Sesaat kemudian Lu Guanying teringat tamu mereka yang lain. Ia membantu Wanyan Kang berdiri tapi ternyata Wanyan Kang tidak bisa bergerak karena jalan darahnya masih tertotok. Hanya matanya yang bergerak.

“Aku menerima permintaan gurumu, kau boleh pergi,” kata Lu Chengfeng. Ia tidak ingin membuka totokannya, karena orang lain di luar perguruannya yang melakukan itu. Jika ia melakukannya, ia akan menunjukkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Oleh karena itu ia melemparkan pandangannya ke arah tamunya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun, Zhu Cong telah mendekati Wanyan Kang dan memukul beberapa kali di pinggangnya, dan menepuk punggungnya lagi. Totokan itu pun terbuka.

Lu Chengfeng terkesan. “Kungfu Wanyan Kang ini tidak lemah, tapi orang ini mampu menotoknya. Kungfunya pasti bagus,” pikirnya. Yang tidak diketahuinya adalah, Zhu Cong memanfaatkan keributan ketika atap runtuh sehingga Wanyan Kang bahkan tidak menyadari apa yang sedang terjadi.

Wanyan Kang merasa malu, ia berbalik dan berjalan pergi tanpa mengatakan apa-apa. Zhu Cong melihat perwira Jin itu masih terbaring. Ia membuka totokannya dan berseru, “Siapa petugas ini? Bawa dia pergi.”

Petugas itu mengira ia bakal mati, tapi ternyata ia secara tak terduga dibebaskan. Ia senang dan buru-buru bersujud, “Para pendekar… terima kasih banyak telah menyelamatkan hidupku yang rendah ini. Duan Tiande tidak akan melupakannya seumur hidup. Lain kali kalau mengunjungi ibukota, silakan mampir ke rumahku, aku akan melayani kalian dengan sepenuh hati…”

Guo Jing mendengar nama ‘Duan Tiande’, telinganya serasa mendengung. Dengan suara gemetar ia bertanya, “Kau… namamu Duan Tiande?”

“Betul,” jawab Duan Tiande. “Duan Tiande siap melayani Shao Xia.”

“Delapan belas tahun yang lalu, apakah kau bertugas sebagai pejabat militer di Lin’an?” tanya Guo Jing lagi.

“Dari mana Shao Xia tahu hal itu?” tanya Duan Tiande. Kemudian ia teringat bahwa Lu Chengfeng pernah menyebutkan bahwa Lu Guanying adalah murid biksu Kumu. Ia menoleh ke Lu Guanying dan berkata, “Aku keponakan Biksu Kumu, hanya saja aku tidak masuk biara. Tak disangka kita sekeluarga. Hahaha…!” Ia tertawa riang.

Guo Jing memandangnya dengan aneh tapi tidak mengatakan apapun. Sementara Duan Tiande masih tersenyum gembira. Setelah beberapa saat, Guo Jing mendapatkan kembali ketenangannya dan menoleh ke arah Lu Chengfeng. “Lu Xiansheng, boleh kupinjam halamanmu sebentar?” tanyanya.

“Oh, silakan pakai seperlunya,” kata Lu Chengfeng.

Guo Jing menggandeng lengan Duan Tiande dan membawanya ke halaman dengan langkah lebar. Perasaan Enam Orang Aneh dari Jiangnan campur aduk. Mereka pikir Surga memang punya mata. Seandainya ia tidak menyebutkan namanya sendiri, mereka tidak akan tahu ia adalah orang yang mereka cari selama tujuh tahun dan menempuh jarak puluhan ribu li ini.

Lu Chengfeng dan putranya, bersama dengan Wanyan Kang mengikuti di belakang. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan Guo Jing.

Halamannya diterangi oleh obor yang dipegang para pelayan pemukiman besar itu. Guo Jing meminjam beberapa alat tulis, yang juga segera disediakan oleh para pelayan. Guo Jing lalu menoleh ke Zhu Cong.

“Er Shifu,” pintanya. “Bisakah aku minta tolong Er Shifu menuliskan nama ayah?” Zhu Cong memenuhi permintaannya. Ia menulis dalam huruf besar, ‘Papan Peringatan Keluarga Guo untuk Pendekar yang saleh Xiaotian’1 dan meletakkannya di tengah meja.

Ketika dibawa keluar dari aula, Duan Tiande mengira mereka akan menikmati makanan dan minuman, tetapi begitu melihat nama ‘Guo Xiaotian’, darah seolah lenyap dari wajahnya, mukanya pucat pasi. Ia melihat sekeliling dan menyadari bahwa Enam Orang Aneh dari Jiangnan telah mengambil posisi mengepungnya. Ia sangat takut, terutama sekali kepada Han Baoju, dengan perawakannya yang pendek dan gemuk, tanpa sadar ia kencing di celana. Hari itu ketika ia membawa ibu Guo Jing ke Utara, dan dikejar oleh Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan, ia berhenti di sebuah penginapan untuk bermalam. Ia mendengar suara berisik dan mengintip melalui celah di pintu dan saat itu ia telah melihat Han Baoju. Perawakan pendek dan kekar Han tidak mudah dilupakan. Sebelumnya pada hari itu mereka bertemu di aula, tetapi karena ia seorang tahanan, maka ia lebih kuatir akan nasibnya sendiri, sehingga ia tidak terlalu memperhatikan orang lain. Tapi sekarang di bawah cahaya obor yang terang, tidak mungkin salah mengenali Han Baoju sebagai orang lain.

Guo Jing menghancurkan sebuah meja dan berteriak keras, “Sekarang katakan, kau ingin mati cepat dan mudah, atau ingin aku mencincang tubuhmu menjadi seribu potong sebelum membunuhmu?”

Duan Tiande tahu ia tidak akan melihat esok hari. Ia cepat-cepat cari akal, apapun yang bisa menyelamatkan hidupnya. “Ayahmu, Pendekar Guo, kematiannya sangat disayangkan dan aku memang punya peranan kecil dalam kematiannya, tapi… apa yang bisa kulakukan perwira rendahan di depan seorang atasan?” katanya dia tergagap.

“Apa maksudmu? Siapa itu? Siapa yang menyuruhmu mencelakai ayahku? Cepat katakan!” bentak Guo Jing.

“Pangeran Keenam dari Jin, Pangeran Wanyan Honglie,” jawab Duan Diande.

“Apa kau bilang?” sela Wanyan Kang kaget.

Pada titik ini yang dapat dipikirkan Duan Tiande adalah, jika ia jatuh, orang lain harus ikut jatuh bersamanya. Siapa tahu ia bisa lolos. Oleh karena itu tanpa menyembunyikan apapun ia menceritakan bagaimana Wanyan Honglie tergila-gila kepada istri Yang Tiexin, Bao Xiruo. Bagaimana ia bersekongkol dengan para pejabat Song untuk membunuh Yang Tiexin sementara Wanyan Honglie berpura-pura menjadi orang baik yang menyelamatkan Bao Xiruo. Ia menceritakan bagaimana mereka menggeledah Desa Niu dan akhirnya membunuh Guo Xiaotian. Bagaimana Duan Tiande kemudian membawa ibu Guo Jing ke Yanjing2 dan kemudian bergabung dengan utusan Jin ke Mongolia. Ia menjelaskan betapa selama masa kekacauan di Mongolia ia terpisah dari ibu Guo Jing. Bagaimana ia memutuskan untuk kembali ke Lin’an dan bekerja dengan rajin sebagai prajurit, akhirnya dipromosikan ke posisinya saat ini. Ia mengakhiri ceritanya dengan berlutut di depan Guo Jing.

“Guo Shaoxia, Guo Da Ren,” katanya. “Tolong jangan salahkan hambamu yang hina ini. Aku melihat betapa sopan ayahmu, betapa serius ekspresinya. Aku ingin berteman dengannya, hanya… hanya… hambamu yang hina ini seorang perwira yang berpangkat sangat rendah dan aku harus mematuhi perintah. Tidak ada gunanya bagiku punya niat baik. Surga adalah saksiku, bagaimana aku, Duan Tiande, tidak punya permusuhan terhadap siapa pun…” Ia melihat ekspresi Guo Jing tidak berubah sedikit pun dan ia juga tidak mengatakan apa-apa. Ia bergegas bergeser ke meja dan berlutut di depan papan peringatan Guo Xiaotian. “Guo Da Ren,” lanjutnya. “Aku yakin rohmu di surga sangat jelas bahwa Pangeran Keenam Wanyan Honglie yang membunuhmu, dan bukan makhluk rendahan di depanmu ini. Hari ini aku menyaksikan bahwa putramu adalah pemuda yang luar biasa, arwahmu pasti sangat bangga padanya. Aku berdoa supaya dengan restumu ia akan memaafkan anjing rendahan seperti aku ini…”

Saat ia masih mengoceh, Wanyan Kang dengan sigap melompat, menghantam dengan kedua tangannya dan memecahkan tengkoraknya. Ia ambruk dan tewas seketika.

Guo Jing berlutut di depan meja, menangis tak terkendali. Baru sekarang Lu Chengfeng memahami kisah sebenarnya, maka bersama dengan putranya dan Enam Orang Aneh dari Jiangnan, mereka membungkuk untuk memberi hormat di depan papan peringatan untuk Guo Xiaotian. Wanyan Kang juga berlutut dan bersujud beberapa kali. Kemudian ia berdiri dan berkata, “Kakak Guo, hari ini aku tahu bahwa.. bahwa Wanyan Honglie adalah musuh besar kita. Adikmu ini tidak menyadarinya dan sudah melakukan banyak tindakan tercela, lebih seperti kejahatan keji.” Dan kemudian ia teringat penderitaan ibunya dan menangis dengan sedihnya.

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” tanya Guo Jing sambil mengangkat kepalanya.

“Adikmu hari ini menemukan fakta, bahwa margaku sebenarnya adalah “Yang”, nama “Wanyan” ini sebetulnya tidak ada kaitannya apa-apa denganku. Mulai sekarang aku akan memakai nama Yang Kang,” jawab Wanyan Kang.

“Bagus,” seru Guo Jing. “Akhirnya kau jadi seorang pria sejati yang tidak melupakan asal-usulmu. Aku akan pergi ke Yanjing2 besok untuk membunuh Wanyan Honglie. Kau mau ikut apa tidak?”

Yang Kang masih teringat akan kebaikan hati Wanyan Honglie yang membesarkannya seperti putranya sendiri, karena itu ia ragu-ragu sejenak. Tetapi karena melihat tatapan tajam Guo Jing, ia buru-buru menjawab, “Aku akan mengikuti Da Ge untuk membalas dendam.”

Guo Jing sangat gembira. “Bagus! Kau sudah tahu bahwa kedua ayah kita adalah saudara angkat, dan ibuku bilang bahwa mereka sudah berikrar supaya kita juga menjadi saudara angkat. Apa pendapatmu?”

“Aku juga berharap begitu,” jawab Yang Kang. Jadi mereka saling menanyakan tanggal kelahiran mereka, dan ternyata Guo Jing lahir dua bulan sebelum Yang Kang. Mereka berlutu di hadapan papan peringatan Guo Xiaotian, lalu saling bersujud delapan kali dan menjadi saudara angkat.

Setelah semua urusan beres, mereka semuanya beristirahat di Rumah Awan. Keesokan harinya pagi-pagi sekali, Guo Jing, Yang kang, dan juga Enam Orang Aneh dari Jiangnan mengucapkan selamat tinggal kepada Lu Xiansheng dan putranya. Lu Chengfeng memberikan sejumlah uang bagi setiap tamunya sebagai bekal untuk membiayai perjalanan mereka.

Setelah meninggalkan Rumah Awan, Guo Jing berkata kepada guru-gurunya, “Muridmu dan Adik Yang akan pergi ke Utara untuk membunuh Wanyan Honglie. Aku minta nasihat dari para Shifu sekalian.”

Perayaan Pertengahan Musim Gugur masih beberapa minggu lagi, sementara kami tidak punya sesuatu yang mendesak untuk dilakukan. Kupikir kami sebaiknya menemanimu untuk mengurus masalah penting ini,” kata Ke Zhen’E. Zhu Cong dan yang lainnya setuju.

“Jasa kalian kepada muridmu ini sudah setinggi gunung. Kungfu Wanyan Honglie biasa-biasa saja. Dengan bantuan Adik Yang, aku yakin membunuhnya tidak akan jadi masalah sulit. Demi muridmu Shifu sekalian sudah meninggalkan Jiangnan selama lebih dari sepuluh tahun. Sekarang setelah kalian kembali ke kampung halaman, muridmu tidak berani menyusahkan Shifu sekalian dengan urusan pribadi.”

Keenam Orang Aneh menganggap Guo Jing sangat masuk akal. Dan juga mereka melihat dengan mata kepala sendiri bahwa kungfu Guo Jing sudah berkembang begitu pesat. Oleh karena itu mereka tidak mendesaknya dan satu per satu mereka memberikan berkatnya kepada pemuda itu.

