“Kau pikir kakak seperguruanku jadi hantu?” tanya Zhou Botong, “Atau menurutmu dia bangkit dari kematian? Tidak, tidak sama sekali. Dia berpura-pura mati.”

“Ah!” seru Guo Jing tersentak. “Pura-pura mati!”

“Betul!” ulang Zhou Botong. “Dia pura-pura mati. Beberapa hari sebelum ‘meninggal’, kakak seperguruanku tahu bahwa Racun Barat mengintai di sekitar kuil dan menunggu dia mati, supaya dia bisa mencuri buku itu. Oleh karena itu, kakak seperguruanku menghentikan napasnya dengan menggunakan tenaga dalamnya yang luar biasa, dan pura-pura mati. Dia tahu kalau dia memberi tahu murid-muridnya, mereka tidak akan berkabung dengan sungguh-sungguh. Lalu karena Racun Barat sangat licik, dia akan langsung tahu tipu muslihat itu, itulah alasannya tidak ada yang tahu rencana kakak seperguruanku. Ngomong-ngomong, kakak seperguruanku terbang keluar dari peti mati dan menyerang Racun Barat dengan Yi Yang Zhi. Ouyang Feng dengan jelas melihatku dari luar jendela ketika aku berada di samping ranjang kakak seperguruanku. Dia jelas melihat kami menempatkan jenazah di dalam peti mati. Sekarang tiba-tiba kakak seperguruanku melompat keluar dari dalam peti mati, dia begitu terkejut sampai seolah-olah darah berhenti mengalir di tubuhnya. Dia ketakutan sampai tidak bisa bergerak. Yi Yang zhi dari kakak seperguruanku mengenai alisnya dan mengalahkan Jurus Kodoknya. Ouyang Feng kemudian melarikan diri kembali ke barat dan aku belum pernah mendengar dia kembali lagi ke Dataran Tengah. Kakak seperguruanku tertawa panjang dan keras sambil duduk bersila di atas meja. Aku tahu mengerahkan Yi Yang Zhi itu menghabiskan banyak tenaganya, jadi dia perlu bermeditasi dan memulihkan kekuatannya dan aku tidak mengganggunya. Aku berlari keluar dan membantu keponakan-keponakanku menyingkirkan musuh lain yang menyerang. Ketika semua keponakanku mendengar bahwa guru mereka tidak mati, kebahagiaan mereka meluap. Kami bergegas kembali ke kuil tetapi kemudian berhenti di tengah jalan…”

“Ada apa?” tanya Guo Jing gugup.

“Aku melihat tubuh kakak seperguruanku miring ke satu sisi dan wajahnya terlihat aneh,” kata Zhou Botong. “Saya buru-buru berlari ke arahnya dan memeriksa denyut nadinya, tubuhnya sedingin es. Dia benar-benar mati kali ini. Kata-kata terakhir kakak seperguruanku adalah agar kami membagi Jiu Yin Zhen Jing menjadi dua bagian, supaya kalau seseorang mencuri satu, seluruh buku tidak akan hilang. Aku mengambil bagian pertama dengan maksud untuk menyembunyikannya nanti, dan membawa bagian kedua ke selatan untuk menyembunyikannya di puncak gunung di suatu tempat. Dalam perjalanan ke selatan, aku bertemu dengan Huang Laoxie.”

“Ah!” seru Guo Jing.

“Meskipun perilaku Huang Laoxie aneh dan dia sangat sombong, dia tidak seperti Racun Barat yang tidak tahu malu dan berani datang untuk mencuri buku itu,” kata Zhou Botong. “Si Tua Huang kebetulan bersama seorang wanita yang ternyata adalah istri barunya.”

“Itu pasti ibu Rong’er,” pikir Guo Jing. “Aku ingin tahu apa dia tahu kalau ibunya terlibat dalam masalah ini?”

“Aku melihat mereka sangat bahagia,” ia mendengar Zhou Botong melanjutkan. “Dia bilang mereka baru saja menikah. Kupikir Huang Laoxie pintar, apa gunanya seorang istri untuknya? Jadi aku menggodanya tentang pernikahan. Huang Laoxie tidak marah, dia bahkan mengundangku minum. Aku memberi tahu dia tentang kakak seperguruanku yang pura-pura mati dan melukai Ouyang Feng. Istri Huang Laoxie mendengarkan ceritaku, dia bertanya apa dia bisa melihat buku itu. Dia bilang bahwa dia tidak mengerti kungfu apa pun, dia hanya ingin tahu buku macam apa yang bisa menyebabkan kematian banyak jago kungfu dunia persilatan. Tentu saja aku tidak mengijinkannya. Sekarang Si Sesat Tua Huang sangat mencintai istri mudanya, dan dia ingin menyenangkannya, jadi dia bilang kepadaku, ‘Botong, perempuan ini sama sekali tidak mengerti kungfu. Dia masih muda dan suka melihat hal-hal lucu. Apa salahnya kalau mengijinkan dia melihat? Kalau aku, Huang Yaoshi, melirik bukumu, aku akan segera mencungkil mataku dan memberikannya kepadamu.’ Huang Laoxie adalah orang yang bisa digolongkan di antara yang terbaik di usia sekarang ini, kata-katanya tanpa perlu diragukan lagi, sangat berbobot. Tetapi mengijinkan seseorang melihat buku itu adalah masalah yang serius, jadi aku menggelengkan kepala. Huang Laoxie tidak senang. Dia bilang, ‘Mana mungkin aku tidak mengerti masalahmu dengan buku itu? Kalau kau mengijinkan istriku melihatnya, akan ada saatnya Si Tua Huang ini membalas kebaikan Perguruan Quanzhen. Tetapi kalau kau tidak setuju, itu sepenuhnya hakmu. Siapa bilang aku harus berteman denganmu? Aku bahkan tidak kenal satu pun dari murid Quanzhen.’ Aku sangat mengerti maksudnya. Orang ini akan melakukan apa yang dikatakannya. Dia merasa tidak nyaman membuatku sulit, tapi dia bisa mempersulit Ma Yu, Qiu Chuji, dan yang lainnya. Kungfunya terlalu tinggi, tidak baik membuatnya marah.”

“Memang benar,” kata Guo Jing. “Pendeta Ma, Qiu, dan yang lain pasti bukan tandingannya.”

Zhou Botong melanjutkan, “Saat itu aku berkata, ‘Huang Laoxie, kalau kau marah datang dan cari aku saja, Bocah Tua Nakal. Mengapa kau harus mencari keponakanku? Itu kan sama saja si besar menggertak si kecil?’ Ketika istrinya mendengarku menyebutkan nama panggilanku, ‘Lao Wantong’, dia tertawa terbahak-bahak dan bilang, ‘Kakak Zhou, kau suka bermain-main, mari kita lupakan semua ini dan mari kita bermain-main. Aku tidak ingin melihat bukumu yang berharga itu lagi.’ Dia menoleh ke Huang Laoxie dan bilang, ‘Kurasa Jiu Yin Zhen Jing sudah dicuri orang bermarga Ouyang itu, makanya Kakak Zhou tidak bisa menunjukkannya. Kalau kau terus mengganggunya, aku takut kau hanya akan membuatnya kehilangan muka.’ Huang Laoxie tersenyum dan bilang, ‘Itu benar. Botong, biar aku membantumu menemukan Racun Tua itu dan menanganinya. Kungfunya berada di atasmu.’”

“Sepertinya Rong’er mewarisi kecerdasan aneh ibunya,” pikir Guo Jing. Kepada Zhou Botong ia berkata, “Mereka hanya ingin memanas-manasi engkau!”

“Aku tahu itu!” kata Zhou Botong, “Tapi aku tidak mau kalah dari mereka. Jadi aku bilang, ‘Buku itu ada di tanganku dan aku tidak masalah kalau Sao Sao melihatnya. Tapi kalau kau menyimpulkan Lao Wantong tidak bisa mempertahankan buku itu, kau harus membuktikannya.’ Huang Laoxie tersenyum, ‘Kalau kita bertarung, kita mungkin akan merusak persahabatan kita. Kau adalah Lao Wantong, mari kita bermain-main seperti anak kecil.’ Istrinya bertepuk tangan dan berseru, ‘Bagus, bagus! Kenapa kalian berdua tidak main kelereng?’ sebelum aku bisa menjawabnya.”

Guo Jing tersenyum tipis. Zhou Botong melanjutkan, “Aku ahlinya main kelereng, jadi aku berteriak, ‘Ayo kita main kelereng, kau kira aku takut?’ Huang Furen tersenyum dan berkata, ‘Kakak Zhou, kalau kau kalah, kau akan mengijinkan aku melihat buku itu. Tetapi kalau kau menang, apa yang kau inginkan sebagai balasannya?’ Huang Laoxie cepat-cepat bilang, ‘Perguruan Quanzhen punya harta karun, menurutmu Pulau Bunga Persik tidak punya?’ Dia mengeluarkan kain hitam mengkilap yang tertutup seluruhnya dengan duri. Kau bisa menebak apa itu?”

Ruan Wei Jia!” tebak Guo jing.

“Benar! Jadi kau tahu soal ini?,” kata Zhou Botong. “Huang Laoxie bilang, ‘Botong, kungfumu luar biasa jadi tentu saja kau tidak butuh perlindungan apa pun, tapi suatu hari nanti kau akan bertemu dengan seorang Nu Wantong dan segera memiliki Xiao Wantong. Ruan Wei Jia ini akan sangat berharga untuk melindungi anak, tidak ada yang akan bisa mengganggunya. Kalau kau bisa mengalahkan aku dalam nain kelereng, harta karun Pulau Bunga Persik ini akan menjadi milikmu.’ Aku bilang, ‘Aku tidak akan ketemu Nu Wantong, jadi tentu saja Xiao Wantong juga tidak akan lahir, tapi Ruan Wei Jia milikmu itu terkenal di dunia persilatan. Kalau aku menang, aku akan memakainya di luar jubahku, lalu aku akan berkeliaran Jianghu dan memberi tahu orang-orang bahwa Juragan Pulau Bunga Persik kalah dari Lao Wantong.’ Huang Furen menyela, ‘Berhenti bicara, setelah permainan selesai baru kita bisa bicara lagi.’ Jadi kami sepakat. Setiap orang harus memasukkan sembilan kelereng ke dalam sembilan lubang, jadi aku membuat delapan belas lubang sekaligus. Siapa pun yang memasukkan sembilan kelereng terlebih dahulu akan memenangkan permainan.”

Ketika mendengarkan bagian ini, Guo Jing terkenang masa kecilnya waktu bermain kelereng dengan saudara angkatnya Tolui di padang rumput, sebuah senyuman tersungging di wajahnya. Sementara itu Zhou Botong melanjutkan, “Aku selalu membawa banyak kelereng di saku, jadi kami keluar untuk bermain. Aku memperhatikan gerak-gerik Huang Furen, dan aku tahu dia benar-benar tidak mengerti ilmu bela diri. Aku turun dan membuat beberapa lubang di tanah. Aku mempersilakan Huang Laoxie memilih kelerengnya dulu. Lalu kami mulai bermain. Keahlian istimewanya, Sentilan Jari Dewa terkenal di seluruh dunia. Dia tahu keahliannya dengan benda-benda kecil lebih unggul dari aku. Tapi dia tidak tahu kalau permainan ini punya rahasia, ada sedikit perbedaan dalam caraku membuat lubang. Aku membuatnya sedemikian rupa sehingga ketika kelereng masuk, kelereng itu akan langsung melompat keluar. Kau harus menembak kelereng dengan kekuatan yang sempurna, harus tepat dengan sedikit gaya tarik di belakangnya, supaya kelereng akan tetap berada di dalam lubang.”

Guo Jing tidak pernah menduga bermain kelereng di Zhongyuan1 ternyata sangat rumit. Anak-anak Mongolia tidak akan pernah bisa bersaing. Ia mendengar Zhou Botong dengan bangga melanjutkan, “Huang Laoxie menyentil tiga kelereng dan semuanya tepat sasaran. Tapi begitu memasuki lubang, biji-biji itu akan melompat keluar. Dia tidak tahu rahasiaku. Sementara itu aku menyentil lima kelereng dan semuanya masuk, dan tetap tinggal. Ilmu menembakkan senjata rahasianya sangat bagus, dia berusaha keras untuk mengejarku dengan menyentil tiga kelereng lagi, sementara aku memasukkan kelereng lain ke dalam lubang. Aku sudah unggul, bagaimana aku bisa membiarkannya mengejar? Dia mengalami kesulitan dengan kelerengnya. Diam-diam aku merasa puas. Aku mengira kekalahannya sudah dekat, bahkan Surga juga tidak akan bisa membantunya. Ay! Siapa sangka ternyata Huang Laoxie akan menggunakan akal bulus untuk menang? Kau bisa menebak apa yang dilakukannya?”

