Hong Qigong, Zhou Botong, Huang Rong dan Guo Jing naik perahu kecil ke barat. Guo Jing mendayung di buritan, sementara Huang Rong terus menerus mengganggu Zhou Botong dengan pertanyaan tentang menunggangi hiu di laut. Zhou Botong menemukan cara menangkap hiu untuk menghibur Huang Rong.

Guo Jing melihat gurunya pucat, ia bertanya, “Shifu, apa yang kau pikirkan?” Hong Qigong tidak menjawab sementara dengan suara serak ia menarik napas pendek beberapa kali. Serangan yang diterimanya dari Ouyang Feng telah menembus sampai ke tulang. Meskipun totokannya sudah dibuka, luka dalam sebenarnya sudah memburuk. Huang Rong memberinya sembilan butir Pil Embun Sembilan Bunga Batu Giok. Meskipun rasa sakitnya agak berkurang, napasnya sama buruknya seperti sebelumnya. Lao Wantong mengabaikan penderitaan orang lain, terus membuat keributan dan berteriak bahwa mereka harus menangkap hiu. Huang Rong tahu perilakunya tidak pantas dan mencoba memberi isyarat dengan matanya untuk diam dan tidak mengganggu Hong Qigong.

Zhou Botong, sama sekali tidak mengerti, ia terus membuat keributan. Huang Rong mengerutkan kening dan berkata, “Kau ingin menangkap hiu, tetapi kau tidak punya umpan untuk menarik perhatian mereka, jadi apa yang akan kau lakukan?”

Lao Wantong memang tidak pernah bertingkah seperti layaknya seorang senior yang terhormat. Ketika orang-orang dari generasi jauh di bawahnya minum-minum dan menyumpah-nyumpah di depannya, ia tidak pernah tersinggung sedikit pun. Ia tiba-tiba berkata, “Aku tahu! Guo Xiandi, aku akan memegang tanganmu, kau mencelupkan bagian bawah tubuhmu ke laut.”

Guo Jing menghormati saudara angkatnya, dan meskipun ia tidak memahami niatnya, ia segera menyetujuinya. Huang Rong dengan cepat berteriak, “Jing Gege, jangan dengarkan dia! Dia ingin menggunakanmu sebagai umpan untuk menangkap hiu.”

Zhou Botong bertepuk tangan dan berteriak gembira, “Tepat! Saat hiu datang, aku akan langsung memukul dan menariknya! Atau kau bisa memegang tanganku, dan aku akan menarik hiu.”

Huang Rong menjawab, “Kalian berdua menyebabkan begitu banyak masalah di perahu kecil ini, dan kalau terbalik, itu semuanya akan jadi salahmu!”

Zhou Botong menjawab, “Kalau kapalnya terbalik, itu bagus sekali! Lalu kita semua bisa bermain-main di laut!”

Huang Rong menjawab, “Dan bagaimana dengan Shifu? Kau ingin Shifu hidup atau tidak?”

Zhou Botong memegangi kepalanya, kehilangan kata-kata. Setelah beberapa saat, ia berkata bahwa anehnya Hong Qigong harus terluka oleh serangan Ouyang Feng. Huang Rong berteriak, “Kalau kau omong kosong lagi, kami bertiga tidak akan bicara denganmu sampai tiga hari tiga malam!” Zhou Botong menjulurkan lidahnya, tetapi tidak berani mengatakan sepatah kata pun. Ia mengambil dayung untuk membantu Guo Jing mendayung.

Meskipun daratan tampak dekat, hari sudah senja saat mereka akhirnya turun. Malam itu mereka berempat tidur di pantai berpasir. Keesokan paginya, penyakit Hong Qigong semakin parah dan Guo Jing mulai menangis.

Hong Qigong berkata sambil tersenyum, “Kalaupun aku hidup sampai seratus tahun lagi, pada akhirnya aku masih harus mati. Anak yang baik, aku hanya punya satu keinginan yang tersisa. Menggunakan napas terakhir pengemis tua ini, aku akan minta kalian bertiga melakukan sesuatu untukku.”

Huang Rong menjawab sambil menangis, “Shifu, tolong beritahu kami.”

Zhou Botong menyela, “Racun Tua itu memalukan. Karena dia, Pengemis Tua berada di ambang kematian. Sebelum meninggal, kakak seperguruanku juga harus memalsukan kematiannya karena Racun Tua. Orang harus mati dua kali… begitu baru dia bisa puas? Pengemis Tua, kau langsung jalan dan mati saja, jangan kuatir tentang apa pun. Aku akan pergi dan membunuhnya untuk membalas dendammu.”

Hong Qigong menjawab sambil tersenyum, “Membalas dendam tidak bisa dianggap keinginan terakhir. Yang kuinginkan adalah makan semangkuk Bebek Mandarin Wu Bao1 dari dapur Istana Kekaisaran.”

Siapa di antara ketiganya yang berpikir bahwa keinginan terakhirnya adalah makanan? Huang Rong menjawab, “Shifu, itu mudah. Karena kita tidak jauh dari Lin’an, jadi aku akan mencuri beberapa panci besar dari Istana Kekaisaran, jadi Shifu bisa makan sepuasnya.”

Zhou Botong menyela lagi, “Aku juga ingin makan.”

Huang Rong menatapnya dengan tidak senang dan menjawab, “Kau juga mengerti bagaimana membedakan antara makanan yang baik dan yang buruk?”

Hong Qigong berkata, “Bebek Mandarin Wu Bao susah didapat. Kalau ingat waktu aku bersembunyi di Istana Kekaisaran selama tiga bulan, hanya berhasil mencoba sedikit. Mengingat rasanya saja sudah cukup untuk membuat orang ngiler.”

Zhou Botong berkata, “Aku punya ide, kita menculik koki Kaisar Tua, dan menyuruhnya memasak.”

Huang Rong menjawab, “Lao Wantong, itu bukan ide yang buruk.” Mendengar Huang Rong mendukungnya, Zhou Botong sangat senang dengan dirinya sendiri.

Hong Qigong, menggelengkan kepalanya karena tidak setuju, menjawab, “Tidak mungkin. Untuk membuat Bebek Mandarin Wu Bao, cincang beraroma, peralatan dapur, api arang, dan piring harus menjadi satu set lengkap. Jika satu saja hilang, rasanya akan hilang. Kita masih harus pergi ke Istana Kekaisaran.” Melihat ketiganya masih ragu, ia berkata, “Ini akan sangat luar biasa, dan jika kita pergi, kalian semua akan mendapatkan pengalaman yang berharga.”

Guo Jing segera menempatkan Hong Qigong di punggungnya dan berangkat ke utara. Setelah mencapai sebuah kota kecil, Huang Rong menjual beberapa perhiasannya untuk mendapatkan uang tunai untuk membeli gerobak bagal kecil supaya Hong Qigong dapat bersantai, dan pulih dari cederanya. Akhirnya mereka melewati Sungai Qiangtang dan tiba di pinggiran kota Lin’an di mana mereka menyaksikan matahari terbenam yang sangat berkabut, dan sesekali mendengar suara burung gagak. Saat malam tiba, mereka masih belum mencapai kota dan terpaksa mencari penginapan untuk bermalam. Melihat sekeliling, mereka hanya melihat sebuah desa kecil dengan beberapa rumah tangga di dekat tepi sungai.

Huang Rong berbicara, “Desa ini kelihatannya bagus. Kita bisa beristirahat di sini.”

Zhou Botong menjawab dengan cemberut, “Apa bagusnya?”

Huang Rong menjawab, “Coba lihat… pemandangan ini terlihat seperti lukisan, kan?”

Zhou Botong menjawab, “Masa bisa mirip lukisan?” Huang Rong menatap kosong, kesulitan memberikan jawaban. Zhou Botong berkata, “Lukisan itu pasti sangat jelek. Kecuali kalau mirip lukisan Lao Wantong, kurasa jelek.”

Huang Rong berkata sambil tersenyum, “Surga bisa menciptakan pemandangan alam, seperti coretan Lao Wantong pada sebuah lukisan.”

Zhou Botong, sangat senang dengan dirinya sendiri, menjawab, “Kau yakin? Kalau tidak percaya, aku akan membuat lukisan sekarang dan kau bisa minta Surga untuk melihatnya.”

Huang Rong menjawab, “Tentu saja aku percaya, tapi kau bilang tempat ini tidak cukup baik, jadi jangan beristirahat di sini… tetapi kami bertiga akan tetap tinggal.”

Zhou Botong menjawab, “Kalau kalian bertiga tidak mau melanjutkan, kenapa aku harus mau?”

Di tengah obrolan ini, mereka tiba di desa. Pusat desa tampak sangat sunyi dan bobrok, dengan hanya spanduk toko arak yang tergantung di tiang, di sudut timur desa, dekat semacam penginapan desa. Mereka tiba di depan penginapan dan melihat dua meja di bawah atap, di atasnya terdapat lapisan debu yang sangat tebal.

Zhou Botong berteriak keras, “Hei, hei, hei!” Seorang gadis muda dengan usia tak tentu dengan rambut dan pakaian acak-acakan keluar. Ia membuka matanya dan menatap ketiganya dengan tatapan kosong tak bernyawa. Huang Rong memesan arak dan makanan, tetapi gadis itu hanya menggelengkan kepalanya terus menerus.

Zhou Botong berkata, “Kau tidak punya arak atau makanan di sini… toko apa yang kau jalankan?”

Gadis itu menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Aku tidak tahu.”

Zhou Botong menjawab, “Ah, kau benar-benar konyol.”

Gadis itu menyeringai dan tertawa, berkata, “Benar, aku dipanggil Sha Gu2.”

Mereka bertiga tertawa dan mengerti. Huang Rong pergi untuk melihat interior dan dapur. Ia menemukan debu dan sarang laba-laba tertutup bersama dengan beberapa pot dan barang-barang tua lainnya. Di atas tempat tidur ada tikar robek. Orang tidak bisa menahan perasaan simpati dan sedih melihatnya. Ia kembali ke luar dan bertanya, “Hanya kau yang tinggal di sini sendirian?”

Sha Gu tersenyum dan mengangguk. Huang Rong bertanya lagi, “Bagaimana dengan ibumu?”

Sha Gu menjawab, “Mati!” dan menyeka tangannya di matanya meniru seseorang yang sedang berduka.

Huang Rong bertanya lagi, “Bagaimana dengan ayahmu?”

Sha Gu menggelengkan kepalanya, menandakan ia tidak tahu. Mereka memperhatikan bahwa wajah dan tangannya kotor dan kukunya yang panjang penuh dengan kotoran hitam. Entah sudah berapa lama ia tidak mencuci muka dan tangannya.