Akhirnya Han Xiaoying berkata, “Masalah Pulau Bunga Persik, kupikir kau tidak perlu pergi.” Ia tahu Guo Jing benar-benar jujur, dan bahwa Huang Yaoshi pemarah dan tabiatnya aneh dan kejam. Kalau Guo Jing pergi ke Pulau Bunga Persik, kemungkinan besar ia akan menemui kejadian yang tidak menguntungkan.

“Kalau tidak pergi, bukankah itu berarti aku mengingkari janji?” tanya Guo Jing.

“Kalau berhadapan dengan monster, kita tidak harus pakai segala etika,” sela Yang Kang. “Ge, kurasa kau terlalu kaku memegang aturan dan tradisi kuno.”

Ke Zhen’E mendengus dan berkata, “Jing’er, sebagai pendekar sejati kita harus menepati janji. Hari ini adalah hari kelima bulan keenam, kita akan bertemu lagi pada hari pertama bulan ketujuh di Paviliun Dewa Mabuk, di Jiaxing. Lalu kita akan pergi ke Pulau Bunga Persik bersama-sama. Sekarang kau sebaiknya segera berangkat ke Yanjing dengan kuda merahmu untuk membalas dendam. Kau tidak harus selalu bersama adikmu. Kalau kau sukses, itu sangat bagus. Kalau tidak, kami selalu dapat mencari para pendeta Aliran Quanzhen untuk membantu kita membunuh bajingan itu. Kebenaran mereka seberat gunung, mereka pasti tidak akan menolak permintaan kita.”

Guo Jing memahami cinta Guru Pertamanya yang ditunjukkan dengan kesiapannya untuk pergi bersama-sama menghadapi bahaya. Hatinya dipenuhi rasa haru, ia berlutut dan kowtow dengan hormat.

“Adikmu berasal dari keluarga kaya dan terhormat, kau harus berhati-hati,” kata Nan Xiren mengingatkannya. Guo Jing tidak mengerti apa maksudnya, ia hanya memandang gurunya tanpa bicara. Han Xiaoying tersenyum, “Kau tidak mengerti kata-kata Si Shifu. Tidak apa-apa. Kau akan mengerti nanti. Berhati-hatilah setiap saat,” katanya. “Ya,” kata Guo Jing.

Zhu Cong tersenyum, “Putri Huang Yaoshi sebenarnya sangat berbeda dengan ayahnya,” katanya. “Kita seharusnya tidak memprovokasi dia lagi, betul tidak, San Di?”

Han Baoju memelintir kumisnya. “Bocah tengik itu mengomeli aku, meskipun dia juga sependek melon musim dingin. Dia bahkan menganggap dirinya cantik.” Sambil bicara begitu ia tidak bisa menahan senyum.

Guo Jing tahu guru-gurunya tidak lagi menaruh dendam kepada Huang Rong. Ia senang. Tapi kemudian ia teringat keberadaan gadis itu tidak jelas, ia tidak bisa menahan perasaan sedihnya.

“Jing’er,” kata Quan Jinfa, “Makin cepat kau pergi, makin cepat juga kau akan kembali. Kami akan menunggu dengan sabar di Jiaxing.” Dengan itu Enam Orang Aneh dari Jiangnan berangkat ke Selatan.

Guo Jing memegang kendali kuda merahnya dan memandang para gurunya sampai ia tidak bisa lagi melihat mereka. Kemudian dia menoleh ke arah Yang Kang. “Adikku yang baik, kuda merahku ini sangat cepat, kita bisa pergi ke Yanjing dan balik lagi dalam sepuluh hari. Bagaimana kalau kita menghabiskan beberapa hari melihat-lihat?” Yang Kang setuju. Kedua pemuda itu menaiki kuda dan perlahan menuju ke utara.

Yang Kang menghela nafas dengan perasaan berat. Hanya sebulan yang lalu ia menjalani kehidupan mewah. Ia datang ke Jiangnan dengan rombongan besar sebagai Duta Besar Kekaisaran Jin, dengan segala kemegahan, kekuatan militer, dan gengsi yang menyertainya. Sekarang ia melakukan perjalanan kembali ke ibukota sendirian, tanpa ada yang memanjakannya di sepanjang jalan. Sepertinya ia sedang bermimpi tentang kehidupan yang menyenangkan, lalu tiba-tiba terbangun dengan kenyataan hidup yang keras. Guo Jing mungkin tidak perlu membawanya serta dalam misi untuk membunuh Wanyan Honglie — satu hal yang membuatnya semakin tertekan — tapi ia masih tetap merasa tidak nyaman. Ia sedang mempertimbangkan untuk memperingatkan Wanyan Honglie, tetapi tidak dapat mengambil keputusan tentang hal itu.

Guo Jing melihat mukanya yang muram, dan mengira bahwa ia sedang berduka akan kematian orang tuanya, lalu berusaha untuk menghiburnya.

Menjelang tengah hari mereka tiba di Liyang dan langsung mencari restoran untuk makan. Tiba-tiba seseorang yang terlihat seperti pekerja restoran, mendekat. “Apakah gewei ini Guo Gongzi dan Yang Gongzi?” ia membungkuk saat bertanya, tersenyum lebar. “Meja sudah siap, silakan ikut aku dan makan.”

Guo Jing dan Yang Kang bingung. “Kalian kenal kami berdua?” tanya Yang Kang.

“Tadi ada seorang tamu datang dan menyuruh kami menyiapkan makanan untuk kalian berdua. Ia bahkan dengan rinci menerangkan bagaimana rupa Guo Gongzi dan Yang Gongzi,” kata pelayan itu, masih sambil tersenyum. Ia kemudian memegang tali kekang kuda dan membawanya ke kandang.

Yang Kang mendengus dan dengan sinis berkata, “Lu Xiansheng dari Rumah Awan itu sangat baik.” Mereka memasuki restoran dan duduk. Ternyata makanannya sangat enak dan araknya luar biasa. Guo Jing bahkan menemukan ayam yang sangat disukainya. Mereka makan sepuasnya dan hendak membayar tagihan, tetapi pelayan restoran hanya tersenyum dan berkata, “Tidak perlu Gongzi, semuanya sudah diurus.” Yang Kang tertawa dan memberi tip dengan murah hati. Ia mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan mengantar mereka keluar dari restoran, membungkuk sambil tersenyum sepanjang waktu.

Guo Jing memuji kemurahan hati Lu Xiansheng. Yang Kang bagaimanapun juga masih menyimpan dendam karena ia telah ditangkap dan ditawan. “Kukira dia memakai cara ini untuk menggaet orang-orang Jianghu. Tidak heran dia bisa memimpin kawasan Danau Tai,” katanya.

“Bukankah Lu Xianshen itu masih Paman Gurumu?” tanya Guo Jing heran.

“Memang benar Mei Chaofeng mengajari aku kungfu,” jawab Yang Kang. “Tapi itu tidak lantas menjadikan dia guruku. Kalau aku tahu mereka berasal dari aliran sesat, aku tidak akan mau mempelajarinya dan aku tidak akan jatuh ke dalam situasi sekarang ini.”

“Kenapa begitu?” tanya Guo Jing bingung.

Yang Kang sadar ia baru saja membuat komentar yang agak sembrono. Ia tersipu lalu berkata sambil tersenyum, “Adikmu ini merasa bahwa Cakar Tengkorak Putih, dan juga kungfunya yang lain itu, bukan kungfu ortodoks3.”

Guo Jing setuju. “Yang baru saja Xiandi katakan itu benar. Gurumu, Pendeta Qiu, sangat baik, dan dia berasal dari perguruan Tao ortodoks. Kalau kau mengatakan yang sebenarnya dan bertobat, aku yakin dia akan bersedia melupakan urusan masa lalu.” Yang Kang diam-diam setuju.

Sore itu mereka tiba di Jintan. Sekali lagi pelayan restoran menyambut mereka dan membawa mereka ke meja yang penuh dengan makanan dan arak pilihan. Ini terjadi selama tiga hari berikutnya. Keesokan harinya keduanya menyeberangi sungai dan tiba di Gaoyou dan menerima sambutan yang sama. Yang Kang mencibir dan berkata, “Aku ingin melihat seberapa jauh keramahan orang-orang Rumah Awan itu.” Namun Guo Jing mulai curiga, setiap kali mereka makan, ia akan menemukan satu atau dua mangkuk makanan kesukaannya. Jika itu Lu Guanying, bagaimana bisa tahu apa yang disukainya?

Setelah mereka selesai makan, Guo Jing mengusulkan, “Xiandi, biar aku jalan di depan, ada yang ingin kuselidiki.” Sambil menunggangi kuda merahnya, ia dengan cepat melaju ke depan, melewati tiga perhentian dan segera tiba di Baoying. Benar saja, tidak ada yang menyambutnya di sana. Guo Jing menemukan penginapan terbesar di kota dan masuk ke kamar terbaik. Malam itu ia mendengar seekor kuda dengan lonceng berdentang keras berlari kencang dan berhenti tepat di depan penginapan. Seseorang masuk dan memesan makanan yang dijadwalkan besok, untuk Guo Gongzi dan Yang Gongzi.

Guo Jing memang sudah menebak sebelumnya bahwa itu pasti Huang Rong, tapi saat mendengar suaranya ia sangat gembira. Ia menahan diri untuk tidak keluar dan menemuinya. Ia berpikir, karena Huang Rong suka bermain-main, ia akan mengejutkannya nanti malam. Ia tidur nyenyak sampai sekitar jam dua, diam-diam bangun dan berjingkat untuk menakut-nakuti Huang Rong di kamarnya. Kemudian ia melihat bayangan berkelap-kelip di atap, ternyata itu Huang Rong. “Ke mana dia pergi di tengah malam?” Guo Jing bertanya-tanya.

Ia membuntuti dengan cepat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Huang Rong berlari tanpa melihat sekeliling ke pinggiran kota, menyadari bahwa seseorang mengikutinya. Ia berhenti di tepi sungai kecil dan duduk di bawah pohon willow. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan membungkuk untuk memainkannya.

Cahaya bulan menyinari wajahnya yang cantik saat hembusan angin sejuk mengayunkan dahan pohon willow, pakaiannya berkibar lembut. Anak sungai berbisik pelan dan serangga berkicau pelan. Pemandangan yang sangat indah. Guo Jing hendak mendekat ketika tiba-tiba ia mendengar Huang Rong diam-diam berkata, “Ini Jing Gege, ini Rong’er. Kalian berdua duduk dengan baik berhadap-hadapan. Ya seperti ini…”

Guo Jing berjingkat di belakangnya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas di bawah sinar bulan yang redup, tetapi ia melihat di depannya ada dua boneka tanah liat, yang satu mirip laki-laki, yang lain perempuan. Boneka-boneka itu dibuat di kota Wuxi yang terkenal. Mereka bulat, gemuk dan sangat lucu. Selama tinggal di Rumah Awan, Guo Jing telah belajar dari Huang Rong bahwa meskipun hanya mainan, hasil kerajinan tangan Wuxi sangat berkualitas. Penduduk setempat menyebut mereka Da Ah Fu. Huang Rong memiliki beberapa boneka seperti itu di Pulau Bunga Persik.

Guo Jing mendekat dan melihat di depan boneka-boneka itu mangkuk tanah liat kecil berisi kelopak bunga, daun, dan sebagainya. Ia mendengarnya berkata dengan lembut, “Jing Gege bisa makan mangkuk ini, Rong’er akan makan yang ini. Rong’er memasaknya sendiri. Enak, kan?”

“Enak, enak sekali!” kata Guo Jing sambil melangkah keluar.

Huang Rong terkejut. Ia menoleh dan tersenyum manis, berlari ke pelukan Guo Jing dan memeluknya erat-erat. Mereka duduk bahu-membahu di bawah pohon willow sibuk menceritakan apa yang terjadi selama beberapa hari perpisahan mereka, yang terasa seperti bertahun-tahun. Sebenarnya Huang Rong yang sibuk bicara, Guo Jing puas hanya dengan menatap wajahnya dan mendengarkan celotehannya.

Huang Rong memberitahunya bahwa malam itu setelah ayahnya mengancam ingin mencabut nyawa Guo Jing, ia melompat ke danau. Setelah bersembunyi selama beberapa waktu, ia tahu bahwa ayahnya pasti telah pergi, jadi ia kembali ke desa. Ia melihat Guo Jing aman dan sehat dan sangat terhibur, tetapi mengingat bagaimana ia sudah bicara begitu keras terhadap ayahnya, ia merasa sangat tidak enak. Keesokan paginya ia melihat Guo Jing dan Yang Kang menuju utara ke Yanjing, setelah itu ia mendahului mereka dan mengatur makanan di sepanjang jalan.

