Ketika Huang Rong pulang ke penginapan malam itu, ia berpikir bahwa ia baru saja berbuat baik, dan ia merasa teramat sangat senang. Seiring dengan hal itu, ia tertidur pulas dan nyaman, lalu menceritakan semuanya kepada Guo Jing pada saat ia bangun keesokan harinya. Guo Jing sebelumnya telah menghabiskan banyak energi untuk menangani masalah itu. Yang terakhir, ia terjebak dalam situasi kacau dan harus bertempur mati-matian dengan Wanyan Kang, dan ia juga nyaris terpaksa harus menikahi Mu Nianci. Ketika mendengar bahwa Mu Nianci dan Yang Kang saling mencintai, diam-diam ia merasa sangat lega dan bahagia, terutama sekali karena baik Qiu Chuji maupun Enam Orang Aneh dari Jiangnan tidak akan bisa lagi memaksanya menikahi Mu Nianci. Ia mengobrol santai sambil sarapan bersama Huang Rong, dan setelah menunggu beberapa lama, Mu Nianci masih juga belum kembali.

Huang Rong tersenyum dan berkata, “Kita tidak harus menunggu dia.” Setelah itu ia kembali ke kamarnya dan memakai penyamaran sebagai pria. Mereka berdua pergi ke pasar untuk membeli keledai, lalu pergi ke kediaman keluarga Jiang. Ketika melihat lentera di pintu masuk, yang bertuliskan ‘Duta Besar Kekaisaran Jin’ pecah, mereka berpikir bahwa Wanyan Kang pasti sudah pergi, dan Mu Nianci pasti mengikuti dia.

Guo Jing dan Huang Rong memutuskan untuk berjalan-jalan di pedesaan dan mendayung perahu di sepanjang Da Yun He. Hari itu mereka mengunjungi kota Yixing yang terkenal sebagai penghasil perabotan tembikar, jadi dianggap sebagai ‘ibukota tembikar’, atau Taodu. Barisan hasil kerajinan keramik (Zi Cha), yang terbuat dari tanah liat dan pasir ungu, berpadu dengan warna hijau perbukitan, dan birunya air, menciptakan pemandangan indah yang spektakuler. Mereka terus menuju ke Timur, dan tak lama kemudian mereka sampai di Danau Tai1. Karena danau itu terletak di antara tiga kota besar, maka mereka harus menempuh jarak sekitar 500 li untuk mencapai sisi Timur atau Selatan. Danau ini disebut juga Lima Danau. Guo Jing belum pernah melihat air dalam jumlah begitu besar sepanjang hidupnya, dan menarik tangan Huang Rong ke tepi danau. Mereka melihat langit yang sangat jauh dari empat mereka berdiri, sangat besar, seolah tak berujung, di hadapan mereka, dengan danau itu di tengahnya. Mereka tak kuasa menahan rasa ingin bersorak gembira.

Huang Rong berkata, “Ayo kita bermain-main di danau sebentar.” Mereka menemukan perkampungan nelayan di dekat danau, meminjam perahu kecil dan menitipkan keledai di rumah pemilik perahu, sebelum mulai mendayung di atas air. Setelah mendayung cukup jauh dari tepian, ruang di antara keempat sudut danau itu terasa sangat lapang dan kosong, seolah seperti surga bagi mereka berdua.

Jubah Huang Rong berkibar-kibar tertiup angin, dan ia tersenyum, “Di masa lalu, Penasehat Fan menemani Xi Shi2 menyeberangi Lima Danau… betapa pintarnya dia. Posisinya sebagai pejabat bukan apa-apa dibandingkan kehidupan tenang dan damai di sini.”

Guo Jing tidak mengerti cerita tentang Penasehat Fan, ia berkata, “Rong’er, coba ceritakan tentang Penasehat Fan.”

Huang Rong menceritakan bagaimana Penasehat Fan membantu misi Raja Goujian dari Yue untuk membalas kekalahan negeri mereka dari Kerajaan Wu. Kisah tersebut berakhir dengan bahagia, di mana Fan Li bersama dengan Xi Shi yang sukses dalam melaksanakan misi mereka, kemudian mengundurkan diri ke Danau Tai, dan menjalani hidup dalam damai. Ia meneruskan cerita itu dengan bagaimana Wu Zixu dibunuh oleh Raja Fuchai dari Wu, dan Wen Zhong dibunuh oleh Raja Goujian dari Yue3.

Guo Jing bingung setelah mendengar cerita Huang Rong. Setelah agak lama barulah ia menarik kesimpulan. “Fan Li memang pintar, tetapi Wu Zixu dan Wen Zhong juga pantas dikagumi, karena mereka siap mati untuk negara.” katanya.

Huang Rong tertawa. “Betul sekali. Seperti pepatah: Kalau negara baik, dan orang tidak berubah, dialah yang terkuat. Kalau negara korup, dan dia tetap tidak berubah, maka dia tetap yang terkuat.”

“Apa maksudnya itu?” tanya Guo Jing.

“Kalau negara kuat,” kata Huang Rong menjelaskan, “meskipun orang bisa mencapai puncak karir sebagai pejabat, orang itu masih tetap akan waspada dan berhati-hati seperti sebelumnya. Ketika negara suatu hari menjadi lemah, dan kau masih tetap bersedia mati demi negaramu, maka kau adalah pahlawan sejati.”

Guo Jing menganggukkan kepala dan berkata, “Rong’er, kau pintar sekali bisa berpikir seperti ini.”

Huang Rong menanggapi, “Haiyaa! Kalau aku bisa berpikir seperti ini, maka aku pastilah Orang Bijak. Itu kata-kata Konfusius, yang diajarkan ayahku ketika aku masih kecil.”

Guo Jing menghela napas. “Banyak sekali urusan yang tidak bisa kupahami. Kalau aku membaca lebih banyak buku, dan memahami lebih banyak kata-kata bijak, barangkali aku bisa lebih mengerti.”

Huang Rong berkata, “Hal itu belum tentu selalu benar. Ayahku selalu bilang bahwa ucapan para Orang Bijak dan Sastrawan tak lebih dari sampah dan omong kosong. Aku sering melihat ayahku membaca dan kemudian bicara keras-keras, “Bukan, bukan! Ini semua omong kosong! Sungguh mengerikan!” Kadang-kadang ia juga bilang, “Apanya yang bijak? Ini hanya bungkusan sampah!” Guo Jing tertawa keras-keras mendengar cara Huang Rong menceritakan ayahnya.

Huang Rong melanjutkan, “Aku agak menyesal terlalu banyak belajar seni dan kaligrafi. Kalau aku tidak menyusahkan ayahku untuk mengajarkan begitu banyak hal-hal semacam itu, dan juga cara berhitung, maka aku pasti menyisihkan lebih banyak waktu untuk berlatih kungfu, dan kita tidak usah takut kepada orang semacam Mei Chaofeng dan juga Makhluk Tua Liang itu. Tapi jangan kuatir Jing Gege, kau sudah belajar Delapan Belas, kurang tiga, Jurus Penakluk Naga dari Qigong, dan kau tidak perlu takut kepada Makhluk Tua Liang itu lagi.”

Guo Jing menggelengkan kepalanya. “Kurasa itu tidak mungkin.”

Huang Rong tertawa dan berkata lagi, “Sayangnya Qigong sudah pergi. Kalau belum, aku akan menyita dan menyembunyikan tongkatnya, dan memaksanya mengajarkan sisa tiga jurus itu kepadamu, sebelum mengembalikannya lagi.”

Guo Jing buru-buru berkata, “Tidak, tidak! Aku sudah lebih dari puas bisa belajar lima belas jurus ini. Mana bisa kita menyusahkan Guru Qigong?”

Mereka mulai mengobrol dan berhenti mendayung, membiarkan angin menghanyutkan perahu itu dengan bebas. Tanpa sadar, mereka sudah jauh sekali dari tepi danau. Mereka melihat seorang nelayan sedang menangkap ikan dengan santai dari sebuah perahu tak jauh dari situ, dan juga ada seorang pelayan membantunya di dalam perahu.

Huang Rong menunjuk dengan jarinya. “Ketika kabut pergi, kita bisa melihat dengan jelas bentuk dari tongkat bambu. Itu seperti lukisan pemandangan dari cat air.”

Guo Jing bertanya, “Apa itu lukisan pemandangan dari cat air?”

Huang Rong menjelaskan, “Itu lukisan yang hanya menggunakan tinta hitam, tidak ada warna lain.”

Guo Jing melihat perbukitan hijau, air biru, awan putih, dan matahari oranye, tapi tidak bisa menemukan apapun yang berwarna hitam. Ia menggelengkan kepala, tidak bisa memahami maksud Huang Rong. Huang Rong masih terus mengobrol bersama Guo Jing. Kemudian ia melihat bahwa si nelayan masih duduk tegak di perahunya, tongkat kailnya sama sekali tidak bergerak. Huang Rong tertawa. “Orang ini punya kesabaran luar biasa.”

Angin bertiup menerpa mereka dan ombak kecil membuat perahu itu terayun-ayun. Huang Rong mengayun-ayunkan tangannya dan mulai menyanyikan lagu ‘Naga Air Bersenandung’, yang menceritakan kehidupan di danau. Setelah selesai menyanyikan bagian pertama, ia berhenti sejenak untuk beristirahat. Guo Jing melihat ada air mata berlinang di matanya, dan baru saja henak menanyakan apa makna lagu tersebut, ketika mereka mendengar ada suara melankolis menyanyikan lagu yang sama seperti yang baru dinyanyikan Huang Rong, tetapi ini adalah bait kedua. Ketika mereka melihat ke sekeliling, kelihatannya si nelayanlah orang yang menyanyikan lagu itu. Suaranya terdengar sangat kuat, namun lembut. Guo Jing tidak mengerti apa yang dinyanyikan oleh keduanya, tetapi ia merasa lagu itu sangat enak didengar. Namun demikian, ketika Huang Rong mendengar lagu itu, ia tampak sangat terkejut.

“Ada apa?” tanya Guo Jing.

“Ayahku sering menyanyikan lagu ini,” jawab Huang Rong. “Tak kuduga seorang nelayan biasa juga bisa menyanyikannya. Ayo kita lihat dia lebih dekat.” Mereka mendayung perahu mendekat, dan melihat si nelayan sedang duduk sambil memegang pancingnya dan mendayung perahunya maju. Ketika kedua perahu saling mendekat, si nelayan bertanya, “Karena kupikir aku cukup beruntung menemukan tamu istimewa, bolehkah aku undang kalian ke tempatku untuk minum?”

Huang Rong berpikir bahwa ucapan ini terdengar sangat teratur dan halus. Diam-diam ia merasa penasaran, ia menjawab, “Kami tidak ingin mengganggu Qianbei.”

Si Nelayan tertawa. “Tidak mudah menemukan tamu istimewa,” katanya. “Karena kita kebetulan bertemu di tengah danau, kita harus menghargainya. Silakan mampir sebentar.”

Kedua perahu semakin mendekat. Guo Jing dan Huang Rong mendayung perahu sejajar dengan perahu si nelayan, dan menyeberang masuk untuk menyapanya. Si Nelayan menyapa mereka sambil tetap duduk di tempatnya dan berkata, “Silakan duduk. Aku cacat, jadi tidak bisa berdiri menyambut kalian. Maafkan ketidaknyamanan ini.”

Guo Jing dan Huang Rong berkata, “Tidak apa-apa.”

Keduanya duduk sambil mengamati si nelayan. Ia berusia sekitar empat puluh tahun, dengan wajah kurus dan kelihatannya sakit. Ia sangat tinggi, meskipun sedang duduk, ia tetap satu setengah kepala lebih tinggi dari Guo Jing. Si pelayan di belakang perahu mulai menghangatkan arak.

Huang Rong berkata, “Kakakku bermarga Guo, dan wanbei sendiri bermarga Huang. Wanbei sangat gembira tadi, makanya bernyanyi di tengah danau, semoga tidak menyinggung perasaan Qianbei.”

Si Nelayan tertawa. “Aku sangat beruntung bisa mendengar suara yang begitu jernih. Margaku Lu. Xiong Di, ini pertama kalinya kalian ke danau ini?”

“Ya,” jawab Guo Jing.

Si Nelayan menyuruh pelayannya membawakan makanan dan arak untuk tamunya. Meskipun empat macam makanan itu tidak bisa dibandingkan dengan masakan Huang Rong, tapi mereka juga enak. Dan cawan arak serta piring yang dipakai untuk menghidangkannya terlihat sangat unik. Tak diragukan lagi, semua itu diambil dari koleksi terbaik.

Ketiganya mulai minum. Si Nelayan berkata, “Xiong Di, tadi kudengar kau menyanyikan lagu ‘Naga Air Bersenandung’, yang liriknya sangat sempurna. Cukup mengejutkan, meskipun Xiong Di masih sangat muda, tetapi bisa memahami makna yang sangat dalam dari lirik lagu itu.”

Ketika mendengar pujiannya, Huang Rong tersenyum kecil. “Sejak Song pindah ke Selatan, semua penulis lagu selalu menciptakan lirik yang bernada sedih mengenai negeri ini.”

S Nelayan mengangguk tanda setuju. Huang Rong melanjutkan, “Lagu lain yang berjudul ‘Enam Kota’ yang ditulis oleh Zhang Yuhu punya makna sama.”

Si Nelayan mulai menyanyikan lirik tersebut, “Ketika rakyat lewat, orang mulai menitikkan air mata tanda kesetiaan dan amarah…” Ia meneguk tiga cawan arak dan mulai terlibat pembicaraan dengan Huang Rong. Sebetulnya, Huang Rong hanya seorang gadis kecil, ia tentu tidak mengalami penderitaan nyata yang disebabkan oleh ‘negara kita’. Ia tidak sungguh-sungguh terlibat secara emosi dengan kedalaman makna lirik lagu tersebut. Hanya saja, ia pernah pendengar penjelasan ayahnya mengenai makna lirik itu, dan menggunakan kalimat ayahnya yang sangat canggih dan halus untuk menjawab pertanyaan si nelayan. Ini membuat si nelayan sangat kagum, yang setulus hati memujinya. Setelah mengobrol sejenak, ia melihat bahwa pemandangannya memudar, dan kabut di sekitar danau sepertinya menebal.

Si Nelayan berkata, “Rumahku tidak jauh dari danau ini, kalau kalian tidak keberatan, aku ingin mengundang kalian mampir supaya kita bisa berdiskusi lebih lama.”

Huang Rong bertanya, “Menurutmu bagaimana, Jing Gege?”

Guo Jing tidak sempat menjawab, karena Si Nelayan segera berkata lagi, “Rumahku dibangun dengan latar belakang perbukitan yang indah. Karena kalian berdua sedang berjalan-jalan keliling pedesaan, mengapa tidak mampir sebentar?”

Guo Jing merasa bahwa ia jujur dan sungguh-sungguh, maka ia menjawab, “Rong’er, kelihatannya kita harus merepotkan Lu Xiansheng.” Si Nelayan sangat senang, dan menyuruh pelayannya mendayung perahu pulang.

Ketika mereka tiba di tepi danau, Guo Jing berkata, “Aku harus mengembalikan perahu ini dulu, dan juga mengambil keledai dan kudaku.”

Si Nelayan tersenyum dan berkata, “Aku kenal baik semua orang di daerah ini. Kalian bisa membiarkan pemilik perahu itu menanganinya.” Sambil bicara ia memberi isyarat kepada pelayannya.

Guo Jing berkata, “Kudaku punya tabiat buruk, biar aku yang menanganinya sendiri.”

Si Nelayan berkata, “Baiklah kalau kau ingin begitu. Aku menunggu kalian di rumah.” Perahunya segera bergerak dan menghilang di kejauhan.

Para pelayan mengikuti Guo Jing dan Huang Rong untuk membereskan urusan mereka. Ia diberi perahu yang lebih besar oleh salah seorang penduduk desa, yang bisa menampung kuda dan keledai mereka. Enam orang tukang perahu mendayung perahu itu untuk mereka hingga akhirnya mereka tiba di bagian depan pulau. Mereka menghentikan perahu di sebuah dermaga yang terbuat dari batu hijau. Ketika tiba di tepian, mereka melihat pemukiman yang terdiri dari rumah kecil-kecil, yang membentuk sebuah areal perumahan besar. Mereka menyeberangi jembatan batu besar dan tiba di bagian depan perumahan itu. Guo Jing dan Huang Rong saling berpandangan, karena tidak menduga bahwa Si Nelayan tinggal di rumah yang semewah itu. Sebelum mereka mencapai pintu gerbang, mereka melihat seorang pria yang berusia sekitar dua puluh tahun menyambut mereka. Sekitar enam orang pelayan mengikuti di belakangnya. Pemuda itu berkata, “Ayahku mengirimku ke sini untuk menyambut tamu.”

Guo Jing dan Huang Rong membungkuk sebagai tanda terima kasih. Mereka melihat pemuda itu memakai jubah panjang dan raut mukanya mirip dengan Si Nelayan, kecuali bahwa ia nampak jauh lebih kuat dan kekar. Guo Jing bertanya, “Boleh aku tahu nama Saudara Lu?”

Pemuda itu menjawab, “Namaku Guanying, tolong panggil aku dengan nama ini saja.”

Huang Rong menjawab dengan sopan, “Wah, jangan, mana bisa begitu.”

Mereka bertiga mulai mengobrol sambil berjalan memasuki rumah. Guo Jing memperhatikan bahwa bagian dalam rumah itu ditata dan dihias dengan sangat indah dan rapi. Sementara berjalan, Huang Rong secara khusus memperhatikan tata letak dan jalan di situ. Ia terlihat agak heran.

Sementara mereka bertiga menyeberangi halaman depan dan memasuki ruang tamu, terdengar suara Si Nelayan dari balik tirai, “Silakan masuk.”

Lu Guanying berkata, “Ayahku tidak bisa berjalan, karena itu harus menerima kalian di ruang belajarnya, di sebelah timur.”

Ketiganya berjalan melewati tirai dan melihat bahwa pintu ruangn belajar itu terbuka, dan Si Nelayan sedang duduk di sebuah bangku panjang di dalamnya. Tetapi ia tidak lagi berdandan seperti seorang nelayan, melainkan seperti seorang sastrawan tua. Ia sedang memegang sebuah kipas bulu angsa di tangannya, dan sedang mengipasi diri dengan senang. Guo Jing dan Huang Rong masuk dan duduk, tetapi Lu Guanying tidak berani duduk, ia berdiri di salah satu sisi. Huang Ring melihat bahwa ruang belajar itu dipenuhi rak untuk literatur klasik dan koleksi puisi. Mejanya dihias dengan pernak-pernik berharga, seperti batu pualam antik, dan sebuah lukisan tinta hitam tergantung di dinding. Lukisan itu menggambarkan seorang sastrawan setengah baya yang sedang memperagakan sebuah jurus pedang di halaman belakang, di bawah sinar bulan. Tetapi ekspresi muka sastrawan itu terlihat kesepian. Di pojok kiri atas lukisan itu ada sebuah puisi.

Malam sunyi tanpa kicauan burung.
Sudah larut malam ketika aku tertidur pulas.
Aku bangun hanya untuk terus sendirian,
tak seorang pun hadir selain terang bulan di atas sana.
Seratus keping mendapat pengakuan dan sukses.
Bukit-bukit menua dan ranting-ranting layu menghalangi jalanku.
Banyak hal terkubur di dalamku namun tak seorang pun ingin mendengar,
kepada siapa aku bisa bercerita tentang masalahku?

Huang Rong mengenali puisi itu sebagai karya Yue Fei yang berjudul ‘Bukit Kecil Yang Kuat’, itu diajarkan kepadanya oleh ayahnya. Ia melihat tanda tangan di bagian bawah yang tertulis ‘Orang Cacat dari Lima Danau Sedang Sakit’, dan segera menyadari bahwa ‘Orang Cacat dari Lima Danau’ pastilah nama samaran dari pemilik perumahan ini. Guratan dari karakter-karakter itu tampaknya ditulis dengan kasar dan memaksa, dan sepertinya guratan itu merobek kertas yang menjadi kanvas lukisan itu.

Lu Xiansheng melihat bahwa Huang Rong sedang memperhatikan lukisan dan bertanya, “Xiong Di4, apa pendapatmu tentang lukisanku? Apa bisa memberikan sedikit petunjuk?”

Huang Rong menjawab, “Aku akan mengatakan pendapatku, tapi kuharap Lu Xiansheng tidak tersinggung atau marah.”

Lu Xiansheng berkata, “Silakan.”

Huang Rong berkata, “Puisi di atas lukisan itu adalah karya Yue Fei yang berjudul ‘Bukit Kecil Yang Kuat’, yang ditulisnya di dalam koleksi buku perangnya. Isinya menggambarkan suasana hati yang tertekan dan muram. Tetapi ada makna khusus di situ. Jendral Yue Fei adalah seorang pribadi yang berjiwa pemberani dan gagah, ia berjuang keras untuk rakyat dan negaranya. Baris yang berbunyi ‘Seratus keping mendapat pengakuan dan sukses’ barangkali menunjukkan kepribadiannya yang sederhana. Saat itu banyak pejabat yang korup, dan memihak Jin. Yue Fei adalah seorang pejabat kuat, tapi sayangnya tak seorang pun bersedia mendengarkan dia. Itu barangkali alasannya menulis ‘Banyak hal terkubur dalamku namun tak seorang pun ingin mendengar, kepada siapa aku bisa bercerita tentang masalahku?’ Baris itu menggambarkan Yue Fei yang putus asa, tapi itu belum tentu berarti ia ingin menentang pemerintah. Namun demikian, ketika Xiansheng menulis ini, Xiansheng dalam keadaan keadaann gelisah dan agresif, maka Xiansheng memakai cukup banyak tenaga dalam guratannya. Tampaknya seolah Xiansheng ingin memerangi seorang musuh bebuyutan, karenanya suasana hati dan tujuan Xiansheng tidak selaras dengan Yue Fei pada saat dia menulis buku perangnya. Maafkan kelancanganku, tetapi sepengetahuanku kalau orang berusaha terlalu keras untuk mencapai atau mengekspresikan secara berlebihan di dalam sebuah karya seni, maka niat yang murni dan benar akan hilang, dan hasilnya tidak akan bisa cemerlang.”