Huang Rong berkata dengan sedih, “Kalaupun dia memasak, kita tidak akan bisa memakannya.” Ia bertanya, “Kau punya nasi?”

Sha Gu tersenyum dan mengangguk, dan mengeluarkan setengah guci beras kasar. Huang Rong segera mencuci beras dan mulai menyiapkan makanan. Guo Jing pergi ke sisi barat desa dan membeli dua ekor ikan dan seekor ayam. Pada saat semuanya siap, hari sudah gelap. Huang Rong mengeluarkan makanan, meletakkannya di salah satu meja, dan mencari lampu minyak. Sha Gu sekali lagi menggelengkan kepalanya, menandakan tidak ada.

Huang Rong mengambil beberapa kayu bakar dan menyalakan api di tungku. Kemudian ia mencoba mencari beberapa mangkuk dan sumpit di lemari. Ia membuka pintu lemari dan bau busuk menyerang hidungnya. Ia memegang sepotong kayu yang terbakar dan melihat ada sekitar tujuh atau delapan mangkuk lusuh. Di dalam dan di sekitar mangkuk ada lusinan serangga mati dari segala jenis. Guo Jing membantunya mengambil mangkuk.

“Cuci sampai bersih, dan ambil beberapa ranting pohon kecil yang bisa kita pakai sebagai sumpit,” kata Huang Rong. Guo Jing menggumamkan kepatuhannya dan membawa mangkuk itu keluar.

Huang Rong mengulurkan tangan untuk mengambil mangkuk terakhir, dan langsung merasakan perbedaan. Mangkuk ini dingin, lebih dingin dari mangkuk porselen biasa. Ia mencoba mengambilnya, tetapi mangkuk itu tidak mau bergerak, seolah-olah melekat pada lemari. Huang Rong tercengang. Ia takut memecahkan mangkuk, jadi ia tidak berani menggunakan terlalu banyak tenaga. Ia mencobanya sekali lagi, tetapi mangkuk itu masih menolak untuk dipindahkan. “Mungkin sudah terlalu lama, jadi kotorannya membuat mangkok menempel di lemari?” ia bertanya-tanya. Ia melihat lebih dekat, dan menyadari bahwa mangkuk itu ditutupi dengan banyak lapisan karat. Itu ternyata sebuah mangkuk besi.

Huang Rong tertawa pelan dan berpikir, “Aku sudah pernah melihat mangkuk nasi yang terbuat dari emas, perak, dan batu giok, tapi belum pernah mendengar ada mangkuk besi.” Ia mengerahkan kekuatannya dan mencoba mengangkat mangkuk itu, tetapi mangkuk itu tetap tidak bergerak. Ia lebih terkejut lagi. Ia berpikir bahwa dengan kekuatannya, bahkan jika mangkuk itu dipaku ke rak, rak itu bisa retak. Kemudian ia berpikir lagi, “Mungkin rak itu juga terbuat dari besi?” Ia mengulurkan jari tengahnya untuk mengetuk rak dan mendengar suara logam. Rak itu memang terbuat dari besi.

Keingintahuannya terusik, dan ia mencoba mengangkat mangkuk itu lagi. Tetapi mangkuk itu tetap tidak bergerak. Ia mencoba memutar mangkuk ke kiri dan tidak merasakan gerakan apa pun. Ia mencoba memutarnya ke kanan, dan merasakan gerakan. Ia mencoba memutarnya lebih keras dan mangkuk itu bergerak. Tiba-tiba ia mendengar suara retakan, dan lemari bergeser ke samping, memperlihatkan lubang gelap di belakangnya. Bau yang lebih busuk keluar dari dalam lubang, hampir membuatnya muntah.

Huang Rong mengeluarkan suara “Ah!” dan dengan cepat melompat ke samping. Guo Jing dan Zhou Botong mendengarnya menjerit dan segera datang dan melihat lubang yang gelap itu.

Huang Rong berpikir keras, “Mungkinkah ini adalah toko arak ilegal, dan Sha Gu hanya pura-pura gila?”

Ia menyerahkan cabang-cabang pohon yang sedang dibawanya kepada Guo Jing, dan berjalan ke arah Sha Gu, lalu mencoba meraih tangannya. Sha Gu melambaikan tangannya mencoba menghindari cengkeraman, dan melakukan serangan balik dengan mengarahkan telapak tangannya ke bahu Huang Rong. Meskipun Huang Rong curiga bahwa ia punya niat tidak baik, tapi ia tidak pernah menyangka telapak tangan yang masuk ini akan mengandung tenaga yang begitu kuat. Ia agak terkejut. Tangan kirinya membentuk kait, dan tangan kanannya maju ke depan, ia meluncurkan dua serangan berturut-turut.

Sejak menguasai yi jin duan gu bian dari Jiu Yin Zhen Jing, kecepatan dan kekuatannya telah meningkat pesat. Dengan tamparan keras, Sha Gu menjerit saat lengan kanannya terpukul, tapi serangannya tidak melambat. Ia melakukan serangan balik dengan dua jurus berturut-turut. Setelah beberapa jurus lagi, Huang Rong benar-benar tercengang. Gerakan Sha Gu sebenarnya adalah kungfu dasar Pulau Bunga Persik dari teknik bi bo zhang fa. Meskipun dilakukan dengan cara yang dangkal, itu sebenarnya adalah dasar dari semua seni bela diri Pulau Bunga Persik. Setiap murid harus mempelajarinya. Huang Rong meningkatkan serangannya dalam upaya untuk mengenali asal-usul perguruan silat Sha Gu, tetapi Sha Gu mengelak sambil kabur berkelok-kelok, dan mampu menahannya sampai enam atau tujuh jurus.

Situasinya mirip saat Guo Jing melawan Liang Ziweng dengan hanya mengandalkan satu jurus, yaitu Naga Angkuh Punya Penyesalan, tetapi tenaganya jauh lebih rendah daripada Guo Jing. Selain itu, teknik telapak tangannya sangat lugas dan bahkan tidak menunjukkan variasi yang paling sederhana. Di luar dugaan siapa pun bahwa di desa terpencil ini ada toko arak ilegal dengan seorang gadis kotor yang malang, yang sanggup melawan Huang Rong lebih dari sepuluh jurus.

Zhou Botong beranggapan semua hal ini sangat lucu. Ia mencatat bahwa hembusan angin dari telapak tangan Huang Rong cepat dan ganas. Sha Gu berulang kali berteriak, “Aiyo!” sambil menahan serangan Huang Rong. Zhou Botong berteriak, “Hei! Rong’er, jangan sakiti dia. Biar aku yang melawannya.” Sepanjang jalan ia mendengar Hong Qigong dan Guo Jing memanggilnya Rong’er, dan sepertinya ia tidak keberatan, jadi ia berpikir ia juga tidak perlu sopan dengan memanggilnya ‘Huang Guniang’ atau ‘Huang Xiaojie’.

Guo Jing takut Sha Gu punya teman lain yang menunggu dalam kegelapan, siap untuk menyergap mereka, jadi ia tetap dekat dengan Hong Qigong dan tidak berani meninggalkannya.

Beberapa jurus kemudian bahu kiri Sha Gu terpukul, yang membuat lengan kirinya lemas dan ia tidak bisa menggerakkannya. Jika Huang Rong benar-benar ingin melukainya, maka ia hanya perlu melanjutkan serangannya, tetapi ia menunjukkan belas kasihan, dan berseru, “Cepat berlutut dan aku akan mengampunimu.”

“Kau juga berlutut!” jawab Sha Gu, sementara ia mengirimkan dua telapak tangan dari jurus Yi Jin Duan Gu Bian ke arah Huang Rong. Namun hanya dua jurus pertama yang dilakukan berulang kali dan tekniknya canggung.

Serangan telapak tangan Yi Jin Duan Gu Bian yang tidak lengkap ini tidak mengandung tenaga dalam, tetapi terus menerus seperti ombak di air, benar-benar gaya seni bela diri Pulau Bunga Persik. Kecurigaan Huang Rong tentang akar seni bela diri Sha Gu menjadi lebih kuat. Ia berseru, “Dari mana kau belajar Yi Jin Duan Gu Bian? Siapa gurumu?”

Sha Gu menjawab sambil tersenyum, “Kau tidak bisa memukulku lagi, haha…”

Huang Rong mengangkat tangan kirinya, menggerakkan tangan kanannya ke samping, berpura-pura menyerang dengan siku kirinya dan menyandarkan bahu kanannya ke depan. Keempat gerakan ini adalah serangan palsu. Huang Rong mengikuti dengan jurus kelima dengan mengarahkan kedua tangannya melengkung ke dalam. Serangan kelima ini juga tipuan. Langkah selanjutnya, tendangan nyata. Sha Gu tidak bisa berdiri tegak. Ia jatuh ke lantai, dan berseru saat bangun, “Kau menggunakan tipuan, itu tidak masuk hitungan, ayo mulai lagi!”.

Huang Rong tidak mengijinkannya berdiri. Ia menerkam dan mendorongnya ke bawah, merobek pakaiannya dan mengikat tangannya ke belakang. “Ilmu tangan kosongku jelas lebih baik dari milikmu,” katanya.

Sha Gu berbalik dan berteriak tidak setuju, “Kau menipuku, tidak bisa diterima… kau menipuku, tidak bisa diterima!”

Guo Jing, melihat bahwa Huang Rong mampu mengendalikan Sha Gu, keluar dari penginapan dan melompat ke atap. Ia mencari-cari jejak orang lain tetapi tidak menemukannya. Ia melompat mundur, berjalan mengitari gedung dan memperhatikan bahwa penginapan yang sunyi ini adalah bangunan yang berdiri sendiri, beberapa zhang terpisah dari rumah-rumah lain di daerah itu. Tidak ada orang lain yang bersembunyi di sekitarnya. Sekarang akhirnya ia merasa lega.

Ketika masuk ke dalam penginapan, ia melihat Huang Rong memegang belati di depan mata Sha Gu, mengancamnya, “Siapa yang mengajarimu ilmu silat? Cepat katakan, atau aku akan membunuhmu.” Sambil mengatakan hal itu, ia membuat dua gerakan menusuk dengan belati.

Di bawah cahaya lilin, senyum Sha Gu bisa terlihat. Melihat ekspresinya, sepertinya ia bukan pemberani atau gila. Itu lebih mirip senyuman bodoh, sama sekali tidak menyadari bahayanya. Sepertinya ia berpikir bahwa ia dan Huang Rong hanya bermain-main. Huang Rong bertanya lagi dan Sha Gu tertawa dan berkata, “Kau bunuh aku, aku akan membunuhmu juga!”

