanjutkan, “Aku sudah memikirkan masalah ini berkali-kali. Yang terpenting adalah menguburkan suamimu. Jadi kita harus pergi ke Jiaxing, supaya aku bisa dapat uang, dan menyuruh orang untuk mengurus hal itu. Kalau Fu Ren ingin melakukannya sendiri, maka aku akan mengatur supaya Fu Ren bisa tinggal dengan tenang di Jiaxing, dan aku akan pergi sendirian menangani masalah ini.”
Bao Xiruo merasa agak keterlaluan kalau memintanya mengambil resiko sendiri. Ia lalu menjawab, “Kalau kau bisa mencari orang yang bisa diandalkan untuk mengurus masalah ini, aku rasa itu jalan terbaik.” Ia melanjutkan, “Suamiku punya saudara angkat, namanya Guo Xiaotian, dia tewas demi suamiku. Aku minta maaf harus merepotkanmu, kalau bisa juga minta tolong berikan penguburan selayaknya untuk dia juga. Aku… aku…” ia terisak.
“Itu sama sekali tidak sulit.” kata Yan Lie. “Serahkan saja kepadaku. Kalau soal balas dendam, si bangsat Duan Tiande itu adalah pejabat pemerintah, membunuhnya bukan soal gampang. Lagipula, ia akan sangat hati-hati sekarang ini. Yang bisa kita lakukan adalah menunggu waktu yang tepat dengan sabar.”
Bao Xiruo ingin membalas dendam atas tewasnya Yan Tiexin, lalu mengikutinya ke alam baka. Meskipun setiap patah kata uraian Yan Lie kedengarannya benar, ia tidak tahu kapan semua itu akan terlaksana. Dalam keadaan putus asa dan tidak sabar, ia menangis keras. sambil terisak ia berkata, “Aku sungguh tidak tahu soal balas dendam. Bahkan seorang pendekar seperti suamiku tidak bisa mengalahkan dia. Aku… aku hanya perempuan lemah, apa… apa yang bisa kulakukan… Biarkan saja aku mati, dan ikut suamiku, dan selesailah sudah semuanya.”
Merasa bahwa situasinya sungguh sangat sulit, Yan Lie diam sejenak, lalu ia bertanya, “Fu Ren, kau percaya kepadaku?” Bao Xiruo mengangguk. Yan Lie melanjutkan, “Satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang adalah menuju ke Utara untuk menghindari prajurit. Para pejabat Song tidak bisa mengejar kita kalau kita ada di Utara. Segera setelah kita menyeberangi Yangtze, mustinya kita sudah keluar dari bahaya. Kita tunggu sampai situasi agak dingin baru kembali ke Selatan untuk membalas dendam. Fu Ren, yakinlah bahwa aku akan menuntut segala masalah keadilan bagi suamimu.”
Bao Xiruo ragu-ragu, “Aku sekarang tidak punya rumah dan keluarga di dunia ini. Kalau tidak mengikuti jejak suamiku, bagaimana mungkin seorang perempuan seperti aku bisa hidup tenang di dunia ini. Wajah para prajurit yang mengepung aku malam itu sangat buas. Kalau aku sampai jatuh ke tangan mereka, aku akan mengalami nasib yang jauh lebih mengerikan daripada mati. Dan lagi orang ini bukan keluarga atau teman, masa seorang janda jalan-jalan bersama dengan pemuda seperti dia? Kalau aku mencoba bunuh diri sekarang, dia pasti akan berusaha mencegahku.” Ia merasa bingung. Satu-satunya hal yang pasti baginya adalah bahwa masa depan pasti sangat sulit. Berpikir bolak-balik ke depan dan belakang seperti ini membuatnya merasa seperti diputar-putar di dalam. Selama berhari-hari sebelumnya ia terus-terusan meneteskan air mata. Sekarang ia sudah kehabisan air mata.
Yan Lie angkat bicara, “Kalau Fu Ren merasa ada bagian dari rencanaku yang kurang sesuai, tolong katakan saja. Tidak ada yang tidak akan kulakukan untuk Fu Ren.”
Melihat betapa dia sangat mendukung, Bao Xiruo merasa tidak enak karena ragu-ragu. Selain bunuh diri, rasanya ia tidak bisa menemukan jalan keluar lain. Merasa tidak punya pilihan lain, ia menundukkan kepala dan berkata, “Kau saja yang mengurusnya.”
Yan Lie sangat gembira, “Aku akan selalu berterima kasih Fu Ren sudah menyelamatkan aku. Fu ren…” Bao Xiruo memotongnya, “Kau tidak perlu lagi menyebut soal itu.”
Yan Lie buru-buru menjawab, “Ya, ya, tentu.”
Malam itu, mereka berhenti di sebuah penginapan di kota Xiashi, dan masih memesan hanya satu kamar. Sejak Bao Xiruo setuju untuk mengikuti dia ke Utara, sikap Yan Lie tidak lagi selembut dan sesopan sebelumnya. Kadang-kadang luapan kegembiraannya bisa agak keterlaluan. Bao Xiruo samar-samar merasa ada sesuatu yang sepertinya kurang pantas. Tapi karena ia tidak menunjukkan sedikitpun tanda-tanda kurang ajar, maka ia kemudian berpikir bahwa pemuda itu hanya agak terlalu senang karena punya kesempatan menunjukkan rasa terima kasihnya.