“Dia melukai tanganmu menggunakan kungfunya yang luar biasa itu?” tebak Guo Jing.

“Wah, salah total!” kata Zhou Botong. “Tidak, tidak! Huang Laoxie jahat, tapi dia tidak bodoh, dia tidak akan menggunakan cara konyol seperti itu. Dia tahu dia akan kalah, jadi dia menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam kelereng, dia menyentil tiga kelereng dan mengenai tiga kelereng terakhirku. Punyaku hancur sementara kelerengnya tetap utuh.”

“Ah!” seru Guo Jing. “Berarti kau tidak punya sisa biji kelereng lagi?”

“Aku hanya bisa menonton, sementara dia dengan santai memasukkan kelereng-kelerengnya ke dalam lubang,” kata Zhou Botong kesal. “Aku kalah.”

“Tapi itu tidak masuk hitungan!” sela Guo Jing.

“Itulah yang kukatakan,” jawab Zhou Botong. “Si Sesat Tua Huang bilang, ‘Botong, kita sepakat bahwa siapa pun yang memasukkan kesembilan kelereng ke dalam lubang, dia menang. Salahkan dirimu sendiri! Itu kesalahanmu sendiri, kau tidak punya cukup kelereng untuk dimasukkan ke dalam lubang. Karena itu, kau kalah!’ Aku masih berpikir dia curang, tetapi aku harus mengakui, aku menduga dia akan mengambil langkah itu. Dan juga, bahkan jika aku ingin menghancurkan kelerengnya, aku tidak bisa melakukan seperti apa yang dia lakukan. Aku tidak bisa memukul kelereng tanpa menghancurkan kelerengku sendiri. Jadi aku diam-diam mengagumi kemampuannya. Aku bilang, ‘Huang Dasao2, aku mengijinkan kau melihat buku itu, tetapi kau harus mengembalikannya sebelum matahari terbenam.’ Saya bilang begitu karena aku takut mereka akan bilang, ‘Kami tidak mengatakan berapa lama kami akan meminjam buku itu. Kami belum selesai membacanya jadi kenapa kau mengambilnya kembali?’ Jika itu terjadi, buku itu akan berada di tangan mereka selama sepuluh atau bahkan seratus tahun. Itu celaka!”

Guo Jing mengangguk setuju. “Benar! Untungnya Dage pintar dan bisa meramalkan hal ini. Kalau aku, aku akan tertipu oleh akal-akalan mereka.”

Zhou Botong menggelengkan kepalanya, “Bicara tentang kecerdasan, siapa yang bisa dibandingkan dengan Huang Laoxie? Aku tidak tahu caranya, tapi dia berhasil menemukan seorang istri yang sepintar dia. Saat itu Huang Dasao hanya tersenyum tipis, dia bilang, ‘Kakak Zhou, kau dikenal sebagai Lao Wantong, tapi kau pintar. Kau takut itu akan sama dengan Liu Bei yang meminjam kota Jingzhou selamanya, kan? Jangan kuatir. Aku akan duduk di sini, di depan matamu, dan aku tidak akan bersembunyi di tempat rahasia. Kalau kau merasa tidak nyaman, kau bisa tetap di sisiku dan berjaga-jaga.’ Aku mendengarkan dia mengatakan hal ini dan aku mengambil buku itu dari sakuku, lalu menyerahkannya kepadanya. Huang Dasao mengambilnya dan berjalan ke pohon dan duduk di atas batu yang terbalik. Huang Laoxie melihatku masih ragu dan bilang, ‘Lao Wantong, di jaman sekarang ini, berapa banyak orang yang bisa mengalahkan kungfu kita berdua?’ Kujawab, ‘Tidak ada yang bisa mengalahkanmu, tetapi untuk mengalahkanku, termasuk kau sendiri, masih ada empat atau lima orang!’ Huang Laoxie tersenyum, ‘Kau menyanjungku. Sesat Timur, Racun Barat, Kaisar Selatan, dan Pengemis Utara adalah empat orang dan masing-masing memiliki kekuatannya sendiri, kami berempat seimbang. Jurus Kodok Ouyang Feng sudah dipatahkan oleh kakak seperguruanmu, jadi selama sepuluh tahun dia tidak akan mampu bersaing dengan kita. Ada Tie Zhang Shui Shang Piao, Qiu Qianren dan aku pernah mendengar kungfunya bagus, tetapi karena dia tidak datang dalam Hua Shan Lun Jian, aku tidak yakin kungfunya istimewa. Lao Wantong, aku percaya selain orang-orang ini, kungfumu adalah nomor satu. Kalau kita gabungkan kekuatan kita, tidak akan ada yang bisa mengalahkan kita.’ Aku bilang, ‘Tentu saja!’ Huang Laoxie kemudian bertanya, ‘Lalu buat apa kau begitu cemas? Dengan kita berdua berdiri di sini, siapa di dunia ini yang bisa datang dan mencuri bukumu yang berharga itu?’ Dia sangat masuk akal, jadi aku merasa lebih baik. Kulihat Huang Furen membolak-balik halaman demi halaman dan dia membaca dengan penuh perhatian dari awal, bibirnya bergerak-gerak sedikit yang menurutku agak lucu. Jiu Yin Zhen Jing berisi kungfu rahasia tingkat tinggi, bahkan jika dia fasih dalam sastra, aku kuatir dia tidak akan mengerti bahkan setengah kata pun. Dia membaca perlahan dari awal sampai akhir dengan sabar dan teliti. Aku menunggu dengan tidak sabar sampai dia akhirnya membalik halaman terakhir. Aku pikir dia sudah selesai, tetapi dia tiba-tiba membuka halaman pertama dan membaca lagi. Tapi kali ini dia membaca dengan cepat dan selesai dalam waktu yang dibutuhkan untuk minum secangkir teh. Dia mengembalikan buku itu kepadaku dan tersenyum, ‘Kakak Zhou, kau ditipu Racun Barat, ini bukan Jiu Yin Zhen Jing!’ Aku terkejut. Aku bertanya, ‘Apa maksudmu bukan? Jelas ini peninggalan kakak seperguruanku dan buat aku kelihatannya bagus!’ Huang Furen menjawab, ‘Apa gunanya buku ini? Ouyang Feng jelas-jelas menukar bukumu dengan salinan murahan tentang ilmu ramalan’.”

“Apa mungkin Ouyang feng menukar kitab itu sebelum Wang Zhenren keluar dari peti mati?” tanya Guo Jing.

“Tadinya kupikir begitu,” jawab Zhou Botong. “Tapi aku sudah lama tahu Huang Laoxie sangat lihai. Aku juga tidak percaya apa yang dikatakan istrinya. Huang Furen melihatku berdiri diam, dia tahu aku meragukan kata-katanya, jadi dia bertanya, ‘Kakak Zhou, bagaimana kau tahu ini adalah Jiu Yin Zhen Jing yang asli?’ Kubilang, ‘Sejak kakak seperguruanku memperoleh kitab itu, tak ada orang yang pernah melihat isinya. Kakak seperguruanku bilang bahwa dia berjuang selama tujuh hari tujuh malam untuk menghindari pertumpahan darah lebih lanjut di dunia persilatan, bukan untuk keuntungan pribadinya. Oleh karena itu, dia melarang murid-murid Quanzhen mempelajari kungfu apa pun dari buku ini.’ Huang Furen kemudian berkata, ‘Wang Zhenren punya hati yang adil dan jujur, benar-benar pantas mendapatkan kekaguman yang tak ada habisnya. Meski begitu, ada orang lain yang tak segan-segan menipunya. Kakak Zhou, silakan lihat bukunya.’ Aku ragu-ragu, mengingat kata-kata terakhir almarhum kakak seperguruanku yang tidak berani kubantah. Huang Furen melanjutkan, ‘Ini adalah buku ramalan yang tersedia di mana saja di Jiangnan dan harganya tidak sampai setengah wen. Selain itu, bahkan jika buku ini adalah Jiu Yin Zhen Jing yang sebenarnya, tidak apa-apa untuk melihat selama kau tidak belajar apa pun dari situ, kan?’ Jadi aku membuka buku itu dan membaca halaman pertama. Bagiku buku itu sepertinya menjelaskan metode dan teknik berlatih seni bela diri, di bagian mana urusan ramalan itu? Huang Furen bilang, ‘Aku sudah bermain dengan buku semacam ini sejak umur lima tahun. Aku tahu isinya dari awal sampai akhir. Dari kami anak-anak Jiangnan, sembilan dari sepuluh mengenalnya. Kalau kau tidak percaya, dengarkan saja ini.’ Setelah mengatakan itu, kata-kata mulai mengalir seperti air dari mulutnya, dia membaca buku itu dari awal sampai akhir. Aku melihat buku itu untuk melihat apakah dia benar-benar menghafalnya. Memang tidak ada satu kata pun yang salah. Tubuhku jadi dingin, seolah-olah aku diceburkan ke dalam lubang yang penuh dengan es. Huang Furen juga bilang, ‘Tidak peduli halaman mana yang kau ingin kubacakan, selama kau membaca bagian awalnya, aku bisa membacakan sisanya. Aku sudah membaca buku semacam ini sejak masih kecil, jadi aku tidak akan melupakan isinya.’ Aku memilih beberapa bagian seperti yang dia katakan dan dia membacanya tanpa ragu. “

Huang Laoxie tertawa terbahak-bahak. Aku sangat marah. Aku merobek buku itu sampai jadii potongan kecil-kecil dan kemudian membakarnya. Huang Laoxie bilang, ‘Lao Wantong, kau tidak perlu marah. Biar Ruan Wei Jia ini kuhadiahkan kepadamu.’ Aku sama sekali tidak sadar kalau aku masuk ke dalam jebakannya. Kupikir aku pasti tampak sangat kesal, jadi dia ingin menghiburku. Aku kesal tetapi bagaimana aku bisa mengambil harta karun Pulau Bunga Persik? Jadi aku berterima kasih kepadanya tanpa mengambil hadiahnya. Aku pulang ke kampung halamanku dan menutup pintu dari dunia. Aku ingin melatih kungfuku. Aku tahu saat itu aku bukan tandingan Ouyang Feng, jadi aku bertekad untuk berlatih keras selama lima tahun. Kupikir aku akan pergi ke barat untuk mengambil kembali buku itu dari Racun Barat. Kakak seperguruanku mempercayakan buku itu kepadaku dan Lao Wantong tidak bisa menyimpannya dengan aman. Bagaimana aku bisa menghadapi kakak seperguruanku di dunia akhirat?”

“Racun Barat sangat licik. Aku tahu kau harus menghadapinya, tapi bukankah lebih baik kalau kau juga mengajak Pendeta Ma, Pendeta Qiu, dan yang lain juga?” tanya Guo Jing.

“Ay! Aku hanya bisa menyalahkan kesombonganku sendiri,” keluh Zhou Botong. “Setelah mengalami dipermalukan seperti itu, aku tidak mau bicara dengan Ma Yu dan yang lain. Kalau tidak, pasti mereka bisa segera melihat ada sesuatu yang salah. Beberapa tahun kemudian, ada desas-desus di dunia persilatan bahwa murid dari Pulau Bunga Persik, Hei Feng Shuang Sha, berhasil mendapatkan Jiu Yin Zhen Jing. Mereka berhasil melatih beberapa jurus istimewa dari kitab itu, dan menciptakan kekacauan di mana-mana. Mula-mula aku tidak mempercayainya, tapi gosip itu ternyata semakin kuat. Setahun kemudian Qiu Chuji mengunjungi aku di rumah. Kunjungannya berkaitan dengan isu tentang Jiu Yin Zhen Jing. Menurutnya kitab itu sungguh-sungguh telah jatuh ke tangan murid-murid Pulau Bunga Persik. Aku sangat marah. Kubilang, ‘Huang Laoxie tidak layak menjadi sahabatku!’ Qiu Chuji terkejut dan bertanya, ‘Shishu3, kenapa kau bilang Huang Yaoshi tidak layak menjadi sahabatmu?’. Aku memberitahu dia, ‘Dia pergi sendiri untuk merebut kitab itu kembali dari tangan Ouyang Feng tanpa persetujuanku, dan juga buku itu tidak dikembalikannya kepadaku!’.”