Alis Huang Rong terangkat, ia berkata, “Sha Guniang ini tidak memberitahu kita apa-apa, jadi kita harus melihat ke dalam ruang tersembunyi itu. Kakak Zhou, tolong jaga Shifu dan awasi anak ini. Jing Gege, ayo masuk.”

Zhou Botong melambaikan tangannya dan berkata, “Tidak, aku ikut kalian.”

Huang Rong memberitahunya, “Aku tidak ingin kau ikut.”

Meskipun Zhou Botong adalah seorang senior dengan kungfu yang jauh lebih tinggi, untuk beberapa alasan ia tidak berani menentang Huang Rong. Ia hanya bisa memohon, “Nona yang baik, lain kali aku tidak akan berdebat denganmu.”

Huang Rong tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Zhou Botong sangat senang. Ia menemukan dua cabang pinus, menyalakannya, dan mengasapi ruangan gelap yang tersembunyi untuk waktu yang lama. Ruangan yang diasapi itu masih mengeluarkan bau yang sangat busuk. Huang Rong mengambil obor pinus dan melemparkannya ke dalam ruangan. Terdengar suara gemerincing saat obor menghantam dinding seberang, lalu jatuh ke lantai. Ruangan itu tidak terlalu dalam sama sekali.

Dengan cahaya dari obor ia melihat ke dalam. Ruangan itu sunyi dan tidak ada jejak orang. Pada saat itu Zhou Botong menjadi tidak sabar dan menyelinap melewati Huang Rong ke dalam ruangan. Huang Rong mengikuti Zhou Botong dengan hati-hati. Ruangan itu tidak besar. Bahkan cukup kecil. Zhou Botong berteriak, “Kita ditipu… kita ditipu, ini celaka!”

Huang Rong lalu mengeluarkan suara “Ah!” saat melihat kerangka seseorang tergeletak di lantai. Kerangka itu menghadap ke atas dan pakaiannya telah membusuk. Dua baris tulang rusuk kerangka itu patah. Ada kerangka lain di sudut timur ruangan. Kerangka ini tergeletak di atas peti besi. Ada bilah pedang panjang menembus tulang rusuk kerangka, dan menembus tutup peti besi.

Zhou Botong mencatat bahwa ruangan itu kecil dan kotor, dan menurutnya kedua mayat itu tidak begitu menarik. Sementara Huang Rong dengan hati-hati memeriksa kedua kerangka itu, Zhou Botong menjadi sangat tidak sabar dan ingin mengganggunya. Tetapi ia takut Huang Rong akan marah, maka ia tidak berani mengatakan apapun dan hanya diam. Di dalam hati ia sudah tidak sabar. Ia bertanya, “Rong’er, Nona yang baik, aku bisa keluar sekarang, kan?”

Huang Rong berkata, “Baik, kau bisa pergi. Tolong panggilkan Jing Gege.”

Zhou Botong berlari dengan gembira dan berkata kepada Guo Jing, “Cepat masuk, sangat menarik di sana,” Ia takut Huang Rong akan memanggilnya kembali, tetapi ia telah menemukan penggantinya. Guo Jing masuk.

Huang Rong mengangkat obornya untuk menunjukkan kepada Guo Jing kerangka itu dan bertanya, “Menurutmu bagaimana cara kedua orang ini mati?”

Guo Jing menunjuk ke kerangka di peti besi. “Sepertinya orang ini meninggal saat mencoba membuka peti besi. Ia tewas karena serangan mendadak dengan satu tusukan. Orang lainnya punya dua baris tulang rusuk yang hancur, jadi dia mungkin diserang oleh telapak tangan yang mengandung tanaga dalam yang besar.”

Huang Rong berkata, “Kupikir juga begitu, tapi ada beberapa hal yang tidak begitu kumengerti.”

Guo Jing menjawab, “Apa?”

“Sha Gu jelas menggunakan teknik Bi Bo Zhang Fa Pulau Bunga Persik. Meskipun hanya tahu enam atau tujuh jurus, dan tidak terlalu mahir, tekniknya bagus dan benar,” kata Huang Rong. “Dua orang mati itu… Aku ingin tahu apa hubungan mereka dengan Sha Gu.”

Guo Jing menjawab, “Aku akan bertanya kepada anak itu.” Karena ia sering dipanggil Sha Zi3 oleh orang lain, ia tidak mau memanggil gadis itu ‘Sha Gu’.

“Kupikir gadis itu sebenarnya terbelakang, jadi akan sulit untuk mendapatkan informasi apapun darinya. Mungkin kita bisa menyelidiki sendiri bukti kecil apa yang kita punya di sini,” saran Huang Rong. Ia mengangkat obornya dan perlahan memeriksa kerangka di peti itu, dan melihat benda berkilau di sampingnya. Ia mengambilnya dan memeriksa dengan hati-hati. Itu adalah medali emas. Di tengahnya terdapat lubang yang diukir pada emas. Di bagian belakang medali, ada beberapa karakter terukir bertuliskan ‘Dengan keputusan Kekaisaran yang diberikan kepada Pendekar Besar yang setia, yang bertanggung jawab untuk membela negara, Pengawal Khusus Shi Yanming’.

Huang Rong berkata, “Kalau medali ini miliknya, pangkat pejabat pemerintah ini tidak rendah.”

Guo Jing menjawab, “Seorang pejabat tinggi meninggal di sini… ini aneh.”

Huang Rong memeriksa kerangka di lantai lagi, dan ia melihat ada sesuatu yang mencuat dari area tulang rusuk. Ia menggunakan obor untuk mendorongnya. Benda itu jatuh, menimbulkan kepulan debu, memperlihatkan lempengan yang terbuat dari besi. Ia menjerit tertahan karena kaget, dan mengambil benda itu.

Guo Jing juga melihat benda di tangannya, “Ah!” serunya.

“Kau mengenali ini?” tanya Huang Rong.

“Tentu saja,” jawab Guo Jing. “Ini adalah simbol Ba Gua besi milik Lu Zhuangzhu dari Rumah Awan.”

“Ini Ba Gua besi sih biasa saja, tapi benda ini belum tentu milik Lu Shige,” kata Huang Rong.

“Itu benar!” kata Guo Jing. “Baju dan daging kedua orang ini sudah lama membusuk. Mereka sudah berada di sini setidaknya sepuluh tahun.”

Huang Rong terdiam untuk waktu yang lama. Tiba-tiba sebuah pikiran muncul di benaknya. Ia mengeluarkan bilah yang tertancap di tutup peti besi, mendekatkannya ke api dan ia melihat karakter ‘Qu’ terukir di bilahnya. Ia tidak bisa menahan seruan kagetnya, “Yang tergeletak di lantai adalah kakak seperguruanku, Qu Shige.”

“Ah!” Guo Jing berseru kaget.

“Lu Shige bilang, Qu Shige masih hidup. Siapa sangka dia sudah mati di tempat ini… Jing Gege, lihat tulang kakinya,” kata Huang Rong.

Guo Jing membungkuk dan melihat, “Kedua kakinya patah. Ah, ayahmu yang menghancurkan mereka,” katanya.

Huang Rong menganggukkan kepalanya. “Dia memang Qu Lingfeng. Ayahku pernah bilang bahwa di antara murid-muridnya, kungfu Qu Shige yang paling kuat. Dia juga kesayangan ayahku…” Tiba-tiba ia berlari keluar kamar. Guo Jing mengikuti.

Huang Rong dengan cepat pergi ke Sha Gu dan bertanya, “Margamu Qu, bukan?” Sha Gu terkikik tapi tidak menjawab.

Guo Jing dengan lembut bertanya, “Nona, siapa margamu?”

“Marga… marga!” kata Sha Gu cekikikan.

Keduanya ingin bertanya lebih lanjut, tetapi Zhou Botong berseru, “Aku kelaparan! Aku kelaparan!”

“Baiklah,” kata Huang Rong, “Kita harus makan dulu.” Ia melepaskan ikatan Sha Gu dan mengundangnya untuk makan bersama mereka. Sha Gu tidak malu tentang hal itu, ia tersenyum, mengulurkan tangannya untuk mengambil mangkuk, lalu makan.

Huang Rong memberitahu Hong Qigong semua yang mereka temukan di ruang rahasia. Hong Qigong juga menganggapnya aneh. “Sepertinya seorang petugas pemerintah bernama Shi membunuh Qu Lingfeng.” kata Hong Qigong. “tapi ternyata sebelum tewas Qu Lingfeng sempat melemparkan pedang dan membunuhnya.”

“Kemungkinan besar begitu,” kata Huang Rong setuju. Ia mengambil bilah dan besi Ba Gua, dan menunjukkannya kepada Sha Gu. “Milik siapa ini?” tanyanya.

Wajah Sha Gu tiba-tiba berubah. Ia menyandarkan kepalanya ke samping untuk berpikir, seolah-olah ia mengingat sesuatu, tetapi setelah beberapa saat ekspresinya menjadi kosong. Ia menggelengkan kepalanya dan mengambil pedangnya, tidak mau melepaskannya.

“Kelihatannya ia pernah melihat pisau ini sebelumnya,” kata Huang Rong. “Tapi sudah lama sekali, jadi ia tidak bisa mengingatnya lagi.”

Setelah mereka selesai makan, ia merawat Hong Qigong dan membiarkannya tidur. Kemudian ia dan Guo Jing kembali ke kamar untuk melihat lebih jauh. Mereka mengira kunci misteri ini pasti tersembunyi di dalam peti besi, jadi mereka menyingkirkan kerangka yang tergeletak di atasnya, dan membuka tutupnya. Ternyata tutupnya tidak terkunci dan bisa dibuka dengan mudah. Dalam cahaya obor, mata mereka terpesona oleh peti penuh mutiara berkilauan, batu giok, dan segala macam harta karun, dan juga barang-barang antik.

Guo Jing hanya merasa terkejut, tapi Huang Rong tahu setiap detilnya adalah harta yang sangat langka dan berharga. Koleksi ayahnya tidak seluas isi peti ini. Ia meraih segenggam mutiara dan membiarkannya menggelinding di atas jari-jarinya. Butiran mutiara itu membuat suara dentingan yang bagus saat jatuh kembali ke peti dan mengenai mutiara dan batu giok lainnya. Ia menghela nafas, “Pasti ada sejarah di balik semua harta ini. Kalau ayah ada di sini, ia pasti bisa memberitahu kita asal-usul masing-masing benda ini.” Ia mengambil benda-benda itu satu per satu, dan menjelaskan nama-namanya kepada Guo Jing. Yang ini adalah gelang giok, yang ini adalah kotak kulit badak, yang ini adalah cangkir akik, yang ini adalah piring zamrud, dan seterusnya.