Mereka berdua sampai di Jiaxing sekitar tengah hari sehari kemudian, Jiaxing adalah kota besar di bagian Barat Zhejiang. Karena kota ini adalah pusat lalu-lintas perdagangan dari berbagai penjuru, maka kota ini selalu makmur. Ketika Dinasti Song pindah ke Selatan, Jiaxing jadi makin dekat dengan ibukota, karena itu jadi semakin makmur dan ramai.
Yan Lie mengusulkan untuk mencari penginapan dan istirahat sebentar. Tapi Bao Xiruo berkata, “Sekarang masih siang, apa masih sempat jalan-jalan.”
“Pakaian Fu Ren sudah lama dan lusuh.” kata Yan Lie. “Toko-toko di sini tidak jelek. Kita harus beli pakaian baru.”
Jawaban ini mengejutkan Bao Xiruo, ia perlu waktu sebentar untuk menenangkan diri dan menjawab, “Bukannya baru beli kemarin? Bagaimana bisa lama dan lusuh?”
Yan Lie menjawab, “Terlalu banyak debu di sepanjang jalan, baju yang dipakai dua hari sudah tidak lagi cerah warnanya. Lagipula, orang secantik Fu Ren apa tidak layak memakai pakaian terbaik di dunia?”
Mendengar Yan Lie memuji kecantikannya, Bao Xiruo diam-diam merasa senang, tapi ia menundukkan kepala dan berkata, “Aku sedang dalam suasana…”
“Oh ya, tentu, aku mengerti.” kata Yan Lie.
Bao Xiruo tidak bicara lagi. Suaminya belum pernah memuji kecantikannya seperti ini. Ia mencuri pandang ke arah Yan Lie, dan hanya menemukan ketulusan di wajahnya. Seketika itu hatinya terguncang, tapi ia tidak tahu karena sedih atau bahagia.
Di Jiaxing, Yan Lie bertanya soal akomodasi, dan ia diarahkan ke sebuah penginapan terbesar di kota itu. Setelah mandi, YanLie dan Bao Xiruo menikmati makanan kecil bersama, duduk saling berhadapan. Bao Xiruo sebetulnya ingin meminta kamar terpisah, tapi ia tidak tahu harus bilang apa. Air mukanya berubah beberapa kali karena soal ini sudah jadi beban berat di hatinya. Tak lama kemudian, Yan Lie bicara, “Fu Ren, anggap saja ini rumah sendiri. Aku keluar sebentar, aku akan segera kembali.”
Bao Xiruo mengangguk. “Jangan terlalu banyak buang uang.” katanya.
“Sayangnya Fu Ren sedang berkabung, jadi tidak bisa pakai perhiasan. Kalaupun aku ingin buang lebih banyak uang juga tidak bisa.” kata Yan Lie.
- Xiong Di
- (兄弟) Arti literalnya adalah 'Adik laki-laki'.
- Insiden Jing Kang
- Jin Kang Shi Bian (靖康事變), inti peristiwa adalah ditawannya mantan Kaisar Hui Zong, dan Kaisar Qin Zong yang sedang berkuasa saat itu, dan akhirnya membuat Kekaisaran Song kehilangan separuh wilayah mereka, dan Jendral Yue Fei dihukum mati. Jendral Yue Fei adalah pujaan rakyat Song.
- Da Sao
- (大嫂) Kakak ipar perempuan, istri dari kakak laki-laki.
- Gong Zi
- (公子), istilah umum untuk menyapa seorang pria muda terhormat atau dari keturunan ningrat. Seorang pelayan bisa jadi akan meyapa anak majikan mereka dengan istilah ini, setara dengan 'Tuan Muda'.
- Xian Sheng
- Istilah Xiānshēng (先生), biasa digunakan untuk menyapa seorang pria terpelajar, terhormat, atau berkedudukan tinggi. Ini bisa dianggap setara dengan sapaan 'Sir' atau 'Mister' dalam bahasa Inggris. Perbedaannya dengan Gong Zi adalah, Xiansheng tidak melambangkan seorang bangsawan. Seorang pria yang sudah jelas bangsawan biasanya tidak akan dipanggil Xiansheng.
- Fu Ren
- (夫人) setara dengan 'Bu'atau 'Nyonya', umumnya dipakai untuk menyapa seorang wanita yang sudah menikah.
-
Dào Zhang (道长, bisa juga ditulis Dào cháng) adalah panggilan umum untuk seorang pendeta Tao, terlepas dari jabatan yang dipegangnya dalam sebuah perguruan, organisasi, ataupun hirarki kepemimpinan Tao lainnya. ↩
-
Narasi di atas diikuti oleh sebuah anekdot dari rakyat Song tentang senjata yang dipakai itu, tetapi saya tidak melihat bagaimana cara kelucuan tersebut bisa diterjemahkan dengan baik ke dalam bahasa Indonesia. Tetapi kesimpulan akhir dari anekdot tersebut cukup penting. Intinya adalah: Karena beratnya, sekali senjata tersebut menghujam ke bawah, yang bisa dipakai untuk menangkis hanyalah batok kepala kita sendiri. Artinya adalah mati. ↩