“Kurasa dia berniat melakukannya, tapi tepat setelah dia mendapatkan kembali buku itu, buku itu dicuri oleh murid-muridnya,” kata Guo Jing. “Aku tahu dia sangat marah karena ini, jadi dia mematahkan persendian di kaki murid-muridnya yang tidak bersalah dan mengeluarkan mereka dari perguruannya.”

Zhou Botong menggelengkan kepalanya. “Kau sama naifnya seperti aku. Kalau urusan ini terjadi padamu, kau pasti akan ditipu tanpa menyadarinya,” katanya. “Hari itu Qiu Chuji mendiskusikan kungfu dengan aku dan kami bicara panjang lebar sebelum akhirnya dia pergi. Dua bulan kemudian dia tiba-tiba muncul kembali. Dia sudah mengunjungi Chen Xuanfeng dan Mei Chaofeng, pasangan yang mencuri buku Huang Laoxie. Mereka berlatih Jiu Yin Baigu Zhua dan Cui Xin Zhang, dua kungfu sesat. Dia mengambil risiko besar untuk menguping percakapan Hei Feng Shuang Sha itu, dan menemukan bahwa Huang Laoxie bukan mendapatkan buku itu dari Ouyang Feng. Tidak sama sekali… dia mencurinya dari tanganku.”

“Tapi kau sudah membakar kitab itu, masa Huang Furen menukar kitab itu dengan yang palsu sebelum mengembalikannya kepadamu?” tanya Guo Jing.

“Aku justru sudah mewaspadai kemungkinan itu sejak awal,” kata Zhou Botong. “Ketika Nyonya Huang melihat buku itu, aku tidak berani bergerak bahkan setengah langkah pun dari sisinya. Dia tidak bisa kungfu sama sekali. Bahkan jika tangan dan kakinya gesit dia tidak bisa lepas dari kita, yang sudah berlatih melontarkan dan menghadapi senjata rahasia. Tidak, dia tidak menukarnya, dia hanya mencatatnya di benaknya!”

Guo Jing tidak mengerti. “Bagaimana cara dia mencatatnya?”

Zhou Botong balik bertanya, “Saudaraku, kalau kau membaca buku, kau perlu membaca bagian tertentu berapa kali sebelum sungguh-sungguh bisa menghafal bagian itu?”

“Kalau bagian itu mudah diingat, mungkin tiga puluh sampai empat puluh kali. Kalau susah diingat bisa tujuh puluh sampai delapan puluh kali, atau bahkan seratus. Bahkan setelah membacanya seratus kali, aku masih belum bisa menjamin aku mengingatnya dengan tepat,” kata Guo Jing terus terang.

“Kalau bicara soal kemampuan otak,” kata Zhou Botong. “Kau sama sekali tidak bisa dibilang pintar.”

“Adikmu ini secara alamiah memang bodoh,” kata Guo Jing mengakui. “Tak peduli belajar sastra atau ilmu silat, aku selalu saja lambat.”

Zhou Botong menghela nafas. “Kita tidak usah bicara soal sastra dan literatur,” katanya. “Kalau belajar kungfu, apa gurumu harus mengulangi sampai lusinan kali sebelum kau mengerti apa maksud mereka?”

Muka Guo Jing memerah. “Betul. Kadang-kadang aku paham, tapi tidak bisa mengingatnya. Kadang aku bisa mengingatnya, tapi tidak bisa mempraktekkannya.”

“Tapi ada orang-orang tertentu di dunia ini, yang cukup dengan melihat orang lain memasang kuda-kuda, mereka langsung bisa mengingat semuanya selamanya,” kata Zhou Botong.

“Benar sekali!” Seru Guo Jing. “Putri Huang Daozhu memang seperti itu. Ketika Hong Enshi4 mengajarinya kungfu, paling banyak dia akan mengajarinya dua kali, sangat jarang dia harus mengulang pelajaran tiga kali.”

“Anak itu sangat pintar,” kata Zhou Botong perlahan. “Semoga saja dia tidak ketularan umur pendek ibunya! Hari itu ketika Nyonya Huang meminjam kitab itu, dia hanya membacanya dua kali, tapi dia tidak melewatkan satu kata pun. Setelah kami berpamitan, dia menuliskan segalanya untuk dilihat suaminya.”

Guo Jing tidak bisa menahan rasa takjubnya. Dia terdiam beberapa saat hanya untuk pada akhirnya berkata, “Huang Furen tidak mengerti apa yang dibacanya, tapi dia mampu menghafal semuanya. Bagaimana bisa ada orang yang secerdas itu di muka bumi ini?”

“Kurasa teman kecilmu, Huang Yatou itu, juga mampu melakukan hal semacam ini,” kata Zhou Botong. “Ngomong-ngomong, setelah mendengarkan Qiu Chuji aku merasa malu. Saya segera memanggil tujuh murid generasi pertama Quanzhen untuk membahas masalah ini. Semua orang setuju kita harus berurusan dengan Sepasang Iblis Angin Gelap dan mendapatkan kembali buku itu dari mereka. Qiu Chuji berkata, ‘Kungfu Sepasang Iblis itu mungkin tinggi, kami bertujuh adalah keponakanmu, Paman tidak perlu bertindak sendiri, kalau tidak nanti para pendekar Jianghu akan mengatakan generasi tua menindas generasi yang lebih muda.’ Kupikir dia benar, jadi aku menugaskan satu atau dua dari mereka untuk menemukan Hei Feng Shuang Sha, sementara yang lainnya tidak terlihat, untuk menjaga agar Sepasang Iblis tidak melarikan diri.”

Guo Jing mengangguk setuju, “Kalau Tujuh Pendekar Quanzhen semuanya beraksi, Sepasang Iblis tidak akan punya kesempatan.” katanya. Pikirannya mengembara ke masa ketika Pendeta Ma Yu bersama dengan enam gurunya menyamar sebagai Tujuh Pendekar Quanzhen di atas bukit gersang Mongolia.

“Mereka mengejar Sepasang Iblis sampai ke Henan, di situ keduanya tiba-tiba menghilang,” lanjut Zhou Botong. “Tujuh Pendekar Quanzhen mencoba untuk mendapatkan informasi dan ternyata murid lain dari Huang Laoxie, Lu Chengfeng, sebelumnya mengumpulkan lusinan pendekar dan orang-orang gagah berani dari Dataran Tengah untuk melawan keduanya dengan tujuan menangkap mereka, mengirim mereka kembali ke Tao Hua Dao dan menyerahkannya kepada Huang Laoxie. Namun demikian mereka masih bisa melarikan diri dan menghilang tanpa jejak.”

“Tidak heran Lu Xiansheng begitu membenci kedua kakak seperguruannya itu,” kata Guo Jing. “Dia dihukum secara tidak adil.”

“Karena aku tidak dapat menemukan Sepasang Iblis, tentu saja aku mencari Huang Laoxie. Aku membawa jilid pertama dari Jiu Yin Zhen Jing karena takut aku akan kehilangan jilid ini juga. Setibanya di Pulau Bunga Persik, aku memarahi Huang Laoxie, tetapi dia bilang, ‘Botong, Huang Yaoshi selalu bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakannya. Aku bilang tidak akan melirik bukumu, dan kapan aku melihatnya? Jiu Yin Zhen Jing yang kulihat adalah yang diingat oleh istriku, tentu saja bukan bukumu.’ Kata-katanya terdengar masuk akal, tetapi aku sangat marah sehingga aku mengucapkan kata-kata kasar kepadanya dan meminta untuk berbicara dengan istrinya. Dia tersenyum pahit dan membawaku ke aula utama. Segera setelah kami berada di sana aku terkejut. Ternyata Nyonya Huang sudah meninggal dunia. Di aula utama ada papan peringatannya. Aku ingin memberikan penghormatan kepada arwahnya tetapi Huang Laoxie mencibir dan berkata, ‘Lao Wantong! Kau tidak perlu sok baik. Kalau bukan karena Kitab Kentut Anjing celaka itu, istriku tidak akan meninggal.’ Aku terkejut, ‘Apa?’ tanyaku. Dia tidak menjawab dan hanya menatapku dengan mata marah, kemudian air mata mulai mengalir di pipinya. Setelah beberapa lama, dia mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Nyonya Huang segera menulis ulang buku itu demi suaminya. Huang Yaoshi kemudian mengetahui bahwa buku yang ada di tangannya adalah jilid kedua yang berbahaya jika digunakan tanpa mengetahui jilid pertama. Jadi dia memutuskan untuk mengesampingkan buku itu sementara dia mencoba untuk mendapatkan jilid pertama. Siapa sangka buku itu akan dicuri oleh Chen Xuanfeng dan Mei Chaofeng? Nyonya Huang ingin menghibur suaminya dan dia diam-diam bertekad untuk menulis ulang seluruh buku. Pertama-tama, dia tidak mengerti arti dari apa yang dia tulis, dia hanya menghafal kata-katanya. Kedua, sudah beberapa tahun berlalu sejak dia menulisnya pertama kali, bagaimana dia bisa mengingat semuanya? Saat itu usia kehamilannya memasuki bulan kedelapan. Setelah berpikir keras dengan susah payah, dia mampu menulis ulang sekitar tujuh atau delapan ribu kata, tetapi tidak setiap kata akurat. Hati dan pikirannya sangat lelah dan karena itu dia melahirkan seorang bayi perempuan sebelum waktunya. Bayi itu sehat, tetapi kondisinya sendiri seperti lentera yang kehabisan minyak. Meski keahlian medis Huang Yaoshi tak tertandingi, pada akhirnya ia tidak mampu menyelamatkan nyawa istri tercintanya. Huang Laoxie selalu suka melampiaskan amarahnya dan menyalahkan orang lain, selama ini setelah istrinya meninggal, dia seperti orang gila dan berbicara tidak jelas kepadaku. Aku tahu dia sedang berduka, jadi aku tidak ingin berdebat. Aku hanya tersenyum dan berkata kepadanya, ‘Kau seorang ahli silat, tapi kau menaruh begitu banyak perasaan terhadap hubungan suami-istri. Apa kau tidak takut jadi bahan tertawaan orang lain?’ Dia bilang, ‘Istriku berbeda,’ Aku mengatakan kepadanya, ‘Istrimu meninggal dan sekarang adalah waktu terbaik untuk melatih kungfumu. Kalau aku, itulah yang kuharapkan dari diriku sendiri. Semakin cepat istrimu meninggal, semakin baik. Selamat! Selamat!’”

“Ah!” seru Guo Jing. “Kenapa kau mengatakan hal semacam itu?”

Mata Zhou Botong berkedip, “Aku mengatakan apa yang kupikirkan. Apa yang salah dengan itu?” bentaknya. “Tapi Huang Laoxie itu marah dan tanpa berkata apa-apa dia memukulku dan kami berkelahi. Pada akhirnya aku harus tinggal di tempat bodoh ini selama lima belas tahun.”

“Kau kalah?” tanya Guo Jing.

Zhou Botong tersenyum, “Kalau menang, tentu aku tidak akan berada di sini. Dia memukulku sampai aku muntah darah. Aku lari sampai menemukan gua ini. Dia mengejarku, ingin mematahkan kakiku. Dia juga ingin merebut jilid pertama dari Jiu Yin Zhen Jing dan membakarnya di depan papan peringatan istrinya. Aku menyembunyikan buku itu di dalam lubang dan duduk di pintu masuk gua menjaganya. Aku mengatakan bahwa jika dia memaksa, aku akan segera menghancurkan buku itu. Dia bilang, ‘Aku akan menemukan cara untuk memaksamu keluar dari sana.’ Aku bilang, ‘Kita lihat saja!’ Begitu saja dan aku sudah berada di sini selama lima belas tahun. Orang itu sombong, tapi dia belum putus asa, jadi aku yakin dia tidak akan memasukkan racun ke dalam makananku. Tapi dia menggunakan segala cara yang mungkin untuk memaksaku keluar dari sini. Aku meninggalkan gua hanya untuk kencing dan berak, jadi dia tidak punya kesempatan untuk menyelinap masuk. Hanya aku yang harus hidup dengan bau busuk ini. Terkadang aku pura-pura berak. Hatinya gatal untuk menyentuhnya, tapi dia akhirnya menikmati baunya.” Ia mengakhiri narasinya dengan tertawa terbahak-bahak.

Mendengarkan ceritanya Guo Jing terpesona. Ia melihat kakaknya ini pintar dan jenaka. Zhou Botong melanjutkan, “Setelah lima belas tahun ia mulai menyerang hati dan pikiranku, tetapi sejauh ini aku mampu mempertahankan diri. Semalam aku hampir jatuh, untungnya hantu atau malaikat membawamu ke sini dan kau membantuku. Jika tidak, buku ini pasti sudah jatuh ke tangan Huang Laoxie. Ah! Irama Gelombang Laut Biru Huang Laoxie mengandung kekuatan batin yang kuat, sungguh sangat mendalam dan menghanyutkan.