Guo Jing dibesarkan di padang rumput, dan akibatnya ia tidak hanya belum pernah melihat harta karun semacam ini, ia bahkan belum pernah mendengarnya. Ia berpikir, “Orang-orang menghabiskan begitu banyak usaha untuk mengumpulkan benda-benda ini. Sebetulnya mau dipakai untuk apa?”

Sementara berbicara, Huang Rong terus meraba-raba isi peti itu. Tangannya menyentuh sepotong papan keras dan ia tahu pasti ada lapisan lain di bawahnya. Ia memindahkan perhiasan itu ke samping dan melihat cincin yang menempel di papan, jadi ia memasukkan jari kelingkingnya ke dalam cincin dan mengangkat papan itu. Di bawahnya ada sekumpulan barang antik berwarna perunggu kehijauan. Ayahnya telah menunjukkan ilustrasi beberapa peralatan perunggu antik. Ia mengenali mereka sebagai Long Wen Ding, sebuah artikel dari Dinasti Shang4, sebuah piring dari Dinasti Zhou, artikel lain dari Dinasti Zhou, peralatan makan dari Dinasti Zhou, dan seterusnya. Pada akhirnya ia harus mengakui bahwa ia tidak tahu banyak tentang artikel-artikel itu. Jika mutiara dan batu giok dianggap harta berharga, maka barang antik perunggu ini tak ternilai harganya.

Semakin Huang Rong memandangi benda-benda itu, semakin ia kagum. Ia mengangkat papan lain di bawah barang antik dan menemukan gulungan lukisan. Ia meminta bantuan Guo Jing dan bersama-sama mereka membuka gulungan lukisan itu satu per satu. Ia terkejut! Lukisan pertama adalah Wu Daozi song zi tian wang tu5. Lukisan berikutnya adalah mu ma tu karya Han Gan6, dan yang lainnya adalah Lin Quan Du Zhui Ren Wu7, hasil karya kaisar terakhir Dinasti Tang Selatan, Li Yu. Secara keseluruhan ada lebih dari dua puluh gulungan dan masing-masing dari mereka berasal dari kuas seorang seniman terkenal. Beberapa gulungan adalah kaligrafi dan lukisan karya Huizong, sementara beberapa lainnya adalah karya seniman kontemporer. Masing-masing dari mereka memiliki kualitas yang paling indah dan tertinggi. Di antara mereka adalah contoh karakter percikan tinta dua gulungan yang unik dari seniman istana kekaisaran, Liang Kai8, dengan gambar yang sangat jelas. Beberapa di antaranya mengingatkannya kepada Zhou Botong.

Huang Rong hanya melihat sekitar setengah dari semuanya, tetapi tidak ingin melanjutkan, jadi ia mengembalikan semuanya ke peti, menutup tutupnya dan duduk di atasnya, memeluk lututnya. Ia berpikir, “Ayah telah mengumpulkan semua jenis harta selama hidupnya, tetapi nilai koleksinya mungkin hanya sepersepuluh dari isi peti ini. Bagaimana Qu Shige mampu mendapatkan begitu banyak harta langka dan tak ternilai harganya?” Tidak peduli seberapa keras ia memeras otaknya, ia tidak bisa memikirkan penjelasan yang bagus dan masuk akal.

Ketika Huang Rong sedang berpikir keras, Guo Jing tidak pernah berani mengganggu pikirannya. Ia tetap diam sampai mendengar Zhou Botong memanggil dari luar, “Hei! Cepat keluar dari sana! Kita perlu mengunjungi Kaisar Tua untuk Bebek Mandarin Wu Bao!”

“Malam ini?” tanya Guo Jing.

Hong Qigong menjawab, “Lebih cepat lebih baik. Rasanya aku tidak tahan lebih lama lagi.”

“Shifu, jangan dengarkan Lao Wantong omong kosong,” kata Huang Rong. “Kita tidak bisa pergi malam ini. Kita akan memasuki gerbang kota besok dini hari. Kalau Lao Wantong punya ide-ide aneh lagi, kami tidak akan mengajak dia ke istana.”

“Huh!” dengus Zhou Botong. “Sekali lagi aku yang harus disalahkan.” Dia merajuk dan menolak untuk berbicara.

Malam itu keempatnya tidur di ranjang jerami yang diletakkan di lantai. Keesokan paginya Huang Rong dan Guo Jing menyiapkan sarapan, dan mereka berempat ditambah Sha Gu makan bersama. Huang Rong memutar mangkuk besi, menutup dinding lemari dan mengembalikan semua mangkuk yang terkelupas dan peralatan yang rusak ke dalam lemari. Sha Gu acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, sementara ia memegang gagang pedang di tangannya dan memainkannya.

Huang Rong mengambil sebongkah kecil yuan bao9 dari sakunya dan memberikannya padanya. Sha Gu mengambilnya dan dengan santai melemparkannya ke atas meja. “Kalau lapar, kau bisa menggunakannya untuk membeli nasi dan daging,” kata Huang Rong. Sulit dikatakan apakah Sha Gu mengerti, karena ia hanya terkikik bodoh.

Huang Rong merasakan kesedihan menyelimuti hatinya, gadis ini pasti punya hubungan dengan Qu Lingfeng. Jika bukan anggota keluarganya, maka seharusnya adalah muridnya. Enam atau tujuh kungfunya dari Bi Bo Zhang Fa pasti berasal dari Qu Lingfeng, meskipun ia hanya mempelajarinya secara kasar. Apa yang tidak diketahui Huang Rong adalah, entah ia telah terbelakang sejak lahir, ataukah memiliki pengalaman mengerikan, yang mengejutkan dan merusak pikirannya. Ia ingin mencari lebih banyak informasi tentang dia di desa, tetapi Zhou Botong terus mendesak mereka untuk pergi. Oleh karena itu mereka berempat, dengan gerobak mereka, langsung berangkat dan memasuki kota Lin’an.

Saat ini Lin’an adalah kota paling ramai di dunia. Ketika pemerintahan Song pindah ke selatan, diresmikan sebagai ibukota baru. Segala jenis orang berkumpul di kota itu dan terus berkembang.

Mereka berempat memasuki kota melalui gerbang timur dan langsung menuju pintu gerbang Istana Kekaisaran. Hong Qigong tetap berada di dalam gerobak, sementara Zhou Botong dan yang lainnya melihat ke sekeliling. Mereka melihat paku emas di pintu merah tua, balok yang dicat, pagar berukir, dan ubin tembaga yang menutupi atap. Ada patung naga terbang dan burung phoenix, semuanya luar biasa dalam kemegahannya yang menyilaukan mata mereka.

“Menarik!” seru Zhou Botong dengan keras sambil melangkah masuk.

Penjaga istana yang ditempatkan di depan gerbang telah memperhatikan ketiga orang ini, satu tua dan dua muda, dengan gerobak keledai, membuat keributan di depan gerbang Istana Kekaisaran. Empat penjaga dengan kapak di tangan mereka melangkah maju dengan wajah mengancam.

Zhou Botong sangat suka membuat kegaduhan. Menyaksikan para penjaga dengan baju besi khas mereka, tinggi dan kekar, ia ingin sekali membuat pertarungan yang menarik dengan mereka.

“Cepat pergi!” panggil Huang Rong.

Zhou Botong menatapnya. “Apa yang kau takutkan? Apa menurutmu bayi-bayi ini bisa makan Lao Wantong?” tanyanya.

Huang Rong buru-buru berkata, “Jing Gege, ayo pergi dan bermain-main di tempat lain. Karena Lao Wantong tidak mau menurut, kita abaikan saja dia.” Ia menjentikkan cambuknya, dan gerobak melaju ke barat. Guo Jing mengikuti di belakang. Zhou Botong takut tertinggal saat mereka pergi ke tempat yang lebih menarik, jadi ia mengabaikan para penjaga dan berlari mengejar. Para penjaga mengira mereka adalah penduduk desa biasa yang melihat-lihat kota, jadi mereka tertawa keras dan tidak mengejar mereka. Huang Rong mengendarai gerobak ke tempat sepi. Melihat tidak ada yang mengejar mereka, mereka berhenti.

“Mengapa kita tidak langsung masuk ke istana? Masa kantong arak dan karung beras itu10 bisa menghentikan kita?” tanya Zhou Botong.

“Tentu saja menerobos masuk tidak sulit, tapi aku mau tanya, kita ke sini untuk berkelahi atau pergi ke dapur dan mencuri makanan?” tanya Huang Rong. “Kalau kau masuk, istana akan kacau balau. Kau pikir koki diam-diam akan membuat Bebek Mandarin Wu Bao untuk Shifu?”

“Melawan dan menangkap orang adalah urusan penjaga, dan tidak ada hubungannya dengan koki,” kata Zhou Botong beralasan. Sebenarnya, apa yang dikatakannya memang masuk akal, dan Huang Rong sesaat bingung, tapi ia tidak mau menyerah, jadi ia berargumen, “Koki kekaisaran bisa menyiapkan makanan dan juga menangkap orang.”

Zhou Botong menatapnya tetapi tidak tahu bagaimana harus menanggapi. Beberapa saat kemudian ia mengakui, “Baik, anggap saja aku salah.”

“Apa maksudmu ‘anggap saja’? Kau memang salah sejak awal,” kata Huang Rong.

“Baik, baik,” kata Zhou Botong. “Tidak usah ‘menganggap’ apa pun… jangan menganggap apa pun.” Ia memalingkan kepalanya ke arah Guo Jing dan berkata, “Saudaraku, semua wanita di dunia ini sangat jahat. Itu sebabnya Lao Wantong berkata, jangan mengambil istri!”

Huang Rong tertawa, “Jing Gege orang yang baik, jadi wanita lain juga tidak akan jahat kepadanya.”

“Maksudmu aku bukan orang baik?” tanya Zhou Botong.

Huang Rong tersenyum, “Terus apa? Kau tidak ingin mengambil istri, dan orang lain tidak menyukai kelakuanmu. Kau hanya membuat masalah dan gangguan. Coba bilang, kenapa kau tidak ingin mengambil seorang istri?”

Zhou Botong menyandarkan kepalanya ke satu sisi untuk berpikir, tidak mampu menjawab. Wajahnya memerah, lalu pucat dan sepertinya pikirannya penuh dengan kecemasan. Huang Rong jarang melihatnya seserius ini, ia agak heran.

“Ayo cari penginapan. Kita akan kembali ke istana malam ini,” kata Guo Jing.

“Itu ide yang bagus!” kata Huang Rong setuju. “Shifu, segera setelah kita menemukan penginapan, aku akan menyiapkan beberapa hidangan sederhana sebagai makanan pembuka, kita akan mengadakan pesta nanti malam.” Hong Qigong senang dan bersorak berulang kali.