Ketika Lu Xiansheng mendengar apa yang dikatakan Huang Rong, ia menghela napas panjang. Ia terlihat sedih dan diam. Huang Rong melihat reaksinya yang tidak biasa dan berpikir, “Sepertinya aku bicara terlalu langsung dan menyinggung perasaannya, tapi itu semua yang diajarkan ayah waktu dia menjelaskan makna puisi ini.”

Ia berkata, “Zaixia terlalu bodoh dan mengumbar omong kosong, tolong maafkan zaixia, Lu Xiansheng.”

Lu Xiansheng agak pulih dan air mukanya berubah cerah. Ia berkata sengan senang, “Huang Xiongdi, harap jangan bicara begitu. Kau orang pertama yang sungguh-sungguh bisa membaca perasaanku. sungguh sangat luar biasa. Mengenai penggunaan ekspresi berlebihan, mungkin itu salah satu kebiasaanku yang terburuk. Aku harus berterima kasih karena kau menunjukkannya.” Ia berpaling kepada putranya dan berkata, “Cepat suruh pelayan menyiapkan hidangan.”

Guo Jing dan Huang Rong buru-buru menunjukkan rasa terima kasihnya. “Tolong jangan repot-repot.” Tapi Lu Guangying sudah menghilang dari ruangan itu.

Lu Xiansheng berkata, “Xiongdi sangat bijak dan berpengetahuan luas, kau pasti menguasai semua pelajaran klasik tingkat tinggi. Ayahmu pasti seorang guru yang pintar. Entah aku boleh tahu tidak siapa namanya?”

Huang Rong menjawab, “Zaixia tidak terlalu banyak tahu, jadi tidak pantas menerima pujian itu. Ayahku hidup menyendiri dan tidak punya murid, maka namanya juga tidak dikenal.”

Lu Xiansheng menghela napas, “Sungguh sayang tidak bisa ketemu orang yang sangat berbakat.”

Setelah perjamuan mereka kembali ke ruang belajar untuk melanjutkan obrolan. Lu Xiansheng berkata, “Pemandangan di luar adalah salah satu dari yang terbaik. Kenapa kalian berdua tidak menginap di salah satu rumah di sini untuk menikmatinya? Dan lagi, sekarang ini sudah mulai malam, sudah waktunya untuk beristirahat.”

Guo Jing dan Huang Rong bangkit dan berpamitan. Huang Rong hendak meninggalkan ruangan ketika ia tiba-tiba mendongak dan melihat delapan keping potongan besi yang dipasang di ambang pintu ruangan itu. Kepingan potongan besi itu disusun menurut aturan ‘Delapan Diagram’5, tapi tidak serapi susunan biasanya. Potongan-potongan besi itu disusun dengan agak ngawur dan berantakan. Jantung Huang Rong terasa agak berdebar, tapi ia tidak menunjukkan ekspresi apa-apa dan mengikuti Guo Jing ke kamar tamu.

Kamar tamu didekorasi dengan cara yang elegan, kedua tempat tidur saling berhadapan, bantal dan seprainya bersih.

Pelayan yang melayani mereka berkata, “Kalau Gong Zi berdua membutuhkan sesuatu, silakan membunyikan lonceng di sebelah tempat tidur itu, aku akan datang. Harap ingat, jangan meninggalkan ruangan.” Setelah mengatakannya, ia menginggalkan kamar dan menutup pintu dengan hati-hati.

Huang Rong bertanya dengan suara rendah, “Kau lihat ada sesuatu yang aneh tidak mengenai tempat ini? Kenapa mereka meminta kita tidak meninggalkan kamar?”

Guo Jing berkata, “Perumahan ini sangat luas, dan jalan-jalannya rumit, mungkin mereka takut kita tersesat kalau sembarangan melangkah.”

Huang Rong tertawa. “Perumahan ini tata letaknya tidak biasa,” katanya. “Menurutmu orang macam apa Lu Xiansheng itu?”

Guo Jing menebak, “Mungkin pensiunan pejabat?”

Huang Rong menggelengkan kepalanya. “Orang ini tak diragukan lagi punya kungfu yang tinggi. Apa kau tidak lihat ada simbol ‘Delapan Diagram’ tadi?”

“Apa itu Delapan Diagram?” tanya Guo Jing.

“Itu digunakan untuk melatih Jurus Mendorong Angin,” jawab Huang Rong. “Ayah mengajarkan teknik ini, tapi aku bosan, jadi hanya belajar sebulan. Sama sekali tak kuduga aku akan menemukannya di sini.”

Guo Jing berkata, “Lu Xiansheng tidak berniat jahat. Karena dia tidak menyebut apa-apa soal ini, ya kita pura-pura tidak tahu saja.”

Huang Rong mengangguk sambil tersenyum. Ia mendorong dengan telapak tangannya, dan api lilin pun padam seiring dengan suara angin lembut yang meniupnya.

Terdengar suara orang bersenandung di kejauhan, di tengah malam itu, membangunkan Guo Jing dan Huang Rong yang sebelumnya tertidur pulas. Mereka berusaha mendengar lebih teliti dan suara itu memang terdengar lagi, mirip suara yang ditiup melalui sebuah kulit kerang. Setelah jeda beberapa saat, lalu terdengar lagi. Kali ini jelas bahwa ada lebih dari satu orang yang membuat suara itu, karena kedua suara itu terdengar bersamaan. Kelihatannya ada dua orang yang terpisah sedang saling memberi isyarat melalui tiupan kulit kerang. Huang Rong berbisik, “Ayo kita keluar dan melihat ada apa!”

Guo Jing berkata, “Ayo kita tidak keluar, dan cari masalah!”

Huang Rong membantah, “Siapa bilang cari masalah? Aku cuma bilang kita keluar untuk cari tahu sebenarnya ada apa.”

Mereka mendorong jendela pelan-pelan, dan melihat ke luar. Mereka melihat ada banyak orang sedang berlarian dengan lentera di tangan, tetapi tidak ada tanda-tanda mengapa mereka berlarian. Huang Rong mendongak dan melihat samar-samar ada tiga sampai empat sosok manusia sedang berjongkok di atas atap rumah terdekat. Cahaya dari lentera sempat menerangi sekilas sosok mereka, dan Huang Rong sempat melihat kilau dari senjata yang mereka pegang sedang bergerak. Setelah beberapa saat, sekumpulan pelayan keluar dari dalam perumahan. Huang Rong sangat penasaran dan menarik Guo Jing ke sisi jendela. Ia celingukan untuk memastikan tidak ada orang di sekitar situ, lalu melompat dengan ringan ke luar, sehingga orang-orang yang sedang di atap tidak menyadari kehadiran mereka.

Huang Rong memberi isyarat kepada Guo Jing supaya berjalan mundur. Jalan setapak di areal pemukiman itu berkelok-kelok dan rumit. Yang paling tidak umum adalah, pilar dan pagar di setiap belokan tampak sama persis. Setelah beberapa belokan orang tidak akan bisa membedakan arah. Kendatipun begitu, Huang Rong tidak nampak mengalami kesulitan sama sekali, ia berjalan kesana-kemari tanpa terlihat kuatir atau curiga. Beberapa kali kelihatannya mereka seolah-olah tidak ada jalan, tetapi ia selalu bisa mengenali batu palsu dan berputar melewatinya. Atau ia hanya sekedar berputar melewati semak-semak bunga, dan mereka akan kembali ke jalan utama. Kadang-kadang sepertinya mereka menemui jalan buntu, tapi dengan salah satu cara, ternyata mereka selalu dapat melewati deretan pohon besar. Kadang-kadang ada jalan yang melewati mulut sebuag gua, tetapi Huang Rong tidak masuk ke situ. Sebaliknya, ia hampir selalu secara ajaib menemukan pintu tersembunyi di balik dinding dan mendorongnya. Semakin jauh Guo Jing berjalan, ia jadi semakin penasaran. “Rong’er, jalan-jalan di tempat ini sungguh-sungguh aneh. Bagaimana kau bisa selalu menemukan jalan yang tepat?”

Huang Rong memberi isyarat supaya ia diam. Setelah tujuh sampai delapan tikungan selanjutnya, mereka tiba di dinding halaman belakang. Huang Rong mengamati dinding itu sambil menggunakan jarinya untuk menghitung, lalu berjalan sambil menghitung langkahnya. Guo Jing mendengarnya bergumam, “Mula-mula membentuk tiga garis, ketiga siapkan, kelima tambahkan, ulangi yang ketujuh…” dan ia sama sekali tidak mengerti sepatah kata pun.

Huang Rong menghitung sambil berjalan, dan setelah hitungan tertentu, ia berhenti di jalurnya sambil berkata, “Kita hanya bisa lewat melalui titik ini, semua tempat lainnya dipenuhi jebakan.”

Ia melompat ke atas dinding itu dan Guo Jing mengikutinya. “Tempat ini dibangun menurut enam puluh empat lapisan, dan semuanya tersembunyi. Ayahku adalah ahli dalam pola semacam ini. Untuk membangunnya orang harus merancang delapan rute yang berbeda-beda. Lu Xiansheng bisa menyesatkan orang lain, tapi dia tidak bakalan bisa menyesatkan aku.” Nada bicaranya mengandung kebanggaan diri.

Keduanya mendaki dua gundukan tanah yang terletak di belakang dan mengawasi arah timur. Mereka melihat seseorang berjalan ke arah danau dengan lentera dipegang tinggi-tinggi. Huang Rong menarik lengan jubah Guo Jing, dan keduanya segera melayang ke depan menggunakan ilmu meringankan tubuh mereka. Setelah mendekat, nereka memperhatikan barisan perahu nelayan yang berada di tepi danau. Sekelompok orang menaiki perahu-perahu itu perlahan-lahan, dan setelah tiba di atasnya mereka segera mematikan lentera. Guo Jing dan Huang Rong menunggu sampai kelompok terakhir naik ke perahu, dan semua lentera padam, sebelum melompat ke bagian belakang sebuah perahu besar. Setelah mendengar perahu-perahu itu mulai bergerak, mereka melompat ke layar perahu dan melongok ke bawah. Saat itu mereka melihat seorang pria duduk di dalam kabin, orang itu adalah putra dari pemilik pemukiman besar itu, Lu Guanying.

Ketika barisan perahu itu mulai bergerak, suara dari kulit kerang terdengar kembali. Seseorang di atas perahu melangkah maju, ia juga ikut meniup kulit kerang. Setelah perahu bergerak agak jauh, orang bisa melihat banyak perahu-perahu kecil bergerak di atas danau. Kumpulan perahu kecil itu tampak mirip semut-semut kecil dari kejauhan, seolah-olah orang menggambar titik-titik hitam di atas secarik kertas yang besar. Orang yang di atas perahu meniup kulit kerangnya, dan perahu besar itu menurunkan sekoci kecilnya ke tengah danau. Sekitar sepuluh sekoci mulai bergerak dari semua penjuru. Guo Jing dan Huang Rong bingung, mereka tidak tahu pasti apakah akan terjadi pertempuran di situ. Mereka melongok ke bawah untuk mengintip Lu Guanying, yang tampak normal dan tenang. Ia tidak memperlihatkan tanda-tanda panik, cemas, atau tegang seperti layaknya orang yang sedang menghadapi peperangan.

Tak lama kemudian, perahu-perahu itu semakin mendekat. Setiap perahu ditumpangi oleh dua atau tiga orang, yang naik ke perahu besar. Setiap orang, setelah naik, akan membungkuk di hadapan Lu Guanying, dan gerak-geriknya terlihat sangat hormat. Kelihatannya mereka sudah menyiapkan kursi-kursi untuk para tamu dari perahu kecil menurut status mereka. Beberapa orang yang datang lebih awal duduk di belakang, dan beberapa yang datang kemudian ternyata duduk di depan. Seorang pelayan pengantar teh mengantar para pengunjung itu ke kursi mereka masing-masing. Muka para pengunjung itu tegas dan kasar, sikap dan gerak-gerik mereka cepat dan garang. Meskipun mereka berdandan seperti nelayan, tapi kelihatannya mereka semuanya mengerti ilmu silat, dan sama sekali bukan nelayan biasa.

Lu Guanying mengangkat tangannya dan berkata, “Saudara Zhang, apa yang kau temukan?” Seorang pria kurus yang duduk di tengah bangkit berdiri dan berkata, “Menjawab pertanyaan Shaoye, Duta Besar Jin memutuskan untuk berlayar menyeberangi danau malam ini. Komandan Duan seharusnya tiba dalam waktu satu shichen. Ia memakai alasan menyapa Duta Besar untuk melakukan penjarahan di sepanjang jalan, itu sebabnya dia terlambat.”

Lu Guanying bertanya, “Berapa banyak yang dijarahnya?”

“Di setiap desa sedang panen. Dan tentaranya masih menjarah para penduduk desa sekarang. Waktu aku melihatnya naik ke perahu, tentaranya berjuang mengangkat dua puluh peti harta karun yang berat.”

Lu Guanying bertanya lagi, “Ada berapa banyak tentara dan kuda yang dibawanya?”

Orang itu menjawab, “Sekitar dua ribu. Mereka yang menyeberangi danau tidak membawa kuda. Karena perahu tidak cukup, maka ada sekitar seribu orang tersisa di bawah.”

Lu Guanying berpaling kepada para pengunjung dan bertanya, “saudara-saudara, apa pendapat kalian?”

Mereka menjawab serempak, “Kami akan mengikuti perintah Shaoye!”

Lu Guanying merangkap kedua tangannya di dalam jubah sambil berkata, “Para pejabat korup ini seenaknya menyita uang rakyat dengan cara yang tidak bermoral. Kita, sebagai orang danau, tidak bertindak adil jika kita tidak mendapatkan harta itu kembali. Kita akan berusaha sekuat tenaga untuk merampas kembali sebanyak mungkin. Setengah dari jumlahnya akan kita berikan kepada para penduduk miskin di desa-seda sekitar danau ini, dan setengahnya lagi akan kita bagi di antara kita.”

Para pendengar saling bersahutan menyetujui rencana itu. Saat itu Guo Jing dan Huang Rong menyadari bahwa orang-orang ini adalah perompak danau, dan Lu Guanying kemungkinan besar adalah pemimpin mereka.

Lu Guanying berkata, “Jangan buang waktu lagi, ayo kita mulai! Saudara Zhang, bawa lima sekoci kecil dan teruskan pengawasan!”

Pria kurus itu menerima perintah, dan segera berlayar pergi. Selanjutnya Lu Guanying memimpin para anak buahnya dan menjelaskan tugas masing-masing secara rinci, siapa yang harus memimpin, siapa yang mendukung, siapa yang harus memimpin ‘Pasukan Hantu Air’ dan menciptakan kekacauan di perahu musuh, siapa yang mengambil harta, siapa yang menangkap para pejabat, dan seterusnya. Ia dengan cermat membagi tugas yang sudah direncanakan dengan sangat rapi.

Guo Jing dan Huang Rong bingung. Mereka baru saja makan bersama dan mengobrol dengan Lu Guanying sebelumnya hari ini, dan mereka melihat Lu Guanying adalah pemuda yang sopan, lurus, dan terhormat, dan lagi ia datang dari keluarga yang kaya berbudaya. Tak disangka ia adalah seorang pemimpin perompak danau. Ketika Lu Guanying selesai membagi tugas dan orang-orang itu mulai berangkat, seseorang dari tengah-tengah kelompok itu berdiri dan berkata, “Kita tidak punya harta, dan tidak ada masalah kalau kita merampok saudagar kaya. Tapi kalau kita menyerang seorang pejabat seperti itu, bukankah akan menimbulkan masalah bagi kita di kemudian hari? Kita tidak seharusnya menyinggung Duta Besar Jin!”

Guo Jing dan Huang Rong merasa suara itu tidak asing bagi mereka, dan ketika mengamati lebih teliti, ternyata orang itu adalah murid Sha Tongtian, salah seorang dari Empat Iblis Sungai Kuning, Duo Pobian, Ma Qingxiong. Mereka tidak tahu bagaimana dia bisa berada di dalam kelompok ini. Air muka Lu Guanying berubah. Ia belum bersuara untuk menanggapi, ketika para perompak itu saling berlomba untuk mencemooh Ma Qingxiong.

Lu Guanying berkata, “Saudara Ma adalah orang baru, dia belum kenal kebiasaa kita di sini. Karena kalian semua begitu tidak sabar untuk mulai, mari kita berikan usaha yang terbaik, pastikan semua prajurit itu tidak bisa melawan, dengan begitu kita mati tanpa penyesalan!”

Ma Qingxiong berkata, “Baiklah, kalian semua selamat berjuang! Aku lebih baik tidak ikut campur dan cari masalah.” Sambil bicara, ia berpaling dan mulai turun dari perahu. Dua orang mencegatnya dan berkata, “Saudara Ma, kau sudah bersumpah untuk menghadapi tebal dan tipisnya resiko bersama kami!”

Ma Qingxiong mendorongnya dengan kedua tangan dan melawan. “Minggir!” Kedua orang itu terpukul dan jatuh ke samping. Kerika Ma Qingxiong hendak meninggalkan perahu, ia tiba-tiba merasa ada desiran angin menuju ke punggungnya, dan ketika angin itu melewatinya, ia menggunakan tangan kirinya untuk mengambil pisau dari sepatu botnya, memutar lengannya, dan mendorong pisau di belakangnya. Lu Guanying mengulurkan lengan kirinya dan meletakkannya di jalan masuk perahu, secara bersamaan, ia melompat dan mendorong tangannya ke depan. Ma Qingxiong menggunakan tangan kanannya untuk menangkis, dan tangan kirinya untuk mendorong pisau ke depan. Kedua orang itu saling bergebrak di pintu perahu yang sempit. Guo Jing pernah bertarung melawan Ma Qingxiong di Mongolia. Ketika pertama kalinya melihat gerakan Lu Guanying, ia mengira tidak akan mudah baginya untuk memenangkan pertarungan itu. Tapi setelah beberapa jurus ternyata ia berada di atas angin, dan tampaknya pasti akan menang. Guo Jing curiga dan berpikir, “Mengapa Ma Qingxiong tampaknya tidak sekuat dulu lagi? Ah, tentu saja, dulu waktu melawan aku dia dibantu saudara-saudaranya, sekarang dia sendirian, dan pasti takut.” Tapi Guo Jing tidak tahu bahwa alasan utama sebenarnya adalah latihan keras yang didapatnya dari Hong Qigong dalam dua bulan terakhir ini. Sekarang Guo Jing menguasai lima belas dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, yang didukung oleh petunjuk langsung dari Hong Qigong sendiri. Karena itu, meskipun ia belum menguasai esensi dari ilmu tersebut, kungfunya sudah maju sangat pesat, dan sekarang ia berada di tingkat yang jauh lebih tinggi dari ilmu yang didapatnya dari Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan. Pada saat itu Guo Jing sendiri masih belum menyadari bahwa kungfunya sudah melampaui kemampuan dari keenam gurunya, maka ia beranggapan bahwa ia masih berada di bawah Ma Qingxiong. Ia melihat kedua orang itu saling bergebrak dan Lu Guanying mengirimkan kepalan kirinya, Ma Qingxiong terpukul, terhuyung-huyung dan jatuh ke belakang. Kedua perompak di belakangnya menghujamkan pisau mereka, dan Ma Qingxiong terkapar, tewas seketika. Kedua orang itu segera mengangkatnya dan membuang jenasah itu ke danau.

Lu Guanying melanjutkan, “Saudara-saudara, mari kita lanjutkan misi kita dengan berani!” Kumpulan orang itu mulai bersorak-sorai dengan penuh semangat, lalu mereka berpisah dan menaiki perahu mereka masing-masing, menuju ke timur. Perahu besar Lu Guanying berlayar di belakang perahu mereka semua. Tak lama kemudian, mereka melihat sepuluh perahu besar, yang suasana di dalamnya terang-benderang, sedang menuju ke barat, ke arah mereka.

Guo Jing dan Huang Rong berpikir, “Perahu-perahu besar itu pastilah milik para pejabat!”

Keduanya diam-diam memanjat tiang layar, lalu sambil menyilangkan tangan mereka bersembunyi di balik layar. Mereka mendengar suara tiupan kulit kerang yang datang dari sekoci-sekoci kecil ketika pihak lawan semakin mendekat. Terdengar suara teriakan, makian, benturan senjata, dan cipratan air ketika tubuh-tubuh manusia jatuh ke air. Selang beberapa saat, perahu para pejabat terbakar, apinya menerangi kegelapan langit, dan memancarkan sinar merah menyala di atas danau. Guo Jing dan Huang Rong tahu bahwa para perompak itu telah menyelesaikan misi mereka dengan sukses dan melihat beberapa sekoci sedang bergerak ke depan dengan cepat, diiringi suara-suara teriakan, “Para prajurit sudah kalah dan komandan telah tertangkap!”

Lu Guanying sangat senang, ia berjalan ke badan perahu dan berteriak, “Beri tahu pemimpin di setiap perahu untuk berusaha sedikit lagi, supaya kita bisa menangkap Duta Besar Jin!” Perompak yang menyampaikan berita menurut, dan segera melesat pergi untuk menyampaikan perintah itu.

Guo Jing dan Huang Rong secara serempak saling menyikut dengan pikiran yang sama. “Si Duta Besar Jin itu pastilah Wanyan Kang. Aku ingin tahu bagaimana caranya menangani masalah ini.”

Mereka mendengar bunyi tiupan kulit kerang dari berbagai perahu sekali lagi dan melihat bahwa kolompok perahu itu telah berbalik arah untuk kembali, para perompak sedang menarik-narik layar mereka. Angin barat tiba-tiba bertiup kencang, menyebabkan perahu itu melaju seperti anak panah menuju ke timur. Perahu Lu Quanying berada di ujung belakang, tetapi sekarang perahunya menjadi yang terdepan. Guo Jing dan Huang rong sekarang duduk di atap kabin, dan angin bertiup di punggung mereka. Mereka berlayar dengan sangat cepat menyeberangi danau, dengan bintang-bintang bertaburan di langit, mereka merasakan dorongan untuk bernyanyi keras-keras. Tiba-tiba sekoci-sekoci kecil melaju lewat satu per satu, dan akhirnya mereka berada di depan perahu di mana Guo Jing dan Huang Rong berada.