Guo Jing mendengarkan kisahnya yang mengandung rasa terima kasih dan dendam ini, hatinya jadi gelisah. “Kakak, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanyanya.

Zhou Botong tersenyum, “Aku akan melanjutkan pertarungan ini. Kita akan lihat apakah Huang Laoxie hidup lebih lama dariku. Aku menceritakan kisah hidup Huang Shang beberapa waktu yang lalu, dia hidup lebih lama dari semua musuhnya.”

Guo Jing merasa ini bukan ide yang bagus, tapi ia tak punya cara yang lebih baik, jadi ia bertanya, “Kenapa Pendeta Ma Yu dan yang lainnya tidak datang untuk menyelamatkanmu?”

“Kemungkinan besar mereka bahkan tidak tahu aku ada di sini,” kata Zhou Botong. “Bahkan kalau mereka datang, vegetasi di pulau ini sangat aneh kecuali Huang Laoxie sendiri memberikan persetujuan, orang lain tidak akan bisa memasuki Pulau Bunga Persik. Dan bahkan jika mereka datang untuk menyelamatkanku, aku tidak akan pergi. Saya belum menyelesaikan pertarungan dengan Huang Laoxie.”

Setelah berbicara setengah harian dengan Zhou Botong, Guo Jing merasa bahwa meskipun orang ini sudah tua, tapi ia penuh dengan kepolosan anak kecil dan selalu berbicara terus terang, tanpa pura-pura.

Sementara itu matahari telah naik tinggi di langit. Pelayan tua itu datang untuk mengantarkan makanan mereka. Setelah selesai makan, Zhou Botong melanjutkan, “Aku tinggal di Pulau Bunga Persik selama lima belas tahun, tapi waktuku tidak terbuang sia-sia. Di sini hati dan pikiranku jernih tanpa ada gangguan. Di sini aku mencapai kemajuan yang membutuhkan waktu dua puluh lima tahun untuk dicapai di tempat lain. Meskipun aku tahu kemajuanku pesat, sayang sekali aku tidak punya teman latihan. Aku harus menggunakan tangan kiriku untuk melawan tangan kananku.”

Guo Jing terkejut. “Mana mungkin tangan kiri berkelahi melawan tangan kanan?” tanyanya.

“Aku pura-pura menganggap tangan kananku adalah Huang Laoxie dan tangan kiriku adalah Lao Wantong. Tangan kanan menyerang, tangan kiri mementahkan serangan itu dan meluncurkan serangan balik, seperti ini,” kata Zhou Botong sambil menggerakkan tangannya untuk saling bertarung.

Awalnya Guo Jing menganggapnya sangat lucu, tapi setelah beberapa jurus ia menyadari bahwa jurus-jurus itu sangat misterius dan luar biasa. Ia mau tidak mau jadi sangat kagum. Orang yang berlatih kungfu, terlepas dari apakah mereka dengan tangan kosong atau menggunakan pedang atau tusukan tombak, akan selalu menggunakan kedua tangan untuk menyerang atau bertahan. Tapi Zhou Botong berbeda. Ia menggunakan satu tangan untuk menyerang dan tangan lainnya untuk bertahan, setiap serangan sengit dan selalu ditujukan pada titik-titik vital, sedangkan tangan bertahan akan menangkis dan melakukan serangan balik dengan tak kalah dahsyat. Itu benar-benar seperti dua orang yang saling bertarung. Guo Jing belum pernah melihat atau mendengar hal seperti ini sebelumnya.

Setelah menyaksikan Zhou Botong melawan dirinya sendiri sejenak, Guo Jing berkomentar, “Kakak, mengapa kau tidak menggunakan kakimu juga?”

Zhou Botong berhenti dan tersenyum, “Pengamatanmu tidak buruk! Kau bisa melihat gerakanku dengan baik. Ayo kau coba!” Sambil bicara ia merentangkan telapak tangannya untuk menyerang. Guo Jing juga merentangkan tangannya untuk menangkis.

“Awas! Aku akan mendorongmu ke kiri,” kata Zhou Botong. Begitu ia selesai bicara, ia mengerahkan tenaganya. Guo Jing sudah siap, bahkan sebelum Zhou Botong memperingatkannya, ia telah mempersiapkan diri untuk menggunakan Delapan Belas Jurus Penakluk Naga. Dua tenaga besar bertabrakan dan Guo Jing terhuyung mundur tujuh atau delapan langkah. Ia merasa lengannya sakit dan mati rasa.

“Kali ini aku meminjam tenaga dari kakiku dan kau terdorong mundur,” kata Zhou Botong, “Sekarang aku tidak akan menggunakan kakiku. Coba lagi.”

Guo Jing mengikuti perintahnya untuk menyerang lagi, tapi tiba-tiba ia merasakan tenaga dorongan dan tarikan. Ia tidak bisa tetap stabil, jadi ia jatuh ke depan dan dahinya menyentuh tanah. Ia merangkak mencoba berdiri, ia dalam keadaan linglung.

Zhou Botobg tersenyum. “Kau mengerti?”

“Tidak,” jawab Guo Jing.

“Aku mengembangkan teknik ini melalui latihan dan meditasi setelah bekerja keras selama lebih dari sepuluh tahun di dalam lubang ini,” kata Zhou Botong. “Kakak seperguruankuku pernah bercerita tentang teknik menggunakan kekosongan untuk meraih kemenangan. Pada saat itu pemahamanku tentang prinsip-prinsip Tao masih dangkal. Aku mendengarnya tetapi aku tidak mengerti. Sekitar lima tahun yang lalu aku sedang menggerakkan tanganku ketika tiba-tiba aku sadar bahwa aku bisa mengembangkan teknik tangan kosong dengan menggunakan prinsip itu. Aku tidak yakin tentang hal itu karena itu hanya teori dan aku belum pernah mencobanya dalam pertarungan nyata. Saudaraku, coba lawan aku lagi. Tolong jangan takut sakit. Aku akan menjatuhkanmu beberapa kali lagi.”

Ia melihat Guo Jing ragu-ragu, jadi ia mencoba membujuknya lagi, “Saudaraku, aku berada di sini selama lima belas tahun dan selalu merindukan ada orang datang dan berlatih bersamaku. Beberapa bulan yang lalu putri Huang Laoxie datang dan bicara denganku untuk menghilangkan kebosananku. Aku berpikir untuk berlatih dengannya, tetapi dia tidak kembali keesokan harinya. Saudaraku, aku pasti tidak akan memukulmu terlalu keras.”

Guo Jing melihat kedua tangannya sudah gatal ingin bergerak dan wajahnya penuh semangat yang sulit untuk ditolak, jadi ia setuju dan berkata, “Lalu kenapa kalau aku jatuh beberapa kali lagi?” Ia mengirimkan pukulan telapak tangannya dan melawan sampai beberapa jurus, tetapi tampaknya telapak tangan Zhou Botong terkadang tidak berisi. Ia akan jatuh ketika tangan kiri Zhou Botong tiba-tiba membentur bahunya dari bawah. Tubuhnya dikirim jungkir balik di udara dan ia jatuh ke tanah dengan keras. Bahunya sangat sakit.

Wajah Zhou Botong tampak menyesal dan berkata, “Hao Xiongdi5, aku tidak bisa membiarkanmu jatuh begitu saja. Dengar, dan aku akan mengajarimu teknik ini.” Guo Jing menahan rasa sakit dan merangkak mendekatinya.

Zhou Botong berkata, “Dalam Dao De Jing yang ditulis Laozi ada pepatah, ‘Perabotan dari tanah liat berguna karena kosong, ruangan berguna karena kosong.’6 Kau mengerti makna pepatah ini?”

Pengetahuan sastra Guo Jing sangat terbatas, jadi tentu saja ia tidak mengerti maksud kutipan itu. Ia hanya tersenyum malu-malu dan menggelengkan kepalanya.

Zhou Botong mengambil mangkuk nasi yang mereka gunakan sebelumnya. “Mangkuk ini sebelah dalamnya kosong, makanya kita bisa mengisinya dengan nasi. Jika ini adalah gumpalan tanah liat yang padat, bagaimana kita bisa memasukkan makanan ke dalamnya?” tanya Zhou Botong.

Guo Jing mengangguk dan berpikir, “Ini kebenaran yang sangat sederhana, tapi sebelumnya tak pernah kupikirkan.”

“Demikian juga sebuah rumah dapat ditempati oleh manusia karena memiliki empat dinding dan jendela serta pintu di dinding tersebut,” tambah Zhou Botong. “Apa gunanya jika bangunan itu terbuat dari bata padat tanpa jendela dan pintu?”

Guo Jing lagi-lagi menganggukkan kepalanya, hatinya semakin terbuka untuk menerima kebenaran ini.

Zhou Botong melanjutkan, “Ilmu bela diri tertinggi Perguruan Quanzhen kita didasarkan pada dua karakter Kong dan Ruo. Disebut demikian karena ‘kurang berprestasi tidak berarti lemah, kurang kenyang tidak berarti kosong.’”

Mengikuti pemikiran yang mendalam dan penuh makna ini, Guo Jing mendengarkan dengan penuh perhatian dan merenungkannya dalam-dalam.

Zhou Botong menambahkan, “Dalam hal pengerahan tenaga, kungfu gurumu Hong Qigong berada di sisi luar gambaran ini. Meskipun aku menguasai kungfu Quanzhen, aku bukan tandingannya. Tapi aku kuatir begitu kau mencapai tingkat tertentu dari kungfu jenis ‘luar’, kau tidak bisa melangkah lebih tinggi. Tidak demikian halnya dengan ilmu ‘dalam’, jenis ilmu yang dipraktekkan kakak seperguruanku. Saat kakak seperguruanku memenangkan gelar ‘Nomor Satu di Dunia Persilatan’ dia tidak hanya beruntung. Kalau dia masih hidup hari ini, dan dengan tambahan latihan sepuluh tahun, kalau dia kembali melawan Sesat Timur, Racun Barat, dan yang lainnya, aku percaya dia mungkin hanya membutuhkan setengah hari, bukan tujuh hari tujuh malam, untuk menaklukkan mereka.”

“Kungfu Wang Zhenren benar-benar luar biasa. Sayangnya adikmu tidak sempat berkenalan,” kata Guo Jing. “Delapan Belas Jurus Penakluk Naga dari Hong Enshi adalah puncak dari kungfu keras, tapi beberapa saat yang lalu Dage menjatuhkan aku ke tanah menggunakan jenis kungfu ‘lembut’, begitu ya?”

Zhou Botong tertawa. “Itu benar, itu benar,” katanya. “Meskipun yang lembut bisa mengalahkan yang keras, aku tidak akan bisa mendorongmu dengan mudah jika Delapan Belas Jurus Penakluk Naga-mu sekuat Hong Qigong. Itu semua tergantung pada kedalaman pemahamanmu. Kau ingat gerakan yang kugunakan untuk menekanmu beberapa saat yang lalu? Cobalah untuk mengingatnya baik-baik.” Dan kemudian ia dengan hati-hati menjelaskan cara menggerakkan tangan dan cara menggunakan tenaga. Ia tahu Guo Jing lamban, jadi ia dengan penuh kesabaran menjelaskan semuanya.

Guo Jing mencoba gerakan itu puluhan kali, untungnya ia punya dasar neigong yang mendalam dari Perguruan Quanzhen, jadi ia bisa memahaminya, meskipun perlahan.

Zhou Botong sangat gembira dan berkata, “Saudaraku, jika rasa sakitmu sudah berkurang, biar aku menjatuhkanmu sekali lagi.”

Guo Jing tertawa. “Rasa sakit bukan apa-apa,” katanya, “Tapi aku takut tidak akan bisa mengingat ajaranmu.” Sambil berbicara ia masih berusaha keras untuk menghafal semuanya.

Zhou Botong punya semangat seperti anak kecil, jadi ia terus mendesak, “Masa belum cukup? Kau sudah hafal? Ayo cepat!”

Tapi omelannya sebenarnya mengganggu pikiran Guo Jing. Setelah beberapa lama akhirnya ia bisa menghafal jurus tersebut. Jadi sekali lagi ia menyerbu ke arah Zhou Botong dan sekali lagi ia jatuh.