Mereka tinggal di penginapan Jin Hua, di jalan di sebelah barat Istana Kekaisaran. Sesuai dengan kata-katanya, Huang Rong menyiapkan tiga hidangan dan sup untuk Hong Qigong. Aroma yang menyebar di sekitar penginapan menyebabkan para tamu bertanya kepada pemilik penginapan siapa koki terkenal yang memasak masakan lezat ini.

Zhou Botong masih marah dengan kata-kata Huang Rong yang mengisyaratkan bahwa ia tidak dapat menemukan seorang istri, jadi ia merajuk dan menolak untuk makan. Mereka bertiga tahu kelakuannya yang kekanak-kanakan. Mereka hanya tertawa dan tidak memperhatikannya.

Setelah makan, Hong Qigong berbaring untuk beristirahat. Guo Jing meminta Zhou Botong untuk keluar dan bermain, tetapi ia masih marah dan mengabaikan Guo Jing. Huang Rong terkekeh dan berkata, “Kalau begitu sebaiknya kau menjaga guruku dengan baik, setelah aku kembali, aku akan membeli beberapa barang menyenangkan untuk kau mainkan.”

“Kau tidak berbohong?” tanya Zhou Botong dengan gembira.

Huang Rong tersenyum, “‘Kata-kata telah keluar dari mulut, empat ekor kuda sulit mengejarnya’11.”

Selama musim semi ketika Huang Rong meninggalkan rumah untuk pergi ke utara, ia mengunjungi Lin’an selama sehari, tetapi kota itu terlalu dekat dengan Pulau Bunga Persik, dan ia takut ayahnya akan menemukannya. Ia tidak berani tinggal terlalu lama, maka kunjungannya singkat. Kali ini hari-hari terasa panjang dan tidak ada yang membebani pikirannya. Bergandengan tangan dengan Guo Jing, ia pergi ke Danau Barat.

Ia melihat wajah Guo Jing tampak cemas, dan tahu ia kuatir tentang luka guru mereka. “Shifu bilang ada satu orang di dunia ini yang mampu menyembuhkan lukanya,” kata Huang Rong. “Tapi dia tidak mengijinkanku bertanya lebih jauh. Dari caranya bicara, pasti Kaisar Duan itu, tapi kita tidak tahu di mana dia. Kita harus menemukan cara untuk memintanya menyembuhkan Shifu.”

“Itu bagus sekali,” kata Guo Jing dengan gembira. “Rong’er, menurutmu kita bisa memintanya?”

Huang Rong menjawab, “Aku masih memikirkan bagaimana caranya. Selama kita makan hari ini aku mencoba memancing beberapa informasi dari Shifu. Dia baru saja mau mengatakan sesuatu, tapi lalu menyadarinya dan segera berhenti bicara. Aku toh harus mengorek informasi ini juga pada akhirnya.” Guo Jing tahu persis kemampuannya, jadi ia sangat lega.

Mereka masih berbicara ketika tiba di Jembatan Rusak, di tepi danau12. Tempat itu adalah salah satu pemandangan Danau Barat yang terkenal, tetapi saat itu musim panas, karenanya yang mereka lihat hanyalah teratai di bawah jembatan. Huang Rong melihat toko arak kecil yang rapi di tepi danau. “Ayo kita minum secawan arak sambil menikmati teratai,” katanya.

“Bagus sekali,” Guo Jing setuju. Keduanya masuk dan duduk. Penjaga toko mengirimkan arak dan hidangan daging yang rasanya sangat enak. Mereka minum arak sambil menikmati pemandangan dan dalam suasana hati yang menyenangkan.

Huang Rong melihat sekat di dekat jendela timur, ditutupi kain berwarna hijau giok. Jelas sang pemilik toko menganggap sekat itu sebagai benda yang sangat berharga. Keingintahuannya terusik, jadi ia mendekat untuk melihat lebih jelas. Ternyata di bawah kain itu ada sebuah puisi yang tertulis di sekat. Judulnya adalah Feng Ru Song13, yang berbunyi,

Waktu musim semi selalu dihabiskan dengan menghamburkan uang, 
minum setiap hari di tepi danau.
Mengendarai kuda berkulit rusa di sepanjang jalan menuju Danau Barat, 
dengan bangga melintas di depan sebuah kedai. 
Menyanyi dan menari di tengah harumnya aprikot merah, 
berayun di bawah bayang-bayang willow hijau. 
Angin hangat memeluk sepuluh 'li' wanita cantik dan langit, 
serpihan bunga-bunga menghiasi pelipis mereka. 
Perahu indah yang membawa dupa lalu-lalang seperti asap menutupi air. 
Kembalilah esok membawa sisa-sisa kemabukan, 
mencari tatahan emas mewah di jalan setapak.

Huang Rong berkata, “Puisi ini bagus.”

Guo Jing memintanya menjelaskan arti puisi itu. Semakin mendengarkan, ia semakin kesal dan akhirnya berkata, “Ini adalah ibukota Dinasti Song, dan para pejabat pemerintah ini menghabiskan hari-hari mereka dengan minum arak dan menikmati bunga. Apa mereka tidak memperhatikan urusan negara?”

Huang Rong menjawab, “Tepat sekali, orang-orang ini bicara tanpa malu-malu!”

Tiba-tiba seseorang di belakang mereka berkata, “Huh! Kalian berdua tahu apa, omong kosong seperti itu?”

Mereka berbalik dan melihat seorang pria berpakaian sarjana, kira-kira berusia empat puluh tahun, mencibir ke arah mereka. Guo Jing menyapa cendekiawan itu dengan menangkupkan tangannya dan berkata, “Wanbei tidak mengerti, dan ingin minta nasihat dari Xiansheng.”

Orang itu menjawab, “Ini adalah karya terbaik Yu Guobao di tahun Chun Xi. Tahun itu pensiunan Kaisar Gaozong datang untuk minum arak, melihat pekerjaan itu dan memujinya. Pada hari yang sama kaisar menganugerahkan jabatan di pemerintahan kepada Yu Guobao. Ini adalah impian seumur hidup seorang cendekiawan, dan kalian berdua dengan sembarangan mengejeknya!”

“Jadi karena Kaisar melihat sekat ini, maka pemilik penginapan menutupinya dengan kain muslin berwarna hijau giok?” tanya Huang Rong.

Orang itu tertawa dingin dan berkata, “Masa begitu? Lihat saja kalimat ‘Kembalilah besok membawa sisa-sisa mabuk’ di situ. Apa kalian memperhatikan bahwa kalimat yang satu ini mengandung dua karakter yang diralat?”

Huang Rong dan Guo Jing memeriksanya lebih dekat dan menemukan karakter ‘fu’14 sebelumnya adalah ‘xie’15, dan karakter ‘zui’16 sebenarnya adalah ‘jiu’17.

Pria itu kemudian berkata, “Yu Guobao awalnya bermaksud untuk menulis ‘Kembalilah besok dengan membawa sisa-sisa arak’.” Pensiunan Kaisar tersenyum dan berkata, ‘Meskipun bait ini bagus, tapi berpikiran agak terlalu sederhana.’ Oleh karena itu dia mengambil kuas untuk mengganti kedua karakter tersebut. Itu benar-benar surga mengirimkan kebijaksanaan dan pandangan jauh ke depan, seperti mengubah besi menjadi emas.” Ia mengayun-ayunkan kepalanya dan mendesah seolah-olah ia sangat menikmatinya.

Guo Jing mendengarkan dan menjadi marah. Dia berteriak keras, “Kaisar Gaozong ini menempatkan Qin Hui di posisi penting untuk menyakiti dan membunuh Jenderal Yue Fei!” Kakinya terbang dan menendang sekat itu, menghancurkannya. Ia mengulurkan tangan ke belakang untuk menangkap cendekiawan itu dan menariknya ke depan. Dengan suara memercik, arak tumpah ke mana-mana ketika orang itu, dengan kepala di atas dan kaki si bawah, tenggelam ke dalam tong arak.

Huang Rong dengan keras bertepuk tangan dan tertawa, “Aku juga ingin mengoreksi kedua kalimat itu. Bunyinya adalah, ‘Hari ini berdiri tegak dan menumpahkan arak, orang itu tenggelam ke dalam tong.’”

Saat kepala cendekiawan muncul dari dalam tong, dengan arak menetes dari situ, ia berkata, “Nada miring dari ‘mabuk’ rasanya kurang harmonis.”

Huang Rong menjawab, “Angin Meniup Pohon Pinus yang tidak harmonis. Puisiku ‘Orang Masuk Tong’ jauh lebih baik!” Ia mengulurkan tangannya, dan dengan kuat menekan kepala orang itu ke dalam tong arak, dan kemudian membalik meja, menimbulkan ledakan. Pelanggan dan penjaga toko arak bergegas keluar. Guo Jing dan Huang Rong berdiri dan memukul serta menghancurkan semua tong arak, pot, dan kuali. Akhirnya, dengan menggunakan Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, Guo Jing mengerahkan seluruh tenaganya untuk melabrak pilar pendukung utama penginapan, menyebabkan atapnya runtuh. Dalam sekejap, sebuah restoran besar berubah menjadi tumpukan kayu yang hampir tidak menyerupai apa pun.

Guo Jing dan Huang Rong tertawa keras. Berpegangan tangan satu sama lain, mereka berjalan ke utara. Tidak ada yang tahu dari mana kedua anak muda gila ini berasal, tetapi tidak ada yang berani mengejar mereka.

Guo Jing tertawa, “Itu benar-benar sampah yang bagus, semua angin buruk di dadaku hilang sepenuhnya.”

Huang Rong menjawab dengan gembira, “Setiap kali kita melihat sesuatu yang tidak enak dilihat, kita akan menghancurkannya.”

Guo Jing menjawab, “Bagus!”

Sejak meninggalkan Pulau Bunga Persik, keduanya telah melalui banyak situasi yang tidak menguntungkan. Meskipun mereka dipersatukan kembali, guru mereka telah menderita luka yang serius dan sulit disembuhkan, dan ini membuat hati mereka berat karena kuatir. Pada saat ini mereka secara tak terduga berkesempatan untuk membubarkan sebuah restoran, dan itu membantu melampiaskan rasa frustrasi mereka. Pasangan itu dengan santai berjalan di sepanjang tepi danau dan melihat puisi di mana-mana… di bebatuan, di pohon, di paviliun, dan di dinding. Itu ditulis baik oleh para pelancong yang mengucapkan selamat tinggal, atau para pemuda yang mengungkapkan cinta mereka.