Perahu-perahu itu berlayar sekitar satu jam dan langit jadi lebih terang, sebelum dua perahu meluncur ke arah perahu mereka. Salah seorang pria di dalam perahu melambaikan bendera hijau dan berseru, “Kami sudah menemukan perahu Jin! Perahu komandan sudah meluncur di depan untuk menangkapnya!”

Lu Guanying yang berdiri di badan perahu berteriak, “Bagus!”

Tak lama kemudian perahu kecil lain datang melapor, “Si Duta Bangsat itu punya cakar maut! Komandan cedera berat, tapi saat ini Kapten Peng dan Dong sedang berusaha mengalahkannya!”

Dua orang perompak menggotong orang-orang yang cedera dan komandan mereka yang pingsan ke atas perahu Lu Guanying. Ketika Lu Guanying sedang memeriksa luka mereka, dua sekoci lagi datang mendekat, dan perompak di dalamnya menggotong pemimpin mereka naik ke perahu Lu Guanying. Orang itu juga melaporkan bahwa pemimpin Puncak Piao Miao, yang bernama Guo, terkena pukulan maut dari Duta Besar Jin, dan jatuh ke dalam air. Lu Guanying sangat marah dan berteriak, “Aku akan membunuh Anjing Jin yang jahat ini dengan tanganku sendiri!”

Guo Jing dan Huang Rong sangat menentang Wanyan Kang, tetapi mereka tidak tega membiarkan dia melawan bajak-bajak danau ini sendirian. Hal itu akan membuat Mu Nianci membenci mereka selamanya. Huang Rong berbisik ke telinga Guo Jing, “Apa kita akan menolongnya?”

Guo Jing menjawab sambil mendesah pelan, “Selamatkan dia, tapi buat dia bertobat!” Huang Rong mengangguk.

Saat itu Lu Guanying sudah melompat ke dalam sekoci dan berteriak, “Ayo berangkat!”

Huang Rong berkata kepada Guo Jing, “Ayo kita hentikan sekoci itu!” Keduanya melompat ke sisi sekoci dan mendengar suara teriakan dari perompak di depan. Mereka melihat perahu-perahu besar Duta Besar Jin perlahan-lahan tenggelam satu per satu. Mereka pikir ini pasti ulah para ‘Hantu Air’, yang bertugas melubangi dasar perahu dari bawah.

Sementara para perompak melambaikan bendera hijau, dua sekoci didayung dengan cepat dan melaporkan, “Anjing Jin itu jatuh ke air dan tertangkap oleh kami!”

Lu Guanyig sangat senang, dan melompat kembali ke perahunya. Tak lama kemudian terdengar lagi suara tiupan kulit kerang, dan semua sekoci berkumpul, satu per satu membawa Duta Besar Jin bersama para pengawalnya ke atas perahu. Guo Jing dan Huang Rong melihat tangan dan kaki Wanyan kang terikat, dan matanya tertutup rapat. Mereka berpikir bahwa ia pastilah terlalu banyak menelan air, tetapi dadanya tidak sesak, ia masih bernapas. Saat itu langit sudah terang, dan matahari bersinar terang menampakkan deretan perahu terapung anggun di atas danau.

Lu Guanying memberi perintah, “Para pemimpin dipersilakan kembali ke perkampungan dan berpesta untuk merayakan. Pimpin tim kalian dengan tertib dan silakan menunggu hadiah!”

Para perompak itu bersorak ramai, lalu mereka saling berpisah, dan pelan-pelan menghilang di tengah kabut. Danau itu kembali tenang dan damai sekali lagi. Guo Jing dan Huang Rong menunggu sampai perahu itu berlayar kembali ke pemukiman keluarga Lu, dan setelah Lu Guanying dan kelompok perompaknya pergi, mereka meluncur turun ke tepian. Para perompak terlalu larut dalam kemenangan dan hadiah yang mereka terima, dan tidak memperhatikan bahwa ada orang yang menyelinap ke dalam perahu mereka. Huang Rong mencari jalan dan membawa Guo Jing masuk ke pemukiman dan kembali ke kamar mereka.

Saat itu pelayan yang bertugas melayani mereka sudah memeriksa beberapa kali, tetapi karena pintu kamar masih tertutup ia mengira keduanya pasti kelelahan kemarin, jadi mereka tidur agak lama. Seelah tiba di kamar, Guo Jing membuka pintu, dan dua orang pelayan yang sudah menunggu menyapa mereka, sebelum masuk untuk menghidangkan sarapan. Salah seorang berkata, “Lu Xiansheng sudah menunggu di ruang belajar, silakan menemuinya setelah sarapan.” Keduanya makan bakpao dengan beberapa makanan kecil, sebelum mengikuti pelayan ke ruang belajar Lu Xiansheng.

Lu Xiansheng tersenyum dan berkata, “Angin dari danau sangat keras, dan ketika bertiup ke tepian, suaranya agak mengganggu. Kalian bisa tidur nyenyak?”

Guo Jing tidak terbiasa berbohong, maka ketika mendengar pertanyaan itu ia terdiam sejenak. Huang Rong menjawab, “Kami hanya mendengar suara tiupan dari kulit kerang semalam. Kupikir pasti itu dari para biksu dan pendeta Tao yang sedang berdoa dan melakukan upacara ritual mereka.”

Lu Xianshen tertawa dan tidak bertanya lagi. Sebaliknya, ia berkata, “Aku mengumpulkan beberapa karya seni, dan aku berharap kalian berdua melihatnya.”

Huang Rong menjawab, “Oh, tentu saja. Apa pun yang dikumpulkan Lu Xiansheng pasti tak ternilai harganya.”

Lu Xiansheng menyuruh pelayan membawa masuk beberapa karya seni, dan Huang Rong mengamati beberapa di antaranya dengan penasaran. Tiba-tiba suara ribut-ribut terdengar di luar, mereka bisa mendengar langkah kaki dari beberapa orang yang sedang mengejar seseorang. Sebuah suara berkata, “Sekali kau menginjakkan kaki ke perkampungan ini, mustahil bisa keluar!”

Lu Xianshen bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu apa pun, dan seolah ia tidak mendengar apa-apa. Ia bertanya, “Seni kaligrafi dalam dinasti kita didominasi oleh enpat keluarga, Su, Huang, Mi dan Cai. Aku bertanya-tanya, karya keluarga yang mana yang paling disukai adik Huang?”

Huang Rong hendak menjawab, ketika pintu ruangan itu mendadak dibuka dengan kasar, dan seseorang yang basah kuyup dari ujung kepala sampai ujung kaki menerjang masuk. Itu ternyata Wanyan Kang. Huang Rong menarik lengan jubah Guo Jing dan berbisik, “Lihat karya-karya seni itu, jangan lihat dia!” Keduanya berpaling dan menundukkan kepala sambil mengamati kaligrafi yang ada di hadapan mereka.

Wanyan Kang tidak bisa berenang, ketika perahunya tenggelam sebelumnya, meskipun kungfunya bagus, ia tidak mampu menyelamatkan diri. Ia pingsan, dan ketika sadar ternyata ia sudah dibawa ke pemukiman keluarga Lu untuk diinterogasi oleh Lu Guanying. Ia melihat bahwa perompak yang menjaganya tidak membawa pisau yang biasa dibawanya, dan sebuah gagasan muncul di benaknya. Ia mengumpulkan tenaga dalamnya dan menarik tali pengikatnya, lalu menggunakan Cakar Tengkorak Putih untuk membebaskan diri. Si pengawal terkejut dan bergegas maju untuk menangkapnya kembali, tetapi pengawal itu langsung ambruk terkena cakarnya. Wanyan Kang bergegas keluar, namun ia tidak menyangka bahwa pemukiman itu disusun dengan jalan-jalan yang membingungkan. Kalau seorang asing yang tidak mengenal rahasianya masuk tanpa petunjuk dari tuan rumah, ia akan segera terperangkap di bawah tanah. Wanyan Kang yang panik karena tidak menemukan jalan keluar, menerjang masuk ke ruang belajar Lu Xiansheng. Meskipun Lu Guanying tahu bahwa ia berhasil meloloskan diri dari penjagaan, tapi ia juga tahu bahwa Wanyan Kang tidak akan bisa lolos dari perangkap, dan ia sama sekali tidak kuatir. Ia mengejar Wanyan Kang dan melihatnya menuju ke ruang belajar Lu Xiansheng. Karena takut ayahnya akan cedera, maka ia menerjang maju dan berdiri di hadapan ayahnya. Pemimpin kelompok Danau Tai menutup jalan di pintu.

Wanyan Kang yang marah karena terperangkap, menudingkan jarinya kepada Lu Guanying dan berteriak, “Bajak keparat! Kalian memakai cara kotor untuk menenggelamkan kapalku! Apa kalian tidak malu? Kalian tidak takut ditertawakan semua pendekar di Jianghu?”

Lu Guanying tertawa terbahak-bahak. “Kau seorang Pangeran Jin, apa urusanmu dengan kami para pendekar Han? Apa hubungannya orang-orang dari dunia persilatan denganmu?”

Wanyan Kang menjawab, “Waktu aku berada di Yanjing, aku sudah mendengar banyak cerita tentang para pendekar Jiangnan, dan kupikir orang-orang Jiangnan semuanya orang benar dan pemberani. Bah! Tak kusangka ternyata reputasi kalian hanya omong kosong!”

Lu Guanying sangat marah dan berteriak, “Jadi?”

Wanyan Kang menjawab, “Kalian tak lebih dari pengecut keparat, yang bisanya main keroyok!”

Lu Guanying tertawa dingin. “Jadi kalau seseorang melawanmu sendirian, dan menang, maka kau akan mati tanpa penyesalan?”

Wanyang Kang bermain dengan kata-kata untuk memancing kemarahan Lu Guanying, dan menggiringnya untuk mengatakan tepat seperti yang baru saja dikatakannya. Ia dengan segera menjawab, “Kalau di perumahan ini ada satu orang saja yang bisa mengungguli aku dalam duel, aku akan menyerah dengan sukarela dan mati tanpa penyesalan. Tapi mana ada orang seperti itu?” Sambil berkata begitu, dengan arogan ia melihat ke sekeliling ruangan dengan tangan di punggungnya dan tertawa dingin.

Ucapan itu membangkitkan amarah Ketua Puncak Mo Li dari Danau Tai, pemimpin bagian, ‘Batu Emas’, yang bereriak, “Bangsat, aku yang akan melawanmu!” Ia menerjang masuk ke ruang belajar, mengulurkan kedua tinjunya, dan menggunakan gaya ‘Suara Lonceng Yang Menyolok’ dengan sasaran titik akupuntur Taiyang dari Wanyan Kang.

Wanyan Kang dengan lembut menggeser tubuhnya dan membalikkan telapak tangan kirinya untuk memegang bagian belakang jubah lawannya sebelum melemparkannya keluar dari pintu.

Lu Guanying yang melihat serangan kejam Wanyan Kang diam-diam waspada. Ia tahu bahwa tak satu pun kepala bagian yang bisa menandinginya. Ia berteriak, “Kungfu hebat! Biar aku mencoba beberapa jurus. Ayo kita keluar ke halaman!” Lu Guanying tahu bahwa lawannya sangat kuat. Kalau mereka berkelahi di ruang belajar, ia takut salah satu dari mereka akan tanpa sengaja melukai ayahnya atau kedua tamunya, karena mereka semua tidak bisa berkelahi.

Wanyan Kang menjawab, “Di mana saja sama, kenapa tidak di sini? Silakan menunjukkan jurusmu, Pak Pemimpin!” Sebetulnya ucapannya punya makna lain. Ia dalam hati berkata, “Aku hanya perlu beberapa jurus untuk mengalahkanmu, kenapa harus repot-repot pindah tempat?”

Kemarahan Lu Guanying terpancing, ia berkata, “Baik, karena kau tamu, silakan mulai!”

Wanyan Kang menyimpan tangan kanannya dan menggunakan telapak tangan kirinya untuk menyerang dada Lu Guanying. Serangan pertamanya sudah menggunakan Jiu Yin Baigu Zhao, dan dimaksudkan untuk melukai lawannya dengan segera.

Lu Guanying sangat tersinggung. “Dasar arogan! Rasakan ini!” Ia mengempiskan dadanya sedikit, tetapi tidak mundur. Sebaliknya, ia menggunakan tinju kanannya untuk menyerang sikut lawan yang sedang bergerak, sementara dua jari tangan kirinya menunjuk ke arah muka Wanyang Kang, dengan tujuan menusuk matanya. Wanyan Kang melihat bahwa gerakannya cepat, dan ia agak grogi. Diam-diam ia berpikir, “Tak disangka di tempat terpencil ini ada seorang ahli kungfu!” Ia buru-buru mundur setengah langkah, membalik pergelangan tangannya dan mengincar lengan Lu Guanying. Lu Guanying berputar ke kiri dan menyatukan kedua tangan membentuk kantong dengan ibu jari dan jari telunjuk satu tangan menghadap ke tangan lainnya. Langkah itu tidak lain adalah ‘Memegang Bulan Menghadap Dada Lawan’. Wanyan Kang tahu bahwa lawannya kuat dan tidak berani meremehkannya lagi. Ia mulai serius dan memakai jurus tangan kosong Quanzhen yang diajarkan Qiu Chuji. Lu Guanying adalah murid favorit Biksu Kumu dari biara Yun Qi. Ia belajar jurus tangan kosong dari Perguruan Xian Xia, yang berafiliasi dengan biara Shaolin di perbukitan Henan. Oleh karena itu, keterampilan yang dipelajari Lu Guanying adalah ortodoks. Ia berhati-hati terhadap lawannya dan menggunakan kungfu yang berbeda untuk melawan apa pun yang digunakan lawannya. Ia tahu bahwa teknik cakar Wanyan Kang lebih unggul dan dengan demikian memastikan bahwa ia tidak membiarkan jari-jari Wanyan Kang menyentuh tubuhnya. Saat melihat kesempatan untuk menyerang Wanyan Kang, ia menggunakan kakinya. Gurunya telah mengajarkan, “Gunakan tinjumu tiga puluh persen dan kakimu tujuh puluh persen. Tanganmu seperti kipas, berkonsentrasi pada tendanganmu.”

Kungfu yang dipelajari Lu Guanying bukan milik keluarganya dan teknik tendangannya sangat bagus. Semakin lama keduanya bertarung, semakin cepat gerakan mereka dan mereka tampak seperti dua bayangan menari-nari yang sedang bertarung di ruang belajar. Guo Jing dan Huang Rong tidak ingin Wanyan Kang mengenali mereka dan mundur ke sisi rak buku dan diam-diam mengamati pertarungan itu. Wanyan Kang makin lama makin gelisah dan diam-diam berpikir, “Jika ini terus berlanjut, bahkan jika aku bisa mengalahkannya dalam ronde ini, masih ada orang lain yang ingin bertarung denganku. Pada saat itu aku mana punya sisa energi untuk melawan?”

Sebenarnya ia jauh lebih unggul dari Lu Guanying, tetapi karena ia hampir tenggelam dan menelan begitu banyak air, ia kehilangan banyak energi dan tubuhnya kelelahan. Selain itu, ini adalah pertama kalinya ia terjebak dalam situasi seperti ini dan agak gugup, karena itu Lu Guanying unggul lebih dari sepuluh jurus. Ia memaksa dirinya untuk berkonsentrasi dan mengerahkan lebih banyak tenaga dalam serangannya. Suara retak terdengar saat bahu Lu Guanying terluka oleh tinju Wanyan Kang. Lu Guanying tersandung dan mundur ke belakang. Ia melihat lawannya menggunakan kesempatan ini untuk menyerang lebih jauh dan melompat, ia menendang dengan kaki kanannya ke depan menuju dada Wanyan Kang. Jurus itu sangat cepat dan kuat, yang telah dipraktekkan Lu Guanying sejak muda. Ia biasa mengikat dirinya pada seutas tali untuk melatih kecepatannya karena jurus tersebut mengandalkan kecepatan tendangan sehingga lawan terkejut dan tidak dapat mempertahankan diri tepat waktu.

Wanyan Kang merasa dadanya sakit dan ia memutar tangan kanannya untuk menusukkan jarinya ke betis Lu Guanying. Ia menggunakan telapak tangan kirinya untuk mendorong betis Lu Guanying sambil berteriak, “Jatuh!”

Lu Guanying sebenarnya berdiri dengan satu kaki tetapi setelah pukulan kuat dari Wanyan Kang, ia kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang, ke arah ayahnya. Lu Xiansheng merentangkan lengan kirinya dan menangkap Lu Guanying, dan dengan lembut meletakkannya di lantai. Ketika ia melihat darah yang mengalir dari kaki anaknya ia terkejut dan marah. Lu Xiansheng berteriak, “Apa hubunganmu dengan ‘Sepasang Iblis Angin Hitam’?”

Semua orang sangat terkejut waktu Lu Xiansheng turun tangan. Para kepala bagian tidak ada yang tahu bahwa ia mengerti ilmu silat. Dan bahkan Lu Guanying juga tidak tahu. Semua orang berpikir, karena Lu Xiansheng cacat, maka secara alamiah ia tidak akan mengerti ilmu silat, maka otomatis tidak bisa berkelahi. Sejak kecil Lu Guanying tidak pernah menanyakan atau berusaha mencari tahu urusan ayahnya. Siapa yang menduga gerakan Lu Xiansheng ketika menyelamatkan anaknya begitu kuat dan mantap? Huang Rong telah melihat simbol Delapan Diagram yang tergantung di atas pintu ruang belajar Lu Xiansheng, dan menjelaskannya kepada Guo Jing. Hanya mereka berdua yang tidak terlalu terkejut.

Ketika Wanyan Kang mendengar Lu Xiansheng menyebut nama Hei Feng Shuang Sha, ia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Siapa itu ‘Sepasang Iblis Anu’?” Meskipun Mei Chaofeng mengajarinya kungfu, tetapi ia tidak pernah menceritakan masa lalunya, dan Wanyan Kang bahkan tidak tahu namanya. Karena itu bisa dipahami kalau ia tidak tahu apa-apa mengenai Hei Geng Shuang Sha.

Lu Xianshen sangat marah dan berteriak, “Kau pikir siapa yang kau bohongi? Siapa yang mengajarimu jurus maut Cakar Tengkorak Putih?”

Wanyan Kang menjawab, “Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan omong kosongmu, selamat tinggal!” Sambil bicara ia melangkah ke arah pintu.

Para kepala bagian sangat marah dan mengeluarkan senjata mereka, siap untuk menjaga pintu. Wanyan Kang berpaling kepada Lu Guanying dan tertawa dingin, “Bukannya tadi kau sudah berjanji?”

Lu Guanying terlihat lemah dan pucat. Ia melambaikan tangannya dan berkata, “Para pendekar Danau Tai selalu menepati janji. Saudara-saudara, harap membiarkan dia pergi. Saudara Zhang, antar dia keluar!”

Para kepala bagian sebetulnya tidak rela melakukannya, tetapi karena majikan muda mereka sudah memberi perintah, mereka tidak bisa membantah. Pemimpin Zhang berkata, “Ikuti aku kalau begitu. Berani taruhan, bajingan seperti kau tidak akan bisa keluar sendiri.”

Wanyan Kang bertanya, “Mana orang-orangku?”

Lu Guanyin berkata, “Kami sudah membebaskan mereka semua.”

Wanyan Kang menudingkan jari kepadanya, “Bagus, kalau begitu kau sungguh pria sejati yang menepati janji. Untuk semua pemimpin lain… selamat tinggal!” Ia bicara dengan kasar dan arogan.

Ketika ia hendak meninggalkan ruangan, Lu Xiansheng tiba-tiba berkata, “Tahan! Orang tua ini tidak berbakat, tapi ingin mencicipi Jurus Cakar Tengkorakmu!”

Wanyan Kang berhenti di jalan dan tertawa. “Baik!”

Lu Guanying buru-buru berkata, “Ayah, sebaiknya kau tidak menantang si brengsek ini di usiamu.”

Lu Xiansheng menjawab, “Jangan kuatir! Cakar Tengkoraknya masih belum cukup matang.” Ia menatap Wanyan Kang dan berkata dengan lemah, “Aku cacat dan tidak bisa bergerak, kau kemarilah!”

Wanyan Kang tertawa tetapi tidak bergerak. Kaki Lu Guanying yang cedera terasa sakit, tetapi ia tidak ingin ayahnya menghadapi Wanyan Kang. Ia melompat keluar pintu dan berteriak, “Aku akan mewakili ayahku dan menghadapimu.” Wanyan Kang tertawa dan berkata, “Bagus, ayou kita latihan lagi!”

Lu Xiansheng berteriak, “Ying’er, minggir!” Ia melompat, tangan kirinya memegang kuat-kuat bangku panjang yang digunakannya, ia menggunakan kekuatan tangan kirinya untuk menyanggah beban tubuhnya. Tangan kanannya menyerang kepala Wanyan Kang. Mendengar suara hembusan napas penonton yang cemas, Wanyan Kang mengangkat tangannya untuk menangkis pukulan itu tetapi merasa pergelangan tangan kirinya terperangkap. Ia sudah melihat bayangan cepat telapak tangan lawannya yang mengarah ke bahunya, tetapi Wanyan Kang tidak menyangka cekalan lawannya begitu cepat dan unik. Ia buru-buru menggunakan tangan kanannya untuk menyerang balik sambil berjuang melepaskan tangan kirinya dari cekalan lawan. Lu Xiansheng memindahkan berat badannya ke pergelangan tangan Wanyan Kang dan mampu melayang di udara. Telapak tangan kirinya melancarkan beberapa serangan maut sementara Wanyan Kang menggunakan seluruh kekuatannya untuk melepaskan diri dari cekalannya tetapi tidak berhasil. Ia mencoba melepaskan tendangan terbang ke arah Lu Xiansheng tetapi gagal. Semua orang sangat senang saat menyaksikan pertarungan itu. Lu Xiansheng mengangkat telapak tangannya, siap untuk melepaskan serangan ke Wanyan Kang, sementara Wanyan Kang menjulurkan jarinya dan mengarahkannya ke telapak tangan Lu Xiansheng. Lu Xiansheng tiba-tiba menurunkan telapak tangannya dan memukul jalan darah di bahu Wanyan Kang. Wanyan Kang merasakan tubuh bagian atasnya mati rasa, dan setelah itu pergelangan tangan kanannya juga dicekal oleh Lu Xiansheng. Dua suara terdengar sebelum pergelangan tangan Wanyan Kang dilepaskan. Tangan kanan Lu Xiansheng dengan cepat mendorong pinggang Wanyan Kang sementara tangan kirinya mendorong ke bahunya, meminjam tenaga Wanyan Kang untuk melompat ke belakang dengan mantap ke sofa. Wanyan Kang merasa kedua kakinya lemas dan ia pingsan. Para kepala bagian tercengang, setelah hening sesaat barulah mereka mulai bersorak.