Keduanya berlatih bersama siang dan malam. Guo Jing masih muda, jadi ia tidak perlu terlalu banyak tidur, tetapi bahkan ketika ia tertidur, Zhou Botong tidak mengijinkannya. Ia terus mendesaknya untuk berlatih. Guo Jing jatuh tujuh atau delapan ratus kali. Tubuhnya bengkak, sakit di sekujur tubuh dan dipenuhi memar ungu. Untungnya ia kuat, jadi ia hanya mengertakkan gigi dan dengan gigih terus belajar, sampai akhirnya menguasai ilmu khusus Zhou Botong yang diciptakannya selama lima belas tahun di dalam gua, tujuh puluh dua gerakan Tinju Kosong.

Keduanya begitu asyik berlatih ilmu silat, sehingga mereka tidak tahu berapa hari telah berlalu. Guo Jing memikirkan Huang Rong sepanjang hari, tetapi karena ia tidak dapat mencarinya, ia harus puas menunggu dengan sabar. Beberapa kali ia ingin pergi dengan pelayan bisu yang mengantar makanan mereka untuk mencarinya, tetapi setiap kali Zhou Botong memanggilnya kembali.

Suatu hari setelah makan siang, Zhou Botong berkata, “Kau sudah menguasai seluruh Tinju Kosong. Setelah ini aku tidak akan bisa menjatuhkanmu dengan mudah, jadi kita harus bermain-main dengan cara lain.”

“Baiklah, kita main dengan cara apa?” tanya Guo Jing sambil tertawa.

“Kita akan bermain seolah-olah empat orang sedang bertarung,” jawab Zhou Botong.

Guo Jing bingung. “Empat orang?” tanyanya.

“Betul,” kata Zhou Botong. “Empat orang! Tangan kiriku adalah satu orang, tangan kananku yang lain, dan sepasang tanganmu adalah dua orang lainnya. Empat orang tersendiri dan tidak ada yang membantu siapa pun. Empat orang dalam pertempuran yang rumit! Itu pasti lebih menarik.”

Minat Guo Jing terusik. “Ini jelas menarik, sayang sekali aku tidak bisa memisahkan tangan kiri dan kananku,” katanya, ia tersenyum lebar ketika mengatakannya.

“Aku bermaksud mengajarimu itu nanti,” kata Zhou Botong. “Untuk saat ini, mari kita bertarung tiga orang saja.” Tangannya membentuk dua orang dan langsung menyerang Guo Jing. Ia memisahkan dirinya menjadi dua orang yang berbeda dan masing-masing tangan melontarkan gerakan yang berbeda. Mereka tidak saling melengkapi dan sangat berbeda dengan satu orang yang menggunakan dua tangan. Ketika tangan kirinya menyulitkan Guo Jing, tangan kanannya akan datang untuk menyelamatkan Guo Jing. Demikian juga ketika kanannya menang, kirinya melawan kanannya. Saat Guo Jing berada di atas angin, tangan Zhou Botong akan bertarung bersama seperti dua orang menghadapi satu lawan. Singkatnya, itu seperti tiga individu terpisah yang saling bertarung. Setelah berkelahi sebentar mereka berhenti untuk istirahat.

Guo Jing menganggap cara bermain ini sangat menyenangkan. Tapi mau tidak mau ia tetap teringat Huang Rong. Ia berpikir jika Huang Rong ada di sini, mereka bertiga akan bisa bertarung sebagai enam orang. Ia yakin Huang Rong akan sangat tertarik.

Zhou Botong sangat bergairah. Segera setelah Guo Jing menarik napas, ia mengajarinya cara membagi tangannya menjadi Pertarungan Antar Tangan. Teknik ini sebenarnya lebih sulit daripada Tinju Kosong.

Ada pepatah mengatakan, ‘Pikiran tidak bisa dibagi’, dan pepatah lain yang mengikuti garis pemikiran sejenis, ‘Tangan kiri menggambar persegi, tangan kanan menggambar lingkaran, itu bukan kebiasaan yang baik.’ Tapi teknik ‘Pertarungan Antar Tangan’ ini justru persis seperti itu. Membagi pikiran seseorang menjadi dua. Dan cara melatihnya adalah dengan menggambar persegi dengan tangan kiri dan lingkaran dengan tangan kanan. Guo Jing berlatih menggambar. Awalnya perseginya menyerupai lingkaran dan lingkarannya terlihat seperti persegi. Ia berlatih cukup lama dan dengan susah payah sebelum akhirnya menguasainya dan kedua tangan secara bersamaan dapat menggambar persegi dan lingkaran yang sempurna sesuka hati.

Zhou Botong sangat bersemangat. “Kalau sebelumnya kau tidak berlatih tenaga dalam Perguruan Quanzhen kita, yang memungkinkan kau menggabungkan tenaga dalam dan luar, bagaimana kau bisa menguasai teknik ‘Pertarungan Antar Tangan’ ini secepat itu?” katanya. “Sekarang gunakan tangan kirimu untuk melancarkan teknik Tinju Pegunungan Selatan dan tangan kananmu teknik Pedang Nona Yue.” Ini adalah kungfu yang dipelajari Guo Jing dari Nan Xiren dan Han Xiaoying. Guo Jing hafal kedua teknik ini, tetapi melakukannya pada saat yang sama, satu dengan masing-masing tangan, sebenarnya sangat sulit.

Zhou Botong sangat ingin memainkan ‘Pertarungan Empat Orang’, jadi ia terus mendesak Guo Jing untuk berlatih dan ia tidak berhenti memberikan instruksi dan petunjuk. Beberapa hari kemudian Guo Jing telah menguasai teknik Pertarungan Antar Tangan itu. Zhou Botong girang tak terkira. “Ayo cepat, cepat!” desaknya, “Tangan kirimu dan tangan kiriku bekerja sama melawan tangan kananmu dan tangan kananku. Ayo kita adakan Bi Wu!”

Guo Jing masih muda, tentu saja permainan semacam ini sangat menarik minatnya. Segera tangan kanannya melawan tangan kiri Zhou Botong sementara tangan kirinya dengan sengit melawan tangan kanan Zhou Botong. Tidak ada yang pernah melihat atau mendengar pertempuran semacam ini.

Saat mereka saling bertarung, dan bertarung dengan diri mereka sendiri, Zhou Botong tanpa henti memberi Guo Jing petunjuk tentang bagaimana menyerang dengan cepat dan dahsyat, dan bagaimana membentuk pertahanan yang ketat. Guo Jing mendengarkan dan mengingat semuanya.

Zhou Botong hanya ingin bermain-main sejenak, tetapi di pikiran Guo Jing muncul gagasan lain. Suatu hari saat mereka bermain, ia berpikir, “Kalau kaki kita juga bisa dibagi, bukankah dua orang bisa bertarung sebagai delapan orang?” Tapi ia tahu jika ia mengungkit ini, Zhou Botong akan melanjutkan tanpa batas waktu, jadi ia menahan diri supaya tidak mengatakan apapun.

Beberapa hari lagi berlalu. Guo Jing dan Zhou Botong bertarung sebagai empat orang yang terpisah. Zhou Botong sedang bersenang-senang, ia berkelahi dan tertawa terbahak-bahak. Keahlian Guo Jing masih dangkal, jadi ketika salah satu tangannya tidak mampu bertahan, yang lain tanpa sadar akan datang untuk menyelamatkannya. Tinju Zhou Botong bergerak cepat dan Guo Jing tidak dapat terus bertarung sebagai individu yang terpisah, jadi ia sering menjadi satu individu melawan dua orang, seperti dalam pertarungan timbal balik tiga orang. Tapi kedua tangannya melancarkan serangan yang berbeda, jadi itu seperti dua Guo Jing yang bertarung satu lawan satu melawan dua lawan.

Zhou Botong tertawa terbahak-bahak. ‘Kau bertarung tanpa mematuhi peraturan,” katanya.

Guo Jing melompat mundur. Ia terdiam sejenak, dan akhirnya ia membuka mulut, “Dage, aku sedang memikirkan sesuatu.”

“Apa itu?” tanya Zhou Botong.

“Kalau tangan kita bisa digerakkan dengan jurus yang sama sekali berbeda, kenapa keduanya tidak bisa dibuat bekerja sama untuk melawan satu orang yang sama? Teknik ini akan sangat berguna kalau musuhmu kuat, kau bisa membagi pikiranmu dan menolong dirimu sendiri. Meskipun tenaga tidak bisa berlipat ganda, tetapi dari gaya bertarung akan sangat menguntungkan.”

Zhou Botong menciptakan teknik Shuang Shou Hubo itu karena bosan tinggal di dalam gua sendirian. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa ia benar-benar bisa menggunakan teknik itu dalam pertarungan nyata. Sekarang Guo Jing mengingatkannya akan hal itu, sebuah pikiran tiba-tiba terlintas di benaknya. Ia tiba-tiba melompat keluar dari gua dan berjalan mondar-mandir di pintu masuk gua, tertawa tanpa henti.

Guo Jing melihat perubahan mendadak dalam tingkah-lakunya, seperti orang kerasukan roh jahat, ia jadi cemas dan berseru, “Kakak, ada apa?”

Zhou Botong tidak menjawab tetapi terus tertawa. Setelah beberapa saat ia berkata, “Saudaraku, aku keluar dari lubang ini! Aku bukan ingin kencing, juga bukan ingin berak, tetapi aku keluar.”

“Betul!” seru Guo Jing.

Zhou Botong tersenyum. “Saat ini kungfuku nomor satu di dunia, kenapa aku harus takut kepada Huang Yaoshi? Aku hanya berharap dia cepat muncul, supaya aku bisa mengalahkannya dengan telak.”

“Kau yakin bisa mengalahkannya?” tanya Guo Jing.

“Sebetulnya kungfuku masih setaraf di bawah dia,” kata Zhou Botong mengakui. “Tapi dengan membagi pikiranku, aku bisa berbuat seolah-olah dua lawan satu, maka tak ada yang bisa mengalahkan aku. Huang Yaoshi, Hong Qigong, Ouyang Feng, kungfu mereka memang luar biasa, tapi bagaimana mereka bisa mengalahkan dua Zhou Botong?” Guo Jing sangat gembira, apa yang dikatakannya sungguh masuk akal.

“Saudaraku,” kata Zhou Botong melanjutkan. “Kau sudah mengerti teknik Shuang Shou Hubo ini, yang kau butuhkan hanyalah beberapa tahun latihan, maka kemampuanmu akan berlipat ganda. Saat mereka mengobrol, keduanya menjadi semakin bersemangat.

Sebelumnya Zhou Botong takut Huang Yaoshi akan datang dan mempersulit dia, tapi sekarang ia justru berharap Huang Yaoshi akan muncul. Ia akan memukulinya dan meninggalkan gua yang sangat bau ini selamanya. Ia dengan tidak sabar melihat ke luar, berharap bisa melihat sekilas bayangan Huang Yaoshi. Ia akan berlari mencarinya kalau ia tidak tahu bahwa jalan-jalan di pulau itu diatur secara misterius.

Malam itu pelayan bisu datang mengantarkan makan malam mereka. Zhou Botong mencengkeram lehernya dan berkata, “Cepat suruh Huang Yaoshi ke sini, katakan padanya untuk menguji teknik baruku!” Tapi pelayan tua itu hanya menggelengkan kepalanya.

Zhou Botong bersumpah dan mengucapkan beberapa komentar tidak jelas sebelum tiba-tiba menyadari, “Bah! Aku lupa kau tuli dan bisu!” Ia memalingkan kepalanya kepada Guo Jing dan berkata, “Malam ini kita harus makan sampai kenyang.” Kemudian ia mengulurkan tangan untuk mengambil keranjang makanan.

Lubang hidung Guo Jing mencium aroma lezat yang berasal dari keranjang, tidak seperti makanan yang biasanya mereka dapatkan. Ia buru-buru membuka keranjang dan melihat dua piring kecil sayuran dengan semangkuk besar ayam yang dimasak dengan jamur musim dingin… salah satu favoritnya. Dengan jantung berdebar ia mengambil sendok porselen untuk menyendok sesendok sup. Rasanya persis seperti yang disiapkan Huang Rong untuknya, jadi ia yakin itu dari Huang Rong. Jantungnya berdebar lebih kencang. Dengan cepat ia melihat ke keranjang untuk melihat apakah ada sesuatu yang tidak biasa. Ia menemukan sebuah kotak dengan sepuluh roti kukus di dalamnya. Salah satunya bergambar labu, diukir dengan paku. Gambar itu sangat halus, jika tidak memperhatikan ia pasti akan melewatkannya. Guo Jing tahu roti ini tidak biasa. Dengan tangan gemetar ia mengambil roti itu, membelahnya menjadi dua, dan menemukan sebuah pil lilin7 di dalamnya. Guo Jing mengamati bahwa Zhou Botong dan pelayan tua itu tidak melihat ke arahnya, jadi ia segera menyelipkan pil itu ke dalam sakunya.