Guo Jing tidak mengerti puisi-puisi itu, tetapi ketika melihat kata-kata ‘angin’, ‘bunga’, ‘salju’ dan ‘bulan’ ia menghela nafas dan berkata, “Bahkan jika kita punya seribu pasang kepalan, kita juga tidak bisa menghancurkan semuanya. Rong’er, kau belajar sastra dan seni… untuk apa semua ini?”

Huang Rong tersenyum. “Ada yang bagus di antara puisi-puisi ini,” katanya.

Guo Jing menggelengkan kepalanya. “Aku masih menganggap tinju dan tendangan lebih berguna,” katanya.

Sambil berjalan dan berbicara, mereka sampai di Fei Lai Feng. Ada sebuah pondok yang dibangun di puncak itu. Di atas gerbang terdapat tiga karakter ‘Cui Wei Ting’18 dalam tulisan tangan Han Shizong. Guo Jing mengetahui reputasi Han Shizong. Setelah melihat tulisan tangan jenderal yang melawan pasukan Jin, ia sangat senang. Ia dengan cepat berjalan ke pondok itu. Ada sebuah monumen batu di dalamnya, dengan sebuah puisi tertulis di atasnya berbunyi:

Dengan berlalunya tahun, 
debu menempel di baju perang, 
mencari arak hijau giok yang harum, 
tidak cukup hanya melihat gunung dan sungai yang indah, 
cahaya bulan yang cerah menerangi kembalinya tapal kuda.

Ini sepertinya juga tulisan tangan Han Shizhong.

“Ini puisi yang bagus,” puji Guo Jing. Sebenarnya, ia tidak mengerti soal puisi bagus atau buruk, tapi ia percaya puisi ini adalah puisi Han Shizhong. Itu juga berisi kata-kata seperti ‘baju perang’19 dan ‘tapal kuda’20, jadi ia merasa puisi itu pasti bagus.

Huang Rong berkata, “Itu karya Jendral Yue Fei.”

Guo Jing terkejut dan bertanya, “Kau tahu dari mana?”

Huang Rong menjawab, “Aku mendengarkan ayah bercerita. Di musim dingin tahun kesebelas Shaoxing, Jendral Yue Fei meninggal di tangan Qin Hui. Pada musim semi tahun berikutnya, untuk mengenangnya, Han Shizhong membangun pondok ini dan mengukir puisi ini sebagai peringatan. Sayangnya Qin Hui sangat berpengaruh selama periode itu, jadi ia tidak bisa memperingati Jendral Yue secara terbuka.”

Mengenang Jendral dinasti sebelumnya, Guo Jing mengulurkan tangannya dan menelusuri prasasti di batu itu. Sementara ia melamun, Huang Rong tiba-tiba menarik lengan bajunya dan melompat ke semak-semak di belakang pondok, dan mendorong kepalanya ke bawah. Saat mereka berjongkok, mereka mendengar langkah kaki orang memasuki pondok. Sesaat kemudian mereka mendengar seseorang berkata, “Han Shizhong adalah seorang pahlawan. Istrinya, Liang Hongyu, meskipun mantan pelacur, membantu suaminya meraih kemenangan dengan menabuh genderang selama pertempuran. Dia bisa dianggap sebagai pahlawan wanita.”

Guo Jing merasa kenal suara ini, tapi tidak bisa mengingat siapa orangnya. Sekali lagi orang yang lain berkata, “Yue Fei dan Han Shizhong adalah pahlawan, tetapi kaisar menginginkan mereka mati dan melucuti kekuatan militer mereka. Baik Han dan Yue harus mengikuti perintah. Jelas kaisar memegang kekuatan yang bahkan tidak bisa ditentang oleh pahlawan seperti mereka.”

Guo Jing mendengarkan aksennya dan mengenali bahwa orang ini adalah Yang Kang. Guo Jing terkejut dan bertanya-tanya, “Apa yang dilakukan Yang Kang di sini?” Masih terkejut, suara seperti simbal yang pecah membuatnya semakin bingung. Itu adalah Racun Barat Ouyang Feng. Ia mendengar Ouyang Feng berkata, “Itu benar. Dengan penguasa berkepala kacau yang memerintah, sama seperti dinasti sebelumnya, tidak peduli seberapa hebat seorang pahlawan… dia tidak akan berguna.”

Orang pertama kemudian berkata, “Tetapi kalau seorang penguasa yang bijak duduk di atas takhta, seorang pahlawan besar seperti Ouyang Xiansheng bisa sangat membantunya untuk mencapai tujuan.”

Mendengarkan keduanya berbicara, Guo Jing tiba-tiba menyadari bahwa orang yang lainnya adalah musuh yang telah membunuh ayahnya, Pangeran Keenam Jin Agung, Wanyan Honglie. Meskipun ia pernah melihat wajah Wanyan Honglie sebelumnya, ia jarang mendengar suaranya, dan karena itu tidak dapat mengenalinya untuk sesaat.

Ketiganya berbicara dan tertawa, lalu mereka pergi. Guo Jing menunggu sampai mereka pergi cukup jauh, dan kemudian bertanya tak jelas kepada siapa, “Apa yang mereka lakukan di Lin’an? Kenapa Kang Di bersama mereka?”

“Huh,” Huang Rong mendengus, “Aku sudah tahu sebelumnya, saudaramu ini bukan orang baik. Kau masih bilang dia keturunan pahlawan. Kau tertipu. Sekarang kau mengerti niatnya. Kalau dia benar-benar orang baik, buat apa dia menemani kedua bajingan itu?”

Guo Jing sangat bingung, “Aku tidak mengerti,” katanya. Setelah itu Huang Rong memberitahukan semua yang didengarnya di Aula Salju Wangi di Istana Zhao. Ia berkata, “Wanyan Honglie mengumpulkan Peng Lianhu dan rekan-rekan lainnya untuk membantu rencananya mencuri buku panduan perang warisan Jendral Yue. Sekarang mereka tiba-tiba ada di sini. Mungkin warisan itu ada di Lin’an. Kalau mereka berhasil, rakyat jelata Song kita akan mengalami bencana besar.”

Guo Jing menggigil ketakutan, “Kita tidak bisa membiarkan mereka berhasil,” katanya.

Huang Rong berkata, “Masalahnya adalah, Racun Barat ada bersama mereka.”

“Kau takut?” tanya Guo Jing.

“Kau tidak?” Huang Rong balik bertanya.

Guo Jing menjawab, “Tentu saja aku takut pada Racun Barat, tapi ini bukan masalah kecil. Kita… kalaupun takut, kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja.”

Huang Rong tersenyum, “Kalau kau harus mengurus masalah ini, maka tentu saja aku akan mengikutimu.”

“Baiklah,” kata Guo Jing, “Ayo kita kejar mereka.”

Meninggalkan pondok itu, mereka tidak bisa melihat jejak kelompok Wanyan Honglie, dan terpaksa memeriksa secara acak di sekitar kota. Lin’an adalah kota besar, jadi bagaimana mereka bisa menemukan apa yang mereka cari dalam waktu singkat? Setelah berjalan lama, langit menjadi gelap, keduanya tiba di depan Taman Ilmu Bela Diri21 di Zhong Wazi. Huang Rong melihat sebuah toko dengan banyak topeng, dengan fitur yang digambar dengan jelas tergantung di pintu masuknya. Ia geli dan ingat janjinya untuk membelikan sesuatu yang menyenangkan untuk Zhou Botong. Dia menghabiskan lima koin perak dan membeli topeng ‘raja hantu’22, ‘hakim neraka’23, ‘dewa dapur’24, ‘dewa bumi’25, ‘prajurit surga’26, juga hantu dan makhluk gaib lainnya, lebih dari selusin topeng dibelinya.

Saat penjaga toko sedang membungkus topeng dengan kertas, tercium aroma manis makanan dan anggur dari restoran sebelah. Keduanya sudah lama berjalan dan kelaparan. “Restoran apa itu?” tanya Huang Rong.

Penjaga toko tersenyum dan berkata, “Jadi ternyata kalian berdua baru di ibukota. Tidak heran kalian tidak tahu. San Yuan Lou27 sangat terkenal di Lin’an kami. Arak, makanan, dan perkakas mereka adalah nomor satu di kolong langit. Kalian berdua tidak bisa pergi tanpa mencobanya.”

Hati Huang Rong tergerak oleh apa yang dikatakannya. Ia mengambil topeng dan kemudian menarik Guo Jing ke depan Kedai San Yuan. Mereka bisa melihat bangunan itu dihias dengan cat warna-warni dan memiliki deretan pagar berwarna merah dan hijau. Di bawah atap lantai dua tergantung lampion bermotif bunga. Interiornya dilapisi tatahan kayu yang mewah, dan paviliunnya tampak elegan dan tidak kuno. Itu benar-benar kedai yang sangat indah.

Saat keduanya berjalan masuk, mereka disambut oleh seorang pelayan dengan wajah tersenyum dan dibawa melalui koridor ke sebuah ruangan yang sudah diatur dengan mangkuk dan sumpit. Huang Rong segera memesan, dan pelayan itu pergi untuk menyiapkan makanan.

Di bawah cahaya lilin, Guo Jing melihat lebih dari selusin wanita penghibur dengan riasan tebal duduk berjajar di beranda terdekat. Ia bertanya-tanya siapa mereka dan hendak bertanya ketika dari kamar sebelah tiba-tiba terdengar suara Wanyan Honglie berkata, “Tidak apa-apa! Kirim seseorang untuk bernyanyi dan bergabunglah dengan kami minum arak.”

Guo Jing dan Huang Rong saling memandang dan berpikir, “Seperti kata pepatah, ‘memakai sepatu besi untuk mencari-cari, menemukan hasilnya tanpa usaha.’”

Terdengar suara panggilan, dan seorang wanita dengan anggun berdiri, lalu berjalan menuju kamar sebelah dengan sepasang papan gading di tangannya. Sesaat kemudian wanita itu mulai bernyanyi. Huang Rong memiringkan kepalanya untuk mendengarkan lagunya.


Tenggara tampak menang, 
Jianghu bertemu, Sungai Qiantang selalu berkembang sejak zaman kuno. 
Jembatan itu tampak seperti lukisan pohon willow berasap. 
Angin meniup tanda toko arak dan tirai hijau giok, 
di tengah-tengah seratus ribu orang. 
Pepohonan mendung berkelok-kelok di sekitar tanggul berpasir, 
ombak yang marah menggulung seperti salju yang membekukan, 
langit dan parit di sekitar kota tidak terbatas. 
Barisan mutiara berbaris di pasar, 
rumah-rumah saling bersaing memamerkan kemewahan. 
Danau air jernih dikelilingi oleh tiga kuncup cassia musim gugur dan sepuluh 'li teratai. 
Di sepanjang gang yang jernih, 
lagu kastanye air melayang sepanjang malam, 
memikat pria tua ke boneka seperti teratai. 
Seribu pengendara berkumpul di sekitar gading untuk wer, 
dimabukkan oleh suara seruling dan genderang, 
menikmati asap awan kemerahan. 
Suatu hari khusus untuk melukis pemandangan indah, 
saat burung phoenix kembali ke kolam pujian.