Mereka berbicara sepanjang malam dalam kehangatan cuaca bulan keenam. Cuacanya menyenangkan dan hati Huang Rong senang, setelah beberapa saat ia mulai mengantuk, ucapannya jadi kabur dan tidak lama kemudian tertidur di dada Guo Jing. Kulitnya yang seputih batu giok terasa sejuk dan napasnya berhembus lembut. Guo Jing takut ia akan membangunkannya, jadi ia duduk tak bergerak di pohon willow dan setelah beberapa saat ia juga tertidur.

Guo Jing tidak tahu berapa lama ia tertidur, tetapi ketika membuka matanya ia bisa mendengar burung berkicau dengan riang dan ia mencium aroma manis dari bunga liar. Matahari sudah terbit, tapi Huang Rong masih tertidur. Dengan alisnya yang berkerut, kulitnya yang kemerahan, senyumnya yang anggun, ia tampak seperti sedang mengalami mimpi indah.

“Biarkan dia tidur lebih lama. Aku tidak boleh bersuara,” pikir Guo Jing. Ia tampak seperti sedang menghitung bulu matanya yang panjang ketika tiba-tiba terdengar sebuah suara, datangnya dari sekitar dua puluh kaki di sebelah kirinya.

“Aku sudah menemukan kamar Nona Besar Cheng, itu di lantai dua bangunan yang dikelilingi taman bunga, di belakang pegadaian Tong Ren,” kata suara itu.

“Bagus! Kita akan bekerja malam ini,” sahut suara lain, terdengar seperti pria yang lebih tua. Kedua laki-laki itu bicara dengan suara rendah, tetapi dalam kesunyian pagi hari, Guo Jing dapat mendengar setiap kata dengan jelas. Ia terkejut, mereka terdengar seperti penjahat cabul, tentu saja ia tidak bisa membiarkan mereka melakukan segala macam kejahatan.

Tiba-tiba Huang Rong membuka matanya, ia melompat dari pelukan Guo Jing dan berteriak, “Jing Gege, tangkap aku!” Ia berlari menuju sebuah pohon besar. Awalnya Guo Jing bingung, tapi Huang Rong terus memanggilnya. Akhirnya ia mengerti. Mereka berpura-pura menjadi pasangan muda yang bermain petak umpet di pagi hari. Ia mengejarnya sambil tertawa dan bercanda keras-keras, sengaja membuat langkah kakinya berat untuk menyembunyikan kungfunya.

Kedua pria itu tidak menduga ada orang lain di sekitar tempat itu sepagi itu. Mereka terkejut, tetapi setelah melihat seorang pria muda dan seorang wanita muda sedang bermain-main, kecurigaan mereka lenyap. Tapi mereka tidak melanjutkan pembicaraan dan segera pergi.

Huang Rong dan Guo Jing bisa melihat punggung mereka. Mereka berpakaian compang-camping dan tampak seperti pengemis.

“Jing Gege, menurutmu apa yang akan mereka lakukan kepada Nona Besar Cheng itu?” tanya Huang Rong setelah berjalan cukup jauh.

“Tampaknya bukan sesuatu yang baik,” kata Guo Jing. “Menurutmu kita harus menolongnya?”

“Sudah pasti,” kata Huang Rong sambil tersenyum. “Tapi aku tidak tahu apakah mereka termasuk kelompok Hong Qigong atau bukan.”

“Kurasa bukan,” jawab Guo Jing. “Tapi menurut Hong Qigong semua pengemis di kolong langit ada di bawah naungannya. Hmm… mungkin dua orang itu palsu.”

“Ada puluhan ribu pengemis di dunia ini. Pasti ada beberapa dari mereka tidak baik. Aku tidak peduli seberapa hebatnya Qigong, dia tidak mungkin bisa mengatur semuanya. Sepertinya kedua orang itu adalah yang buruk. Hong Qigong sangat baik kepada kita, dan tidak mungkin kita bisa membalas kebaikannya. Kupikir dia akan senang kalau kita membereskan yang buruk ini.”

“Kau benar,” kata Guo Jing setuju. Meskipun ia agak lelah, pikiran untuk membalas kebaikan Qigong membangkitkan semangatnya.

“Kaki kedua orang itu dipenuhi bisul. Aku yakin mereka pengemis sungguhan. Orang biasa tidak akan menyamar seperti itu,” kata Huang Rong.

“Kau betul-betul jeli,” kata Guo Jing kagum.

Pasangan muda itu kembali ke kota untuk sarapan. Lalu mereka berjalan santai menyusuri jalan menuju ujung barat kota. Di sana mereka melihat sebuah pegadaian yang sangat besar dengan empat karakter yang dilukis di dinding putih, ‘Pegadaian Tong Ren’, dengan masing-masing karakter lebih tinggi dari rata-rata pria. Di belakang toko ada taman dan di tengahnya ada bangunan dua lantai. Ada tirai bambu hijau tua yang menutupi jendela besar di lantai dua. Guo Jing dan Huang Rong saling memandang dan tersenyum. Bergandengan tangan mereka berjalan pergi untuk bermain di tempat lain.

Setelah makan malam mereka kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat dan meditasi. Kira-kira pukul satu malam mereka berlari menuju bagian barat kota, melompat ke dinding taman dan melihat bayangan gelap bangunan besar itu. Diam-diam mereka naik ke atap dan mengayunkan tubuh mereka dari atap. Saat itu malam musim panas, jadi jendelanya terbuka. Mereka melihat ke sekeliling ruangan besar itu dan yang mengejutkan mereka adalah tujuh gadis muda, semuanya berusia sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun. Seorang gadis cantik sedang duduk di sebelah lampu, sedang membaca. Mereka mengira dia pasti Nona Cheng. Enam lainnya berpakaian seperti gadis pelayan, semuanya memegang senjata terhunus di tangan mereka. Mereka terlihat tegas namun anggun, jelas mereka mengerti ilmu silat.

Guo Jing dan Huang Rong awalnya bermaksud membantu wanita muda ini, tetapi melihat ia sudah siap, mereka pikir sebaiknya mereka menunggu dan melihat keadaan. Jadi mereka diam-diam naik kembali ke atap dan menunggu.

Tidak lama kemudian mereka mendengar panggilan pelan dari luar tembok. Huang Rong segera menarik Guo Jing dan mereka melihat ke bawah untuk melihat dua bayangan melompati tembok dan berjalan menuju gedung. Bayangan itu tampak seperti dua pengemis yang mereka lihat sebelumnya. Salah satu pengemis bersiul pelan. Seorang gadis pelayan menarik tirai dan bertanya, “Saudara-saudara pendekar dari Kai Pang? Silakan naik.” Kedua pengemis itu melompat dan memasuki ruangan.

Di kegelapan, di luar, Guo Jing dan Huang Rong saling pandang keheranan. Mereka pikir begitu kedua orang itu tiba, akan terjadi pertarungan sengit atau hal lain yang menarik. Di luar dugaan ternyata mereka saling mengenal.

Nona Cheng segera berdiri, memberi hormat dan berbasa-basi. “Boleh aku tahu nama saudara-saudara?” tanyanya.

“Margaku Li,” kata yang lebih tua. “Dan ini keponakan seperguruanku, Yu Zhao.”

“Oh, berarti Li Qianbei dan Yu Dage!” kata Nona Cheng. “Para pendekar Kai Pang yang gagah berani selalu menjunjung tinggi keadilan dan dikagumi oleh semua pendekar dunia persilatan. Sungguh suatu kehormatan bagiku, seorang murid muda, akhirnya bertemu dengan dua panutan yang dihormati. Silakan duduk.” Meskipun apa yang dikatakannya adalah basa-basi umum di Jianghu, ekspresi wajahnya malu-malu. Ia banyak berhenti di antara kalimat, yang menunjukkan ia tidak terbiasa dengan pembicaraan semacam ini. Ia mengatakan ‘dikagumi oleh orang-orang di dunia persilatan’ dengan tulus, tapi terdengar sepertinya tidak yakin dengan apa yang dibicarakan. Ketika ia selesai berbicara, kepalanya tertunduk dan wajahnya memerah.

Dengan malu-malu ia menatap ke arah satu mata pengemis tua itu dan dengan malu-malu bertanya, “Qianbei, bukankah Qianbei Jiang Dong She Wang yang Li Sheng?”

Pengemis tua itu tertawa. “Nona, pandanganmu sungguh jeli! Aku mendapat kehormatan bertemu gurumu, Qing Jing Sanren. Meskipun kami bukan sahabat terbaik, kami selalu saling menghormati.”

Guo Jing mendengar nama Qing Jing Sanren disebutkan dan sangat senang, “Qing Jing Sanren, Sun Bu’Er, adalah salah satu dari Tujuh Pendekar Quanzhen, berarti Nona Cheng ini dan kedua pengemis itu bukan orang asing.” pikirnya. Ia mendengar Nona Cheng melanjutkan, “Aku sangat berterima kasih menerima bantuan Qianbei dalam menegakkan keadilan. Aku akan mendengarkan arahan Qianbei.”

“Nona, kau bernilai seribu tael emas,” kata Li Sheng. “Tapi bagi pria bermoral ini untuk melihatmu, bahkan hanya dengan satu mata, masih terlalu beruntung.” Mendengar ini wajah Nona Cheng merah padam. Li Sheng melanjutkan, “Sekarang kusarankan kau menginap di rumah utama, bersama para pelayanmu yang terhormat ini. Aku akan mengurus orang sombong itu sendirian.”

“Kungfu wanbei tidak terlalu bagus, tapi wanbei juga tidak takut kepada bajingan itu,” kata Nona Cheng. “Mana mungkin wanbei membiarkan Qianbei yang berurusan dengan dia.”

“Tolong jangan bilang begitu, Nona,” kata Li Sheng. “Ketua kami Hong Qigong dan pendiri Perguruanmu Wang Qianbei adalah teman baik. Itu berarti kita sekeluarga. Kenapa Nona masih beranggapan kita orang lain?”

Sebenarnya Nona Cheng ingin menguji kungfunya sendiri, tetapi ia mendengarkan pendapat Li Sheng dan tidak berani membantah. Jadi ia membungkuk dan berkata, “Kalau begitu aku akan meninggalkan semuanya di tangan Li Qianbei dan Yu Dage.” Setelah mengatakan itu ia dengan anggun memimpin pelayannya ke bawah.

Li Sheng berjalan menuju ke tempat tidur wanita muda itu, menarik selimut bersulam, dan tanpa melepas sepatunya membaringkan tubuhnya yang kotor itu di tempat tidur yang berbau harum. “Turunlah,” katanya kepada Yu Zhao, “Waspadalah dengan semua orang. Jangan bergerak tanpa perintahku.” Yu Zhao menurut. Li Sheng kemudian menyembunyikan seluruh tubuhnya di bawah selimut setelah memadamkan lilin di samping tempat tidur.

“Nona Cheng mungkin tidak ingin tidur di bawah selimut itu lagi,” pikir Huang Rong sambil tertawa dalam hati. “Anggota Kai Pang itu seperti ketua mereka, suka sengaja membuat masalah dengan cara yang lucu. Masalah ini sebenarnya jauh lebih lucu dari yang kukira.”

Karena ada orang lain yang berjaga, Huang Rong dan Guo Jing diam-diam bersembunyi di bawah atap. Sekitar satu jam kemudian ia mendengar petugas malam membunyikan sinyal di depan gedung. Saat itu jam ketiga. Kemudian ia mendengar kerikil jatuh di taman bunga.

Sesaat kemudian delapan orang datang melompati tembok dan langsung menuju ke lantai dua. Mereka menyalakan lentera sebentar, sekilas melihat ke tempat tidur, lalu segera memadamkannya. Dalam waktu singkat Guo Jing dan Huang Rong bisa melihat penampilan mereka. Ternyata mereka adalah murid perempuan dari Ouyang Ke yang berpakaian seperti laki-laki dan semuanya memakai pakaian berwarna putih. Empat dari mereka membuka tirai tempat tidur dan menutupi kepala Li Sheng dengan kerudung sutra, dipegang dengan kuat, mereka mengangkatnya. Dua dari mereka membuka karung besar dan masuklah selimut dengan Li Sheng di dalamnya. Mereka dengan cepat mengencangkan mulut karung dan mengangkat karung. Mereka bekerja dengan cepat dan tenang, tanpa suara, dalam kegelapan. Tampaknya mereka sangat terampil melakukan pekerjaan semacam ini.

Mereka melompat kembali ke bawah. Guo Jing hendak bergerak ketika Huang Rong berbisik di telinganya, “Biar Kai Pang yang bekerja dulu.” Guo Jing menurut. Ia meregangkan lehernya dan melihat empat selir Ouyang Ke membawa karung dengan Li Sheng di dalamnya, sementara empat lainnya menjaga bagian belakang. Lebih jauh ke belakang, sekitar sepuluh yard di belakang mereka, adalah anggota Kai Pang, masing-masing memegang tongkat kayu.