Zhou Botong memakan roti kukus terakhir dengan susah payah dan dengan suara keras ia menghabiskan supnya juga. Pelayan tua itu membersihkan dan mengambil keranjang itu. Guo Jing buru-buru mengeluarkan pil lilin, menghancurkannya, dan mengeluarkan kertas yang tersembunyi di dalamnya. Itu memang tulisan tangan Huang Rong. Bunyinya, “Jing Gege, tolong jangan kuatir. Ayah dan aku berdamai. Aku akan dengan hati-hati memintanya untuk membebaskanmu.” Surat itu ditutup dengan dua karakter, “Rong’er”. Guo Jing sangat gembira, ia menunjukkan surat itu kepada Zhou Botong.

Zhou Botong tertawa. “Serahkan padaku,” katanya. “Dia tidak bisa menolak untuk melepaskanmu, kita akan memaksanya, jadi tidak usah memohon segala. Kalau dia menolak, aku akan mengurungnya di lubang ini selama lima belas tahun. Waduh, ini tidak benar! Bagaimana kalau dalam lima belas tahun dia menemukan rahasia Shuang Shou Hubo ini?”

Langit berangsur-angsur menjadi gelap. Guo Jing duduk bersila dan bersiap untuk latihan tenaga dalam. Tapi pikirannya terus mengembara kembali ke Huang Rong. Sampai lama sekali ia tidak bisa berkonsentrasi. Akhirnya ia bisa menenangkan diri dan dadanya rileks. Ia mulai bernapas dengan teratur. Sebuah pemikiran tiba-tiba muncul di benaknya, jika ia bisa membagi pikirannya untuk mengendalikan dua tangan dan menggunakan dua kungfu yang berbeda, mengapa tidak mencoba membagi pernapasannya menjadi dua? Jadi ia menutup salah satu lubang hidungnya dan berlatih pernapasan hanya dengan menggunakan satu lubang hidung.

Ia berlatih selama sekitar satu jam dan merasa telah membuat kemajuan ketika mendengar suara gemerisik. Ia membuka matanya dan melihat dalam kegelapan seseorang dengan rambut dan jenggot panjang sedang bergerak — Zhou Botong sedang berlatih kungfu. Ia membuka matanya lebar-lebar dan melihat dari dekat. Ia melihat tangan kiri Zhou Botong melakukan tujuh puluh dua jurus Tinju Kosong, sementara tangan kanannya sedang melakukan beberapa teknik kepalan Quanzhen lainnya. Tinju itu bergerak perlahan, tetapi menciptakan hembusan angin yang menimbulkan suara gemerisik yang didengarnya sebelum ini. Guo Jing mengagumi kemampuannya yang luar biasa.

Saat ia setengah menonton dan setengah tenggelam dalam pikiran, tiba-tiba didengarnya Zhou Botong menjerit kaget, “Wah!” lalu buru-buru mengebaskan sesuatu dari tubuhnya. Benda panjang hitam dan berkilau terbang dari tubuhnya dan menabrak pohon yang jauh, seolah-olah ia sedang melemparkan semacam senjata rahasia. Guo Jing melihat Zhou Botong gemetar dan ia terkejut. Ia buru-buru mendekat dan berseru, “Kakak, apa yang terjadi?”

“Aku digigit ular berbisa! Aku sekarat!” kata Zhou Botong.

Guo Jing terkejut saat memegang tubuh Zhou Botong. Air mukanya berubah, ia bersandar di bahu Guo Jing dan perlahan berjalan kembali ke gua. Guo Jing cepat-cepat merobek sepotong pakaiannya dan dengan erat membungkus daerah di sekitar paha Zhou Botong untuk mencegah racun menjalar ke jantung.

Guo Jing mengambil sepotong batu pemantik api dari sakunya dan menyalakan api. Dalam cahaya api yang terang ia bisa melihat dengan lebih jelas. Jantungnya serasa melompat ke tenggorokannya. Betis Zhou Botong bengkak sangat parah.

“Di pulau ini tidak ada ular hijau berbisa seperti ini. Aku ingin tahu dari mana asalnya?” kata Zhou Botong dengan lemah. “Ular itu tidak akan bisa menggigitku waktu aku latihan secara normal. Tapi kali ini aku sedang berlatih dua set teknik pukulan. Semua perhatianku sedang terarah ke kedua teknik itu… Wah!”

Guo Jing mendengar suaranya yang gemetar dan tahu racunnya sangat parah. Kalau Zhou Botong tidak memiliki tenaga dalam yang kuat, ia pasti sudah tewas sejak tadi. Dengan gugup ia membungkuk dan mengisap lukanya.

“Wah! Tidak boleh begitu,” seru Zhou Botong. “Racun ular ini luar biasa, bisa membunuhmu!”

Tapi Guo Jing hanya memikirkan nyawa Zhou Botong, ia tidak memikirkan keselamatannya sendiri. Tangan kanannya memegang tubuh Zhou Botong kuat-kuat, sementara ia terus mengisap darah beracun dari lukanya. Zhou Botong berusaha meronta, tapi tubuhnya sangat lemah dan tidak bisa bergerak. Tak lama kemudian ia pingsan.

Guo Jing terus menyedot racunnya dan meludahkannya ke tanah. Dengan racun yang terkuras keluar dari tubuhnya, ditambah tenaga dalamnya yang kuat, Zhou Botong perlahan sadar kembali. Matanya masih terpejam berat. Setengah bangun ia berkata, “Saudaraku, Kakakmu ini akan kembali ke Surga hari ini. Tapi sebelum meninggalkan dunia ini, aku punya kesempatan untuk bersahabat denganmu, hatiku sangat bahagia.”

Meskipun Guo Jing belum lama mengenal Zhou Botong, karena mereka memiliki sifat lugas dan jujur yang sama, mereka langsung cocok. Ia merasa sepertinya mereka sudah puluhan tahun saling kenal. Saat ini ia melihat wajahnya yang sekarat, ia tidak bisa mencegah air mata mengalir di pipinya.

Zhou Botong tersenyum sedih dan berkata, “Jiu Yin Zhen Jing tersembunyi di dalam kotak di bawah batu tempat aku biasanya duduk. Aku tadinya ingin memberikannya kepadamu, tapi karena kau menghisap bisa ular yang mematikan ini, kau juga tidak akan hidup lama. Kita berdua akan berjalan bergandengan tangan ke dunia akhirat. Tidak perlu takut tidak punya teman untuk diajak bermain. Kita akan bermain sebagai empat orang di awan… Oh bukan, sebagai empat hantu… itu akan lebih menarik. Hantu berkepala besar dan malaikat maut akan bingung melihat kita. Dunia hantu akan jadi berbeda.” Berbicara seperti ini membuatnya cukup senang.

Guo Jing mendengar Zhou Botong mengatakan bahwa ia juga akan mati, tetapi ia tidak merasakan sesuatu yang aneh. Ia menggunakan api untuk memeriksa dirinya sendiri. Apinya akan padam, jadi ia mengambil surat Huang Rong dan membakarnya. Ia kemudian melihat ke sekeliling pintu masuk gua untuk menemukan ranting pohon atau rumput kering, tetapi dalam cuaca musim panas tanaman di sekelilingnya hijau subur dan masih lembab.

Ia semakin cemas. Ia lalu merogoh sakunya untuk menemukan sesuatu yang bisa digunakan sebagai obor. Tapi ia tidak menemukan apa-apa, kecuali benda seperti kulit yang melilit belatinya yang berasal dari Mei Chaofeng. Tanpa berpikir dua kali, ia menyalakan benda itu dan mengulurkannya untuk memeriksa wajah Zhou Botong. Ia melihat wajahnya berubah menjadi abu-abu, tidak lagi kemerahan seperti anak kecil.

Zhou Botong melihat api yang berkedip-kedip dan ia tersenyum tipis. Ia melihat wajah Guo Jing tidak berubah, tidak ada tanda-tanda keracunan sama sekali. Ia bingung. Ia mengedipkan matanya dan menatap api. Ia melihat benda yang digunakan Guo Jing sebagai obor mengandung tulisan di atasnya. Ia menyipitkan mata, mencoba membaca apa yang tertulis, setelah membaca sekitar sepuluh karakter atau lebih ia terkejut. Ia menyadari bahwa kata-kata itu diambil dari Jiu Yin Zhen Jing. Ia tidak punya waktu untuk bertanya, jadi ia hanya mengangkat tangannya dan memadamkan api, bertanya, “Saudaraku, obat apa yang kau minum? Kenapa racun mematikan itu tidak mempengaruhimu?”

Guo Jing menduga itu karena ia pernah minum darah ular besar pemakan ginseng milik Liang Ziweng. Jadi ia berkata, “Aku pernah minum darah ular besar, mungkin itu sebabnya aku bisa mengatasi racun ular itu.”

Saat ini Guo Jing tidak peduli dengan benda berharga apa pun, ia sibuk menotok titik akupuntur ‘Persimpangan Istana’8 Zhou Botong, tetapi itu tidak membantu. Ia merasakan betis Zhou Botong itu panas dan membengkak.

“Empat mesin tenun, bebek mandarin terbang berpasangan…” Ia mendengar Zhou Botong bergumam tidak jelas.

“Kau bilang apa?” tanya Guo Jing.

Guo Jing tahu ia mengigau karena racun itu dan ia sangat cemas. Ia berlari keluar dari gua dan memanjat pohon di luar, berteriak keras, “Rong’er! Rong’er! Huang Daozhu! Huang Daozhu! Tolong, tolong!” Tapi Pulau Bunga Persik berareal seluas lebih dari sepuluh li, sebuah pulau besar. Kediaman Huang Yaoshi terletak di sisi lain pulau. Teriakan Guo Jing sia-sia. Satu-satunya tanggapan yang didengarnya adalah gema suaranya sendiri yang terpantul dari gunung dan lembah di depan, “… Huang Daozhu! Tolong, tolong…”

Guo Jing melompat turun dari pohon, bingung. Pada saat kritis itu sebuah ide melintas di benaknya, “Racun ular tidak dapat menyakitiku, mungkin darahku mengandung penawar racun ular.” Tanpa membuang waktu lagi, ia meraba-raba di tanah, mencari mangkuk hijau besar yang digunakan Zhou Botong untuk minum teh setiap hari. Ia mengambil belatinya dan tanpa ragu mengiris lengan kirinya dan membiarkan darahnya menetes ke dalam mangkuk sampai tetesannya berhenti dengan sendirinya. Ia memotong lagi sampai darah memenuhi mangkuk. Kemudian ia menopang Zhou Botong di atas lututnya dan dengan tangan kirinya ia memaksa mulut Zhou Botong terbuka, tangan kanannya mencekokkan darah.

Meski masih muda dan tubuhnya kuat, kehilangan banyak darah telah menguras energinya. Setelah mencekoki Zhou Botong, ia bersandar ke dinding gua dan menutup matanya, tidak lama kemudian ia tertidur pulas.

Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur, tetapi ia merasakan seseorang merawat lukanya. Ia membuka matanya dan melihat rambut dan jenggot putih Zhou Botong. Guo Jing sangat senang. “Kau… kau … kau baik-baik saja?” serunya.

“Aku baik-baik saja, Xiongdi. Kau sudah berkorban untuk menyelamatkan hidupku,” kata Zhou Botong. “Aku yakin malaikat maut sangat kecewa, Aku tidak semudah itu dibunuh.”

Guo Jing melihat bengkak kehitaman di betis Zhou Botong sudah hilang, tinggal bengkak merah yang sama sekali tidak mengancam keselamatannya.

Pagi itu keduanya duduk bersama untuk bermeditasi, mengolah tenaga dalam dan memulihkan tubuh mereka. Setelah makan siang, Zhou Botong bertanya kepada Guo Jing asal usul bungkus kulit itu. Guo Jing mengumpulkan ingatannya sejenak, lalu mulai menceritakan bagaimana gurunya yang kedua di Rumah Awan telah mengambil beberapa barang dari Mei Chaofeng, belati ada di antara benda-benda itu dan kulit itu membungkusnya. Kemudian ia juga memperhatikan tulisan yang tertera di dalamnya, tetapi ia tidak tahu apa itu, jadi ia menyimpannya di sakunya tanpa memikirkannya lagi.