Lu Guanying berlari ke arah ayahnya dan bertanya, “Ayah, kau tidak apa-apa?”

Lu Xiansheng tersenyum dan menggelengkan kepalanya tetapi air mukanya berubah menjadi curiga, ia berkata, “Kalau guru anjing Jin ini datang, aku harus berbicara serius dengan orang itu.”

Dua kepala bagian mengambil beberapa tali dan mengikat Wanyan Kang. Pemimpin Zhang berkata, “Di antara barang-barang milik Komandan Duan, kami menemukan kunci dan rantai besi, mari kita gunakan untuk bajingan ini dan lihat apakah ia mampu mematahkannya!” Semua orang bersorak setuju dan seseorang berlari keluar untuk mengambil rantai dan kunci, lalu kembali untuk mengikat Wanyan Kang. Rasa sakit di pergelangan tangannya menyiksanya dan Wanyan Kang berkeringat deras, tapi ia mengeraskan hati dan tidak bersuara.

Lu Xiansheng berkata, “Bawa dia ke sini.” Dua pria mencengkeram bahu Wanyan Kang dan membawanya ke hadapan Lu Xiansheng. Lu Xiansheng mengetuk titik akupuntur di punggung bawah dan dada kiri Wanyan Kang. Wanyan Kang tiba-tiba merasakan sakitnya mereda dan meskipun dalam hati ia masih marah, diam-diam ia terkejut. Sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, ia dibawa pergi sementara para kepala bagian lainnya perlahan meninggalkan ruangan.

Lu Xiansheng kemudian menoleh ke arah Huang Rong dan Guo Jing dan tersenyum, “Aku berkonsentrasi begitu keras untuk bertarung dengan pemuda itu sehingga lupa sopan santun, kuharap kalian tidak tertawa.”

Huang Rong melihat bahwa jurus tangan kosong dan teknik akupuntunya adalah milik keluarganya dan ia jadi lebih heran. Ia tersenyum dan bertanya, “Siapa itu? Apakah dia mencuri dari pemukiman ini dan membuat Xiansheng marah?”

Lu Xiansheng tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Ya, dia memang mencuri banyak dari kita semua. Ayo, jangan sampai kita terganggu oleh bajingan itu. Ayo kita teruskan membahas karya seni.”

Lu Guanying meninggalkan ruangan untuk mereka bertiga. Lu Xiansheng mengobrol tentang latar belakang pemandangan, ekspresi manusia dan lebih banyak lagi dengan Huang Rong, sementara Guo Jing hanya mendengarkan tanpa memahami satu hal pun seperti biasanya. Setelah makan siang, Lu Xiansheng memerintahkan dua pelayan untuk menemani mereka berkeliling pedesaan dan mereka bersenang-senang sampai malam tiba sebelum kembali ke rumah Lu Xiansheng. Sebelum tidur, Guo Jing bertanya, “Rong’er. Bagaimana kita akan menyelamatkannya?”

Huang Rong berkata, “Sebaiknya kita tinggal di sini beberapa hari lagi, karena aku masih belum bisa menebak siapa Lu Xiansheng sebenarnya.”

Guo Jing berkata, “Kungfunya sangat mirip denganmu.”

Huang Rong menarik napas dalam-dalam. “Itu bagian yang tidak umum, dan, hmm! Apa dia kenal Mei Chaofeng?”

Keduanya tidak bisa menebak, dan mereka takut ada orang yang menguping pembicaraan, karena itu tidak melanjutkan. Di tengah malam, mereka tiba-tiba mendengar ada suara halus di atas atap, diikuti oleh suara di tanah. Mereka segera bangkit dari tempat tidur dan mendorong jendela dan mengintip ke luar. Mereka melihat bayangan hitam di antara semak mawar. Orang itu celingukan sebelum menuju ke timur. Orang itu tampaknya bukan salah satu penghuni rumah, karena ia sangat waspada dan terlihat berhati-hati. Sebelumnya Huang Rong sempat berpikir bahwa tempat itu hanya menampung para perompak yang heroik dari Danau Tai, tetapi setelah melihat kemampuan Lu Xiansheng, ia jadi sangat penasaran dan memutuskan untuk menyelidiki lebih dalam. Ia memberi isyarak kepada Guo Jing, lalu mereka melompat keluar lewat jendela untuk membuntuti si penyusup. Setelah membuntutinya beberapa saat, cahaya bulan memperlihatkan bahwa orang itu adalah seorang wanita dengan kungfu biasa saja. Huang Rong mempercepat langkahnya untuk mendekati wanita itu. Ia sempat berpaling sejenak, dan ternyata ia adalah Mu Nianci.

Huang Rong tertawa dalam hati dan berpikir, “Bagus, penolongnya sudah datang. Ayo kita lihat, mau pakai cara apa?”

Mu Nianci mengitari taman dan dengan segera kehilangan arah. Huang Rong memahami tata letak taman ini karena ayahnya, Huang Yaoshi, adalah ahli dari formasi ini dan sesekali akan mengajaknya berdiskusi. Ia pikir formasi di taman ini tidak biasa tapi tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang ada di Pulau Bunga Persik, yang aneh dan membingungkan, seperti pemiliknya.

Huang Rong berpikir, “Kalau terus berjalan seperti itu, kau tidak akan dapat menemukannya dalam seratus tahun.” Ia lalu mengambil sedikit tanah dan ketika melihat Mu Nianci ragu-ragu di jalurnya, ia melemparkan sebongkah tanah ke sisi kiri dan berkata dengan suara rendah, “Ke sana.” Sebelum bersembunyi di balik semak bunga.

Mu Nianci terkejut, ia berbalik tetapi tidak melihat siapa pun. Ia meraih belatinya dan berjalan ke kiri. Ilmu meringankan tubuh Huang Rong dan Guo Jing jauh lebih baik, dan mereka menyembunyikan diri, tidak membiarkan Mu Nianci melihat mereka.

Mu Nianci kuatir dan berpikir, “Aku tidak tahu orang ini membantu atau malah menyesatkan. Tetapi karena aku tidak bisa menemukan jalan, sebaiknya aku mengikuti petunjuknya.” Ia lalu mengikuti petunjuk dan berjalan ke arah kiri. Setiap kali ia sampai di sebuah persimpangan, ia mendengar suara sebongkah tanah yang dilempar untuk menunjukkan jalan. Yang berikutnya mengenai jendela sebuah gubuk kecil. Mu Nianci melihat dua sosok hitam yang agak kabur dengan cepat terbang dan menghilang. Mu Nianci berpikir sejenak dan kemudian berlari menuju gubuk kecil itu. Ia melihat dua penjaga tergeletak di tanah. Meskipun mata mereka terbuka lebar dan menatapnya, mereka tidak bergerak dan tidak mengambil senjata mereka. Mu Nianci menduga bahwa seseorang pasti telah menotok mereka. Mu Nianci tahu bahwa seseorang diam-diam membantunya. Ia mendorong pintu dengan pelan dan mendengarkan, sepertinya ada seseorang yang bernapas di dalam. Ia memanggil dengan suara rendah, “Kakak Kang, itu kau?”

Wanyan Kang terkejut saat melihat penjaga di pintu roboh terkapar. Tapi setelah mendengar suara Mu Nianci, ia semakin terkejut dan senang. Ia memanggil dengan lembut, “Ini aku!”

Mu Nianci sangat gembira dan berjalan menuju suara dalam kegelapan dan berkata, “Syukurlah aku menemukanmu, ayo kita pergi.”

Wanyan Kang bertanya, “Kau bawa senjata?”

Mu Nianci balas bertanya, “Kenapa?”

Wanyan Kang menggerakkan tangannya pelan-pelan, dan terdengar suara rantai. Mu Nianci mengulurkan tangannya menyentuh rantai itu. Ia merasa menyesal dan mengomel, “Aku seharusnya tidak memberikan pisau itu kepada Huang Mei Mei!”

Huang Rong dan Guo Jing mendengarkan dari luar. Huang Rong tertawa dalam hati dan berpikir, “Biar kau kuatir sebentar, nanti kukembalikan.”

Mu Nianci sangat cemas dan berkata, “Aku akan mencuri kuncinya.”

Wanyan Kang menjawab, “Jangan! Orang-orang di tempat ini berilmu tinggi. Tidak ada gunanya kau mengambil resiko dan tertangkap!”

Mu Nianci berkata, “Kalau begitu aku akan menggendongmu keluar!”

Wanyan Kang tertawa, “Seharusnya kau menciumku.”

Mu Nianci menjauh dan berkata, “Aku kuatir, dan kau masih bisa bercanda?”

Wanyan Kang tertawa nakal, “Siapa yang bercanda, aku serius!”

Mu Nianci mengabaikannya, dan berusaha mencari akal. Wanyan Kang bertanya, “Bagaimana kau tahu aku ada di sini?”

Mu Nianci berkata, “Aku mengikutimu.”

Wanyan Kang merasa sangat terharu, ia berkata, “Coba kau bersandar kepadaku, aku akan mengatakan sesuatu.” Mu Nianci duduk di lantai dan menyandarkan diri ke lengannya.

Wanyan Kang berkata, “Aku Duta Besar Jin, kukira mereka tidak akan berani melakukan apa-apa terhadapku. Tapi kalau aku terus ada di sini, itu akan merusak rencana ayahku! Lalu bagaimana? Mei Mei, tolong aku melakukan sesuatu.”

Mu Nianci berkata, “Melakukan apa?”

Wanyan Kang berkata, “Tolong lepas segel emas yang tergantung di leherku.” Mu Nianci mengulurkan tangannya dan melepas segel itu.

Wanyan Kang melanjutkan, “Ini segel dari Duta Besar Jin. Bawa Ke Lin’an, cari bantuan Perdana Menteri Shi Miyuan dari Dinasti Song.”

Mu Nianci bertanya, “Perdana Menteri Shi? Masa dia mau menemui orang biasa seperti aku?”

Wanyan Kang berkata, “Setelah melihat segel ini, dia akan menyambutmu. Katakan kepadanya bahwa aku telah ditangkap oleh para perompak Danau Tai, dan tidak bisa datang menemuinya secara pribadi. Tapi kau harus ingat satu hal, kalau ternyata Duta Besar Mongolia ada di sana, pastikan supaya dia dan Perdana Menteri Shi tidak bertemu dengan resiko apa pun juga. Ini adalah misi rahasia yang diperintahkan oleh Kekaisaran Jin, kau harus melaksanakannya.”

Mu Nianci bertanya, “Mengapa?”

Wanyan Kang menjawab, “Ini semua urusan militer, kau tidak akan mengerti. Kau akan melakukan hal yang sangat penting bagiku dengan mengatakan apa yang baru saja kukatakan tadi kepada Perdana Menteri Shi. Kalau Duta Besar Mongolia sampai di Lin’an lebih dahulu dan bertemu dengan para pejabat Song, maka itu akan menempatkan kita, bangsa Jin, dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.”

Mu Nianci bertanya dengan marah, “Apa itu ‘kita, bangsa Jin’? Aku rakyat Dinasti Song. Kalau kau tidak menjelaskan semuanya kepadaku, aku tidak akan membantumu melakukan misi itu.”

Wanyan Kang tersenyum samar. “Bukankah kau akan menjadi selir dari seorang Jin nantinya?”

Mu Nianci bangkit berdiri dengan marah. “Ayah angkatku adalah ayah kandungmu. Kau sebenarnya adalah seorang Han. Jadi kau masih ingin menjadi pangeran Jin? Aku tahu kau… kau…”

Wanyan Kang bertanya, “Apa?”

Mu Nianci menjawab, “Aku selalu berpikir bahwa kau adalah seorang pria yang kuat, pintar, dan jujur. Kupikir kau hanya berpura-pura menjadi seorang Pangeran Jin untuk sementara, untuk membantu Kekaisaran Song. Tapi ternyata kau… kau sungguh-sungguh ingin menganggap musuh sebagai ayahmu?” Wanyan Kang mendengar nada bicaranya berubah menjadi sangat marah, ia tersedak oleh amarahnya hingga tidak bisa bicara untuk sesaat.

Mu Nianci melanjutkan, “Kekaisaran Song sudah kehilangan separuh wilayah di tangan Jin, begitu banyak orang Han disiksa dan dibantai oleh mereka. Kau sungguh tidak merasa terganggu oleh hal itu? Kau… kau…” Ia terhenti sampai di sini, tidak bisa melanjutkan. Lalu ia melemparkan segel emas itu ke lantai dan hendak pergi. Wanyan Kang memanggilnya, “Mei Mei, aku keliru, tolong kembali!”

Mu Nianci berhenti dan berpaling. “Apa?”

Wanyan Kang berkata, “Kalau aku sudah bebas dari beban berat sebagai Duta Besar Jin, aku tidak akan kembali. Aku akan menjalani kehidupan bebas dan sederhana sebagai rakyat biasa bersamamu. Itu jauh lebih baik daripada menderita dalam diam seperti ini.”

Mu Nianci menghela napas dan diam. Sejak dia bertarung dalam lomba melawan Wanyan Kang dan kemudian sungguh-sungguh jatuh cinta kepadanya, ia selalu melihatnya sebagai seorang pendekar yang jujur dan adil. Ia berpikir bahwa pasti ada alasan kuat mengapa Wanyan Kang tidak mau mengakui ayah kandungnya. Ketika ia menjadi Duta Besar Jin, ia masih juga mencari alasan untuk membenarkan tindakan Wanyan Kang… bahwa ia diam-diam memata-matai musuh untuk Song, bahwa ia akan membantu Song menghancurkan musuh. Ia tidak menyangka bahwa semua itu hanya angan-angannya sendiri. Wanyan Kang tidak lebih hanya seorang pengkhianat yang serakah dan tak tahu malu. Ia patah hati dan merasa sangat sedih.

Wanyan Kang bertanya dengan nada rendah, “Mei Mei, ada apa?” Mu Nianci tidak menjawab.

Wanyan kang berkata lagi, “Ibuku bilang bahwa ayah angkatmu adalah ayah kandungku. Aku tidak punya kesempatan untuk menyelidiki kebenarannya, dan mereka berdua meninggal. Kewarganegaraan dan asal-usulku tidak bisa disebutkan secara asal-asalan dan segampang itu, kan?”

Mu Nianci diam-diam merasa agak lega mendengarnya. “Jadi dia masih belum jelas tentang kewarganegaraannya sendiri. Dia tidak sepenuhnya bisa disalahkan kalau begitu.” Ia berkata keras-keras, “Jangan sebut lagi soal membawa segel emas kepada Perdana Menteri Shi. Aku akan mencari Huang Mei Mei dan meminta pisau untuk menyelamatkanmu.”

Huang Rong sungguh berpikir untuk mengembalikan belati itu kepada Mu Nianci, tetapi ketika mendengar Wanyan Kang berkata tentang membantu bangsa Jin, ia jadi marah dan berpikir, “Ayah sangat membenci bangsa Jin. Kalau seperti itu, biarkan saja dia terkurung di sini beberapa hari lagi.”

Wanyan Kang melanjutkan, “Jalan di sini sangat aneh dan membingungkan, bagaimana kau bisa menemukan jalan?”

Mu Nianci menjawab, “Untungnya ada dua orang ahli yang diam-diam membantuku. Meskipun aku tidak kenal siapa mereka, dan mereka juga tidak ingin menunjukkan diri.”

Wanyan Kang menghela napas dalam-dalam. “Mei Mei, aku takut kau akan ketahuan kalau ke sini lagi. Kalau kau memang mau membantuku, tolong cari seseorang.”

Mu Nianci menjawab dengan marah, “Aku tidak mau membantumu mencari seorang Perdana Menteri segala!”

Wanyan Kang menjawab, “Bukan Perdana Menteri, tolong bantu aku menemukan guruku.”

Mu Nianci menyahut, “Ah!”

“Bawa sabukku, gunakan pisau untuk mengukir kalimat ‘Wanyan Kang sedang dalam bahaya di Pemukiman Guiyun, di Tepi Barat Danau Tai’ di gesper emasnya. Setelah itu pergilah ke Suzhou, teruskan ke Utara sejauh tiga puluh li, sampai ke sebuah bukit terpencil. Temukan sembilan tengkorak manusia di situ, lalu susun membentuk piramid, dengan lima di paling bawah, tiga di atasnya, dan satu di puncak. Terakhir, taruh sabuk itu di bawah tumpukan paling atas.”

Mu Nianci bingung dan bertanya, “Untuk apa semua ini?”

Wanyan Kang menjawab, “Guruku buta, tapi kalau dia menemukan sabuk itu dan meraba tulisan yang diukir di gespernya, dia pasti akan datang untuk menyelamatkan aku. Karena itu kau harus mengukirnya dalam-dalam.”

Mu Nianci bertanya, “Bukankah gurumu ‘Musim Semi Abadi’, Qiu Dao Zhang? Masa dia buta?”

Wanyan Kang menjawab, “Bukan, itu bukan Pendeta Qiu, tapi guruku yang lain. Setelah meletakkan sabuk itu kau harus cepat pergi. Temperamen guruku aneh, kalau sampai menemukan kau di situ, kau bisa celaka. Ilmunya sangat tinggi, dia pasti bisa menyelamatkan aku. Kau cukup menunggu aku di depan Biara Xuan Miao, di Suzhou.”

Mu Nianci berkata, “Kau harus bersumpah tidak akan mengakui musuh sebagai ayahmu dan mengkhianati bangsamu sendiri.”

Wanyan Kang menolak dan berkata, “Seelah aku menemukan kebenaran tentang semuanya, aku akan bertindak sesuai dengan moralku. Untuk apa memaksaku bersumpah saat ini? Kalau kau tidak bersedia menolongku, ya sudah!”

Mu Nianci menjawab, “Baik! Aku akan menolongmu mencari bantuan.” Lalu ia melepaskan sabuk Wanyan Kang.

Wanyan kang bertanya, “Mei Mei, kau pergi begitu saja? Coba ke sini dulu, aku ingin menciummu.”

“Tidak!” jawab Mu Nianci. Ia bangkit dan menuju ke pintu.

“Aku kuatir mereka akan membunuhku sebelum guruku datang. Kalau begitu aku bahkan tidak bisa bertemu denganmu lagi,” kata Wanyan kang.

Hati Mu Nianci meleleh, ia menghela napas panjang dan kembali ke pelukannya, membiarkannya mencium pipinya beberapa kali. Lalu mendadak ia memukul rantai Wanyan kang dan berkata, “Kalau nantinya kau tidak mau kembali ke jalan yang benar, aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyalahkan diriku sendiri dan mati di hadapanmu.”

Wanyan Kang ingin memeluk dan merayunya sebentar, setengah berharap bahwa dia akan berubah pikiran, dan mau mengantarkan segel emas itu. Tapi kemudian ia merasa bahwa tubuhnya gemetar dan napasnya memburu, pertanda bahwa dia sangat marah. Ia tidak menyangka Mu Nianci akan mengatakan hal semacam itu, dan untuk beberapa saat ia terpana. Mu Nianci bangkit dan berjalan keluar.

Ketika berada di luar, sekali lagi Huang Rong menuntunnya diam-diam, dan Mu Nianci berlari sampai ia melihat tembok yang menuju ke luar pemukiman itu. Sebelum pergi ia berseru, “Karena Qianbei tidak ingin menunjukkan diri, maka wanbei hanya bisa memandang ke langit dan menghaturkan terima kasih.” Ia berlutut di tanah dan kowtow tiga kali. Lalu ia mendengar suara jernih yang cekikikan sambil berkata, “Wah, aku tidak bisa menerima yang ini!”

Ketika mengangkat kepala, ia hanya melihat bintang-bintang di langit dan sekelilingnya tidak ada orang lain. Mu Nianci bingung, ia berpikir bahwa suara itu mirip suara Huang Rong, tapi mana mungkin dia ada di sini, dan bagaimana dia bisa tahu semua rahasia jalan setapak yang membingungkan ini? Ia memikirkan semua itu sambil berjalan tapi tetap tidak bisa memecahkan teka-teki itu. Setelah berjalan kira-kira sepuluh li dari pemukiman, ia beristirahat di bawah sebuah pohon besar dan menunggu perahu yang bisa membawanya ke Suzhou keesokan harinya.

Suzhou adalah sebuah kota yang sibuk di sebelah Tenggara, meskipun tidak bisa dibandingkan dengan ibukota Hangzhou, tapi tetap sebuah daerah yang makmur dan ramai. Para pejabat Dinasti Song yang memerintah di Jiangnan hampir melupakan penderitaan rakyat yang bermukim di Utara, yang harus hidup di bawah pemerintahan Dinasti Jin. Kenyataan bahwa Suzhou dan Hangzhou adalah tempat yang makmur seolah mengangkat sebuah pepatah ‘Di atas ada Surga, di bawah ada Su Hang’, menunjukkan betapa penting dan agungnya kedua kota itu. Sebenarnya Sungai Huai adalah sumber dari segala kekayaan, dan juga simbol keindahan dari kedua kota itu di wilayah Selatan.

Mu Nianci menikmati pemandangan penuh warna di kota itu sebelum memasuki sebuah penginapan. Lalu ia dengan hati-hati mulai mengukir kalimat seperti yang dikatakan Wanyan Kang ke atas gesper sabuknya. Ia berpikir bahwa tidak lama sebelum ini sabuk itu masih dipakai oleh pemiliknya, dan ia dalam hati berdoa demi keselamatan Wanyan Kang, sambil berharap bahwa sabuk itu bisa kembali kepada pemiliknya sekali lagi. Diam-diam ia berharap supaya Wanyan Kang sadar dan menikahinya, maka ia akan senang sekali membantunya mengenakan sabuk ini. Setelah berangan-angan sejenak, ia lalu menyimpan sabuk itu di balik jubahnya, dan berpikir, “Sabuk ini seperti tangannya, yang melingkar di pinggangku.” Dengan segera ia tersipu dan tidak berani melanjutkan pikirannya. Setelah terburu-buru makan semangkuk mie, ia melihat matahari mulai bergerak ke Barat, dan ia bergegas melanjutkan perjalanan ke Utara, mengikuti petunjuk Wanyan Kang untuk menemukan gurunya.