Guo Jing dan Huang Rong menunggu sejenak supaya jarak di antara mereka agak jauh, sebelum mereka diam-diam melompat keluar dari taman dan mengikuti dari jauh. Beberapa saat kemudian mereka tiba di pinggiran kota. Kedelapan wanita itu membawa karung tersebut ke sebuah rumah besar, sementara keempat anggota Kai Pang menyebar mengelilingi bangunan tersebut.

Huang Rong menarik lengan Guo Jing dan mereka berjalan menuju belakang gedung, melompati tembok belakang dan melihat bahwa bangunan itu sebenarnya adalah sebuah kuil untuk menyembah leluhur. Aula utama penuh dengan papan peringatan. Di papan utama tergantung spanduk besar dengan jasa orang yang meninggal dan gelar kehormatan tertulis di atasnya. Aula diterangi oleh empat atau lima lilin merah besar, dan di tengah duduk seorang pria melambai-lambaikan kipas lipat.

Guo Jing dan Huang Rong telah menebak sebelumnya bahwa semua ini pasti ulah Ouyang Ke, dan mereka benar. Mereka bersembunyi di bawah jendela, tidak berani bergerak sama sekali, sambil bertanya-tanya dalam hati, “Apa Li Sheng itu bisa melawannya?”

Mereka melihat delapan wanita memasuki aula dan salah satunya berkata, “Gongzhi, Cheng Xiaojie ada di sini.” Ouyang Ke mencibir dengan dingin. Ia melihat ke luar dan berkata, “Teman-teman, kalian sudah begitu baik mau datang ke sini, mengapa tidak masuk dan memperkenalkan diri?”

Bersembunyi di atas tembok, para anggota Kai Pang sadar bahwa mereka sudah ketahuan, tetapi tanpa perintah Li Sheng mereka tidak berani bersuara.

Ouyang Ke menoleh dan melihat ke karung itu. “Aku tidak menyangka wanita cantik seperti kau akan dengan mudah diundang untuk datang ke sini.” Ia berjalan perlahan ke depan, melambaikan kipas lipatnya perlahan. Saat dilipat, kipas itu mirip sebuah kuas besi.

Huang Rong dan Guo Jing melihat gerakan tangannya dan ekspresinya, mereka terkejut. Tampaknya Ouyang Ke sudah tahu bahwa ada musuh yang bersembunyi di dalam karung itu dan akan menyerang.

Huang Rong langsung mengambil tiga jarum baja, mengarahkannya ke kipas, siap menyerang jika Li Sheng dalam bahaya. Tiba-tiba terdengar suara desingan dan beberapa anak panah kecil terbang ke arah dada Ouyang Ke. Senjata itu dilepaskan oleh seorang pengemis yang muncul di ambang jendela. Mereka juga telah melihat bahaya yang mengancam Li Sheng dan melancarkan serangan awal.

Ouyang Ke menggerakkan tangan kirinya ke samping, jari telunjuk dan jari tengahnya menjepit satu panah, jari manis dan kelingkingnya menjepit yang lain, dengan suara ‘kreekkk’ kedua anak panah itu patah menjadi empat bagian.

Para pengemis melihat ini dan takjub. “Paman Li, cepat keluar!” panggil Yu Zhao. Ia bahkan belum selesai berteriak ketika karung itu jebol, dari situ keluar dua belah pisau diikuti oleh Li Zheng yang berjibaku di lantai. Ia menggunakan karung itu sebagai perisai dan dengan cepat berdiri.

Li Sheng tahu Ouyang Ke adalah lawan yang tangguh dan ia tidak yakin akan bisa mengalahkannya, itulah alasan ia menyerang secara mendadak dengan bersembunyi di dalam karung. Tapi ternyata Ouyang Ke menggagalkan rencananya.

“Seorang perempuan cantik berubah menjadi pengemis,” kata Ouyang Ke sambil tertawa. “Sulapan karung yang bagus.”

Li Sheng mengabaikan ocehannya. “Kota ini kehilangan empat orang gadis muda dalam waktu tiga hari,” katanya dengan nada tajam. “Kurasa itu semua ulahmu, kan?”

“Wilayah Baoying ini jelas bukan daerah kumuh, masa aparat penegak hukum bisa berubah menjadi pengemis?” sindir Ouyang Ke sambil tersenyum lebar.

“Aku bukan sedang minta makanan di sini,” kata Lu Sheng. “Tapi kemarin kudengar ada empat orang gadis belasan tahun lenyap tanpa jejak. Aku jadi penasaran, makanya aku melihat-lihat.”

Ouyang Ke dengan malas berkata, “Sebenarnya gadis-gadis itu tidak luar biasa, karena kau menginginkannya dan mengingat kita sama-sama orang dari dunia persilatan, aku ingin menghadiahkannya kepadamu. Pengemis biasanya makan kepiting mati, jadi aku yakin kau akan memperlakukan keempat gadis ini seperti hartamu. Ia melambaikan tangan kanannya, dan beberapa selirnya masuk untuk menjemput keempat gadis itu. Pakaian gadis-gadis itu tidak keruan, wajah mereka kurus dan pucat, dan mata mereka merah karena menangis.

Lu Sheng sangat marah ketika melihat hal itu. Ia berteriak keras-keras, “Siapa namamu? Dan kau murid siapa?”

Ouyang Ke masih tetap bersikap seenaknya. “Margaku Ouyang. Kau mau apa sih, Kawan?” jawabnya acuh tak acuh.

“Aku mau bertarung denganmu!” kata Lu Sheng geram.

“Bagus sekali kalau begitu!” sahut Ouyang ke. “Ayo, silakan!”

“Bagus!” Li Sheng berteriak dan menggerakkan tangan kanannya. Sebelum dia sempat memukul, bayangan putih melintas dengan hembusan angin tajam. Ia sangat terkejut dan segera melompat, tetapi lehernya tetap tergores. Untungnya ia cukup cepat, jika tidak lehernya akan berlubang.

Li Sheng adalah anggota delapan kantong dari Kai Pang, posisi yang sangat dihormati. Kungfunya kuat dan para pengemis di daerah Liangzhe mendatanginya untuk meminta nasihat. Singkatnya ia adalah salah satu pendekar elit Kai Pang. Tak seorang pun menyangka bahwa ia hampir terluka hanya dalam satu jurus. Wajahnya memerah karena marah dan malu. Tanpa membalikkan tubuhnya, ia meluncurkan tangannya ke arah belakang.

“Dia tahu Delapan Belas Jurus Penakluk Naga,” bisik Huang Rong. Guo Jing mengangguk.

Ouyang Ke dapat melihat kedahsyatan jurus ini, dan tidak berani menghadapinya secara langsung. Ia melompat ke samping. Pada saat itu Li Sheng telah membalikkan tubuhnya dan melangkah maju. Ia mengangkat kedua tangan di depan dadanya dan dengan teriakan keras mendorongnya ke depan.

Kali ini Guo Jing yang berbisik, “Apa ini salah satu gerakan dari Gaya Bebas Riang Gembira ajaran Hong Qigong itu?” Huang Rong mengangguk. Tapi ia melihat gerakan Li Sheng tampak berat, bukan ringan dan anggun seperti cara seharusnya melakukan jurus itu.

Ouyang Ke melihat langkah kaki Li Sheng mantap dan gerakan tangannya sangat terlatih dengan baik untuk melancarkan serangan-serangan berbahaya. Ia tidak berani bersikap santai dan meremehkan lawannya lagi. Ia menyelipkan kipas lipatnya ke pinggangnya dan secepat kilat meluncurkan serangan balik ke arah bahu Li Sheng.

Li Sheng menangkis dengan gerakan Mengemis Makanan, masih dari teknik Xiao Yaoyou ajaran Hong Qigong. Ouyang Ke menangkis dengan tangan kirinya, yang memaksa Li Sheng mengangkat lengan kanannya. Ouyang Ke dengan cepat bergerak ke arah punggung Li Sheng dan merentangkan kedua tangan dengan semua jari membentuk dua cakar mengancam titik akupuntur vital Li Sheng, Pakaian Tanpa Lengan.

Guo Jing dan Huang Rong sangat terkejut. “Serangan itu sulit diatasi!” pikir mereka.

Saat itu anggota Klan Pengemis lainnya telah memasuki aula, mereka melihat Li Sheng dalam bahaya besar dan bergegas untuk membantu.

Li Sheng bisa mendengar angin di belakang punggungnya dan merasakan cakar hampir menyentuh pakaiannya. Sekali lagi ia meluncurkan tangannya ke belakang menggunakan jurus Sang Naga Mengibaskan Ekor dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga.

Ouyang Ke tidak berani menghadapi serangan ini secara langsung, jadi ia melenturkan tubuhnya dan melompat mundur.

“Nyaris celaka!” kata Li Sheng dalam hati. Ia memutar tubuh untuk menghadapi lawannya lagi. Kungfunya tak dapat menandingi dari gerakan indah Ouyang Ke. Mereka bertarung tiga puluh sampai empat puluh jurus dan nyawanya sudah terancam lima atau enam kali. Untungnya ia selalu bisa menggunakan jurus Sang Naga Mengibaskan Ekor untuk lolos dari maut.

“Sepertinya Hong Qigong hanya mengajarkan satu jurus ini kepadanya,” bisik Huang Rong. GuoJing mengangguk. Ia teringat saat Hong Qigong pertama-tama mengajarkan Naga Angkuh Punya Penyesalan dan dia melawan Liang Ziweng hanya dengan mengandalkan satu jurus itu berulang kali. Kemudian Hong Qigong mengajarinya total lima belas jurus, sedangkan tokoh penting di Kai Pang ini hanya bisa satu jurus. Hatinya dibanjiri oleh rasa terima kasih kepada Hong Qigong.

Sementara itu Ouyang Ke meningkatkan intensitas serangannya dan selangkah demi selangkah ia memaksa Li Sheng mundur. Sebelumnya Ouyang Ke mengirimkan serangan dahsyatnya tanpa sasaran tertentu, tapi sekarang gerakannya dimaksudkan untuk mencegah Li Sheng berbalik dan meluncurkan telapak tangannya ke belakang. Li Sheng memahami maksudnya dengan sangat baik, jadi ia berusaha keras untuk mundur ke tengah ruangan.

Tiba-tiba Ouyang Ke tertawa terbahak-bahak, ia mengayunkan tinju lurus dari bawah ke atas dan mengenai dagu Li Sheng dengan sangat telak. Li Sheng mengerang kesakitan dan menjerit ngeri. Ia mencoba merentangkan tangannya untuk melakukan serangan balik tetapi ia terlambat sepersekian detik. Tinju Ouyang Ke telah mencapai sasarannya. Li Sheng terpukul lima atau enam kali di kepala dan dada. Ia merasa pusing dan tubuhnya lemas, ia terhuyung-huyung dan jatuh ke lantai.

Para anggota Kai Pang bergegas membantu tetapi Ouyang Ke berbalik, menangkap dua penyerang paling depan dan melemparkan mereka ke dinding. Mereka langsung pingsan. Pengemis lainnya tidak berani melanjutkan.

“Apa kalian kira sekelompok pengemis bau bisa segampang itu menipuku?” ejek Ouyang Ke. Ia bertepuk tangan dan dua murid perempuannya keluar menyeret seorang wanita muda. Tangannya diikat ke belakang, wajahnya sedih dan air mata mengalir di pipinya. Itu tidak lain adalah Nona Cheng.

Semua orang, termasuk Huang Rong dan Guo Jing, terperanjat dan jadi bingung.

Ouyang Ke mengibaskan tangannya, dan murid-muridnya membawa Nona Cheng masuk kembali. Degan muka arogan ia berkata, “Waktu pengemis tua itu masuk ke karung, aku menyelundup ke lantai bawah untuk menangkap Nona Cheng, dan kembali lagi ke sini untuk menunggu kalian semua.”

Para pengemis itu saling pandang dengan kecewa, mereka sungguh-sungguh kalah bertanding kali ini.

Ouyang Ke melambaikan kipasnya dengan santai sambil mengejek, “Nama besar Kai Pang tersebar ke segala penjuru. Hari ini aku melihat sendiri, semua itu hanya lelucon, orang bisa ketawa sampai gigi mereka rontok! Keahlian istimewa kalian seperti mencuri ayam, memukuli anjing, mengemis makanan, menangkap ular, sudah kulihat semuanya. Nah, apa kalian masih berani ikut campur urusan Tuan Muda-mu ini? Aku mau mengampuni nyawa pengemis tua ini, tapi aku harus mengambil kedua lampunya sebagai tanda mata.” Sambil berkata begitu, ia mengulurkan tangannya ke arah mata Li Sheng.

“Tahan!” Terdengar suara seruan, dan tiba-tiba seorang pemuda muncul, lalu langsung menerjang ke arah Ouyang Ke.