Zhou Botong bergumam tak jelas dan tenggelam dalam lamunannya sendiri. “Dage, kau bilang ini barang berharga, apa maksudmu?” tanya Guo Jing.

“Aku harus memeriksa barang itu dengan teliti sebelum bisa menjawab pertanyaanmu, tapi karena asalnya dari Mei Chaofeng aku punya alasan kuat untuk mempercayainya,” jawab Zhou Botong. Ia mengambil lembaran itu dan mulai memeriksanya dengan cermat dari atas ke bawah.

Wang Chongyang memenangkan buku tersebut bukan untuk keuntungan pribadinya, tetapi untuk menghindari pertumpahan darah di antara orang-orang dunia persilatan. oleh karena itu ia melarang keras murid-muridnya untuk mempelajari kungfu apa pun dari buku itu. Zhou Botong secara alami tidak berani melanggar kata-kata terakhir kakak seperguruannya. Tapi ia ingat apa yang dikatakan Nyonya Huang, ‘Cukup melihat tanpa latihan, itu tidak bisa dianggap tidak patuh.’ Ia telah menghabiskan lima belas tahun di gua tanpa melakukan apa-apa, jadi karena bosan ia membaca jilid pertama dari Jiu Yin Zhen Jing yang ada di tangannya. Namun jilid pertama hanya berisi metode untuk mengembangkan tenaga dalam, serta dasar-dasar ilmu pedang, tidak ada kungfu yang nyata untuk mengalahkan lawan. Percuma jika seseorang tidak mempelajari jilid kedua.

Selama sekitar sepuluh tahun terakhir ini, Zhou Botong membaca jilid pertama berulang kali, ia bahkan membuat beberapa tebakan tentang isi jilid kedua. Begitu ia membaca bungkus itu, ia langsung tahu tulisan itu terkait dengan apa yang sudah dihafalnya.

Zhou Botong mengangkat pandangannya ke perbukitan yang jauh dan tenggelam dalam pikirannya. Ia menyukai ilmu silat, sebenarnya ia terobsesi dengan semua itu. Sekarang ia memiliki kitab ilmu silat terhebat dan terdalam di dunia. Sejujurnya ia sangat ingin mempelajari apa yang ada di buku itu, bukan untuk membangun reputasinya sendiri, bukan untuk membalas dendam, juga bukan untuk memamerkan kehebatannya atau untuk menguasai dunia, dia sederhana dan murni ingin tahu, ingin melihat seberapa dalam sebenarnya ilmu yang ada di dalam buku itu.

Dia teringat cerita kakak seperguruannya tentang Huang Shang yang menyusun 5481 bab dari Kanon Tao tenteng Kehidupan Abadi, kemudian ia menghabiskan empat puluh tahun dengan susah payah mempelajari berbagai kungfu yang sangat bagus dari berbagai perguruan. Ini bukan masalah kecil. Hei Feng Shuang Sha baru menguasai jilid kedua dan mereka hanya berhasil mempelajari dua teknik di antara banyak teknik, namun mereka mampu mendatangkan malapetaka di Jianghu. Bagaimana jika mereka bisa mempelajari seluruh jilid kedua? Hasilnya tidak terbayangkan. Tapi kata-kata wasiat kakak seperguruannya tidak bisa dilanggar. Zhou Botong merenungkan hal-hal ini di dalam hatinya, ia menghela nafas berat, memasukkan kulit itu ke dalam sakunya, menutup matanya dan tertidur.

Setelah beristirahat dengan baik, ia mengambil dahan pohon untuk menggali lubang di mana ia bermaksud untuk mengubur kedua jilid tersebut. Ia menggali dan mendesah secara bersamaan. Tiba-tiba sebuah ide melintas di benaknya dan ia tertawa terbahak-bahak sambil bersorak, “Benar! Itu benar! Aku bisa mendapatkan kedua-duanya!” Ia begitu gembira, sehingga tanpa sadar ia mengejutkan Guo Jing, “Kakak, apa yang kedua-duanya?” tanya Guo Jing. Tapi Zhou Botong hanya tertawa tanpa berkata apa-apa. Sepertinya ia mendapat ide yang sangat bagus.

“Guo Xiongdi bukan murid Perguruan Quanzhen. Aku akan mengajarinya dan membiarkan dia berlatih, maka aku akan melihat hasilnya,” pikirnya. “Dengan begitu aku bisa memuaskan rasa ingin tahuku dan sekaligus melaksanakan pesan terakhir kakak seperguruanku,” pikirnya. Ia akan menceritakan ide ini kepada Guo Jing, ketika ia tiba-tiba punya ide lain, “Dari cara dia bicara, aku menyimpulkan dia membenci Jiu Yin Zhen Jing. Dia pikir itu kungfu yang jahat, tapi itu hanya karena melihat ilmu Hei Feng Shuang Sha yang hanya membaca jilid kedua. Mereka tidak mempelajari jilid pertama. Itu akan memberitahu mereka bagaimana melatih tenaga dalam mereka dan membangun dasar untuk teknik selanjutnya. Mereka hanya mengambil kungfu paling dahsyat yang bisa mereka temukan, dan itu menghasilkan kungfu mereka yang mengerikan. Aku lebih baik tidak mengatakan apa-apa padanya. Aku akan membiarkan dia berlatih dan memberi tahu dia setelah itu. Pada saat itu dia akan menguasai kungfu dari buku itu, dan bahkan jika dia ingin menyingkirkannya dia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Ini akan sangat menarik!”

Secara alami dia memang nakal. Orang lain akan kesal atau marah kepadanya, ia tidak akan peduli. Orang lain mencintainya atau bersikap baik kepadanya, tetapi ia tidak pernah memikirkannya. Selama ia bisa bermain-main atau membuat lelucon dan bersenang-senang, ia sudah puas. Sekarang setelah ia memikirkan ide ini, ia mencoba mempertahankan ketenangannya dan dengan wajah biasa ia memberitahu Guo Jing, “Xian Di, selama lima belas tahun aku di dalam gua ini, aku sudah menciptakan tidak hanya Tinju Kosong dan Shuang Shou Hubo, tetapi juga beberapa jurus lainnya. Sekarang kita tidak punya urusan lain, bagaimana kalau aku mengajarimu ilmu lain lagi sekedar untuk menghabiskan waktu?”

“Bagus sekali,” kata Guo Jing. “Tapi Rong’er bilang dia akan menemukan cara untuk membebaskan kita dari sini.”

“Dia sudah menemukan cara itu?” tanya Zhou Botong.

“Sekarang masih belum.”

“Lalu apa salahnya belajar ilmu baru sambil menunggu dia?” usul Zhou Botong.

Guo Jing dengan gembira menyetujuinya. “Bagus sekali! Ilmu kakak pasti sangat hebat!”

Zhou Botong tertawa di dalam hati, “Jangan buru-buru senang,” pikirnya, “Kau tertipu!” Jadi ia segera menyampaikan inti dari Jiu Yin Zhen Jing sedikit demi sedikit dari ingatannya. Secara alamiah Guo Jing tidak segera memahaminya, tetapi Zhou Botong sangat sabar. Ia mengulang pelajaran itu sebanyak yang diperlukan. Untuk pelajaran dari jilid kedua yang didapat dari bungkus kulit itu, ia menghafalnya terlebih dahulu ketika Guo Jing tidak melihat, dan kemudian ia akan meneruskannya apa yang sudah dihafalnya.

Jiu Yin Zhen Jing berisi berbagai teknik kungfu dari berbagai aliran yang berbeda. Zhou Botong mengajarkan teori tetapi tidak memberikan contoh bagaimana melakukannya. Ia membiarkan Guo Jing merenungkan dan mencari tahu sendiri. Setelah itu ia menguji teknik yang baru dipelajari itu melawan seni bela diri Perguruan Quanzhen.

Setelah beberapa hari, ia mulai melihat kungfu yang luar biasa dari Kitab Sembilan Bulan yang secara bertahap dikuasai Guo Jing, tetapi Guo Jing sendiri masih sama sekali tidak sadar bahwa ia sedang mempelajari Jiu Yin Zhen Jing. Zhou Botong sangat senang, ia sering tersenyum dalam tidurnya.

Sementara itu Huang Rong terus menyediakan makanan untuk Guo Jing, meskipun ia sendiri tidak pernah muncul di tempat itu. Hati Guo Jing sangat gembira, semua itu menyebabkan latihannya maju pesat.

Suatu hari Zhou Botong mengajarkan Cakar Dewa Sembilan Bulan9, ia menginstruksikan Guo Jing untuk menggunakan semua jarinya, dan berlatih di dinding gua. Setelah Guo Jing melatihnya beberapa kali, ia tiba-tiba menyadari sesuatu. “Kakak,” katanya, “Kupikir Mei Chaofeng juga mempelajari kungfu semacam ini, hanya saja dia latihan melawan manusia. Dia bisa memasukkan lima jarinya ke dalam tengkorak seseorang. Itu sangat kejam.”

Zhou Botong terkejut, “Itu benar,” pikirnya, “Mei Chaofeng tidak tahu isi jilid pertama, jadi dia mengikuti instruksi secara harfiah. Jilid kedua hanya menyatakan ‘pusatkan energi di lima jari dan serang kepala musuh dengan kuat.’ Dia tidak tahu bahwa ‘kepala musuh’ berarti titik vital musuh dan tidak secara harfiah memasukkan lima jari ke dalam tengkorak musuh. Tidak heran dia mengira harus berlatih menggunakan tengkorak asli. Jiu Yin Zhen Jing berisi pelajaran tentang kemurnian spiritual untuk mengusir roh jahat, mana mungkin mengajari siapa pun untuk mempraktekkan kungfu yang kejam dan ganas? Wanita itu menyimpang terlalu jauh dari kebenaran. Guo Xiandi sudah curiga, jadi sebaiknya aku tidak mengajarinya kungfu semacam itu.” Setelah itu ia tersenyum dan berkata, “Mei Chaofeng mempraktekkan kungfu sesat. Mana bisa dibandingkan dengan perguruan ortodoks sejati kita? Baiklah, kita tidak akan latihan kungfu Cakar Dewa ini untuk saat ini. Sebagai gantinya, aku akan mengajarimu ilmu warisan Quanzhen kita.”

Sambil bicara ia membuat rencana bagus lainnya, “Aku akan mengajarinya jilid pertama sampai dia benar-benar memahami semuanya. Lalu aku akan melanjutkan dengan jilid kedua. Dia akan melihat hubungan logis antara yang pertama dan yang kedua dan dia tidak akan curiga lagi.” Jadi ia mulai menghafalkan teori dari jilid pertama dan menyuruh Guo Jing untuk menghafalnya.

Pelajaran dari kitab itu sangat rumit dan mendalam, bagaimana Guo Jing bisa memahami segalanya? Zhou Botong menyadari Guo Jing lamban, jadi ia menyuruhnya untuk membacanya keras-keras. Setelah mengulanginya puluhan kali, Guo Jing mampu menghafal hampir semuanya. Ia tidak mengerti sebagian artinya, tetapi ia tetap mengingatnya. Beberapa hari berlalu dan Zhou Botong sudah mengajarkan sebagian besar isi kitabnya, jadi ia menyuruh Guo Jing mulai melatih tenaga dalamnya.

Guo Jing merasa cara latihan tenaga dalam itu mirip dengan yang dipelajarinya dari Ma Yu, hanya saja yang ini lebih mendalam dan lebih sulit. Ia mengira bahwa karena Zhou Botong adalah paman guru Ma Yu, jadi pasti caranya melatih tenaga dalam lebih sulit daripada Ma Yu. Ia juga ingat bahwa ketika Mei Chaofeng duduk di bahunya melawan musuh di istana Zhao, ia menanyakan beberapa pertanyaan tentang tenaga dalam yang bisa dijawabnya. Ia tidak curiga sama sekali. Meskipun ia sering memperhatikan ekspresi lucu Zhou Botong, seolah-olah ia terhibur oleh sesuatu, ia pikir itu adalah watak alami Zhou Botong yang suka bercanda. Mungkin ia sedang memikirkan hal-hal lucu lainnya.

Manual itu berisi lebih dari seribu karakter yang kelihatannya omong kosong tanpa arti yang jelas. Selama beberapa tahun terakhir Zhou Botong telah berulang kali merenungkan kata-kata itu di dalam gua, tetapi ia masih tidak tahu apa artinya. Namun demikian, ia meneruskan semuanya kepada Guo Jing. Ketika Guo Jing bertanya apa maksudnya, Zhou Botong hanya berkata, “Rahasia ini tidak dapat dibocorkan sekarang, kau akan mengerti ketika waktunya tiba.”