Guo Jing tidak mengerti isi syair dari lagunya, tetapi ia menikmati ketukan lembut dari papan gadingnya, dan suara seruling yang merdu.

Saat lagu selesai, Wanyan Honglie dan Yang Kang menyatakan pujian mereka, “Kau menyanyi dengan sangat baik!”

Wanita itu berulang kali mengungkapkan rasa terima kasihnya, dan dengan gembira pergi bersama para musisi sambil mendoakan segala kebaikan bagi Wanyan Honglie.

Wanyan Honglie berkata, “Kang’er, kau tahu bahwa puisi Liu Yong28 ini, ‘Memandang Gelombang Laut’29, memiliki hubungan dekat dengan Kekaisaran Jin kita?”

“Hai’er tidak tahu,” jawab Yang Kang. “Die tolong jelaskan?”

Mendengar Yang Kang memanggil Wanyan Honglie ‘Die’ dengan nada penuh kasih sayang, Guo Jing dan Huang Rong saling memandang. Guo Jing marah dan patah hati. Ia berharap bisa pergi, menangkapnya, dan meminta penjelasan.

Ia mendengar Wanyan Honglie menjawab, “Selama tahun-tahun kemakmuran Jin Agung kita, Kaisar Liang membaca puisi Liu Yong ini, yang memuji keindahan pemandangan Danau Barat. Setelah itu dia mengirim seorang utusan ke selatan dan pada saat yang sama mengirim seorang pelukis terkenal untuk melukis pemandangan di sekitar Kota Lin’an. Pelukis itu menyisipkan gambar Kaisar Jin di lukisan itu, duduk di atas kuda di puncak Wu Shan. Kaisar Jin menulis puisi ini di lukisan itu, ‘Sepuluh ribu li mengendarai kereta, bagaimana mungkin ada perbatasan lain ke Jiangnan? Mengirim jutaan tentara ke Danau Barat, di atas punggung kuda untuk berdiri di puncak pertama Wu Shan!’”

“Sungguh semangat yang agung dan heroik!” puji Yang Kang.

Guo Jing sangat marah mendengarnya, sehingga ia mengepalkan tinjunya begitu keras, buku-buku jarinya mengeluarkan suara gemeretak.

Wanyan Honglie menghela napas. “Harapan Kaisar Liang untuk mengirim tentara ke selatan, dan berdiri di atas Wu Shan dengan menunggang kuda tidak menjadi kenyataan, tetapi semangat kepahlawanannya untuk menyeberangi sungai kami warisi, kami adalah keturunannya. Suatu kali dia menuliskan puisi ini di atas kipas lipat, ‘Dengan kipas besar di tangan, membawa angin sejuk ke seluruh dunia.’ Itulah ambisi yang dia miliki!”

Yang Kang mengulangi puisi itu. “Dengan kipas besar di tangan, membawa angin sejuk ke seluruh dunia.” Ia terdengar seperti benar-benar terkesan oleh puisi itu.

Ouyang Feng tertawa dan berkata, “Suatu hari nanti impian Pangeran untuk memiliki otoritas besar, dan berdiri di atas Wu Shan akan menjadi kenyataan.”

Wanyan Honglie berkata pelan, “Aku berharap kata-kata Xiansheng akan menjadi kenyataan. Ada terlalu banyak telinga dan mata di sekitar sini… ayo kita minum arak saja.” Jadi ketiga orang itu segera mengubah topik pembicaraan mereka, dan malah berbicara tentang pemandangan, apa yang mereka lihat dan dengar tentang kondisi setempat dan kebiasaan sosial.

Huang Rong berbisik ke telinga Guo Jing, “Mereka bersenang-senang minum arak, dan aku tidak ingin mereka bersenang-senang.” Keduanya menyelinap pergi dari kamar mereka, dan pergi ke halaman belakang. Huang Rong mengeluarkan batunya dan menyalakan kayu bakar di gudang, menyebarkan api ke sekeliling. Dalam waktu singkat api muncul dan orang-orang berteriak kebingungan, “Api!” Kemudian mereka mendengar gong tembaga dipukul dengan keras.

“Cepat… kita harus maju, atau kita akan kehilangan jejak mereka lagi,” kata Huang Rong.

Guo Jing dipenuhi dengan kebencian. “Malam ini aku harus membunuh pengkhianat Wanyan Honglie itu!” katanya.

Huang Rong berkata, “Pertama-tama kita harus membawa Shifu ke istana untuk makan. Setelah itu kita akan memohon bantuan Lao Wantong untuk menghadapi Racun Barat. Baru setelah itu kita baru bisa berurusan dengan dua pengkhianat lainnya.”

“Itu benar,” kata Guo Jing.

Di tengah keributan itu, keduanya berjalan ke depan restoran tepat ketika Wanyan Honglie, Ouyang Feng, dan Yang Kang keluar dari gedung. Guo Jing dan Huang Rong mengikuti mereka dari kejauhan melalui jalan dan gang menuju pasar barat. Mereka memasuki Penginapan Guan Gai. Keduanya menunggu lama di luar penginapan tanpa melihat Wanyan Honglie atau yang lainnya keluar. Mereka menyimpulkan bahwa mereka harus tinggal di sini. “Ayo kembali ke penginapan kita, jemput Lao Wantong, dan kembali ke sini untuk menangani mereka,” kata Huang Rong. Mereka segera kembali ke Penginapan Jin Hua.

Mendekati penginapan mereka mendengar Zhou Botong berteriak-teriak. Guo Jing ketakutan karena mengira luka gurunya semakin parah. Ia bergegas maju dengan cemas hanya untuk melihat Zhou Botong sedang berjongkok di tanah, bertengkar dengan enam atau tujuh anak laki-laki. Ternyata ia berjudi dengan anak-anak ini di depan gerbang penginapan, dan ia kalah. Ia berdebat dengan anak-anak, dan anak-anak itu membantah, karena itu terdengar keributan.

Dengan kembalinya Huang Rong, ia takut gadis itu akan memarahinya, jadi ia berbalik dan kembali ke penginapan. Huang Rong tersenyum dan mengeluarkan topengnya. Zhou Botong senang dan menjerit-jerit lagi. Ia memakai topeng dan menjadi ‘Hakim Neraka’, dan kemudian menjadi setan kecil.

Huang Rong mengungkapkan keinginan mereka untuk membawanya kembali untuk membantu mereka melawan Racun Barat. Zhou Botong langsung setuju. “Jangan kuatir,” katanya, “kedua tanganku bisa menggunakan dua teknik tinju yang berbeda untuk melawannya.”

Huang Rong mengingat waktu di Pulau Bunga Persik, ketika Zhou Botong takut secara tidak sengaja menggunakan kungfu dari Jiu Yin Zhen Jing. Ia mengikat tangannya sendiri dan akibatnya dilukai oleh ayahnya. “Racun Barat sangat buruk,” katanya. “Kau tidak bisa dianggap tidak mematuhi pesan kakak seperguruanmu kalau kau melukainya dengan kungfu dari buku itu.”

Zhou Botong menatap tajam padanya. “Tidak, aku tidak bisa melakukannya” katanya. “Aku sudah berlatih keras, dan aku tidak perlu menggunakan teknik dari buku itu.”

Saat ini hati Hong Qigong sudah berada di dalam dapur Istana Kekaisaran. Ia telah menunggu sampai jam kedua malam ini dengan susah payah. Guo Jing menggendong Hong Qigong di punggungnya, dan mereka berempat berjalan di atas atap menuju Istana Kekaisaran. Istana itu lebih tinggi dari bangunan lain, dan atapnya berkilauan dengan tatahan emas. Sangat mudah untuk mengenalinya. Tak lama kemudian dengan sangat pelan, dan tanpa suara, mereka melompati tembok istana.

Keamanan di dalam istana sangat ketat, para penjaga berpatroli di mana-mana. Namun dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Zhou Botong, Guo Jing dan Huang Rong, para penjaga itu tidak mampu menangkap mereka. Hong Qigong tahu di mana dapur itu, dan dengan suara rendah ia menjelaskan jalan ke sana. Dalam beberapa saat mereka telah tiba di dapur kekaisaran, yang terletak di belakang Liu Bu Shan30. Dapur berada di sebelah timur Jia Ming Dian31, tempat makanan kekaisaran sedang disiapkan. Tempat-tempat ini bersebelahan dengan kamar tidur kekaisaran dan kantor pribadi kekaisaran. Semua dijaga ketat dengan gong di mana-mana. Pada saat ini kaisar sudah pergi tidur, dan staf dapur kekaisaran telah dibubarkan. Keempat orang itu tiba di dapur yang cukup terang, di mana beberapa kasim muda terlelap di dalamnya.

Guo Jing membantu Hong Qigong duduk di balok sementara Huang Rong dan Zhou Botong mencari makanan yang sudah dimasak di lemari dapur. Segera keempat orang itu mulai makan.

Zhou Botong menggelengkan kepalanya, “Pengemis Tua, makanan di sini tidak bisa dibandingkan dengan masakan Rong’er. Aku tidak mengerti mengapa kau begitu ingin datang ke sini.”

Hong Qigong menjawab, “Saya ingin makan Bebek Mandarin Cincang Wu Bao. Saya tidak tahu di mana koki itu tinggal… tapi besok kita akan menangkapnya. Kemudian kita akan memaksanya untuk menyiapkan sesuatu yang lebih sesuai dengan seleramu.”

“Aku tidak percaya masakannya lebih enak dari Rong’er,” kata Zhou Botong.

Huang Rong tersenyum. Ia tahu Zhou Botong ingin berterima kasih untuk hadiah topengnya, itulah sebabnya ia memujinya berulang kali.

“Aku ingin tinggal di sini dan menunggu koki,” kata Hong Qigong. “Karena kau bosan, kenapa kau dan Jing’er tidak keluar dari istana dan membiarkan Rong’er tinggal bersamaku. Besok malam kalian bisa kembali.”

Zhou Botong memakai topeng ‘Dewa Kota’ dan tertawa. “Tidak,” katanya, “Aku ingin menemanimu di sini. Besok aku mau pakai topeng ini untuk menakut-nakuti Kaisar Tua. Guo Xiongdi, Rong’er, perhatikan Racun Tua. Jangan biarkan dia mencuri warisan Yue Fei.”