Ouyang Ke merasakan kecepatan dan keganasan serangan itu, ia bergerak ke samping untuk menghindar, tetapi tidak bisa keluar dari kurungan angin pukulan itu. Tubuhnya bergetar dan ia terpaksa mundur dua langkah. Ia tidak habis pikir, “Sejak aku berangkat dari Wilayah Barat, aku sudah sering bertarung dengan banyak ahli silat. Siapa orang yang punya kungfu setinggi ini?” Ia mengalihkan pandangannya kepada si pendatang baru itu, dan sekali lagi ia terkejut. Ia telah melawan Guo Jing sebelumnya di Istana Zhao dan kungfunya biasa saja. Bagaimana mungkin telapak tangannya bisa mengandung tenaga sebesar itu.

“Kau sudah melakukan segala macam kejahatan, tetapi bukannya bertobat kau malah ingin mencelakai orang baik ini. Kau benar-benar tidak memandang sebelah mata kepada para pendekar Jianghu?” kata Guo Jing dengan marah.

Ouyang Ke mengira serangan terakhir Guo Jing itu hanya sebuah kebetulan. Ia masih memandang rendah Guo Jing. “Jadi maksudmu kau adalah salah satu dari para pendekar itu ya?” ejeknya.

“Aku tidak berani bilang aku ini pendekar,” jawab Guo Jing. “Dengan segala hormat, aku minta kau membebaskan Nona Cheng dan kembali ke daerah Barat.”

“Terus bagaimana kalau aku menolak permintaanmu yang kekanak-kanakan itu?” ejek Ouyang Ke.

Sebelum Guo Jing sempat menjawab, Huang Rong berseru dari luar jendela, “Jing Gege, langsung tonjok saja bangsat itu!”

Saat Ouyang Ke mendengar suara Huang Rong, hatinya tergetar. “Nona Huang, kau ingin aku melepaskan Nona Cheng, itu gampang saja, selama kau mengikuti aku kemanapun aku pergi. Tidak hanya Nona Cheng, tapi aku juga akan melepaskan semua murid perempuanlu. Dan juga aku akan berjanji untuk tidak mengambil murid perempuan lain. Itu bagus, kan?”

Huang Rong melompat ke dalam aula, tersenyum sambil berkata, “Itu sangat bagus! Kita akan jalan-jalan ke Wilayah Barat. Jing Gege, kau ikut?”

Ouyang Ke menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku ingin kau ikut denganku. Aku tidak ingin bocah tengik ini ikut,” katanya, masih tersenyum.

Huang Rong marah, telapak tangannya menampar ke belakang. “Kau berani menghina dia? Justru kau yang tengik!” teriaknya dengan keras.

Ouyang Ke terpesona dengan keanggunan Huang Rong dan senyum manisnya saat berbicara dengannya. Ia tampak begitu lugu, tapi penuh kebebasan dan semangat hidup. Ia sungguh terpesona, dan tak mengira bahwa tiba-tiba gadis kecil itu akan bersikap bermusuhan. Ia tidak waspada dan Huang Rong menggunakan gerakan indah dari Ilmu Pedang Dewa Bunga Persik, yang diajarkan Huang Yaoshi. Pipi kirinya tertampar telak. Untungnya Huang Rong tidak menampar sepenuh tenaga, tetapi wajahnya tetap terbakar oleh rasa sakit.

“Bah!” Ouyang Ke meludah. ​​Tangan kirinya tiba-tiba terulur ke arah payudara Huang Rong. Huang Rong tidak menghindarinya tetapi melemparkan kedua tangannya ke arah kepala Ouyang Ke. Ouyang Ke bernafsu dan melihat bahwa Huang Rong tidak bergerak, ia sangat senang. Mengabaikan pukulan di kepalanya, tangannya membelai payudaranya. Ia sedikitpun tidak menyangka bahwa begitu jari-jarinya menyentuh pakaiannya, ia merasakan sakit yang menusuk. Tiba-tiba ia sadar, “Dia mengenakan rompi kulit landak yang lembut.” Untungnya ia sembrono dan tidak memakai banyak tenaga. Dengan segera ia mengangkat tangan untuk menangkis pukulannya.

“Tidak gampang mau memukulku,” kata Huang Rong sambil tersenyum. “Aku bisa memukulmu, tapi kau tidak bisa memukulku.”

Ouyang Ke jengkel. Ia tidak bisa marah kepada Huang Rong, jadi ia mengalihkan kemarahannya kepada Guo Jing. “Biar kubunuh bocah ini dulu. Kuharap perasaannya kepada bocah ini akan lenyap,” pikirnya. Sementara matanya tertuju pada Huang Rong, kakinya terbang ke belakang menuju dada Guo Jing. Gerakan kaki ini cepat dan kejam. Itu adalah kungfu unik keluarga Racun Barat Ouyang Feng. Sulit untuk dibendung. Begitu kaki mengenai sasarannya, tulang rusuk akan patah menusuk paru-paru.

Guo Jing tidak punya cukup waktu untuk melompat mundur, jadi ia memutar tubuhnya dan mengirimkan telapak tangannya ke belakang. Dengan benturan keras, telapak tangan Guo Jing mengenai kaki Ouyang Ke tepat saat kaki Ouyang Ke hampir mengenai dada Guo Jing. Keduanya merasakan sakit yang menyengat sampai ke tulang sumsum. Mereka membalikkan tubuh untuk kembali saling berhadapan dan saling menatap dengan marah. Lalu mereka langsung saling menyerang lagi.

Para anggota Kai Pang terkejut dan berpikir, “Langkah ini jelas sekali kungfu unik Li Sheng, Sang naga Mengibaskan Ekor, kenapa pemuda ini bisa menggunakannya? Selain itu gerakannya lebih bagus dari Li Sheng.” Sekarang mereka sudah menarik Li Sheng yang sudah sadar ke samping. Ia juga mengenali tidak hanya Sang Naga Mengibaskan Ekor, tetapi juga jurus lainnya. Ia melihat gerakan Guo Jing sangat indah dan kuat. Ia kagum. Delapan Belas Jurus Penakluk Naga adalah kungfu yang menjadi ciri khas Ketua Kai Pang. Karena aku tidak peduli akan nyawaku sendiri dan memberikan pelayanan yang baik, Bang Zhu dengan murah hati mengajari jurus ini. Di mana pemuda ini belajar delapan belas jurus lengkap itu?” Jelas ia tidak menyadari bahwa Guo Jing hanya bisa lima belas jurus.

Ouyang Ke juga takjub. “Bagaimana mungkin kungfu bocah tengik bisa maju sepesat ini hanya dalam waktu dua bulan?”

Dalam waktu singkat mereka sudah mengadu sekitar empat puluh jurus. Guo Jing berulang kali menggunakan lima belas jurusnya. Cukup baginya untuk membela diri. Tetapi sejujurnya ia harus mengakui bahwa ilmu silat Ouyang Ke beberapa tingkat di atasnya. Ia menyadari bahwa ia tidak akan menang.

Sepuluh jurus atau lebih berikutnya Ouyang Ke mengubah taktik. Ia dengan cepat bergerak ke segala arah untuk mengalihkan perhatian Guo Jing, lalu melancarkan serangan dari arah yang tidak terduga. Guo Jing berusaha keras untuk menangkisnya tetapi pinggul kirinya kena tendangan. Ia melangkah mundur terpincang-pincang. Untungnya semua gerakannya terfokus di telapak tangan, jadi ia masih bisa meluncurkan lima belas jurusnya dengan lancar.

Untuk sementara waktu Ouyang Ke tidak berani memaksakan situasi. Ia mencoba untuk membuka celah di garis pertahanan Guo Jing. Sekitar selusin jurus kemudian, ia melihat celah terbuka dan segera melancarkan serangan. Guo Jing telah menyelesaikan lima belas jurus dan akan mengulang seluruh rangkaian. Setelah jurus kelima belas, Melihat Naga di Lapangan, ia bisa kembali ke jurus pertama, Naga Angkuh Punya Penyesalan, tapi ia juga bisa mengulangi jurus terakhir. Pikirannya tidak cukup cepat, ia masih sibuk berpikir, “Aku harus mengulangi dari awal, atau membalik urutannya?” Sedikit keraguan ini sudah cukup bagi Ouyang Ke. Ia segera memanfaatkan celah kecil ini dan menyerang bahu Guo Jing.

Guo Jing tersentak, ia tidak punya kesempatan untuk memikirkan salah satu dari lima belas jurus yang bisa digunakan untuk menangkis serangan itu, jadi secara refleks ia melangkah mundur dan menampar tangan lawannya. Itu adalah gerakan yang tidak mengikuti aturan kungfu mana pun, semacam jurus tanpa jurus. Ouyang Ke terkejut dan lengannya terpukul telak. Ia melompat mundur dan segera memeriksa lengannya. Untungnya meskipun sakit tapi tidak patah.

Guo Jing sangat senang melihat hasil yang tak terduga ini. Ia berpikir, “Aku baru sadar ada tiga bagian di tubuhku yang tidak terlindung dengan baik. Bahu, pinggul kiri, dan pinggang kanan. Kalau saja aku bisa mengembangkan lebih banyak jurus menggunakan kedua tangan…” Pikirannya masih mengembara ketika Ouyang Ke melancarkan serangan lagi.

Guo Jing sudah jelas bukan anak paling pintar di negeri ini. Bahkan jika ia dengan susah payah memeras otaknya selama sepuluh hari atau dua minggu, ia belum tentu menghasilkan setengah gaya baru. Saat ini ia terlibat dalam pertempuran sengit, bagaimana bisa punya kesempatan untuk berpikir. Yang bisa dilakukannya hanyalah memodifikasi prinsip apa pun yang sudah dipelajarinya dari Jurus Penakluk Naga, hanya untuk melindungi tiga bagian tubuh ini, bahu, pinggul kiri, dan pinggang kanannya.

Ouyang Ke gelisah. “Variasi gerakannya terbatas, kalau aku punya cukup waktu, rasanya aku bisa unggul. Dari mana asalnya tiga jurus tambahan itu?” pikirnya. Ia tidak tahu bahwa tiga gerakan tambahan Guo Jing sebenarnya tidak berguna, tapi ia agak waspada karena terpukul sebelumnya. Ia memperlambat langkahnya dan memusatkan perhatiannya pada pertahanan, dengan hati-hati mempelajari gerakan baru Guo Jing. Setelah beberapa saat ia bisa melihat kelemahannya. “Benar! Ia belum menguasai jurus-jurus ini, itu alasan dia tidak menggunakannya dari awal,” pikirnya. Sambil tetap menggerakkan tubuhnya, ia mendorong tangan kirinya untuk mengalihkan perhatian Guo Jing dan pada saat yang sama mengayunkan kaki kanannya lurus ke pinggul kiri Guo Jing.

Guo Jing belum menguasai tiga gerakan baru yang dikembangkannya sendiri dengan baik. Tiba-tiba melihat lawannya menyerang titik lemahnya, ia langsung gugup. Saat itu ia tengah meluncurkan pukulan telapak tangan, yang ditariknya kembali secara mendadak, dan mengalihkan telapak tangannya untuk menangkis tendangan lawan.

Huang Rong diam-diam kecewa. “Ragu-ragu dalam pertarungan seperti ini benar-benar tabu terbesar dalam seni bela diri. Dalam satu gerakan ini Jing Gege menyia-nyiakan tujuh atau delapan peluang. Tidak hanya itu, meskipun dia tidak bisa melukai musuh, seharusnya dia bisa bertahan. Dengan membalikkan telapak tangannya seperti itu, dia justru membuat celah pertahanannya semakin besar,” pikirnya. Ia tahu pasti bahwa Ouyang Ke telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam tendangan itu, dan Guo Jing mungkin tidak dapat menangkisnya. Segera tujuh atau delapan jarum baja terbang dengan cepat dari tangannya.

Ouyang Ke dengan cepat menarik kipas lipat dari pinggangnya dan dengan satu gerakan yang luwes membukanya dan mengayunkannya dengan lembut untuk memblokir jarum. Ia yakin semua jarum sudah terblokir, maka ia tidak memperlambat tendangannya ke arah Guo Jing. Ia yakin Guo Jing akan terpukul dengan keras dan jatuh ke lantai. Tapi kemudian ia merasakan sedikit mati rasa seolah-olah jalan darah di atas pergelangan kakinya tertotok. Tendangannya tidak berhenti, tetapi telah kehilangan semua kekuatannya. Ouyang Ke melompat mundur dengan sangat terkejut. “Siapa pengacau yang berani menikam Tuan Mudamu dari belakang?” omelnya sengit. “Keluarlah kalau kau punya nyali…”

Tetapi sebelum ia selesai bicara, ia mendengar suara dari atas dan sebuah benda terbang ke arahnya. Ia mengangkat tangannya untuk memblokir benda itu, tapi benda itu datang terlalu cepat. Sebelum ia menyadarinya, benda telah memasuki mulutnya. Benda itu agak asin dan keras. Ia kaget dan ketakutan. Dengan cepat ia meludahkan benda itu. Ternyata itu tulang ayam.