Jalan di atas bukit itu sepi dan Mu Nianci merasa gelisah ketika mendengar suara-suara aneh yang dibuat oleh burung-burung, dan matahari juga mulai terbenam. Ia meninggalkan jalan utama dan pergi ke lembah di sisi lain bukit untuk mencari tengkorak seperti yang dikatakan Wanyan Kang. Saat hari perlahan berubah menjadi malam, ia masih tidak dapat menemukannya. Ia merenungkan masalah ini dan memutuskan untuk melanjutkan pencarian keesokan harinya. Lalu ia pergi untuk melihat apakah ada tempat terdekat di mana ia bisa berlindung untuk malam itu. Ia berlari menaiki sebuah gundukan tanah, melihat ke kejauhan dan melihat sebuah rumah bangsawan di sebelah barat. Ia lega dan bergegas menuju ke sana.

Ketika mendekati tempat itu, ia menyadari bahwa rumah itu sebenarnya adalah sebuah kuil kumuh dan ada papan nama di atas pintunya, bertuliskan ‘Kuil Tanah’. Ia mendorong pintu perlahan-lahan dan pintu itu berderit sebelum jatuh, meniup tumpukan debu sampai berhamburan. Saat itulah Mu Nianci menyadari bahwa itu adalah kuil yang terlantar dan tidak ada yang tinggal di sana. Ia berjalan ke aula dan melihat sarang laba-laba memenuhi Tu Di Po dan Tu Di Gong. Ia menekan meja dan memukulnya tetapi ternyata meja itu masih kokoh dan tidak pecah. Ia menemukan sejumlah jerami untuk membersihkan meja dan mengembalikan pintu yang rusak ke posisinya. Ia makan beberapa makanan kering sebelum berbaring di atas meja dan tidur dengan tas sebagai bantalnya. Ia tidak bisa menahan perasaan sedih dan malu saat memikirkan kepribadian Wanyan Kang, air mata mengalir di pipinya. Tetapi ketika memikirkan kelembutan dan kata-katanya yang manis, ia merasakan sedikit kehangatan di hatinya. Pikirannya dipenuhi banyak hal, dan ia mencoba menepiskan semuanya sebelum akhirnya ia bisa tertidur.

Di tengah malam, Mu Nianci mendengar suara aneh. Karena cemas, ia duduk tegak saat suara itu semakin keras. Ia bergegas ke pintu dan mengintip keluar. Ia sangat kaget ketika sinar bulan memperlihatkan ribuan ular yang menggeliat-geliat ke arahnya. Bau amis masuk melalui pintu. Setelah beberapa lama, jumlah ular mulai berkurang dan ia kemudian mendengar langkah kaki, tiga pria berbaju putih muncul dengan tongkat panjang di tangan mereka, menggiring kawanan ular itu. Mu Nianci takut ketahuan dan bersembunyi di balik pintu aula, tidak berani melihat lebih lama lagi. Ia mendengar beberapa langkah kaki dan mengintip keluar lagi. Ular-ular itu menghilang dan lingkungan menjadi sunyi dan sepi. Ia merasa seperti sedang bermimpi dan tidak percaya apa yang baru saja dilihatnya.

Ia membuka pintu utama dengan hati-hati dan mengintip keluar. Ia berjalan ke arah ular-ular itu pergi, tetapi tidak dapat menemukan pria-pria berbaju putih itu. Ia agak lega dan hendak kembali ke kuil ketika melihat cahaya bulan menyinari tumpukan benda putih yang aneh di kejauhan. Ia pergi untuk melihat lebih dekat dan menjerit tertahan. Itu adalah tumpukan tengkorak yang tersusun rapi dalam bentuk piramid, lima di bawah, tiga di tengah, dan satu di atas. Ia mencari-cari mereka tadi siang tetapi tidak menemukannya. Sekarang tiba-tiba, mereka muncul di depannya, di tengah malam. Susunan tengkorak itu menakutkan, tetapi jantungnya berdetak kencang karena ia senang telah menemukannya. Pelan-pelan ia mendekati tumpukan tengkorak itu dan mengeluarkan sabuk Wanyan Kang. Dengan tangan gemetar, ia mengulurkan tangan untuk mengangkat tengkorak yang paling atas. Ia menyentuh tengkorak itu dan merasakan lima lubang di dalamnya yang pas dengan kelima jarinya, seolah-olah tengkorak itu telah membentuk mulut, yang menelan jari-jarinya. Mu Nianci tercengang dan berteriak sebelum berbalik untuk lari. Ia berlari beberapa saat, lalu berhenti dan menyadari bahwa ia hanya ketakutan sendiri. Ia terkikik gugup dan kembali memasang sabuk di atas tiga tengkorak sebelum meletakkan tengkorak di tangannya kembali ke atas susunan itu.

Ia berpikir, “Gurunya benar-benar aneh, Apa mukanya juga menakutkan?” Setelah mengembalikan tengkorak itu ke tempatnya, ia diam-diam berharap, “Kuharap guru mendapatkan sabuk itu dan segera pergi menyelamatkan dia. Kuharap kau akan mengajarinya dengan benar, supaya dia mengakhiri kebiasaan buruknya dan mengubah cara hidupnya.”

Ia sedang memikirkan si tampan Wanyan Kang yang bermulut manis, ketika ia merasa seseorang menepuk bahunya dengan lembut. Ia terkejut dan tidak berani berbalik. Karena kegugupannya, tidak sengaja ia jatuh ke tumpukan tengkorak. Mu Nianci mencengkeram dadanya dan berbalik. Saat itu seseorang dengan lembut menepuk bahunya lagi. Ia berbalik sekitar enam kali lagi, tapi masih tidak bisa melihat orang di belakangnya. Ia tidak tahu apakah itu hantu atau iblis. Mu Nianci berkeringat dingin dan tidak berani bergerak. Dengan gemetar ia bertanya, “Siapa kau?”

Orang itu meletakkan kepalanya di dekat lehernya dan mengendus sebelum tertawa, “Hmm, harum! Coba tebak siapa aku.”

Mu Nianci buru-buru berbalik dan melihat seorang pria berpakaian sastrawan dengan kipas di tangan dan ekspresi genit. Ternyata dia adalah salah satu dari orang-orang yang memaksa ayah tirinya untuk bunuh diri di Yanjing, Ouyang Ke. Ia terkejut dan marah, tetapi karena tahu bahwa ia bukan tandingannya, ia berbalik untuk lari. Tapi Ouyang Ke sudah di depannya, tertawa dengan tangan terentang siap untuk memeluknya jika ia maju beberapa langkah lagi. Mu Nianci buru-buru mundur lalu berlari ke kanan. Ia baru berlari beberapa langkah saat Ouyang Ke berada di depannya lagi. Ia berlari ke segala arah tetapi tetap tidak bisa melepaskan diri.

Ouyang Ke melihat wajahnya yang cantik menjadi pucat, dan merasa senang. Ia tahu bahwa ia bisa menangkapnya dalam satu gerakan, tapi ia ingin main kucing-kucingan dulu, menjebaknya dan membiarkannya lari lagi. Mu Nianci tahu bahwa ia dalam bahaya dan mengeluarkan belati hijau, mengarah ke matanya.

Ouyang Ke tertawa dan berkata, “Wah, jangan kasar.” Ia memutar tubuhnya, menangkap lengan Mu Nianci dengan tangan kirinya sambil memegang pinggangnya dengan tangan kanan. Mu Nianci meronta tetapi ia merasa tenggorokannya mati rasa dan belatinya telah direbut Ouyang Ke. Ia berhasil membebaskan diri setelah beberapa saat, tetapi masuk lagi dalam pelukannya. Cara Ouyang Ke memeluknya mirip dengan cara yang digunakannya untuk menangkap Huang Rong di kediaman Wanyan Kang, membuat tangan Mu Nianci menotok jalan darahnya sendiri.

Ouyang Ke tertawa ringan dan berkata, “Angkat aku sebagai gurumu, dan aku akan segera melepaskanmu, dan mengajarimu jurus ini. Tapi takutnya saat itu kau tidak ingin kulepaskan lagi.”

Mu Nianci terjebak di tangannya dan Ouyang Ke menggunakan tangan kanannya untuk mengusap pipinya dengan lembut. Setalah tahu bahwa ia tidak berdaya, ia sangat ketakutan dan jatuh pingsan. Setelah beberapa saat, Mu Nianci bangun tetapi ia merasa mati rasa dan lemah di sekujur tubuhnya. Seseorang memeluknya dengan erat dan dalam kebingungan ia mengira itu adalah Wanyan Kang dan merasa senang. Kemudian ia membuka matanya dan menyadari bahwa orang yang memeluknya adalah Ouyang Ke. Ia malu dan gugup, dan berjuang untuk berdiri, tapi kemudian menyadari bahwa ia tidak bisa bergerak. Ia membuka mulut untuk berteriak, tetapi menyadari bahwa Ouyang Ke telah membungkam mulutnya dengan sapu tangan. Ia duduk di tanah dengan cemas. Di kedua sisi Ouyang Ke ada delapan wanita berbaju putih masing-masing dengan senjata di tangan mereka dan semuanya menatap dengan curiga tanpa bersuara ke arah tumpukan tengkorak.

Mu Nianci penasaran dan mencoba menebak apa yang sedang mereka inginkan. Ketika menoleh ia ketakutan karena melihat ribuan ular hijau di belakang Ouyang Ke. Ular-ular itu tidak bergerak tetapi mendesis ketika lidah mereka menjulur keluar. Cahaya bulan menyinari sesuatu yang tampak seperti lautan lidah merah, pemandangan yang mengerikan. Di tengah-tengah kawanan ular itu berdiri tiga pria berbaju putih dengan tongkat panjang di tangan mereka. Mereka adalah pria yang sebelumnya dilihat Mu Nianci. Ia tidak berani melihat lagi dan berbalik. Saat itulah ia melihat sabuk emas mengkilap di antara sembilan tengkorak dan berpikir dengan cemas, “Ah, mereka pasti sedang menunggu gurunya. Dari muka mereka, kelihatannya mereka siap menghadapi gurunya. Jika gurunya datang sendirian, bagaimana bisa menghadapi begitu banyak orang? Dan ada begitu banyak ular berbisa di sekitarnya.”

Ia sangat cemas dan berharap guru Wanyan Kang tidak datang. Tapi ia juga berharap gurunya sudah tahu apa yang sedang terjadi dan siap mengalahkan orang-orang jahat ini dan menyelamatkannya. Setelah menunggu lebih dari setengah jam, bulan semakin tinggi dan ia melihat Ouyang Ke terus-menerus menatap bulan. Ia berpikir dalam hati, “Apa mungkin gurunya hanya akan muncul saat bulan ada di tempat tertentu?”

Ia melihat bulan terbit di atas puncak pohon. Sekelilingnya kosong, cacing-cacing bersuara di tanah dan terdengar suara burung di kejauhan. Ouyang Ke melirik bulan sekali lagi sebelum menempatkan Mu Nianci ke pelukan seorang wanita di sampingnya. Ia mengeluarkan kipas dengan tangan kanannya dan menatap ke tepi bukit. Mu Nianci tahu bahwa orang yang mereka tunggu akan segera datang. Keheningan dipecahkan oleh nada seruling yang kuat dan tajam, yang makin mendekat setelah beberapa saat. Sesosok tubuh wanita melintas dengan rambut panjangnya secara tiba-tiba dari arah tebing. Saat lewat ia memperlambat gerakannya, sepertinya ia telah menyadari bahwa ada orang di dekatnya. Itu adalah Si Mayat Besi, Mei Chaofeng.

Setelah mendapatkan beberapa baris rahasia untuk melatih neigong dari Guo Jing, Mei Chaofeng mempelajarinya dengan tekun dan cermat, dan tidak lebih dari sebulan kakinya pulih, ia bisa bergerak dengan normal. Selain itu tenaga dalamnya meningkat pesat. Sejak tahu bahwa Enam Orang Aneh dari Jiangnan telah kembali dari Mongolia, ia mulai merencanakan untuk balas dendam sambil mengikuti Pangeran Kecil waktu memulai misinya. Ia melatih kungfunya setiap malam. Mei Chaofeng merasa tidak nyaman naik perahu dengan banyak orang dan karenanya memutuskan untuk pergi sendiri di malam hari. Ia telah berjanji untuk bertemu dengan Wanyan Kang di Suzhou. Ia tidak tahu bahwa Wanyan Kang jatuh ke tangan para perompak Danau Tai, ia juga tidak tahu bahwa Ouyang Ke yang ingin membalas dendam kepadanya karena membunuh anak buahnya dan mempermalukannya sebelumnya, ingin merampas Kitab Sembilan Bulan. Sebelumnya Ouyang Ke sudah mencari dan menemukan keberadaannya, mengumpulkan ribuan ular, dan sekarang diam-diam menunggunya di tempat ia melatih kungfunya setiap malam. Ia baru saja lewat ketika mendengar napas beberapa orang dan segera berhenti untuk mendengarkan dengan lebih teliti. Ia mendengar suara-suara aneh di belakang sekelompok orang.

Ouyang Ke melihat kewaspadaannya dan mengutuk dalam hati, “Iblis betina buta yang brilian!” Sambil mengipasi diri pelan-pelan, ia berdiri dan mengumpulkan tenaga dalamnya. Ia hendak menyerang Mei Chaofeng ketika melihat orang lain datang dari tebing. Ia buru-buru menahan serangannya dan mengamati orang itu. Ia melihat pria itu kurus dan tinggi, mengenakan jubah hijau dan sebagian rambutnya diikat dengan kain persegi. Ia tampak seperti orang yang terpelajar, tetapi Ouyang Ke tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.

Tapi hal yang paling menakjubkan adalah Ouyang Ke tidak dapat mendengar langkah kaki atau napas apa yang datang dari arah pria itu. Bahkan orang yang sangat hebat seperti Mei Chaofeng pasti akan mengeluarkan suara pelan ketika berjalan, tetapi orang ini berjalan dengan santai, seolah-olah tubuhnya melayang, membentuk bayangan yang seperti hantu. Sepertinya tak ada yang bisa menyebabkan dia bersuara saat bergerak. Orang itu melirik arah Ouyang Ke sebelum berdiri di belakang Mei Chaofeng. Ouyang Ke mengamati wajahnya dengan teliti dan tersentak. Orang itu memiliki wajah yang sangat aneh dan selain dari sepasang mata yang melirik ke sekeliling, sisa wajahnya seperti orang mati. Meski kulitnya kaku, tidak jelek tapi juga tidak menarik. Pria itu terlihat sangat dingin dan tanpa emosi dan itu membuat orang merinding. Ouyang Ke sadar kembali dan melihat bahwa Mei Chaofeng sedang mendekatinya. Ia tahu bahwa serangannya akan ganas dan mematikan dan tahu bahwa ia harus berusaha untuk unggul sedini mungkin. Ia memberi isyarat dengan tangan kirinya dan ketiga orang yang menggiring ular-ular itu mulai meniup seruling mereka, membuat ular-ular itu meluncur ke depan. Kedelapan wanita berbaju putih duduk diam karena mereka sudah menelan obat yang menyebabkan ular-ular itu mengabaikan mereka dan lewat begitu saja.

Mei Chaofeng mendengar suara ular mendekat dan tahu jumlahnya tak terhitung. Ia terkejut dan melompat mundur agak jauh. Para pawang ular menggunakan tiang panjang mereka untuk menggiring ribuan ular ke segala arah. Mu Nianci melihat muka Mei Chaofeng memucat karena ketakutan dan mau tidak mau ia kuatir. Ia berpikir, “Apakah wanita nyentrik ini gurunya?” Ia melihat Mei Chaofeng tiba-tiba berbalik dan melepaskan cambuk perak panjang dari pinggangnya untuk melindungi diri. Namun ia terkepung oleh ular berbisa dan beberapa ular yang tergerak oleh nada seruling mulai menyerangnya, tetapi tertebas cambuknya.

Ouyang Ke berseru, “Mei Monu, aku tidak menginginkan nyawamu. Kau hanya perlu menyerahkan Jiu Yin Zhen Jing, dan aku akan melepaskanmu!”

Ketika berada di kediaman Pangeran Zhao, ia mendengar bahwa Jiu Yin Zhen Jing ada di tangan Mei Chaofeng, dan sesuai dengan tabiatnya yang serakah, ia sangat tergoda untuk mendapatkannya dengan segala cara. Itu pasti akan membuat pamannya yang telah mencoba segala cara untuk mendapatkan kitab itu sangat senang. Mei Chaofeng mengabaikan Ouyang Ke dan menggunakan cambuknya untuk menyerang dengan lebih ganas.

Ouyang Ke berseru, “Karena kau begitu keras kepala, kita lihat saja berapa lama kau sanggup bisa menari. Aku akan menunggu sampai besok, akan kita lihat kau mau menyerahkan kitab itu atau tidak.”

Mei Chaofeng gelisah dan mencoba berpikir bagaimana cara untuk meloloskan diri. Ia mendengarkan dengan teliti dan menyadari bahwa ular ada di mana-mana. Ia tidak berani terlalu banyak bergerak, dan takut bahwa ular itu akan menggigitnya kalau sampai terinjak.

Ouyang Ke duduk diam, dan setelah beberapa saat ia berseru dengan arogan, “Kakak Mei, kau sudah mencuri kitab itu dan menghafal isinya selama dua puluh tahun terakhir. Buat apa mati konyol mencoba mempertahankannya? Mengapa tidak meminjamkannya kepadaku? Ayo kita berteman saja, bukankah lebih baik begitu?”

Mei Chaofeng menjawab, “Singkirkan dulu ular-ular ini!”

Ouyang Ke berkata sambil tertawa, “Berikan dulu kitabnya!”

Isi Jiu Yin Zhen Jing itu ditato di kulit mendiang suaminya dan Mei Chaofeng menghargainya lebih dari nyawanya. Tentu saja ia tidak rela menyerahkannya. Ia memutuskan bahwa jika ia digigit ular, maka ia akan segera merobek kitab itu menjadi berkeping-keping.

Mu Nianci ingin berteriak dan menyuruhnya melompat ke pohon agar ular tidak bisa menggigitnya, tetapi dia tidak bisa melakukannya karena mulutnya dibungkam dengan kain. Mei Chaofeng tidak menyadari ada beberapa pohon tinggi di dekatnya. Ia tahu bahwa jika ia terus bertarung, maka ia akan kehabisan tenaga dan dengan pikiran itu ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya sambil berteriak, “Baiklah, aku menyerah, ambillah!”

Ouyang Ke berkata, “Lemparkan ke sini.”

Mei Chaofeng berseru, “Tangkap!” sambil melemparkan sesuatu dengan tangan kanannya.

Mu Nianci mendengar jerit ketakutan dan melihat dua wanita berbaju putih roboh. Ouyang Ke jatuh ke tanah dan berhasil menghindari senjata rahasia yang mematikan. Ia berkeringat dingin, terkejut sekaligus marah. Ia mundur beberapa langkah dan berteriak, “Bangsat! Aku akan membuatmu sangat menderita!”

Mei Chaofeng telah menembakkan tiga Jarum Tak Berbentuk yang melesat secepat kilat. Diam-diam ia terkesan dengan kemampuan Ouyang Ke untuk mengelak dari serangannya dan semakin cemas. Ouyang Ke mengamati tangan wanita itu dan bermaksud mengirimkan ular kepadanya begitu dia lengah. Pada saat itu Mei Chaofeng telah membunuh ratusan ular tetapi masih ada ribuan lagi yang mengelilinginya. Mana mungkin ia membunuh semuanya? Ouyang Ke melihat bahwa permainan cambuknya sangat hebat, dan tahu bahwa ia memiliki senjata rahasia maut, dan karenanya tidak berani mendekat.

Setelah setengah jam, bulan bergerak ke arah barat dan Mei Chaofeng mulai merasa semakin cemas, napasnya jadi lebih berat. Tarian cambuknya tidak semulus sebelumnya, karena itu ia menyerang dari jarak yang lebih dekat untuk menghemat tenaganya. Ouyang Ke senang dan memerintahkan ular-ular itu untuk bergerak lebih dekat. Tapi ia juga kuatir, jika Mei Chaofeng masih tidak mau menyerah dan menghancurkan kitab itu, maka rencananya akan rusak. Ini saat kritis baginya. Mei Chaofeng mendengar ular-ular itu bergerak semakin dekat, dan mau tidak mau menyentuh kitab di balik bajunya. Ia terlihat pucat dan mengutuk diam-diam, “Aku belum membalas dendam, dan tak disangka aku akan mati di tangan keparat ini.”

Tiba-tiba, terdengar suara yang terdengar seperti nada dari qin, tapi juga terdengar seperti suara yang dibuat oleh batu giok. Setelah itu, terdengar suara seruling yang jernih dan halus. Semua orang terkejut. Ouyang Ke mendongak dan melihat pria aneh berbaju hijau duduk di atas pohon tinggi, memainkan serulingnya. Ouyang Ke bingung. Ia tahu bahwa penglihatannya sangat tajam, tapi bahkan di bawah sinar bulan yang begitu terang, ia tidak menyadari bahwa pria itu telah naik ke atas pohon. Angin bertiup dan pepohonan bergoyang, tetapi pria itu masih bisa duduk dengan mantap dan tidak bergerak di atasnya. Ouyang Ke telah diajari oleh pamannya sejak masih muda dan tahu bahwa meskipun ia berlatih selama dua puluh tahun lagi, ia tidak akan dapat mencapai menandingi pria ini. Apa mungkin pria itu hantu?