Menghafal ribuan kata itu tanpa memahami artinya seratus kali lebih sulit daripada menghafal buku biasa. Mungkin tidak terlalu sulit bagi orang yang berpikiran cerdas, tetapi meskipun Guo Jing lamban, ia punya tekad yang kuat. Setelah lebih dari seribu kali melafalkan kata-kata itu akhirnya ia bisa menghafal semuanya.

Guo Jing bangun pagi-pagi dan segera mulai latihan kungfu. Ketika sarapan datang, ia melihat ada roti kukus yang tidak biasa lagi. Tanpa menunggu selesai makan, ia membawa roti itu ke hutan dan segera menghancurkan pil lilin di dalamnya untuk menemukan surat itu. Begitu ia melirik, ia langsung merasa sangat cemas. Surat itu berbunyi, “Jing Gege, Racun Barat datang kepada Ayah untuk melamar aku, untuk dinikahkan dengan keponakannya, dan Ayah menjawab…” Surat itu belum selesai, menandakan bahwa dia terburu-buru menulisnya. Sepertinya kata setelah ‘menjawab’ adalah ‘ya’.

Pikiran Guo Jing sangat kacau, ia menunggu dengan tidak sabar sampai si pelayan itu selesai membersihkan sisa-sisa makanan mereka, lalu menunjukkan surat itu kepada Zhou Botong.

“Ayahnya memberikan restu, itu bagus,” kata Zhou Botong. “Itu bukan urusan kita.”

“Wah, aku tidak bisa menerima hal ini,” kata Guo Jing. “Rong’er sudah berjanji untuk bersamaku. Dia pasti panik sekarang.”

“Kalau kau menikah, ada beberapa kungfu yang tidak akan bisa kau pelajari,” kata Zhou Botong. “Itu sayang sekali… Aku… aku sangat menyesal tidak menuruti nasihat kakak seperguruanku. Xiandi, dengar nasihatku, sebaiknya kau jangan menikah.”

Guo Jing merasa semakin Zhou Botong berbicara, ia jadi semakin tidak masuk akal. Itu membuat Guo Jing lebih gelisah dari sebelumnya. Zhou Botong melanjutkan, “Seandainya saja aku tidak kehilangan keperjakaanku, dan karena itu tidak dapat belajar kungfu paling dahsyat dari kakak seperguruanku, mana mungkin Si Sesat Tua Huang itu memenjarakan aku di lubang celaka ini? Soalnya kalau pikiranmu terfokus pada istrimu, hatimu terbagi. Aku yakin latihan kungfu hari ini tidak akan membawamu kemana-mana. Kalau kau benar-benar menikahi anak perempuan Huang Laoxie itu… Waduh! Itu akan terlalu buruk! Kalau saja aku… Ay! Sudahlah. Singkatnya kalau kau membiarkan dirimu terjerat hubungan dengan seorang perempuan, kau tidak akan mencapai puncak kesempurnaan. Selain itu, kau akan menyinggung temanmu dan tidak mematuhi saudara seperguruanmu. Sangat sulit bagimu untuk melupakannya. Aku bertanya-tanya bagaimana dia… Pokoknya jangan pernah melihat wajahnya yang cantik, jangan pernah membelai tubuh indahnya dan jangan mengajarinya teknik menotok jalan darah, karena dia akan merasakan tubuhmu untuk menemukan titik akupuntur itu. Itu adalah tabu besar… lebih buruk lagi, jangan pernah memintanya untuk menikahimu…”

Bagi Guo Jing, Zhou Botong hanya sekedar bergumam tak jelas dan tidak logis, tapi sangat mengganggunya. “Aku akan menikahinya atau tidak, kita urus soal itu nanti. Kakak, saat ini kita harus menolongnya!”

Zhou Botong tertawa, “Racun Barat sangat jahat, keponakannya ya sama saja. Anak perempuan Huang Laoxie cantik, tetapi dia pasti punya karakter aneh yang sama dengan Huang Laoxie, pikiran sesat. Biarkan keponakan Racun Barat itu mengambilnya jadi istrinya, biarkan mereka berdua menderita dan biarkan kungfu mereka tidak bisa maju kemana-mana. Dengan begitu kita membunuh dua burung dengan sekali tembak. Tidak, lebih tepatnya… kalahkan dua burung dengan sekali tembak. Tidak ada yang baik dari mereka semua. Masa menurutmu ini bukan ide yang baik?”

Guo Jing menghela nafas, berjalan ke dalam hutan, dan duduk di tanah. Pikirannya campur aduk, “Bahkan jika aku harus mati di Pulau Bunga Persik, aku harus menemukannya,” pikirnya. Begitu tekadnya sudah bulat, ia melompat dan mulai bergerak. Pada saat itu ia mendengar dua seruan keras dari langit dan dua sosok putih menukik ke arahnya. Mereka adalah elang putih yang dibawa Tolui dari padang rumput. Guo Jing sangat senang dan mengulurkan tangannya untuk membiarkan elang itu hinggap. Baru pada saat itulah ia melihat tabung bambu diikatkan ke kaki elang jantan. Dengan tergesa-gesa ia membukanya dan menemukan sebuah surat di dalamnya. Itu dari Huang Rong. Ia memberitahunya perkembangan terbaru – bagaimana Racun Barat akan tiba dalam beberapa hari untuk mengatur pertunangan, bagaimana ayahnya menjaganya dengan ketat dan tidak membiarkannya keluar dari tempat tinggalnya bahkan setengah langkah pun. Itu termasuk menyiapkan makanan untuk Guo Jing. Pada akhirnya ia berkata bahwa jika ia tidak bisa melepaskan diri dari semua ini, ia akan bunuh diri untuk menunjukkan cintanya. Ia juga memberi tahu Guo Jing bahwa jalan-jalan di pulau itu berbahaya dan misterius, dan penuh dengan jebakan, jadi ia memperingatkan Guo Jing untuk tidak mencoba menemukannya.

Guo Jing tercengang. Dia mengeluarkan belatinya dan mengukir enam karakter ini pada tabung bambu, “Hidup bersama, mati bersama”10, lalu ia mengikat tabung itu ke kaki elang dan mengangkat lengannya, menunjuk ke utara. Elang itu mengitarinya beberapa kali, lalu mereka terbang ke utara. Begitu membuat keputusan ini, hatinya menjadi tenang. Ia berjalan kembali ke Zhou Botong, duduk di tanah di depannya dan mendengarkan dia menyampaikan lebih banyak teori kungfu.

Sepuluh hari berikutnya berlalu tanpa sepatah kata pun dari Huang Rong. Guo Jing berhasil menghafal jilid pertama secara keseluruhan. Zhou Botong sangat senang, ia melanjutkan membaca jilid kedua untuk dihafal Guo Jing. Sekali lagi, ia tidak memberikan contoh atau instruksi apa pun tentang cara mempraktekkannya karena takut Guo Jing akan mengetahui rencananya. Guo Jing dengan rajin mempelajari dan mengingat setiap kata dalam benaknya. Setelah menghafalkan beberapa ratus kali kemudian, ia memikirkan jilid pertama dan kedua, termasuk semua kata-kata omong kosong seperti ‘ang li na de’ dan ‘ha hu wen bo ying’. Dia tidak melewatkan satu kata pun.11

Mendengarkan cara Guo Jing menghafalkan isi kitab itu, Zhou Botong jadi kagum. “Anak bodoh ini betul-betul mampu menghafal isi kitab bodoh itu,” pikirnya. “Lao Wantong betul-betul salut!”

Malam itu langit cerah dan laut tenang memantulkan cahaya bulan keperakan yang menyinari pulau. Zhou Botong baru saja selesai memeriksa kemajuan Guo Jing. Ia menemukan bahwa Guo Jing telah membuat kemajuan luar biasa dalam kungfunya, dan itu sama sekali tidak disadarinya. Ia sangat senang dan percaya bahwa kitab itu benar-benar mengandung teknik ilmu silat yang mendalam dan hebat. Ia berpikir bahwa jika ia sendiri mempelajari teknik dari kitab itu, akhirnya ia akan melampaui Huang Yaoshi dan Hong Qigong.

Keduanya sedang duduk di tanah, mengobrol santai ketika mereka tiba-tiba mendengar suara gemerisik datang dari kejauhan. Zhou Botong melompat kaget, “Ular!” jeritnya. Ia baru saja menutup mulutnya ketika suara mendesis mencapai telinga mereka. Kedengarannya seperti ada segerombolan ular datang ke arah mereka. Wajah Zhou Botong menjadi pucat dan ia berlari ke dalam gua. Ia seorang pemberani dan kungfunya mungkin luar biasa, tapi tidak saat menghadapi ular. Guo Jing segera memindahkan beberapa batu besar dan menutupi pintu masuk gua.

“Dage,” kata Guo Jing. “Aku akan keluar untuk melihat ada apa. Kau jangan keluar!”

“Hati-hati dan segera kembali,” jawab Zhou Botong. “Tapi menurutku kau tidak perlu melihatnya. Apa yang sih yang menarik dari ular berbisa? Kok… kok bisa banyak ular di pulau ini? Aku sudah tinggal di sini selama lima belas tahun dan belum pernah melihat seekor ular pun. Lihat betapa buruknya pulau ini! Huang Laoxie selalu membanggakan pengetahuan dan akalnya yang luas, tetapi lihat betapa kotornya Pulau Bunga Persik ini. Kura-kura laut, ular beludak, kelabang, dan segala jenis binatang melata datang ke sini.”

  1. Zhong Yuan (中原) maksudnya adalah ‘Dataran Tengah’, yang berpatokan areal di sekitar Sungai Yangtze. Areal tersebut dari generasi ke generasi dijadikan patokan sebagai asal-usul kebudayaan dan masyarakat Tionghoa pada umumnya. Hal ini terlihat jelas dalam hasil penggalian arkeologi dari situs-situs peninggalan Dinasti Shang yang berpusat pada areal tersebut. Meskipun Dinasti Shang sendiri dari generasi ke generasi selalu berusaha untuk hidup berdampingan dengan cara kawin silang dengan penduduk dari suku di luarnya. Ratu Fu Hao adalah salah satu contoh terbaik. 

  2. Panggilan untuk kakak ipar perempuan, baca juga Sao Sao

  3. Shishu (师叔) adalah ‘Paman Guru’, yaitu adik seperguruan dari Sang Guru. 

  4. En Shi (恩師), Guru Yang Baik. Ini setara dengan Shifu, tetapi ditambah dengan ungkapan kasih yang lebih khusus, menandakan bahwa Sang guru tersebut adalah juga penolongnya. 

  5. Hao Xiongdi (好兄弟) = Adik Yang Baik. 

  6. Zhou Botong mengutip ayat ke-11 dari Dao De Jing, yang di baris akhir mengandung sebuah kesimpulan, Gù yǒu zhī yǐwéi lì, wú zhī yǐwéi yòng (故有之以为利,无之以为用). ‘Karena itu, keberadaan adalah keuntungan, sedangkan kekosongan adalah kegunaan.’ Untuk lebih jelasnya, silakan membaca kutipan Dao De Jing ini. Kalau ingin menerjemahkan secara lebih bebas, saya kira akan berarti Jadi, kita menciptakan keberadaan, tetapi menggunakan ketiadaan

  7. Secara tradisional obat-obatan di Tiongkok yang berbentuk pil dikemas di dalam sebuah pil kecil yang terbuat dari lilin, dengan tutup yang bisa dibuka-tutup dengan mudah. Ini akan menjaga kualitasnya dari kemungkinan rusak oleh cuaca, terutama sekali hujan dan udara lembab. 

  8. Referensi titik akupuntur ini belum ditemukan. 

  9. Jiu Yin Shen Zhua (九阴神爪). Ilmu ini pada dasarnya sama dengan apa yang dipelajari oleh Mei Chaofeng dan Chen Xuanfeng, tetapi dengan prinsip aslinya. Mei Chaofeng mempelajarinya dengan prinsip hasil pemikiran pribadi Chen Xuanfeng. 

  10. “Hidup bersama, mati bersama”, Yi qi huo, yi qi si (一起活,一起死). 

  11. Kedua kutipan tersebut tidak diterjemahkan sama sekali oleh penerjemah bahasa Inggris, dan bukan dalam bentuk karakter bahasa mandarin atau pinyin tetapi di dalam bentuk transliterasi tanpa grave stroke apa pun juga. Jadi saya juga tidak punya cara untuk menelitinya lebih lanjut. Jadi bukan hanya bagi Guo Jing dalam cerita, bagi kita pun tulisan itu sama sekali tidak bermakna.