Dengan grogi ia mendongak ke atasnya, tetapi seketika itu lebih banyak benda berjatuhan menimpanya. Ia dengan cepat melompat ke samping sambil meludahkan debu dari mulutnya. Ketika membuka mulutnya, beberapa tulang ayam menghantam giginya. Semua itu memang tidak berbahaya, tapi sangat menyakitkan! Ouyang Ke sangat marah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu terbang turun dari bayangan di titian atap di atas. Ia segera mengirimkan telapak tangan untuk menyerang benda itu. Ia berhasil menjatuhkannya ke lantai, dan menemukan kenyataan bahwa benda itu adalah kaki ayam yang sudah setengah dimakan. Kemudian ia mendengar bayangan di atas atap meledak dalam tawa. “Bagaimana kungfu pengemis mencuri ayam itu?”

Huang Rong dan Guo Jing melompat kegirangan ketika mendengar suara itu. “Qigong!” seru mereka serempak.

Semua orang mendongak dan melihat Hong Qigong sedang duduk di titian atap, kakinya terpentang lebar, dengan setengah potong ayam di tangannya, ia makan dengan penuh selera. Para anggota Kai Pang membungkuk dan membuka mulut bersama, “Bangzhu! Semoga Bangzhu sehat selalu!”

Ouyang Ke melihat itu memang Hong Qigong dan hatinya ciut. “Kalau yang dilemparkannya tadi bukan tulang ayam, tapi senjata rahasia, aku pasti sudah mati sekarang. Pria sejati tidak takut kalah, yang paling penting sekarang adalah melarikan diri.” pikirnya. Ia membungkuk dan berkata, “Paman Hong, terimalah sembah-sujudku.” Mulutnya mengatakan sujud, tetapi ia tidak berlutut.

Hong Qigong masih mengunyah ayam. “Kau belum juga kembali ke Wilayah Barat? Kau melakukan melakukan kejahatan di sini, apa kau ingin membuang nyawa kecilmu itu di Dataran Tengah4?” ia bergumam tidak jelas.

“Di Dataran Tengah Paman Hong tak terkalahkan,” jawab Ouyang Ke. “Selama Paman Hong menunjukkan belas kasihan dan tidak datang ke sini untuk menggertak yang muda dan yang lemah, keponakan mudamu ini tidak perlu takut. Pamanku sudah bilang kalau aku ketemu Paman Hong, aku harus menghormati Paman. Dia memperingatkanku tentang perbedaan tingkat kungfu kita, dan bahwa wanbei bahkan tidak bakalan bisa menyentuh Qianbei. Kalau wanbei bersikeras untuk mencoba, wanbei akan jadi bahan tertawaan semua pendekar di dunia.”

Hong Qigong tertawa terbahak-bahak dan berkata, “Kau mencoba menjilat supaya aku tidak melawanmu. Tapi sebenarnya banyak orang di Dataran Tengah yang ingin membunuhmu. Aku tidak perlu menggerakkan jari, kalau aku benar-benar ingin kau mati. Sebelumnya kau bilang sudah melihat keahlianku mencuri ayam, membelai anjing, mengemis makanan dan menangkap ular, dan kau meremehkan keterampilan itu, kan?”

Ouyang Ke buru-buru menjawab, “Keponakan mudamu ini tidak menyadari bahwa pendekar tua ini adalah murid Paman Hong. Itu sangat tidak hormat. Aku mohon maaf kepada Paman dan pendekar tua ini.”

Hong Qigong melompat turun dari titian atap. “Kau memanggilnya ‘pendekar tua’ tapi dia kau kalahkan. Bukankah kau yang jadi pendekarnya? Hahaha… kau tidak malu?”

Ouyang Ke marah, tetapi tahu kungfunya terlalu jauh di bawah Hong Qigong, maka ia tidak berani mengatakan sesuatu yang kasar. Ia menekan amarahnya dan tidak bersuara.

“Kungfumu jelas hasil ajaran Racun Barat tua itu, dan kau pikir bisa bertingkah seenak perutmu di Dataran Tengah. Hah! Kau kira aku sudah mati?” kata Hong Qigong.

“Paman setingkat dengan pamanku. Wanbei harus mendengarkan pengarahan Paman,” kata Ouyang Ke.

“Begitukah?” kata Hong Qigong. “Maksudmu aku menyudutkanmu, orang tua ini menggertak anak muda, begitu ya?” Ouyang Ke tidak menjawab, yang berarti sama saja dengan menyetujui ucapan Hong Qigong.

“Biarpun Pengemis Tua ini adalah pemimpin dari semua pengemis, tua dan muda, bukan semua pengemis adalah muridku,” lanjut Hong Qigong. “Orang bermarga Li ini belajar sebagian kecil kungfuku, dan masih dangkal. Bagaimana dia bisa dianggap sebagai penerusku? Jurus Xiao Yaoyou yang dipelajarinya belum sempurna. Kau meremehkan keahlianku mencuri ayam dan memukul anjing, huh… jika pengemis tua ini benar-benar mengangkat seorang murid, dia tidak mungkin kalah denganmu.”

“Tentu saja,” kata Ouyang Ke setuju. “Murid Paman Hong akan jauh lebih hebat dari keponakanmu ini. Tapi kungfu Paman terlalu tinggi, siapa pun tidak akan mudah belajar dari Paman.”

“Mulutmu memang manis,” kata Hong Qigong. “Tapi aku yakin dalam hati kau sedang mengomeli aku.”

“Keponakanmu ini tidak berani,” kata Ouyang ke.

“Qigong, jangan percaya omong kosongnya,” kata Huang Rong bercanda. “Dia jelas memakimu dalam hati, dan dia memakimu habis-habisan. Dia bilang meskipun kungfumu tidak buruk, itu hanya menguntungkanmu. Kau tidak punya kemampuan untuk mengajar. Bahkan kalau kau mengajar teknik mencuri ayam dan memukuli anjing sampai akhir hidupmu, tidak ada yang bisa mempelajarinya dengan sempurna.”

Hong Qigong hanya menatapnya lekat-lekat. Lalu ia mendengus dan bergumam, “Nona cilik ini selalu tahu bagaimana car memprovokasi aku.” Ia menoleh dan berkata, “Jadi? Bocah ini berani memakiku?” Tiba-tiba ia mengulurkan satu tangan. dan secepat kilat ia merebut kipas lipat dari tangan Ouyang Ke. Ia membuka kipas dan melihat beberapa bunga peoni yang dicat dan dua karakter Xu Xi. Ia tidak tahu bahwa Xu Xi adalah seorang penyair dan pelukis dari Dinasti Song Utara. Meskipun peoni itu dilukis dengan indah, ia tetap berkata, “Tidak bagus!” Ada beberapa baris karakter yang tertulis di kipas dan di bagian akhir ada tanda tangan, Tuan Muda Gunung Unta Putih. Itu tanda tangan Ouyang Ke.

“Apa pendapatmu tentang tulisan ini?” tanya Hong Qigong kepada Huang Rong.

Huang Rong mengangkat alisnya dan berkata, “Sangat kasar. Tapi apa yang bisa kita harapkan? Seorang anak orang kaya yang manja seperti dia tidak akan tahu cara menulis. Aku yakin dia menyewa pegawai pegadaian untuk menulis semua itu.”

Ouyang Ke selalu membanggakan dirinya sebagai ahli kungfu dan sastra, yang sebenarnya tidak terlalu jauh dari kebenaran. Mendengar kata-kata Huang Rong, ia sangat marah. Ia melotot, tapi ia melihat dalam cahaya lilin sudut matanya menunjukkan senyum yang sangat tipis. Ia tampak begitu manis dan polos sehingga kemarahannya menguap begitu saja.

Hong Qigong membuka kipas di tangannya, mengangkatnya, lalu menyeka mulutnya dengan kipas itu. Ia baru saja makan ayam, jadi mulutnya berminyak. Begitu ia melakukan hal itu, lukisan dan kaligrafi itu hancur total. Kemudian ia dengan santai meremas kipas itu, membuatnya menjadi bola kertas dan melemparkannya ke lantai.

Bagi orang lain kejadian itu tampaknya biasa saja, tapi tidak bagi Ouyang Ke. Kerangka kipasnya terbuat dari baja. Kipas itu adalah senjatanya. Aksi itu adalah sebuah demonstrasi tenaga dalam yang luar biasa. Ia ketakutan.

“Kalau aku sendiri yang melawanmu, kau akan mati penasaran. Jadi aku akan mengangkat seorang murid dan menyuruhnya bertarung denganmu,” kata Hong Qigong.

Ouyang Ke menunjuk Guo Jing. “Sobat ini sudah melawanku sampai lusinan jurus. Kalau Paman Hong tidak muncul, aku pasti sudah unggul tadi. Betul kan, Saudara Guo?”

Guo Jing mengangguk. “Aku bisa jadi kalah,” katanya mengakui. Ouyang Ke tersenyum puas.

Hong Qigong menengadah sambil tertawa. “Jing’er, apa kau ini muridku?” tanyanya kepada Guo Jing.

“Wanbei tidak punya keberuntungan untuk menjadi murid Qianbei,” jawab Guo Jing buru-buru.

“Kau sudah dengar belum?” tanya Hong Qigong kepada Ouyang ke.

Ouyang Ke tidak puas. “Kau tidak bisa membodohi aku. Dari mana asalnya jurus indah bocah ini?” tanyanya.

Hong Qigong berbalik ke arah Guo Jing. “Kalau aku tidak menjadikanmu muridku, anak perempuan bengal itu tidak akan membiarkanku mati dengan damai. Dia akan menggangguku terus dengan ratusan rencana licik selamanya. Kurasa pengemis tua ini harus mengaku kalah. Baiklah, sekarang kau kowtow. Aku akan mengangkatmu menjadi muridku,” katanya.

Guo Jing kegirangan. Ia cepat-cepat berlutut dan bersujud beberapa kali sambil berseru, “Shifu!” Hari itu di Rumah Awan ia menceritakan kepada keenam gurunya bagaimana Hong Qigong mengajarinya sebagian besar dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga. Enam Orang Aneh dari Jiangnan sangat senang dan semua mengatakan sayang sekali orang luar biasa yang berilmu tinggi dari dunia persilatan ini tidak mau mengangkat Guo Jing menjadi muridnya. Mereka mengatakan kepadanya bahwa jika Hong Qigong bersedia mengangkatnya menjadi murid, Guo Jing harus segera menerimanya tanpa ragu.

Huang Rong bahkan lebih bahagia. Ia tersenyum lebar dan berkata, “Qigong, aku sudah membantumu menemukan seorang murid yang sangat baik. Jasaku tidak kecil. Mulai hari ini kau akan punya seseorang yang bisa kau sebut penerusmu. Bagaimana caramu berterima kasih kepadaku?”

Hong Qigong membuat ekspresi meledek. “Kau boleh mencium pantatku!” katanya. Kemudian ia berpaling ke Guo Jing dan berkata, “Sha Xiaozi, biar aku mengajarimu tiga jurus.” Ia segera mengajari Guo Jing tiga jurus terakhir dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, tepat di depan semua orang. Tentu saja dibandingkan dengan tiga jurus Guo Jing yang dikarangnya sendiri mati-matian, jurus-jurus ini bedanya seperti langit dan bumi.

Ouyang Ke berkata pada dirinya sendiri, “Kungfu pengemis tua ini luar biasa, tapi dia tidak terlalu pintar. Dia berkonsentrasi untuk mengajar muridnya, sama sekali lupa kalau aku sedang berdiri di sini.” pikirnya. Dengan penuh perhatian ia mengamati setiap gerakan Guo Jing. Tapi ia tidak melihat sesuatu yang luar biasa. Terkadang Hong Qigong membisikkan sesuatu ke telinga Guo Jing. Ia menduga itu pasti teori di balik ketiga jurus ini. Kadang-kadang Guo Jing menganggukkan kepalanya, tetapi sering kali ia hanya berdiri diam dengan tatapan kosong atau menggelengkan kepalanya. Hong Qigong akan mengulangi apa yang baru saja dikatakannya sampai Guo Jing dengan ragu-ragu menganggukkan kepalanya. Jelas dia tidak sepenuhnya memahami teori itu. “Bocah tengik ini benar-benar dungu,” pikirnya. “Dalam waktu sesingkat ini jelas tidak mungkin dia bisa menguasai tiga jurus. Bagus juga, aku jadi punya kesempatan untuk ikut belajar.”

Sementara itu Hong Qigong menyuruh Guo Jing melatihnya enam atau tujuh kali. “Bagus, murid pintar,” katanya. “Kau sudah menguasai sekitar lima puluh persen dari tiga jurus ini. Sekarang saatnya kau melawan bangsat cabul ini.”

“Ya,” jawab Guo Jing. Ia maju dua langkah dan melancarkan serangannya ke arah Ouyang Ke. Ouyang Ke memiringkan tubuhnya dan balas menyerang dengan kepalan. Keduanya mulai bergebrak lagi.