Pada saat itu nada dari seruling terus mengalir dan Ouyang Ke kehilangan kendali, tersenyum secara tidak wajar. Ia merasa dadanya berdebar kencang dan darah mengalir deras di sekujur tubuhnya, dan harus menari dengan gila-gilaan agar merasa lebih baik. Ia baru saja mengulurkan tangannya untuk menari dan terkejut. Ia mencoba berkonsentrasi dan menyadari bahwa semua ular bergegas bersembunyi di bawah pohon, dan menggeliat mengikuti irama seruling. Ketiga pria dan enam wanita berbaju putih menari-nari di bawah pohon dengan gila-gilaan. Mereka merobek pakaian mereka sendiri dan menggaruk wajah mereka dengan marah, meninggalkan caruk-maruk berdarah di wajah mereka sambil tertawa bodoh. Sepertinya mereka semua sudah gila dan tidak menyadari rasa sakit.

Ouyang Ke sangat terkejut dan tahu bahwa ia berhadapan dengan lawan tangguh malam ini. Ia mengeluarkan enam senjata beracun dan melemparkannya ke arah kepala, dada, dan kaki pria itu. Saat kumpulan senjata itu tiba, pria itu dengan lembut melambaikan ujung serulingnya dan memblokir semua senjata rahasia itu. Ketika menggunakan serulingnya untuk memblokir, bibirnya terus meniup dan tidak meninggalkan lubang seruling sesaat pun. Nada yang keluar dari seruling tidak terputus sedetik pun. Ouyang Ke tidak tahan lagi dan membuka kipasnya, ingin menari lagi.

Untungnya Ouyang Ke punya tenaga dalam yang cukup kuat, dan tahu bahwa jika ia mulai menari, kecuali lawannya berhenti meniup seruling, maka ia tidak akan berhenti menari sampai mati kelelahan. Ouyang Ke adalah orang yang berpikiran jernih dan tajam. Ia memaksa diri untuk menarik kembali tangan berikut kipasnya. Ia tiba-tiba mendapat ide untuk menyumbat telinganya dengan robekan kain jubahnya, supaya suara seruling itu setidaknya bisa diredam. Tapi suara seruling itu luar biasa. Meskipun Ouyang Ke sudah menyumbat telinganya, nada seruling tetap membuatnya kehilangan kendali. Ia berjuang tetapi tidak bisa memasukkan kain ke telinganya. Ia terkejut, ketakutan, kehabisan akal, dan berkeringat dingin. Ia melihat Mei Chaofeng duduk di tanah dengan kepala menunduk, menyalurkan tenaga dalamnya ke seluruh tubuh. Ia menduga bahwa perempuan itu sedang menggunakan tenaga dalam untuk melawan suara seruling.

Pada saat itu tiga murid Ouyang Ke yang paling lemah telah jatuh ke tanah, merobek pakaian mereka sendiri sambil berputar-putar tak terkendali. Jalan darah Mu Nianci tertotok dan tidak bisa bergerak. Meskipun emosi dan konsentrasinya sangat terganggu dan terprovokasi oleh alunan seruling, ia tidak menendang atau menari liar karena ia tidak bisa bergerak dan hanya berbaring diam di tanah.

Pipi Ouyang Ke merah padam, kepalanya terasa panas, tenggorokannya kering dan tidak nyaman. Ia tahu jika tidak menghentikan semua ini sekarang dan melarikan diri, ia bisa mati. Ia membulatkan tekadnya dan menggigit lidahnya. Rasa sakit mengalihkan perhatiannya dari nada seruling dan suara itu tidak terlalu berpengaruh pada dirinya untuk sesaat. Ia mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri dan menyelamatkan nyawanya. Tidak sampai beberapa li jauhnya dari tempat itu, ia tidak bisa mendengar suara seruling lagi, ia merasa lega. Ouyang Ke benar-benar kelelahan dan merasa sangat lemah, seolah-olah sakit parah. Ia berpikir, “Siapa orang aneh itu? Siapa orang aneh itu?”


Sementara itu, Huang Rong dan Guo Jing kembali ke kamar mereka untuk tidur setelah mengantar Mu Nianci pergi. Mereka senang dengan petualangan santai mereka di danau sejauh ini. Guo Jing tahu bahwa begitu Mu Nianci pergi, Mei Chaofeng akan segera muncul. Ia sangat ganas dan serangannya mematikan. Ia kuatir tidak akan ada yang bisa menandinginya, dan banyak orang akan terluka. Guo Jing memutuskan untuk berkonsultasi dengan Huang Rong dan bertanya, “Kupikir lebih baik kita memberi tahu Lu Xiansheng tentang Mei Chaofeng dan memohon padanya untuk membiarkan Wanyan Kang pergi dan menyelamatkan orang-orang di pemukiman dari kemungkinan cedera.”

Huang Rong menggoyangkan tangannya tak setuju, dan menjawab, “Itu bukan ide yang baik. Wanyan Kang jahat, biar dia menderita beberapa hari lagi. Kalau dia dibebaskan segampang itu, maka dia tidak akan bertobat.” Sebenarnya Huang Rong tidak peduli apakah Wanyan Kang bertobat atau tidak. Ia berpikir, karena Wanyan Kang adalah murid dari dua ‘telur busuk’ Qiu Chuji dan Mei Chaofeng, maka sebaiknya tetap dibiarkan jadi penjahat. Ia senang bisa menyulitkan Wanyan Kang. Tapi Huang Rong juga takut kalau Wanyan Kang tidak bertobat, maka Mu Nianci tidak akan menikah dengannya, dan jika Mu Nianci tidak punya suami, orang-orang sok sibuk itu akan sekali lagi mencoba memaksa Guo Jing untuk menikahinya. Ini akan jadi bencana. Oleh karena itu ia tetap memutuskan lebih baik Wanyan Kang bertobat.

Guo Jing bertanya, “Kita musti bagaimana kalau Mei Chaofeng datang?”

Huang Rong tersenyum, “Maka kita bisa menguji ilmu ajaran Qigong!”

Guo Jing tahu tak ada gunanya mencoba berdebat dengan Huang Rong, maka ia hanya membalas tersenyum. Tapi ia merasa Lu Xiansheng sudah memperlakukan mereka berdua dengan sangat baik, ia akan mempertaruhkan nyawanya untuk membela semua orang di pemukiman ini apa pun juga yang terjadi.

Dua hari kemudian mereka memberi tahu Lu Xiansheng bahwa mereka tidak akan pergi dulu. Lu Xiansheng bahkan lebih baik lagi kepada mereka karena ia berharap mereka akan tinggal lebih lama. Pada pagi ketiga, Lu Xiansheng sedang mengobrol dengan Huang Rong dan Guo Jing di ruang kerjanya, ketika Lu Guanying masuk dengan wajah pucat. Di belakangnya ada salah satu pembantu rumah tangga yang membawa nampan kayu. Ada sesuatu di nampan yang terbungkus kain hijau.

Lu Guanying berkata, “Ayah, ada orang mengirimkan ini.” Sambil bicara ia membuka kain hijau itu, memperlihatkan sebuah tengkorak manusia dengan lima lubang jari tangan. Jelas sekali itu hasil karya Mei Chaofeng.

Guo Jing dan Huang Rong tidak terkejut, karena mereka tahu bahwa Mei Chaofeng cepat atau lambat akan muncul. Tapi Lu Xiansheng terkejut, mukanya pucat. Dengan gemetar ia bertanya, “Siapa… siapa yang membawa benda ini ke sini?” Ia menegakkan tubuhnya ketika bertanya.

Lu Guanying tahu bahwa tengkorak itu tampak aneh, tetapi ia seorang pendekar yang berani dan kuat, dan lebih jauh lagi, ia adalah pemimpin para perompak di danau. Oleh karena itu ia tidak menganggap masalah ini terlalu serius. Tetapi ketika melihat betapa kesalnya ayahnya, ia terkejut dan bahkan lebih ketakutan. Ia menjawab dengan tergesa-gesa, “Seseorang memasukkan benda ini ke dalam kotak dan mengirimkannya ke sini. Pengurus rumah mengira itu hadiah biasa dan memberi tip kepada orang itu tanpa menanyakan asalnya. Waktu membawanya ke gudang dan membuka kotaknya, ia menemukan tengkorak itu, dan waktu ia menanyakan siapa yang mengirim hadiah itu, orang itu sudah pergi. Ayah, menurutmu apa arti semua ini?”

Lu Xiansheng tidak menjawab tetapi memasukkan jari-jarinya ke dalam lubang di tengkorak, yang pas dengan jari-jarinya. Lu Guanying bertanya dengan kaget, “Lubang di tengkorak itu dibuat dengan jari? Masa jari bisa sekuat itu?”

Lu Xiansheng mengangguk dan menghela nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Suruh para pelayan berkemas dan mengirim ibumu ke rumah utara di kota untuk tinggal di situ sementara waktu. Perintahkan para kepala bagian untuk berkumpul dan tinggal dengan kelompok mereka selama tiga hari. Apa pun yang terjadi di dalam rumah ini, beri tahu mereka supaya tidak ikut campur.”

Lu Guanying terperanjat dan bertanya, “Kenapa ayah?”

Lu Xiansheng tersenyum lemah dan menoleh ke arah Guo Jing dan Huang Rong sambil berkata, “Sungguh sebuah berkat bisa berteman dengan kalian berdua. Aku berharap kalian bisa tinggal lebih lama, tetapi aku membuat permusuhan dengan dua orang waktu aku masih muda, dan mereka datang untuk membalas dendam. Bukannya aku ingin mengusir kalian, tapi Rumah Awan ini… dalam bahaya. Kalau aku cukup beruntung bisa selamat, kita akan bertemu lagi. Tapi… tapi kemungkinannya sangat kecil untuk itu.” Ia tertawa getir dan menggelengkan kepalanya, lalu menoleh ke penjaga ruang belajar dan berkata, “Bawakan empat puluh tael emas.” Penjaga pergi untuk melakukannya. Lu Guanying tidak berani bertanya lagi dan meninggalkan ruang belajar untuk melaksanakan instruksi ayahnya.

Setelah beberapa saat, penjaga kembali dengan uang dan Lu Xiansheng menawarkannya kepada Guo Jing sambil berkata, “Nona ini cantik dan berbakat, dan sangat cocok untukmu. Sedikit uang ini untuk upacara pernikahan kalian nantinya, terimalah hadiah sederhana ini.”

Huang Rong tersipu dan berpikir, “Pengamatan orang ini sangat jeli, ia sudah tahu sejak awal aku perempuan, tapi tidak mengatakannya. Tapi bagaimana ia tahu kalau aku dan Jing Gege belum menikah?”

Guo Jing tidak mengerti tata-krama dan hanya berterima kasih kepada Lu Xiansheng, lalu menerima hadiah itu. Lu Xiansheng kemudian mengambil botol kaca dari meja belajar dan menuangkan lebih dari sepuluh pil merah sebelum membungkusnya dengan kertas. Ia melanjutkan, “Aku tidak berbakat tetapi guruku mengajari aku beberapa resep obat dan aku menggunakannya untuk membuat pil yang bisa memperpanjang umur kalau diminum. Ambil ini sebagai tanda rasa hormatku.”

Saat Lu Xiansheng menuangkan pil, ada aroma manis di udara. Ketika Huang Rong menciumnya, ia langsung tahu bahwa itu adalah Jiu Hua Yulu Wan. Ia telah membantu ayahnya membuat pil itu sebelumnya dan harus mengumpulkan tetesan embun dari sembilan jenis bunga yang berbeda. Untuk membuat pil itu, orang harus tahu cara menyeduh bahan pada hari dan musim yang tepat. Itu adalah proses yang sangat melelahkan dan makan waktu. Pilnya terdiri dari berbagai jenis tumbuhan langka dan berharga.

Huang Rong tahu bahwa Lu Xiansheng terlalu murah hati memberi mereka begitu banyak dan berkata, “Sungguh tidak gampang membuat Jiu Hua Yulu Wan. Kami akan sangat berterima kasih menerima masing-masing dua pil.”

Lu Xiansheng agak kaget dan bertanya, “Dari mana guniang tahu nama pil ini?”

Huang Rong menjawab, “Aku tahu karena aku lemah ketika masih kecil dan seorang guru yang terhormat memberiku tiga pil yang punya efek positif setelah kuminum.”

Lu Xiansheng tersenyum dan berkata, “Kau tidak perlu menolak tawaranku. Sia-sia menyimpannya.” Huang Rong tahu bahwa itu artinya ia sudah siap untuk mati, maka ia tidak membantah dan menyimpan pilnya.

Lu Xiansheng melanjutkan dengan nada serius, “Aku sudah menyiapkan perahu, jadi tolong cepat menyeberangi danau. Bahkan kalau kalian melihat ada sesuatu yang aneh, jangan repot-repot berhenti. Ingat ini baik-baik!”

Sebenarnya Guo Jing berniat tetap tinggal untuk membantu, tapi ia melihat isyarat mata dari Huang Rong, maka ia tidak punya pilihan kecuali menyetujui anjuran Lu Xiansheng.

Huang Rong berkata, “Maafkan kelancangan xiao mei, tapi xiao mei ingin menanyakan sesuatu.”

Lu Xiansheng berkata, ‘Silakan guniang bicara.”

Huang Rong menjawab, “Karena Lu Xiansheng tahu bahwa ada musuh yang tangguh datang untuk membalas dendam, mengapa tidak bersembunyi saja? Seperti kata pepatah, ‘seorang pahlawan menghindari bahaya yang sudah pasti’.”

Lu Xiansheng menghela nafas panjang dan menjawab, “Kedua orang itu sudah membuatku sangat menderita! Merekalah yang menyebabkan aku lumpuh. Selama dua puluh tahun terakhir aku tidak membalas dendam karena aku tidak bisa berjalan. Karena mereka datang sekarang, apapun yang terjadi aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk melawan mereka. Bagaimanapun juga mereka menyinggung guruku. Bahkan jika aku tidak dapat membalas dendam untuk diri sendiri, aku pasti harus membalas dendam untuk guruku dengan segala cara. Aku tidak berharap untuk mengalahkan mereka. Aku sangat senang selama aku bisa mati bersama dengan mereka, dengan begitu aku membalas kebaikan guruku.”

Huang Rong berpikir, “Kenapa dia terus bilang ada dua orang? Ah, rupanya ia masih berpikir bahwa Si Mayat Tembaga, Chen Xuanfeng, masih hidup. Aku ingin tahu ada permusuhan apa di antara mereka? Sayang sekali baginya, tetapi aku tidak akan menyelidiki lebih jauh, meskipun masih ada yang bikin penasaran.” Ia bertanya dengan lantang, “Lu Xiansheng, tidak mengherankan kalau Xiansheng bisa melihat tahu kalau aku sebenarnya perempuan, tapi bagaimana Xiansheng tahu bahwa kami belum menikah, padahal kami tinggal di satu kamar?”

Lu Xiansheng tercengang dan berpikir, “Jelas dia masih perawan, tapi bagaimana aku bisa menjelaskannya? Nona kecil ini cerdas dan berbakat di semua bidang tapi kenapa dia bisa buta dalam hal hal-hal seperti ini?” Ia sedang memikirkan cara untuk menjawab ketika Lu Guanying memasuki ruang belajar dan berkata dengan suara rendah, “Aku sudah memberikan perintah tapi pemimpin Zhang, Gu, Wang dan Tan menolak untuk pergi. Mereka mengatakan bahwa mereka akan tetap berada di Rumah Awan meskipun itu berarti mempertaruhkan nyawa mereka.”

Lu Xiansheng menghela napas dan berkata, “Tidak banyak orang-orang pemberani dan setia seperti mereka ini! Cepat, antarkan kedua tamu ini keluar!”

Huang Rong dan Guo Jing mengucapkan selamat tinggal kepada Lu Xiansheng sebelum mengikuti Lu Guanying keluar. Pengurus rumah sudah menyiapkan kuda merah kecil Guo Jing dan keledai mereka di atas kapal. Guo Jing berbisik kepada Huang Rong, “Masa kita akan naik perahu?”

Huang Rong balas berbisik kepadanya, “Kita pergi — dan kembali lagi.”

Lu Guanying tidak merasa terganggu meskipun mereka berbisik-bisik, karena ia dalam keadaan bingung dan ingin segera mengirim para tamu itu pergi, supaya bisa membantu persiapan melawan musuh ayahnya. Guo Jing dan Huang Rong hendak menaiki perahu ketika Huang Rong melihat seseorang di tepi sungai, berjalan cepat ke arah mereka. Orang itu terlihat aneh karena ia menopang guci besar di kepalanya sambil berjalan ke arah mereka tanpa berhenti. Ketika ia mendekat, Guo Jing, Huang Rong dan Lu Guanying melihat bahwa rambut pria itu sudah putih, ia mengenakan jubah kuning pendek dan membawa kipas bulu besar di tangan kanannya, mengipasi dirinya perlahan-lahan sambil mempercepat langkahnya. Guci itu terlihat seperti terbuat dari besi dan sepertinya beratnya seratus jin6.

Orang itu berjalan melewati Lu Guanying, menatap mereka dengan acuh tak acuh dan terus berjalan. Ia baru saja mengambil beberapa langkah lagi ketika tubuhnya membungkuk sedikit dan air tumpah keluar dari gucinya. Ketiganya kemudian menyadari bahwa guci itu berisi air, yang menambah beratnya sekitar seratus jin. Orang tua itu pasti sangat hebat, bisa menahan beban yang begitu berat di kepalanya, dan sekaligus menjaga keseimbangan!

Lu Guanying agak grogi dan berpikir, “Apa mungkin orang ini musuh ayah?” Ia mengabaikan bahaya dan pergi ke pria itu, sementara Guo Jing dan Huang Rong saling melirik sebelum mengikutinya. Guo Jing mendengar enam gurunya menyebutkan pertarungan mereka dengan Qiu Chuji di ‘Paviliun Dewa Mabuk’ sebelumnya dan tahu bahwa Qiu Chuji cukup kuat untuk mengangkat guci besar. Tetapi ukuran guci yang diangkat Qiu Chuji seperti yang dijelaskan oleh gurunya rasanya tidak sebesar guci yang diangkat orang itu sekarang. Guo Jing curiga bahwa kungfu orang tua ini berada di atas Pendeta Qiu Chuji. Orang tua itu berjalan terus sebelum mencapai tepi sungai kecil yang dipehuni kuburan.

Lu Guanying berpikir dalam hati, “Di sini tidak ada jembatan, aku ingin lihat apakah dia menyeberangi sungai ke utara atau ke barat.”

Lu Guanying tercengang melihat apa yang terjadi kemudian. Orang tua itu berjalan tanpa jeda di atas sungai, tubuhnya mantap dan hanya kaki bagian bawahnya yang terendam air. Ketika sampai di seberang sungai, ia meletakkan guci besar itu di rerumputan di sebelah bukit sebelum kembali ke sungai dan berjalan di atas air ke sisi lainnya lagi.

Huang Rong dan Guo Jing telah mendengar senior-senior mereka bicara tentang segala jenis keterampilan dari berbagai sekte dan perguruan, tetapi mereka tidak pernah mendengar tentang ilmu yang baru saja diperagakan oleh orang tua itu. Membawa guci besar di kepalanya dan berjalan di atas air. Mereka mengira keterampilan seperti itu hanya ada dalam mitos dan legenda. Siapa sangka keterampilan seperti itu benar-benar ada di bumi? Jika tidak melihat sendiri, mereka tidak akan pernah percaya hal-hal seperti itu dan diam-diam kagum kepada orang tua ini.

Rambut orang tua itu putih, ia tertawa terbahak-bahak sambil menoleh kepada Lu Guanying. “Kau pastilah kepala bajak danau itu — Lu Shaoye, betul kan?”

Lu Guanying membungkuk dan menjawab. “Wanbei tidak berani menerima pujian itu, entah siapa nama Qianbei?”

Orang tua itu menuding ke arah Guo Jing dan Huang Rong sambil berseru, “Kalian berdua silakan ke sini juga.”

Lu Guanying berpaling dan kaget setelah melihat Guo Jing dan Huang Rong berdiri di belakangnya. Baru saat itu ia menyadari bahwa sejak tadi mereka berdua terus mengikutinya. Ilmu meringankan tubuh keduanya sangat bagus, langkah mereka sama sekali tidak terdengar, ia sama sekali tidak merasakan kehadiran mereka. Guo Jing membungkuk hormat. “Salam untuk Lao Qianbei.”

Orang tua itu tertawa dan berkata, “Tidak perlu sikap hormat segala.” Ia berpaling kepada Lu Guanying. “Ini bukan tempat yang bagus untuk mengobrol. Ayo kita cari tempat duduk dulu.”

Lu Guanying curiga dan berpikir, “Mungkinkah dia salah satu musuh ayahku?” Ia memutuskan untuk bicara langsung, lalu bertanya, “Qianbei kenal ayahku?”

Orang tua itu berkata, “Lu Xiansheng? Aku belum pernah ketemu dia.”

Lu Guanying merasa orang tua itu tidak berbohong, maka ia melanjutkan, “Ayahku menerima hadiah yang agak aneh pagi ini. Apa qianbei tahu soal ini?”

Orang tua itu bertanya, “Hadiah aneh apa?”

Lu Guanying menjawab, “Itu tengkorak manusia yang di atasnya berlubang lima jari.”

Orang tua itu berkata, “Wah, itu agak lucu, mungkin ada orang mau main-main dengan ayahmu?”

Lu Guanying diam-diam berpikir, “Kungfu orang ini sangat tinggi. Kalaupun dia ingin bertarung dengan ayah, pasti akan melakukannya terang-terangan dan tidak perlu berbohong. Kelihatannya dia tidak tahu apa-apa soal ini. Kalau begitu kenapa tidak mengundangnya ke rumah untuk membantu? Kalau dia setuju, akan bagus sekali, tak peduli setinggi apa kungfu musuh ayah itu.” Makin dipikir, ia makin senang, maka ia menjawab, “Kalau qianbei tidak keberatan, kenapa tidak mampir saja ke rumah kami untuk sekedar minum teh?”

Orang tua itu bergumam perlahan dan menjawab, “Itu boleh juga.” Lu Guanying senang sekali, ia mempersilakan orang tua itu berjalan di depan.

Orang tua itu menjunjuk ke arah Guo Jing dan bertanya, “Dua anak muda ini tamu kalian, kan?”

“Mereka teman ayahku,” jawab Lu Guanying. Orang tua itu tidak bertanya lebih lanjut. Ia berjalan di depan, dengan Guo Jing dan Huang Rong mengikuti di belakang Lu Guanying. Ketika tiba di rumah, Lu Guanying mengantar orang tua itu ke bangunan utama, lalu ia cepat-cepat menemui ayahnya.