Rahasia Delapan Belas Jurus Penakluk Naga terletak pada ketepatan waktu untuk mengerahkan tenaga. Gerakannya sendiri cukup sederhana. Itulah alasannya meskipun kungfu Liang Ziweng, Mei Chaofeng dan Ouyang Ke lebih tinggi dari Guo Jing, ia mampu melawan mereka tanpa kesulitan. Beberapa saat yang lalu Ouyang Ke melihat Hong Qigong memberikan tiga jurus kepada Guo Jing dan ia tahu Guo Jing belum sepenuhnya memahami jurus-jurus itu, sementara ia sendiri telah menghafal jurus tersebut. Namun sekarang ketika melawan Guo Jing, ia merasa sulit untuk mengatasi ketiga jurus itu.

Sebaliknya, Guo Jing sekarang menguasai selengkapnya Delapan Belas Jurus Penakluk Naga. Ia mampu menggunakannya dari awal sampai akhir, dan kembali ke awal lagi. Kedahsyatan lima belas jurus yang sebelumnya sudah dilatihnya dengan tekun itu jadi meningkat drastis tanpa disadarinya.

Ouyang Ke telah menggunakan empat jenis kungfu yang berbeda, tapi ia hanya bisa mengimbangi Guo Jing tanpa bisa menang. Puluhan jurus kemudian ia mulai cemas. “Kalau aku tidak menggunakan kungfu unik keluargaku, mungkin aku akan kalah,” pikirnya. “Saya dilatih oleh pamanku sejak kecil. Kenapa aku tidak bisa mengalahkan murid pengemis tua ini, yang menerima pelajaran hanya beberapa saat yang lalu? Takutnya pengemis tua itu akan memandang rendah pamanku.”

Puluhan jurus kemudian Guo Jing mengangkat tangannya untuk menangkis kepalan Ouyang Ke yang tiba-tiba berbalik dan mengenai tengkorak Guo Jing dari belakang. Guo Jing tertegun. Ia merunduk untuk menghindari pukulan sambil secara serempak melontarkan kepalan tangan ke atas. Ouyang Ke melangkah ke samping dan mengirim kepalan lagi. Guo Jing tidak berani menangkis kepalan itu, ia mengelak ke kanan. Ia tidak menyangka lengan Ouyang Ke tiba-tiba bergerak seperti cambuk! Guo Jing dengan jelas melihatnya mengincar sisi kirinya tapi tiba-tiba berbelok ke kanan dan mengenai bahu Guo Jing.

Guo Jing terpukul tiga kali dalam waktu singkat. Tiga pukulan ini berat, ia cemas karena tidak tahu bagaimana cara menghadapi situasi itu. “Jing’er, berhenti!” seru Hong Qigong. “Kali ini kita mengaku kalah.”

Guo Jing melompat mundur sekitar sepuluh kaki. Ia merasakan sakit di bagian tubuh yang terpukul. Kepada Ouyang Ke ia berkata, “Kungfumu benar-benar hebat. Memutar lenganmu seperti itu benar-benar aneh.” Ouyang Ke bangga pada dirinya sendiri. Ia melemparkan pandangan arogan ke arah Huang Rong.

Hong Qigong berkata, “Racun Tua memelihara ular untuk mencari hidup. Rangkaian jurus Ruan Pi She ini pasti dikembangkan dari gerakan ular berbisa. Itu brilian. Pengemis tua ini belum menemukan cara untuk mengatasinya. Anggap saja dirimu beruntung. Sekarang, enyahlah!”

Hati Ouyang Ke jadi dingin, mukanya agak muram. “Paman memperingatkanku ribuan kali untuk tidak menggunakan Jurus Jiwa Ular ini kecuali dalam situasi yang sangat berbahaya. Hari ini aku telah membiarkan pengemis tua itu melihatnya. Jika paman tahu, aku akan mendapat masalah besar.” Kebanggaan dirinya lenyap. Ia membungkuk ke arah Hong Qigong dan berjalan keluar kuil.

“Tunggu sebentar! Ada yang ingin saya katakan,” seru Huang Rong. Ouyang Ke menghentikan langkahnya, jantungnya berdetak lebih kencang. Tapi Huang Rong tidak mengabaikannya. Ia berbalik kepada Hong Qigong dan membungkuk dengan hormat. “Qigong,” katanya. “Kau harus menerima dua murid hari ini. Hal-hal baik selalu berpasangan. Kau menerima murid laki-laki, sekarang kau harus menerima murid perempuan. Kalau tidak, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja.”

Hong Qigong menggelengkan kepalanya. “Aku sudah membuat pengecualian dengan menerima satu murid,” ia tersenyum. “Pengemis tua tidak mau membicarakannya lagi. Selain itu kungfu ayahmu juga hebat, bagaimana dia bisa membiarkanmu mengangkat pengemis tua menjadi gurumu?”

Huang Rong pura-pura mendadak paham. “Oh, jadi kau takut kepada ayahku!” serunya. Hong Qigong terprovokasi, tapi ia sebenarnya sangat menikmati situasi ini. “Aku? Takut kepada ayahmu?” katanya dengan muka kaku. “Baik, aku akan menjadikanmu muridku. Aku ingin lihat apa Si Sesat Tua Huang akan memakanku hidup-hidup.”

Huang Rong tersenyum. “Kau sudah mengatakannya sendiri, kau tidak bisa ingkar janji,” katanya. “Kau tahu, ayahku sering bilang setelah Wang Chongyang meninggal, di antara para ahli silat di dunia ini, hanya kau dan dia yang patut diperhitungkan. Kaisar Selatan dan yang lainnya bahkan tidak ada dalam bukunya. Aku yakin ayah akan senang kalau tahu aku menganggapmu guruku. Shifu, bagaimana cara seorang pengemis menangkap ular? Tolong ajari aku teknik ini dulu.”

Hong Qigong tidak yakin ia tahu niat bocah perempuan itu, tapi ia tahu gadis muda itu sungguh pintar. Ia pasti punya rencana cerdik di balik kantongnya. Jadi ia menjelaskan dengan sederhana, “Pegang ular tujuh inci dari kepalanya. Gunakan dua jarimu seperti penjepit. Selama kau menjepit ular tujuh inci dari kepalanya, tidak peduli seberapa berbisa ular itu, tidak mungkin dia akan bisa bergerak.”

“Bagaimana kalau ularnya sangat besar?” tanya Huang Rong.

“Pancing dia untuk menggigit tangan kirimu, lalu pukul dia dengan tangan kananmu, tujuh inci dari kepalanya,” jawab Hong Qigong lagi.

“Apa semua itu harus dilakukan dengan cepat?” tanya Huang Rong.

“Tentu saja,” kata Hong Qigong. “Kau harus mengoleskan salep di tangan kirimu, jadi kalau sampai tergigit, kau tidak akan cedera serius.”

Huang Rong mengangguk. Ia mengedipkan mata kepada Hong Qigong dan berkata lagi, “Shifu, kalau begitu tolong oleskan salep di tanganku.”

Menangkap ular adalah keterampilan istimewa para anggota Kai Pang. Hong Qigong tidak pernah menggunakan salep atau penawar racun apapun. Ia hanya akan memukul ular itu dengan tongkatnya. Tapi melihat kedipan mata penuh arti dari Huang Rong, ia mengambil kantong arak merah dari punggungnya, yang sebenarnya berisi arak, dan mengoleskan arak itu ke kedua telapak tangan Huang Rong.

Huang Rong mengendus telapak tangannya, membuat ekspresi konyol, dan berkata kepada Ouyang Ke, “Hei, sekarang aku sudah jadi murid Ketua Kai Pang terkenal di dunia, murid Hong Lao Qianbei. Aku mau minta pelajaran tentang ‘Ular berkulit lentur’ dari kau. Tetapi aku harus memperingatkanmu, tanganku penuh dengan penawar racunmu, jadi kau harus berhati-hati.”

“Bertarung denganmu adalah sesuatu yang kutunggu-tunggu,” jawab Ouyang Ke. “Aku tak peduli benda siluman apa yang dioleskan ke tanganmu, pokoknya aku tidak menyentuhnya.” Ia tersenyum cerah dan berkata, “Aku siap mati di tanganmu.”

Huang Rong berkata, “Kungfumu yang lain-lain itu sangat ngawur dan biasa-biasa saja, aku cuma ingin melawan Jurus Ular Bau itu. Kalau kau pakai kungfu lain, kau kalah.”

“Apapun yang Nona katakan, aku akan menurut,” kata Ouyang Ke.

Huang Rong tertawa. “Aku hampir tidak percaya bajingan sepertimu punya mulut yang sangat manis,” katanya. “Awas!” Segera setelah selesai bicara, kepalannya meluncur dengan teknik Xiao Yaoyou Hong Qigong.

Ouyang Ke melepaskan pukulan ke sisinya. Huang Rong mengikuti dengan kaki kirinya menendang secara horizontal, sedangkan tangan kanannya membentuk sebuah kait. Itu salah satu gerakan dari Ilmu Pedang Dewa, warisan keluarganya sendiri. Sayangnya Huang Rong masih terlalu muda dan waktu yang dia habiskan untuk latihan ilmu ini terbatas. Tapi kali ini tujuannya adalah menang, jadi ia menggunakan kungfu apa pun yang diketahuinya, terlepas dari siapa yang mengajarkannya.

Ouyang Ke melihat kehebatan gerakannya, ia tidak berani ceroboh. Lengan kanannya terulur dan tiba-tiba melengkung ke belakang untuk memukul bahunya. Langkah dari jurus ular ini cepat. Tangannya hampir menyentuh tubuh Huang Rong ketika ia tiba-tiba teringat bahwa gadis itu mengenakan rompi kulit landak yang lembut. Seandainya ia melanjutkan, tinjunya akan berdarah.

Huang Rong dengan cepat mengelak dan mengirim kedua telapak tangannya ke arah celah di wajahnya. Ouyang Ke mengebaskan lengan bajunya dan menangkis telapak tangan itu.

Tubuh Huang Rong dilindungi oleh rompi kulit landak yang lembut, tangannya diolesi salep, yang sebenarnya hanya arak. Satu-satunya bagian yang tidak terlindungi adalah wajahnya. Ouyang Ke berada dalam posisi serba sulit, ia diserang tanpa ada kesempatan untuk membalas. Meskipun jurus ular itu luar biasa, ia terpaksa terbang ke timur dan menghindar ke barat mencoba mengelak dari serangan Huang Rong, sambil menjaga dirinya agar tidak menyentuh telapak tangannya. “Jika aku memukul wajahnya untuk menang, itu akan menyinggung perasaannya, dan jika aku menarik rambutnya, aku memperlakukannya dengan kasar, selain itu aku tidak bisa memikirkan hal lain,” pikirnya. Tapi ia tiba-tiba punya ide. Ia melangkah ke samping dan dengan cepat merobek ujung lengan bajunya, merobeknya menjadi dua bagian dan membungkusnya di tangannya. Dengan tangan terlindung ia mencoba meraih telapak tangan Huang Rong.

“Kau kalah!” seru Huang Rong sambil melompat keluar dari arena. “Itu bukan Jurus Ular Bau!”

“Oh, aku lupa!” kata Ouyang Ke.

“Jurus Ular Baumu itu juga tidak seistimewa itu, tidak bisa mengalahkan murid Hong Qigong,” lanjut Huang Rong. “Di Istana Zhao kau mengalahkanku, tapi itu karena kau dibantu Liang Ziweng, Sha Tongtian, Peng Lianhu, Pendeta Ling Zhi, dan juga Hou Tonghai yang kepalanya kutilan itu. Saya kewalahan karena kalah jumlah, juga aku tidak ingin dapat masalah, jadi aku mengaku kalah. Sekarang kita sama-sama pernah kalah, mari kita bertarung untuk menentukan menang atau kalah.”

Li Sheng dan yang lainnya terkejut, mereka berpikir, “Meskipun kungfu gadis kecil ini bagus, dia jelas bukan tandingan orang itu. Dia menang dengan akal-akalan. Kenapa musti menambah-nambah kesulitan lagi dan merusak kemenangan? Apa lagi yang ingin dia buktikan?”

Di lain pihak, Hong Qigong tahu jelas bahwa gadis ini penuh dengan akal bulus. Ia pasti memikirkan sesuatu untuk mengelabui musuh. Jadi ia hanya tersenyum tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ia terus menggerogoti sisa ayam dan makan dengan berisik, seolah-olah ayam itu adalah makanan paling enak di dunia.

“Kenapa begitu serius?” kata Ouyang Ke sambil tertawa. “Kau menang, atau aku menang, itu tidak ada bedanya. Tapi kalau kau memang ingin bermain-main aku akan menemanimu.”

“Di Istana Zhao kita dikelilingi komplotanmu. Seandainya aku menang, mereka pasti akan menyerangku, jadi aku tidak mau melawanmu dengan serius,” kata Huang Rong. “Tapi sekarang kau punya teman,” ia menunjuk ke murid, yang sekaligus selir-selir berbaju putih Ouyang Ke, “dan aku juga punya teman. Meskipun kau punya lebih banyak teman, aku tidak takut. Ayo kita bertarung seperti sebelumnya. Kau boleh menggambar lingkaran di tanah, kita akan mengikuti aturan yang sama, siapa pun yang keluar dari lingkaran lebih dulu dianggap kalah. Aku sudah bersujud dan menjadi murid Hong Lao Qianbei. Aku juga memiliki Shixiong yang baik, termasuk pemuda ini. Kau tidak perlu mengikat tanganmu ke belakang seperti sebelumnya.”

Ouyang Ke agak geli. Apa yang dikatakannya sebagian lucu, tetapi kalau dipikir lagi, sebagian juga masuk akal. Jadi ia menjejakkan kaki kirinya di lantai, dan menggunakannya sebagai sumbu, sementara kaki kanannya direntangkan sejauh tiga kaki. Ia berputar dan membuat lingkaran dengan diameter sekitar enam kaki.

Para anggota Kai Pang tidak menyukai Ouyang Ke, tapi ketika melihat gerakan itu mereka diam-diam mengaguminya.

Huang Rong memasuki lingkaran pertandingan dan bertanya, “Kita akan bertarung dengan cara halus5 atau keras6?”

Ouyang Ke bingung. “Kau benar-benar nyentrik,” katanya dalam hati. “Apa maksudmu bertarung dengan ‘halus’ dan ‘kasar’?”

“Kalau bertarung dengan cara halus, aku menyerangmu tiga kali, kau tidak menyerang balik. Lalu kau menyerangku tiga kali, aku tidak akan menyerang balik,” jelas Huang Rong. “Kalau cara keras, kita bisa bertarung sesuka hati. Kau bisa memakai Jurus Ular Bau atau Jurus Tikus Hidup, aku tidak peduli. Siapa pun yang keluar dari lingkaran terlebih dahulu dianggap kalah.”

Ouyang Ke berpikir sejenak. “Kurasa sebaiknya pakai cara halus,” katanya. “Dengan begitu kita terhindar dari cedera, dan tidak merusak persahabatan kita.”

“Kalau pilih cara keras, kau pasti akan kalah,” kata Huang Rong. “Kalau cara halus, kau masih punya kesempatan. Bagus! Seperti keinginanmu, kita pakai cara halus, kau mulai dulu atau aku?”

Mana mungkin Ouyang Ke memukulnya dulu. “Tentu saja wanita lebih dulu,” kata Ouyang Ke.

Huang Rong tersenyum. “Kau licik! Kau tahu kau akan rugi kalau kau memukulku lebih dulu. Baik, aku akan bermurah hati, biar aku memukulmu dulu.”

Ouyang Ke baru saja akan berkata, “Kalau begitu aku akan memukulmu lebih dulu.” Tapi sebelum ia bisa membuka mulutnya, Huang Rong sudah berteriak, “Awas!” Ia mengirim telapak tangannya untuk menyerang. Ada sesuatu berkelip di tangannya, ternyata ia melemparkan beberapa senjata rahasia.

Ouyang Ke melihat sejumlah senjata rahasia, biasanya ia akan menggunakan kipas lipatnya untuk menangkis serangan seperti ini, tetapi kipasnya dihancurkan oleh Hong Qigong. Ia juga bisa menggunakan lengan bajunya yang panjang untuk menahan senjata-senjata itu, tapi ia sudah merobek lengan bajunya ini. Jarum baja itu memenuhi areal seluas sekitar enam atau tujuh kaki. Kalau ia melompat ke samping, ia akan keluar dari lingkaran. Ia tidak punya waktu untuk mempertimbangkan alternatif lain, jadi ia melompat sekitar sepuluh kaki secara vertikal. Jarum-jarum baja itu beterbangan di bawahnya.

Huang Rong menunggu sampai ia berada di puncak dan jatuh kembali sebelum berteriak, “Ini dia serangan kedua!” Tangannya meluncurkan sekitar seratus jarum baja. Itu adalah teknik melempar jarum Bunga Tercurah Dari Langit ajaran Hong Qigong, yang sebetulnya dimaksudkan untuk membunuh ular-ular Ouyang Ke. Ia bahkan tidak mencoba membidik dengan tepat, dan hanya menembakkan jarum ke arah Ouyang Ke.

Meskipun kungfu Ouyang Ke jauh lebih tinggi, tubuhnya sedang berada di udara dan tidak mungkin ia bisa menghindarinya. “Tamatlah aku kali ini!” pikirnya. “Gadis ini sangat kejam.” Tepat pada saat itu ia merasakan seseorang menarik kerah bajunya dan tubuhnya bergerak kembali ke atas, dengan suara mendesis jarum-jarum itu berjatuhan ke tanah.

Ouyang Ke tahu seseorang pasti telah menyelamatkannya. Ia terlempar kembali ke tanah, tidak terlalu keras, tetapi tenaga lemparan itu aneh – pertanda seorang ahli silat tingkat tinggi. Ia jatuh di bahu kirinya. Secara alamiah ia mencoba bangkit berdiri, tetapi ia tidak dapat melakukannya. Ia berguling-guling di tanah sedikit sebelum akhirnya berhasil berdiri. Ia tahu orang itu pasti Hong Qigong, karena tidak ada orang di sekitarnya yang punya keahlian seperti itu. Ia ketakutan, tapi sekaligus kesal dan segera berjalan keluar kuil tanpa berkata apa-apa. Murid-murid perempuannya mengikuti di belakangnya.

“Shifu, kenapa kau menyelamatkan bajingan itu?” tanya Huang Rong.

Hong Qigong tersenyum. “Pamannya teman lamaku. Anak itu melakukan banyak kejahatan. Dia pantas dikutuk. Tapi pamannya akan kehilangan muka kalau dia terluka di tanganku.” Ia menepuk bahu Huang Rong dan berkata, “Anak pintar, kau hari ini sudah menyelamatkan mukaku. Bagaimana aku harus memberimu hadiah?”

Huang Rong menjulurkan lidahnya. “Aku tidak mau tongkat bambumu,” katanya.

“Kalaupun mau, aku juga tidak bisa memberikannya,” kata Hong Qigong. “Aku punya pikiran untuk mengajarimu satu atau dua jenis kungfu, tapi aku terlalu malas beberapa hari ini. Aku tidak tertarik untuk melakukan apapun.”

“Aku akan menyiapkan makanan enak supaya kau bersemangat,” kata Huang Rong menawarkan.

Hong Qigong terbelalak, tapi kemudian ia mendesah. “Aku tidak punya waktu untuk makan-makan sekarang. Sayang sekali, sayang…!” Ia berpaling kepada Li Sheng dan kawan-kawannya sambil berkata, “Kai Pang punya masalah yang harus dibicarakan secara tertutup!”

Li Sheng dan yang lainnya mendatangi Guo Jing dan Huang Rong, mengungkapkan rasa terima kasih mereka karena telah menyelamatkan hidup mereka. Huang Rong telah memotong tali yang mengikat tangan dan kaki Nona Cheng. Nona Cheng sangat pemalu. Ia memegang tangan Huang Rong dan diam-diam mengucapkan terima kasih. Huang Rong menunjuk ke arah Guo Jing dan berkata, “Paman Gurumu yang Tertua, Pendeta Ma, mengajarinya kungfu. Paman Gurumu Qiu dan Wang juga sangat menyukainya, jadi bisa dibilang kita sekeluarga.”

Nona Cheng menoleh ke arah Guo Jing dan tiba-tiba tersipu. Ia menundukkan kepalanya dan setelah beberapa saat diam-diam mencuri pandang ke arah Guo Jing lagi.

Li Sheng dan yang lainnya juga memberi selamat kepada Hong Qigong, Guo Jing dan Huang Rong. Mereka tahu Qigong biasanya tidak menerima murid, bahkan di antara anggota Kai Pang ia jarang mengajarkan lebih dari satu atau dua jurus. Mereka bertanya-tanya bagaimana cara Guo Jing dan Huang Rong membujuknya, sehingga ia mau menerima mereka. Di dalam hati mereka iri kepada keduanya.

“Kami akan menyiapkan perjamuan besok malam untuk memberi selamat kepada Ketua karena telah menerima dua murid yang sangat baik,” kata Li Sheng.

Hong Qigong tersenyum, “Takutnya mereka tidak akan menyukai makanan kotor seperti yang biasa kita makan sebagai pengemis.”

“Kami pasti akan datang,” kata Guo Jing buru-buru. “Kakak Li adalah pendekar senior, wanbei sangat ingin mengenalmu.” Li Sheng telah diselamatkan oleh Guo Jing, karena itu ia terus menatap pemuda ini, dan mendengarkan ucapannya yang rendah hati ia jadi lebih senang. Ia memutuskan saat itu juga untuk berteman dengan Guo Jing.

Hong Qigong berkata, “Aku senang kalian berdua merasa seperti teman lama saat pertemuan pertama kalian. Tapi aku peringatkan, kau jangan membujuk murid pertamaku untuk jadi pengemis seperti kalian! Kau, muridku yang lebih muda, ayo cepat bawa pulang Nona Cheng. Kami para pengemis akan mencuri beberapa ayam dan meminta makanan.” Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia meninggalkan kuil diikuti oleh semua pengemis. Tepat sebelum pergi, Li Sheng memberi tahu Guo Jing bahwa perjamuan besok akan diadakan di kuil itu juga.

Guo Jing menemani Huang Rong mengantarkan Nona Cheng pulang.

Nona Cheng diam-diam memberi tahu Huang Rong bahwa nama lengkapnya adalah Cheng Yaojia. Meskipun ia telah belajar silat dari Qing Jing Sanren Sun Bu’Er, ia lahir dari keluarga kaya dan dimanjakan sejak masa kecilnya. Jadi secara alami ia sangat pemalu dan tidak mengenal terlalu banyak orang. Ia sangat berbeda dengan Huang Rong yang riang dan berani. Ia tidak berani mengatakan setengah kata pun kepada Guo Jing. Sesekali ia mencuri pandang dan langsung menundukkan kepalanya, pipinya merah padam.

  1. Sebuah papan yang biasa diletakkan di meja untuk mengenang orang yang sudah meninggal. Untuk mengenang ayah Guo Jing, Guo Xiaotian, Zhu Cong menulis ‘Guo Yishi Xiaotian zhi Ling Wei’ (郭义士嘯天之灵位). 

  2. Ibukota Kekaisaran Jin, di jaman modern tempat ini adalah Beijing. Dalam versi novel terjemahan, nama yang dicantumkan adalah Beijing, ini sebuah kekeliruan karena di jaman itu nama kota tersebut adalah Yanjing (燕京). Sebelum diduduki oleh Kekaisaran Jin, nama ibukota ini adalah Nanjing (南京), tetapi ini bukan kota yang sama dengan Nanjing modern. Untuk membedakannya, para ahli sejarah seringkali memakai nama Liao Nanjing (遼南京) kalau membicarakan kota ini di era tersebut. Pemakaian nama Liao itu memang tepat, karena saat itu yang berkuasa adalah Dinasti Liao (suku Khitan), yaitu suku dari Utara, ini diceritakan secara lebih rinci dalam kisah Para Pendekar Negeri Tayli, atau Demi Gods And Semi Devils. Sekedar catatan, suku Jurchen adalah bagian dari Dinasti Liao.  2

  3. Yang dimaksud ‘Ortodoks’ dalam konteks ini adalah ilmu dari aliran ‘lurus’, yang dianggap ‘bersih’, atau lebih tepatnya ‘aliran putih’. Sebaliknya bukan ortodoks maksudnya adalah aliran sesat. Sebetulnya hal ini tidak ada kaitannya secara langsung dengan ortodoksi, hanya sebuah cara untuk mengatakan bahwa yang “aneh” itu adalah sesat, tanpa harus terdengar tidak sopan. 

  4. Yang dimaksud dengan ‘Dataran Tengah’ atau Zhong Yuan (中原) adalah wilayah di sekitar Sungai Yangtze, yang memang terletak di tengah-tengah wilayah Tiongkok. Dari generasi ke generasi wilayah ini dipakai sebagai acuan untuk menggambarkan tempat asal dari masyarakat Tionghoa secara keseluruhan. Istilah ini masih dipakai hingga saat ini, tetapi yang dimaksud dengan Mainland China bagi masyarakat modern tentunya jauh lebih luas dari sekedar areal di sekitar Sungai Yangtze. 

  5. Wen (文) berarti ilmu sastra, atau pengetahuan tertulis. Cara ‘halus’ yang dimaksud Huang Rong adalah ini. 

  6. Wu (武) berarti ilmu perang, bela diri, kungfu, alias berkelahi. Ini cara keras yang dimaksud Huang Rong.