Tak lama kemudian dua orang pelayan datang mengantar Lu Xiansheng yang duduk di atas dipan bambu. Lu Xiansheng menyapa orang tua itu dengan sopan dan berkata, “Kuharap anakku yang kurang mengerti sopan-santun tidak menyinggung perasaan Qianbei.”

Orang tua itu menggeser tubuhnya sedikit, tetapi tidak membalas sikap itu. Ia berkata dengan lembut, “Lu Xiansheng harap mengabaikan formalitas.”

Lu Xiansheng bertanya, “Entah siapakah nama qianbei?”

Orang tua itu menjawab, “Margaku Qiu, namaku Qianren.”

Lu Xianshen sangat terkejut dan bertanya, “Apa mungkin qianbei dikenal sebagai ‘Telapak Besi Mengapung Di Air’, Qiu qianbei?”

Qiu Qianren tersenyum ringan dan berkata, “Kalau kau masih mengingat julukanku, berarti ingatanmu bagus. Aku sudah dua puluh tahun tidak aktif di Jianghu, kukira semua orang sudah melupakan aku.”

Nama ‘Telapak Besi Mengapung Di Air’ memang sangat terkenal dua puluh tahun yang lalu. Lu Xiansheng tahu bahwa ia adalah ketua Aliran Telapak Besi di Hunan. Dia sangat terkenal dan cukup giat di Jianghu, tetapi tiba-tiba menghilang sangat lama, maka tidak heran kalau generasi muda tidak ada yang mengenalnya.

Lu Xiansheng terkejut. “Entah apa maksud kedatangan qianbei ke Danau Tai ini? Kalau perlu bantuan, wanbei dengan senang hati akan membantu.”

Qiu Qianren mengelus jenggotnya sambil tertawa. “Sebetulnya tidak ada masalah serius, hanya saja aku ini sudah lama terlalu lembut hati, dan sepertinya sudah takdir, maka akan selalu begitu… hmm, aku hanya ingin mencari tempat terpencil untuk latihan kungfu. Kita bicara lagi nanti malam.”

Lu Xiansheng melihat bahwa di wajahnya tidak ada niat jahat, tetapi ia masih belum yakin, karena itu ia bertanya, “Aku tidak tahu apakah qianbei pernah mengenal Hei Feng Shuang Sha?”

Qiu Qianren menjawab, “Sepasang Iblis Angin Hitam? Pasangan jahat itu masih belum mati juga rupanya ya?”

Lu Xiansheng sangat lega mendengar jawaban itu, lalu berkata, “Ying’er, tolong bawa Qiu qianbei ke ruang belajar untuk beristirahat.” Qiu Qianren menganggukkan kepala kepada semua orang dan pergi bersama Lu Guanying.

Meskipun Lu Xiansheng tidak pernah bertatap muka dengan Qiu Qianren sebelumnya, ia sudah mendengar nama besarnya. Waktu lima pendekar terbesar di dunia persilatan saling mengadu kekuatan, mereka juga mengundang Qiu Qianren, tetapi karena ia sedang ada urusan lain, maka ia menolak undangan itu. Kungfunya sudah jelas sangat istimewa kalau sampai diundang, meskipun ia tidak dapat menyamai kelima pendekar itu, tetapi pasti tidak terlalu jauh dari tingkat mereka. Kalau Sepasang Iblis datag, mereka pasti tidak mampu menandinginya.

Ia berpaling kepada Guo Jing dan Huang Rong. “Kalian masih belum pergi? Kungfu Qiu qianbei itu luar biasa, sungguh beruntung dia tiba-tiba muncul di saat seperti ini. Aku tidak harus akut lagi melawan musuhku! Nanti kalian bisa menginap di kamar kalian lagi, tapi tolong jangan keluar, maka kalian akan baik-baik saja.”

Huang Rong tertawa ringan, “Boleh aku menonton?”

Lu Xiansheng menghela napas panjang dan berkata, “Aku kuatir musuhku akan membawa banyak orang, jadi aku masih kuatir aku bahkan tidak bisa melindungi diri, dengan begitu kalian bisa terluka. Bolehlah, tapi kalian harus terus di dekatku. Dengan adanya Qiu qianbei tidak jadi soal berapa banyak orang yang mereka bawa!”

Huang Rong bertepuk tangan dengan gembira. “Aku senang melihat pertarungan! Sungguh menarik waktu kau mengalahkan Pangeran Kecil Jin itu.”

Lu Xiansheng berkata, “Kali ini yang datang adalah gurunya, yang jauh lebih kuat. Makanya aku sangat kuatir.”

“Ah! Kau tahu dari mana?” sahut Huang Rong.

Lu Xiansheng berkata, “Nona Huang, kau tidak akan mengerti urusan kungfu ini. Ilmu cakar yang dipakai Pangeran Kecil itu untuk melukai kaki anakku Ying’er, adalah sama dengan yang dipakai untuk membuat lima lubang di bagian atas tengkorak!”

Huang Rong menjawab, “Oh, aku mengerti sekarang. Ilmu kaligrafi Wang Xianzhi diajarkan oleh Wang Yizhi, dan ilmu Wang Yizhi sendiri diajarkan oleh Wei Furen, yang mana belajar dari Zhong You. Karena itu, seorang ahli pasti akan bisa menebak asal-usul atau aliran dari seorang penulis kaligrafi, hanya dengan melihat hasil kerjanya.”

Lu Xiansheng tertawa. “Nona sangat cerdas. Aku hanya memberikan sedikit petunjuk, dan kau mampu memahami semuanya. Kedua musuhku sangat licik dan jahat. Kalau dibandingkan dengan Zhong Wang, mereka hanya akan mengotori reputasi guru dan leluhurnya.”

Huang Rong menarik jubah Guo Jing dan berkata, “Ayo kita lihat kungfu apa yang dilatih Kakek Jenggot Putih itu.”

Lu Xiansheng jadi kuatir dan berkata, “Ah, tolong jangan… jangan ganggu dia.”

Huang Rong tertawa, “Tidak apa-apa.” Ia bangkit berdiri dan pergi.

Lu Xiansheng duduk di bangkunya dan tidak dapat bergerak. Ia berpikir dengan agak gugup, “Anak perempuan ini sungguh sangat nakal. Untuk apa dia memata-matai orang tua itu.”

Ia segera menyuruh para pelayan untuk mengangkat dipan bambunya, dan buru-buru ke ruang belajar untuk menghentikan ulah mereka. Ketika tiba di situ, ia melihat mereka sedang membungkuk untuk mengintip ke dalam ruangan itu melalui lubang yang dibuat di jendela. Ketika Huang Rong mendengar langkah kaki para pelayan, ia buru-buru berpaling dan memberi isyarat supaya mereka tidak bersuara. Ia juga memberi isyarat kepada Lu Xiansheng supaya datang mendekat dan melihat.

Lu Xiansheng kuatir jika ia tidak mendekat, nona kecil itu akan tidak senang, lalu mengejutkan Qiu Qianren. Ia segera menyuruh pelayan membantunya dengan hati-hati mendekat ke jendela. Waktu mengintip melalui lubang yang dibuat Huang Rong, ia heran melihat Qiu Qianren sedang duduk bersila dengan mata terpejam, dan kepulan asap keluar terus-menerus dari mulutnya.

Guru Lu Xiansheng sangat ahli dan berpengetahuan luas. Waktu ia berlatih di bawah bimbingannya di masa mudanya, ia sering mendengar penuturan gurunya tentang aneka macam ilmu silat dari berbagai aliran dan sekte. Tetapi ia belum pernah mendengar ada ilmu yang berhubungan dengan mengeluarkan asap melalui mulut. Ia tidak berani melihat lebih lanjut, dan menarik lengan jubah Guo Jing sebagai isyarat supaya tidak melihat lagi. Guo Jing menghormati dia, dan ia juga merasa bahwa memata-matai seseorang itu bukan tindakan yang pantas. Guo Jing buru-buru berdiri dan menarik tangan Huang Rong, lalu berjalan mengikuti Lu Xiansheng kembali ke gedung utama.

Huang Rong cekikikan. “Ilmu orang tua itu lucu. Ada api di dalam perutnya!”

Lu Xiansheng berkata, “Kau tidak mengerti. Itu salah satu ilmu tenaga dalam yang sangat mengagumkan.”

“Apa dia bisa menyemburkan api untuk membakar orang?” tanya Huang Rong. Ia tidak bercanda waktu mengatakan hal ini, ia sungguh-sungguh penasaran dengan ilmu Qiu Qianren yang misterius itu.

“Tidak ada orang yang bisa menyemburkan api,” kata Lu Xiansheng. “Tapi bisa untuk mencapai tingkat tenaga dalam yang seperti itu, artinya adalah ia kemungkinan sanggup melukai orang hanya dengan menggunakan bunga atau daun.”

Huang Rong tertawa, ‘Ah, memetik bunga untuk melukai orang.”

Lu Xiansheng tersenyum kecil. “Nona sangat pintar.”

Ada sebuah puisi yang berjudul ‘Budha Biadab’, yang ditulis oleh seorang tak dikenal di jaman Dinasti Tang, yang berbunyi “Saat peoni menampakkan mutiara sejati, wanita cantik muncul di tengah ruangan. Sambil tertawa lembut ia bertanya kepada pria itu, ‘Mana yang lebih indah, bunga atau wanita ini?’ Pria itu merenungkannya lalu berkata, ‘Bunga itu indah.’ Wanita itu agak kesal, ia melemparkan bunga yang sudah hancur kepadanya.”7

Puisi itu kemudian tersebar luas. Suatu ketika ada kasus mengenai seorang istri jahat yang mematahkan kaki suaminya. Kaisar Xuanzhong dari Dinasti Tang yang mendengar kasus itu tertawa sambil berkata kepada Perdana Menteri, “Bukankah ini berarti melempar bunga untuk mencelakai orang?”

Lu Xiansheng sangat lega setelah melihat betapa kuatnya Qiu Qianren. Ia memerintahkan Lu Guanying untuk mengamati danau dan secara sopan mengundang setiap orang yang tampak mencurigakan ke rumah. Ia juga memerintahkan pelayan untuk membuka pintu gerbang rumah itu bagi semua tamu yang ingin berkunjung. Ketika malam tiba, para pelayan menyalakan lilin di bangunan utama Rumah Awan. Cahaya lilin menerangi ruang utama itu, seolah sedang menunggu dimulainya sebuah pesta. Lu Guanying secara pribadi datang untuk mengundang Qiu Qianren ke ruang utama, di mana telah disiapkan sebuah tempat duduk di bagian tengah untuk tamu. Guo Jing dan Huang Roong duduk di sebelahnya, sementara Lu Xiansheng dan putranya duduk di sebuah meja di kursi di belakang mejanya. Lu Xiansheng bersulang untuk tamu-tamunya, tetapi tidak berani menanyakan maksud kedatangan Qiu Qianren ke daerah situ, dan hanya mengobrol tentang topik umum dengan para tamu.

Setelah minum, Qiu Qianren berbicara, “Saudara Lu, Rumah Awan adalah pemimpin di antara semua pendekar danau, karena itu kungfumu pasti bagus. Aku sedang bertanya-tanya, maukah menunjukkan satu-dua jurus?”

Lu Xiansheng buru-buru menjawab, “Kungfuku tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kungfu qianbei, aku hanya akan mempermalukan diri sendiri. Dan lagi aku sudah cacat sejak lama, karena itu sudah tidak lagi menggunakan kungfu yang pernah diajarkan guruku di masa lalu.”

Qiu Qianren menjawab, “Siapa gurumu? Aku mungkin kenal dia.”

Lu Xiansheng menghela napas panjang dan mukanya pucat. Setelah agak lama ia baru menjawab, “Wanbei sangat bodoh dan kasar, dan tidak mampu melayani guruku. Akibat perbuatan orang lain guruku tidak mau mengakui aku lagi. Ini benar-benar cerita yang memalukan, kuharap qianbei bisa mengerti.”

Lu Guanying diam-diam berpikir, “Jadi ayah tidak diakui oleh gurunya, karena itu tidak pernah menunjukkan kungfunya. Kalau bukan karena Pangeran Jin mau mencelakai aku, ayah mungkin tidak bakal pernah menunjukkan kungfunya. Dia pasti mengalami saat-saat penuh penderitaan dan kebencian di dalam hidupnya.” Lu Guanying merasa sangat sedih dan terganggu oleh pikiran ini.

Qiu Qianren berkata lagi, “Lu Xiong sedang di usia puncak dalam hidup ini, dan adalah seorang pemimpin para pendekar. Kenapa tidak mengambil kesempatan ini untuk membuat namamu dikenal? Itu akan menyingkirkan segala penilaian yang keliru tentang dirimu dan membuat para senior di perguruanmu menyesal.”

Lu Xiansheng menjawab, “Wanbei cacat dan sudah putus asa. Anjuran qianbei punya wawasan yang sangat dalam, tapi sayangnya wanbei tidak bisa menerimanya.”

Qiu Qianren berkata, “Lu Xiong terlalu sopan. Ada jalan, tetapi aku tidak yakin Lu Xiong bersedia menerimanya atau tidak.”

Lu Xiansheng menjawab, “Kalau begitu aku harus merepotkan qianbei untuk menolongku.”

Qiu Qianren tertawa halus, tapi meneruskan makannya dan tidak menjawab. Lu Xiansheng tahu bahwa orang ini telah menyembunyikan diri selama dua puluh tahun dan berpikir, “Pasti ada alasan khusus kenapa ia muncul lagi di dunia persilatan. Karena dia seorang senior, tidak pantas kalau aku mendesaknya, jadi aku hanya bisa menunggu sampai dia sendiri yang mengatakannya.”

Akhirnya Qiu Qianren berkata, “Kalau Lu Xiong tidak mau menunjukkan kungfu, tentu saja tidak apa-apa. Rumah Awan nama yang cukup terkenal, dan para pemimpinnya pasti dari perguruan terkenal juga.”

Lu Xiansheng tertawa. “Urusan Rumah Awan sudah lama ditangani oleh putraku Guanying. Gurunya adalah Biksu Kumu dari Biara Yun Qi.”

Qiu Qianren menjawab, “Ah! Kumu adalah seorang ahli kungfu dari aliran Xian Xia, yang berkaitan dengan Shaolin. Kemampuannya patut diacungi jempol. Bagaimana kalau Lu Shaoye menunjukkan sedikit jurusnya?”

Lu Xiansheng berkata, “Adalah keberuntungan anakku bisa menerima petunjuk dari Qiu Qianbei.”

Lu Guanying berpikir sangat jarang bisa bertemu dengan ahli kungfu yang hebat dan nasihatnya akan sangat dalam dan berharga. Karena itu ia berharap mendapat beberapa petunjuk. Ia segera berjalan ke tengah aula dan berkata, “Qianbei, tolong berikan beberapa petunjuk.”

Ia mengambil posisi dan memamerkan kungfu terbaiknya, jurus ‘Luo Han Menaklukkan Harimau’8 yang menimbulkan desiran angin ketika ia memukul dengan tinjunya. Ia memang murid dari seorang ahli kungfu yang tangguh. Keahliannya unik dan ia memamerkannya agak lebih lama, sebelum mengeluarkan raungan keras yang terdengar seperti auman harimau, cahaya lilin goyah dan hembusan angin bertiup ke empat sudut ruangan. Para pelayan merasakan sensasi yang dahsyat dan terkejut melihat demonstrasinya. Lu Guanying melanjutkan dengan teknik telapak tangan sambil berteriak keras, terlihat sangat mengesankan. Ia berbalik dan berjongkok di lantai, lalu tiba-tiba merentangkan telapak tangan kirinya lurus, menunjukkan sikap ‘Telapak Budha Ru Lai’9. Setelah beberapa saat, raungannya semakin pelan tetapi kecepatan Telapak Luo Han semakin cepat dan dengan sikap terakhirnya, ia menyerang lantai dan kekuatan itu memecahkan beberapa batu bata di dekatnya. Lu Guanying membalikkan badan ke posisi tegak dan dengan tangan kirinya di udara dan kaki kanannya menendang keluar, ia dengan mantap dan tidak bergerak membentuk gambar Budha Luo Han.

Guo Jing dan Huang Rong bersorak kagum, “Teknik tangan kosong yang hebat!”

Lu Guanying mengendurkan sikapnya, kembali berdiri di posisi normal, lalu berpaling ke arah Qiu Qianren yang tersenyum ringan.

Lu Xiansheng bertanya, “Bagaimana kungfu tangan kosong anak ini?”

Qiu Qianren menjawab, “Lumayan.”

Lu Xiansheng berkata, “Kalau jauh dari sempurna, harap Qiu qianbe sudi memberi petunjuk.”

Qiu Qianren berkata, “Kungfu tangan kosong anakmu berguna untuk membina fisiknya, tapi tidak berguna untuk menghadapi lawan tangguh.”

Lu Xiansheng berkata, “Aku ingin mendengar komentar qianbei, supaya dia bisa memperbaiki kekurangannya.”

Guo Jing juga tidak bisa mengerti dan diam-diam berpikir, “Kungfu Lu Shaoye memang tidak terlalu menonjol, tapi kenapa Qiu qianbei bisa mengatakan ‘tidak berguna’?”

Qiu Qianren bangkit dan berjalan ke tengah ruangan, dan kembali ke tempatnya sambil membawa dua potong batu bata yang sebelumnya dipecahkan oleh Lu Guanying. Ia melakukan sesuatu dengan tangannya, dan terdengar suara ‘krekk’ ketika pecahan batu tersebut pecah lagi menjadi beberapa bagian yang lebih kecil. Ia lalu meremas-remas semuanya, yang lalu berubah menjadi bubuk, yang melayang di atas meja. Semua orang tercengang melihat semua itu.

Qiu Qianren menyapu debu dan bubuk itu dari atas meja dan menaruh semuanya di pakaiannya dan berjalan ke tengah ruangan untuk melepaskan semuanya di situ. Ia tertawa pelan sambil berjalan kembali ke tempat duduknya dan berkata, “Memang mengagumkan melihat Lu Shaoye mampu memecahkan batu bata dengan telapak tangan, tapi coba pikir seperti ini, lawan kita bukan batu bata, dan tidak akan diam saja berdiri di situ dan menunggumu memukulnya. Lebih jauh lagi, kalau lawanmu punya tenaga dalam lebih kuat, dan kau menyerangnya dengan telapak tangan seperti tadi, dan ia kemudian menyambut tanganmu, maka kau akan langsung terluka parah.” Lu Guanying mengangguk dalam diam.

Qiu Qianren menghela napas dan berkata, “Belakangan ini muncul banyak sekali pendekar silat, tapi hanya sedikit yang sungguh-sungguh bisa dibilang ahli.”

Huang Rong bertanya, “Yang sedikit itu siapa saja?”

Qiu Qianren menjawab, “Lima Pendekar Besar yang sudah terkenal di Wulin, Si Sesat Timur, Racun Barat, Kaisar Selatan, Pengemis Utara, dan Dewa Pusat. Namun demikian, Dewa Pusat, Wang Chongyang punya kemampuan yang terbaik. Sementara keempat orang lainnya, mereka masing-masing adalah ahli di bidangnya. Tapi seseorang selain punya kekuatan, pasti juga punya kelemahan. Kalau orang bisa membaca kelemahan mereka, tidak sulit untuk mengalahkan mereka.”

Dengan kata-kata itu, Qiu Qianren mengejutkan Lu Xiansheng, Huang Rong, dan Guo Jing. Lu Guanying tidak tahu apa-apa tentang lima orang hebat itu, dan tidak tahu mengapa yang lainnya terkejut. Huang Rong sebenarnya kagum pada Qiu Qianren ketika melihatnya unjuk kebolehan, tetapi ketika mendengar ucapannya yang dianggap tidak hormatnya terhadap ayahnya, ia sangat marah dan tertawa sopan sebelum bertanya, “Jadi kalau qianbei bisa mengalahkan lima pendekar besar, bukankah itu akan jadi prestasi luar biasa bagimu?”

Qiu Qianren menjawab, “Wang Chongyang sudah meninggal. Aku terjebak dalam beberapa urusan di rumah selama kompetisi di Hua Shan dan tidak bisa menghadirinya. Itu sebabnya pendeta Tao tua itu bisa mencuri gelar ‘nomor satu’. Pada saat itu mereka berlima bersaing untuk mendapatkan Jiu Yin Zhen Jing, memutuskan bahwa pemenangnya akan mendapatkan kitab itu. Mereka berduel selama tujuh hari tujuh malam dan Sesat Timur, Racun Barat, Pengemis Utara, dan Kaisar Selatan kalah. Belakangan saat Wang Chongyang meninggal dunia, terjadi kekacauan lagi. Kudengar pendeta Tao tua itu memberikan Jiu Yin Zhen Jing kepada adik seperguruannya, Zhou Botong. Sesat Timur, Huang Yaoshi buru-buru ke sana, dan Zhou Botong bukan tandingannya, maka Huang Yaoshi mendapatkan setengah dari kitab itu. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi kemudian.”

Huang Rong dan Guo Jing diam-diam berpikir, “Ternyata di tengah-tengahnya masih banyak urusan yang rumit. Setengahnya lagi dicuri oleh Sepasang Iblis.”

Huang Rong berkata, “Karena qianbei punya kungfu lebih tinggi, maka kitab itu seharusnya jadi milik qianbei.”

Qiu Qiangren menjawab, “Aku tidak tertarik untuk itu. Keempat orang itu sebetulnya biasa saja, dan mereka sudah mempersiapkan diri sejak lama untuk memperebutkan gelar ‘nomor satu’. Akan sangat menarik melihat kompetisi mereka yang kedua.”

Huang Rong bertanya, “Ada kompetisi Hua Shan yang kedua?”

Qiu Qianren menjawab, “Setiap dua puluh lima tahun sekali. Kalau yang tua meninggal, maka generasi yang lebih muda akan mengambil alih. Kompetisi Hua Shan berikutnya akan berlangsung dalam waktu satu tahun. Tapi selama beberapa tahun belakangan ini tidak ada bakat baru yang menonjol. Kurasa berikutnya masih akan kami-kami yang tua ini lagi. Ah, tidak ada keturunan yang menonjol, berarti kemampuan generasi mendatang tidak akan sebagus generasi sebelumnya.” Ia menggelengkan kepalanya sambil bicara, seolah-olah penuh penyesalan.

Huang Rong bertanya, “Apa qianbei mau ikut kompetisi tahun depan? Kalau ya, tolong ajak kami, aku senang sekali melihat pertarungan kungfu.”

Qiu Qianren mendengus. “Wah, itu omongan anak kecil! Kau menganggap yang seperti itu bertarung? Alu tadinya tidak ingin pergi. Aku sudah tua, kenapa harus berebut gelar yang tidak berguna itu? Tapi aku punya satu urusan penting, yang berhubungan dengan keselamatan semua orang. Aku akan jadi orang egois dan serakah kalau tidak mau maju untuk membantu, atau masalahnya bisa berubah menjadi malapetaka.”

Mereka berempat sangat terkejut mendengar nada bicaranya yang gelisah, dan buru-buru menanyakan apa masalah itu.

Qiu Qianren menjawab, “Ini urusan rahasia. Karena Saudara Guo dan Huang bukan orang dunia persilatan, maka sebaiknya tidak mendengarnya.”

Huang Rong tertawa. “Lu Xiansheng teman baikku. Kalau kau memberi tahu dia dan tidak memberi tahu aku, dia akan tetap menceritakannya kepadaku.” Lu Xiansheng diam-diam mengomeli Huang Rong karena begitu tebal muka, tapi ia tidak membantah ucapannya.

Qiu Qianren lalu berkata, “Kalau begitu aku akan memberi tahu kalian semua. Tapi sebelum masalah ini terpecahkan, harap kalian bisa menjaga rahasia.”

Guo Jing berpikir, “Kami tidak punya hubungan apa-apa dengan dia, dan karena urusan itu rahasia, rasanya lebih baik tidak usah mendengar.” Ia berdiri dan mengumumkan, “Kami berdua mohon pamit!”

Ia menarik tangan Huang Rong dan hendak pergi ketika mendengar Qiu Qianren menjawab, “Karena kalian berdua adalah teman baik Lu Xianshen, maka kalian bukan orang luar. Silakan duduk!” Sambil bicara ia menepuk bahu Guo Jing. Guo Jing tidak merasa tenaga dalamnya istimewa, tapi ia menurut dan kembali ke tempat duduknya.

Qiu Qianren berdiri dan bersulang untuk keempat orang itu, sebelum melanjutkan penuturannya. “Tidak lebih dari setengah tahun dari sekarang, Kekaisaran Song akan mengalami kesulitan besar. Ada yang tahu mengapa?” Semua orang terperanjat melihat ekspresi mukanya yang serius. Lu Guanying melambaikan tangannya kepada para pelayan supaya mereka meninggalkan ruangan, dan memerintahkan supaya jangan membawa masuk makanan lagi.

Qiu Qianren melanjutkan, “Aku mendapat berita bahwa dalam waktu enam bulan, Kekaisaran Jin akan menyerang Selatan, dan Kekaisaran Song kita akan lenyap. Ah, ini begitu mendadak, tak ada sesuatu yang bisa kita lakukan!”

Guo Jing waspada dan berkata, “Kalau begitu Qiu qianbei harus pergi untuk memberi tahu Kekaisaran dan meminta mereka bersiap-siap dengan rencana untuk menghadapinya.”

Qiu Qianren menatapnya dan mengomel, “Kau anak muda tahu apa? Kalau Kekaisaran Song bersiap-siap, maka kita akan menderita kekalahan yang lebih besar lagi.” Tak satu pun dari mereka memahami apa yang dikatakannya. Mereka memandangnya dengan cemas.

Ia melanjutkan, “Kepalaku hampir pecah berusaha memeras otak untuk melindungi rakyat, dan kelihatannya hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan negeri ini. Aku sudah keliling seluruh Jiangnan untuk ini. Aku mendengar bahwa Pangeran Kecil Jin dan juga Komandan Duan ditahan di rumah ini, kenapa tidak kita undang mereka untuk berdiskusi?”

Lu Xiansheng tidak tahu bagaimana cara Qiu Qianren mengetahui hal itu, tapi ia segera menyuruh para pelayannya membawa kedua orang itu masuk. Ia memerintahkan supaya rantai mereka dibuka, tetapi tidak memberikan mereka makanan. Guo Jing dan Huang Rong melihat bahwa Wanyan Kang terlihat lemah dan kelelahan. Komandan Duan kira-kira berusia lima puluh tahun, dengan berewok tebal dan ekspresi muka ketakutan.

Qiu Qianren menatap Wanyan Kang dan bertanya, “Xiao Wangye menderita?”

Wanyan Kang mengangguk dan berpikir, “Entah bagaimana Guo Jing dan Huang Rong bisa ada di sini.” Ketika ia berkelahi dengan Lu Guanying dan Lu Xiansheng hari itu, ia tidak melihat mereka berdua, yang bersembunyi di salah satu sudut. Ketiganya saling melihat, tapi tidak saling menyapa.

Qiu Qianren menoleh kepada Lu Xiansheng dan berkata, “Ada begitu banyak harta di depan rumahmu ini, kenapa Saudara Lu tidak mengambilnya?”

Lu Xiansheng penasaran dan bertanya, “Aku hidup sederhana sebagai orang desa, apa maksud qianbei ‘harta’?

Qiu Qianren menjawab, “Waktu tentara Jin menyerang Selatan, peperangan besar akan dimulai dan korban jiwa akan sangat banyak. Kalau Saudara Lu mengumpulkan para pendekar dari Jiangnan, dan maju bersama, maka kalian akan menyingkirkan tentara Jin dan bisa mendamaikan negeri ini.”

Lu Xiansheng diam-diam berpikir, “Ini ternyata benar-benar masalah serius.” Ia buru-buru menjawab, “Adalah kehormatan bagiku bisa ikut berperang untuk negaraku, dan itu juga adalah tanggung jawabku. Aku berusaha setia kepada negaraku, tetapi para pejabat negara tidak menghargainya. Kalau seseorang pada dasarnya jahat, meskipun menjadi pendeta akan tetap percuma kalau tidak punya moral yang baik. Kuharap qianbei mau memberi petunjuk, dan wanbei akan mengikuti, kami akan merasa sangat berterima kasih. Aku tidak mencari harta atau imbalan.”

Qiu Qianren mengelus jenggotnya dan tertawa. Ia baru hendak menjawab ketika pengurus rumah tergopoh-gopoh masuk dan melaporkan, “Pemimpin Zhang melihat enam orang yang mencurigakan di danau. Mereka sudah sampai di depan rumah.”

Lu Xiansheng pucat. Ia berkata, “Cepat undang mereka masuk!”

Ia diam-diam berpikir, “Mengapa ada enam orang? Mungkinkah Hei Feng Shuang Sha menemukan sekutu?”


Da Yun He (大運河)
Tempat ini dikenal sebagai Jing-Hang Da Yun He (京杭大运河), secara literal maknanya adalah Terusan Besar dari Ibukota ke Hangzhou. Ini adalah terusan (sungai buatan) terpanjang di dunia. Dunia internasional mengenalnya dengan nama sederhana, yaitu 'Grand Canal'. Bermula dari Beijing, terusan ini melewati beberapa propinsi, seperti Henan, Shandong, Jiangsu, Zhejiang, sampai ke kota Hangzhou, dan menghubungkan Sungai Kuning (Huang He), dan Yangtze. Meskipun sudah ada sejak abad ke 5 SM, tetapi puncak pembuatannya adalah dalam era Dinasti Sui, di tangan Kaisar yang terakhir, Yang Guang (楊廣), dikenal sebagai Kaisar Yang dari Sui.
Satuan Li
1 li kurang lebih = 500m
Xiansheng (先生)
Setara dengan "Tuan", tetapi biasanya digunakan untuk memanggil seorang terpelajar, seperti misalnya, di masa itu, seorang sastrawan.
Zai Xia (载下)
Bisa diterjemahkan secara bebas menjadi "Aku yang rendah ini". Panggilan untuk diri sendiri sebagai orang ketiga tunggal yang bertujuan merendah di hadapan orang lain yang dipandang lebih tinggi derajatnya. Ini adalah bagian dari sopan-santun ketimuran, setara dengan 'kulo' dalam bahasa Jawa.
Shao Ye (少爺)
Tuan Muda, kurang lebih sama dengan Gong Zi
Shi Chen (時辰)
Satuan waktu 'Shi Chen'. Satu shichen setara dengan 2 jam.
Empat Iblis Sungai Kuning (黃河四鬼)
Huang He Si Gui, barangkali lebih tepat disebut sebagai 'Empat Hantu Sungai Kuning', tetapi istilah tersebut kurang enak dibaca maupun didengar. Secara estetika istilah 'Empat Iblis' terlihat lebih baik. 4 murid Sha Tongtian ini masing-masing adalah:
  1. Shen Qinggang (沈青剛; Shěn Qīnggāng), julukannya "Golok Pencabut Nyawa" (斷魂刀)
  2. Wu Qinglie (吳青烈; Wú Qīngliè), julukannya "Tombak Pengejar Nyawa" (追命槍)
  3. Ma Qingxiong (馬青雄; Mǎ Qīngxióng), julukannya "Cambuk Pengejar Jiwa" (奪魄鞭)
  4. Qian Qingjian (錢青健; Qián Qīngjiàn), julukannya "Kapak Gerbang Maut" (喪門斧)
Tu Di Po (土地婆) dan Tu Di Gong (土地公)
Tu Di Po kurang lebih bermakna 'Land Lady' dan Tu Di Gong adalah Sang 'Tuan' (Land Lord). Keduanya adalah simbol dari kepercayaan setempat. Secara tradisional orang-orang Tionghoa percaya bahwa 'Tanah' atau bumi yang dipijak ini ada pemiliknya (yang kurang lebih bersifat 'ilahi'). Maka kalau Sang Pemilik itu perempuan, otomatis mereka menyebutnya 'Po' (seperti dalam istilah 'Popo'), sedangkan laki-laki akan disebut 'Gong', yang berarti 'Tuan Tanah', tetapi dalam arti spiritual. Secara umum istilah ini bisa diterjemahkan menjadi Dewa dan Dewi Tanah.
Mo Nu (魔女)
Arti literalnya adalah 'Perempuan Jahat', tapi dalam konteks cerita silat istilah ini biasa diterjemahkan menjadi Iblis Perempuan atau Perempuan Iblis. Contoh nyata adalah Mei Chaofeng, yang dipanggil "Mei Monu" (梅魔女).
Qin (琴)
Sitar
Jiu Hua Yulu Wan (九花玉露丸)
Arti literal per karakter dari istilah ini adalah sbb:
  • Jiu (九) = Sembilan
  • Hua (花) = Bunga
  • Yu (玉) = Batu Giok
  • Lu (露) = Embun
  • Wan (丸) = Pil
Mengingat ada uraian bahwa pil tersebut dibuat dengan mengumpulkan embun dari 9 bunga, maka cukup masuk akal kalau kita terjemahkan menjadi 'Pil Embun Sembilan Bunga Batu Giok'.
Gu Niang (姑娘)
Nona, panggilan umum untuk seorang perempuan muda yang belum menikah.
Xiao Mei (小妹)
Sama seperti "Mei Mei" yang berarti "Adik Perempuan", istilah ini biasa dipakai untuk memanggil diri sendiri sebagai orang ketiga tunggal dalam percakapan yang agak formal. Xiao (小) berarti "kecil".
Wu Lin (武林)
Makna literal karakter Wu (武) adalah 'ilmu perang' atau boleh dibilang 'ilmu bela diri', atau 'ilmu silat'. Sedangkan Lin (林) adalah 'hutan'. Dengan demikian istilah ini bisa diartikan 'Rimba Persilatan', atau yang lebih populer bagi kita adalah 'Dunia Persilatan'.
Xiao Wang Ye (小王爷)
Wang Ye (王爷) sendiri adalah panggilan untuk seorang Raja dalam sistem Kekaisaran yang diwariskan Qin Shi Huang, dan dikembangkan lebih lanjut dengan berbagai revisi dari jaman ke jaman. Tentu saja "Raja" di sini harus dibedakan dengan "Kaisar", di mana Raja hanya bertanggung jawab kepada Kaisar, dan diangkat oleh Kaisar. Kedudukan Raja tersebut adalah kurang lebih setara dengan seorang Gubernur dalam sistem modern. Karakter Xiao (小) artinya adalah "kecil". Secara keseluruhan panggilan ini ditujukan kepada putra seorang Raja (bukan Kaisar).
Wan Bei (晚辈)
Panggilan untuk diri sendiri sebagai orang ketiga tunggal, dengan tujuan merendahkan diri. Ini dipakai seseorang ketika sedang berhadapan dengan seorang senior (Qianbei 前辈).
Qian Bei (前辈)
Panggilan hormat kepada generasi yang lebih tua.

atau ‘Pa’ atau ‘Pak’ berarti ‘Delapan’, sedangkan ‘Gua’ atau ‘Kwa’ adalah ‘Tiga Garis’ atau ‘Trigram’. Setiap ‘Gua’ terdiri dari tiga simbol Yao. Singkatnya, Ba Gua punya sembilan bidang yang membentuk oktagon. Di titik pusatnya terdapat simbol Yin-Yang dari ajaran Tao. Delapan bidang yang mengelilinginya diisi dengan Delapan ‘Gua’ tadi (yang bervariasi).

Perang Antara Wu — Yue

Fan Li adalah seorang menteri dari Kerajaan Yue, yang sempat menjadi tawanan politik bersama-sama dengan Raja Guojian dari Yue sendiri, di Negeri Wu. Mereka menjalani kehidupan yang dirasa sangat hina sebagai tawanan politik selama tiga tahun, sebelum akhirnya kembali ke Yue. Ketika kembali, Fan Li membantu Raja Goujian untuk membalas dendam kepada Kerajaan Wu.

Salah seorang menteri Yue, yaitu Wen Zhong10, punya gagasan untuk melatih sejumlah besar wanita sebagai mata-mata, dan mengirimkannya kepada Raja Fuchai dari Wu. Gagasan tersebut timbul dibenaknya karena Raja Fuchai dikenal sangat lemah terhadap wanita. Pada tahun 490 SM, Fan Li menemukan Xi Shi, seorang wanita dengan karisma yang sangat istimewa, dan mengajukannya untuk dikirim sebagai ‘hadiah’ kepada Raja Fuchai. Usul tersebut dengan segera diterima oleh Raja Goujian dari Yue.

Pancingan tersebut mengenai sasaran dengan sangat telak. Raja Fuchai, terpesona oleh Xi Shi, dan seorang wanita lain lagi yang bernama Zheng Dan, mengabaikan semua urusan negara, terlena dalam buaian mereka. Melalui permainan politik yang cukup rumit, Xi Shi berhasil menjerat dan mengelabuhi Raja Fuchai, sehingga akhirnya menghukum mati jendral besarnya, Wu Zixu. Raja Fuchai bahkan membangun sebuah istana untuk Para Perempuan Cantik, yang terletak di kaki bukit Lingyan, sekitar 15 km di sebelah Barat Suzhou.

Cerita mengenai Raja Fuchai dari Wu nyaris sama persis dengan cerita yang datang dari era jauh lebih kuno, yakni Dinasti Shang, tentang Raja Zhou dari Shang, yang dianggap mengabaikan semua urusan negara demi menemani seorang selir cantik bernama Da Ji. Perbedaannya adalah, Xi Shi tidak memperlihatkan kekejaman setingkat Da Ji, tetapi memainkan peranan yang sangat halus, membunuh Sang Raja dengan perbuatannya sendiri.

Tak lama setelah jendral terbaiknya, Wu Zixu, tewas dibunuhnya sendiri, Raja Fuchai yang masih larut dalam buaian Xi Shi tidak menyadari rencana Raja Goujian untuk menyerang Wu. Pada tahun 473 SM, Goujian sungguh-sungguh melancarkan serangannya, dan menghancur-leburkan Kerajaan Wu. Raja Fuchai meratapi kebodohannya, dan berkata bahwa seharusnya ia mendengarkan nasehat Wu Zixu, tetapi semuanya sudah terlambat. Ia berakhir dengan bunuh diri setelah kekalahan itu.

Setelah berhasil menaklukkan Wu, Fan Li sendiri mengundurkan diri dari pemerintahan. Menurut legenda, ia hidup menyepi di Danau Tai bersama dengan Xi Shi, yang menjadi istrinya.

Fan Li yang telah mengundurkan diri memberikan nasehat kepada rekannya, Wen Zhong, setelah menyadari bahwa Raja Goujian selalu melihat rekannya ini sebagai sosok yang berbahaya, mengingat ia adalah orang yang memegang tampuk pemerintahan sementara Raja Goujian sendiri menjadi tawanan Wu selama tiga tahun. Setelah menerima surat Fan Li, Wen Zhong menolak untuk menghadiri rapat dengan Raja, berpura-pura sakit. Keesokan harinya ia meninggalkan Negeri Yue, dan mengungsi ke Negeri Qi.

  1. Danau Tai (Taihu, 太湖). Danau ini terletak di propinsi Jiangsu, tetapi sebelah selatannya berbatasan dengan Zhejiang. Ini adalah danau air tawar terbesar ketiga di Tiongkok, setelah Poyang dan Dongting. Danau itu memiliki 90 pulau tersendiri, yang ukurannya bervariasi, mulai dari hanya beberapa meter persegi, sampai beberapa kilometer persegi. Danau ini juga menjadi induk dari beberapa sungai, termasuk di antaranya adalah Sungai Suzhou, yang melewati pusat kota Shanghai. Di jaman modern, Danau Tai telah tercemar berat oleh polusi sebagai akibat dari perkembangan industri. 

  2. Xi Shi, yang nama aslinya dalah Shi Yiguang (施夷光), adalah salah satu dari Empat Wanita Tercantik dalam sejarah Tiongkok. Dikatakan ‘tercantik’, ini adalah karena pesona mereka, dengan salah satu cara, berhasil mempengaruhi manusia yang dianggap punya posisi maha penting saat itu, mulai dari seorang pahlawan besar, sampai seorang Kaisar. Ketiga wanita lainnya adalah Wang Zhaojun, Diao Chan, dan Selir Yang. Dalam realita, Xi Shi adalah seorang mata-mata yang dikirim oleh Raja Goujian dari Yue untuk mengelabuhi Raja Fuchai dari Wu. Orang yang mula-mula menemukan bakat alamiah Xi Shi adalah Penasehat Fan Li dari Yue. 

  3. Kisah tersebut adalah bagian dari sejarah nyata, yang terjadi dalam Periode Musim Semi dan Musim Gugur (770 — 481 SM). Era ini adalah periode kedua dari Dinasti Zhou, di mana dinasti tersebut sebenarnya sudah kehilangan sebagian besar kekuatannya. Filsuf besar dari Tiongkok, Konfusius, hidup di era ini. Cuplikan kisah mengenai perseteruan Wu dan Yue agak panjang, dan sebetulnya tidak ada kaitannya dengan kisah ini sendiri. Tetapi tetap saya sertakan di sini untuk menjaga konsistensi dengan karya asli Jin Yong. Dalam penuturan Huang Rong di atas, yang menceritakan bahwa Wen Zhong tewas dibunuh oleh Raja Goujian dari Yue, sebenarnya bertentangan dengan sejarah yang menceritakan bahwa Wen Zhong mendapat nasehat dari Fan Li, yang saat itu sudah mengundurkan diri, untuk meninggalkan Raja Goujian. Dalam sejarah, Raja Goujian memang bernia menyingkirkannya, tetapi Wen Zhong sukses mengundurkan diri dan masih tetap hidup. 

  4. Panggilan ‘Xiong Di’ memang ditujukan untuk laki-laki. Saat itu Huang Rong memang sedang berdandan seperti laki-laki. Karena itu tuan rumah memanggilnya begitu. 

  5. Delapan Diagram (Ba Gua, 八卦) adalah simbol dari sebuah sistem kosmogoni dan filsafat Tiongkok Kuno. Sistem itu sendiri adalah cabang astrofisika yang mempelajari asal-muasal dan struktur alam semesta. Kalau ‘Ba Gua’ terasa asing, barangkali kalau saya tulis ‘Pat Kwa’ atau ‘Pa Kwa’ menjadi lebih familiar bagi seorang Indonesia. Nama itu sendiri, ‘Ba’, 

  6. 1 jin kira-kira 1.1 pound. 100 jin yang disebutkan itu kira-kira 110 pound, atau sekitar 50kg. 

  7. Cerita itu sebetulnya bermaksud menunjukkan sikap kasar seorang perempuan, yang dipandang tidak terhormat. Di masa itu seorang wanita ideal seharusnya bersikap lemah-lembut dan patuh. 

  8. Luohan adalah istilah bahasa mandarin untuk Arhat, atau Arahant. Adalah salah seorang dari murid langsung Siddhartha Gautama, pelopor ajaran Budha. Siddhartha Gautama adalah pribadi yang dirujuk oleh istilah “Budha” itu sendiri. Luohan atau Arhat adalah muridnya yang dianggap telah mendapatkan pencerahan mengenai sifat sejati dari keberadaan, dan menerima “Nirwana”, sehingga terbebas dari siklus berulang yang disebut “inkarnasi” atau dilahirkan kembali. Arhat sendiri adalah seorang murid historis (bandingkan dengan ‘murid spiritual’) dari Siddhartha Gautama. Di Indonesia barangkali istilah ini menjadi populer seiring dengan mencuatnya sejenis ikan hias yang diberi nama “Luohan”, pada saat terjadi krisis moneter di tahun 1998. 

  9. Istilah “Budha Rulai” dalam bahasa Mandarin dan Jepang adalah (如来, dibaca Ru Lai) adalah sebuah istilah di dalam agama Budha. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali adalah “Tathāgata”. Istilah itu bisa diartikan “Ia telah pergi”, namun bisa juga diartikan “Ia telah datang”, tetapi mengingat konteks spiritualnya, kemungkinan makna sebenarnya adalah “Ia telah menemukan kebenaran”. Konon, istilah ini digunakan oleh Siddhartha Gautama untuk memanggil dirinya sendiri dalam bentuk orang ketiga tunggal. 

  10. Wen Zhong adalah menteri Kerajaan Yue yang mengambil alih pemerintahan ketika Raja Goujian menjadi tawanan Wu.