“Apa yang dikatakan Lao Wantong sangat masuk akal,” kata Hong Qigong. “Cepat pergi dan hati-hati.” Keduanya berjanji.

“Jangan melawan Racun Tua malam ini. Tunggu aku besok,” kata Zhou Botong.

“Kita tidak bisa mengalahkannya, jadi tentu saja kita tidak akan bertarung,” kata Huang Rong. Ia bersama dengan Guo Jing, menyelinap pergi dari dapur dengan tujuan kembali ke Penginapan Guan Gai untuk mengamati kegiatan Wanyan Honglie dan yang lainnya.

Mereka berjingkat melewati dua aula dalam kegelapan. Tiba-tiba mereka merasakan angin sejuk, dan samar-samar mendengar suara air. Dalam keheningan malam mereka juga bisa mencium aroma lembut samar dari dalam halaman istana. Tanpa diduga mereka menemukan bukit berhutan yang ditempatkan di dalam istana.

Huang Rong mengendus-endus dan tahu pasti ada taman bunga di dekatnya. Ia pikir pasti ada banyak bunga yang indah dan tanaman yang tidak biasa di taman Istana Kekaisaran. Karena ia sedang ada di sana, ia pasti tidak bisa melewatkan kesempatan langka ini untuk melihatnya. Jadi ia menarik tangan Guo Jing dan mengikuti aroma bunga, mencari taman.

Lambat laun suara air semakin keras. Keduanya berjalan di jalur bunga, dan melihat pohon pinus dan bambu menghalangi langit biru tua di atas bersama dengan bukit-bukit indah yang berdiri tenang di latar belakang. Huang Rong sangat terkesan dengan tempat ini. Meskipun pemandangannya lebih rendah dari Pulau Bunga Persik, bunga dan pepohonannya sangat indah.

Mereka berjalan beberapa zhang lebih jauh, dan melihat seberkas air muncul seperti air terjun perak yang keluar dari sisi bukit. Air mengalir ke kolam, dan pada gilirannya, aliran air keluar dari kolam sehingga tidak meluap. Ada teratai merah yang tak terhitung jumlahnya berserakan di permukaan kolam. Tepat di depan kolam ada pintu masuk aula yang penuh dengan bunga. Tepat di atas pintu masuk tertulis tiga karakter ‘Cui Han Tang’32.

Huang Rong berjalan ke depan aula. Di bawah serambi dia melihat beberapa anak tangga menuju ke atas, dikelilingi oleh banyak jenis bunga, mo li33, su xin34, she xiang teng35, shu jin36, yu gui37, dan hong jiao38. Masing-masing adalah jenis tanaman harum yang mekar di musim panas. Di bagian belakang aula, anggrek dan tanaman beraroma lainnya digantung. Dupa berbau harum dibakar, memenuhi aula dan menyerang lubang hidung mereka.

Di atas meja di dalam aula terdapat beberapa mangkuk berisi akar teratai, melon manis, loquat39, dan berbagai jenis buah-buahan liar dari hutan. Beberapa kipas bundar berserakan di kursi. Tampaknya ini adalah aula tempat kaisar menikmati angin malam yang sejuk sebelum tidur.

Guo Jing menghela nafas. “Kaisar benar-benar tahu bagaimana menikmati hidup,” katanya.

Huang Rong tertawa. “Sekarang kau bisa menjadi kaisar,” katanya sambil menarik Guo Jing untuk duduk di sofa. Ia menawarinya semangkuk buah dan berlutut. “Hidup Kaisar! Silakan menikmati buah-buahan segar,” katanya.

Guo Jing tersenyum dan mengambil sebuah loquat. “Silakan berdiri40,” katanya.

Huang Rong tertawa, “Kaisar tidak pernah mengatakan ‘Silakan’. Itu terlalu sopan,” katanya.

Saat mereka berbicara dan tertawa dengan suara rendah, tiba-tiba mereka mendengar seseorang berteriak di kejauhan, “Siapa di sana?” Mereka terkejut. Melompat keluar dari aula, mereka bersembunyi di balik bukit palsu. Mereka mendengar langkah kaki yang berat saat dua pria datang sambil berteriak keras. Guo Jing dan Huang Rong mendengarkan orang-orang ini dan tahu bahwa ilmu silat mereka rendah. Mereka tidak perlu kuatir. Para penjaga mengacungkan pedang mereka sambil bergegas menuju depan aula. Mereka melihat sekeliling tetapi tidak melihat sesuatu yang luar biasa.

“Kau melihat hantu,” kata seorang penjaga sambil tertawa.

Yang lainnya juga tertawa. “Aku selalu melihat hal-hal aneh beberapa hari terakhir ini,” katanya. Mereka berjalan pergi, masih berbicara dan tertawa.

Huang Rong dalam hati terhibur. Ia menarik tangan Guo Jing untuk pergi, tapi tiba-tiba mendengar kedua penjaga itu mendengus, ‘heh… heh’. Meskipun suaranya dalam dan teredam, mereka tahu itu adalah suara pernafasan karena mereka tertotok. Guo Jing dan Huang Rong sama-sama berpikir, “Apa mungkin Kakak Zhou bosan dan keluar untuk bermain-main?”

Mereka mendengar seseorang berbicara dengan suara rendah, “Menurut peta Istana Kekaisaran, bangunan di sebelah air terjun adalah Cui Han Tang. Kita pergi ke sana.” Suara itu milik Wanyan Honglie.

Guo Jing dan Huang Rong sangat terkejut. Mereka saling berpegangan tangan dan bersembunyi lebih dalam di balik bukit palsu, tidak berani mengeluarkan suara. Dalam cahaya bintang yang redup, mereka melihat bayangan bergerak di depan aula. Mereka samar-samar mengenali bahwa selain Wanyan Honglie, ada Ouyang Feng, Peng Lianhu, Sha Tongtian, Lingzhi Shangren, Liang Ziweng dan Hou Tonghai.

Guo Jing dan Huang Rong bingung. “Apa yang dilakukan orang-orang ini di Istana Kekaisaran?” pikir mereka. “Mungkinkah mereka juga ingin mencuri makanan dari dapur kekaisaran?”

Mereka mendengar Wanyan Honglie bicara lagi, masih dengan suara rendah. “Xiao Wang dengan hati-hati memeriksa surat rahasia yang ditinggalkan Yue Fei, dan juga dokumen dari dinasti dua kaisar, Gaozong dan Xiaozong. Xiao Wang menyimpulkan bahwa Pusaka Wumu tersembunyi di lima belas langkah di sebelah timur Cui Han Tang.”

Mata semua orang secara otomatis mengikuti arah tangannya. Lima belas langkah ke timur aula adalah air terjun, dan tidak ada yang lain. Wanyan Honglie berkata, “Bagaimana buku itu bisa disembunyikan di air terjun? Xiao Wang merasa sulit untuk mengerti, tetapi menurut dokumen, ini adalah tempat yang tepat.”

Sha Tongtian dikenal sebagai Gui Men Long Wang dan keterampilan airnya sangat baik. “Aku akan memeriksa air terjun,” katanya. Tanpa menunggu, ia melangkah maju dan melompat ke air. Tidak lama kemudian ia muncul kembali. Semua orang bergegas maju untuk menemuinya, hanya untuk mendengarnya berkata, “Dugaan Pangeran benar. Di belakang air terjun ada sebuah gua dengan gerbang besi yang tertutup.”

Wanyan Honglie sangat gembira. “Warisan Wumu pasti ada di dalam gua,” katanya. “Rasanya Xiao Wang harus membuat kalian tidak nyaman, dan meminta kalian membuka gerbang besi.”

Semua orang menghunus pedang dan pisau tajam mereka yang berharga, siap untuk memenuhi permintaannya. Masing-masing ingin memberikan layanan yang berharga. Mereka berlari menuju air terjun. Ouyang Feng tertawa dingin dan tetap berada di sisi Wanyan Honglie. Ia merasa reputasinya berbeda, jadi ia tidak mau mengambil buku itu bersama yang lain.

Sha Tongtian adalah orang pertama yang merunduk di bawah air yang mengalir. Tiba-tiba hembusan angin menerpa wajahnya. Ia baru saja masuk untuk melihat-lihat dan tidak melihat apa-apa. Ia tidak bisa menebak musuh tiba-tiba menyerangnya. Ia buru-buru menghindari serangan itu, tetapi pergelangan tangan kirinya tiba-tiba dicengkeram oleh musuh, dan ia didorong dengan keras. Melawan keinginannya, tubuhnya terbang keluar dan menabrak Liang Ziweng dengan keras. Untungnya ilmu keduanya cukup tinggi, jadi mereka tidak terluka.

Semua orang terkejut. Sementara itu Sha Tongtian memasuki air terjun lagi… tapi kali ini ia sudah siap. Ia mengangkat kedua telapak tangannya di depan wajahnya, dan benar saja, dari balik air terjun sebuah kepalan terbang keluar. Ia menggunakan tangan kirinya untuk menangkis sambil melancarkan serangan balik dengan tangan kanannya. Selama ini ia belum melihat dengan jelas siapa musuhnya.

Liang Ziweng juga melompat ke air terjun. Sebuah tongkat tiba-tiba mendekat ke tanah. Liang Ziweng berusaha menghindarinya, tapi ia terlambat. Bagian bawah kakinya terpukul telak, dan ia tidak bisa menjaga keseimbangan, jatuh terjengkang. Saat dadanya terkena air terjun, kakinya kembali terkena tongkat. Melawan keinginannya, tubuhnya jatuh di luar air terjun.

Pada saat ini Sha Tongtian juga telah didorong keluar dari air terjun oleh telapak tangan yang cepat dan ganas. Naga Berkepala Tiga, Hou Tonghai tidak memikirkan kungfu yang dimiliki kakak seperguruannya dibandingkan dengan kungfunya sendiri. Jika kakaknya begitu mudah dikalahkan, bagaimana ia bisa berharap untuk menang? Mengandalkan kemampuannya di dalam air yang luar biasa, dan kemampuannya untuk membuka matanya untuk melihat di bawah air, ia menyerbu ke dalam air terjun.

Melihat situasi yang merugikan, Peng Lianhu bergegas maju untuk bergabung dalam pertempuran. Tiba-tiba bayangan gelap dan agak berkilau terbang di atas kepalanya. Dengan suara ‘Gedebuk!’ bayangan itu jatuh ke tanah, dan kemudian ia mendengar Hou Tonghai menjerit kesakitan keras-keras. Peng Lianhu dengan cepat pergi dan berkata dengan suara rendah, “Hou Xiong… diam! Apa yang terjadi?”

“Sialan, neneknya!” kutuk Hou Tonghai. “Pantatku pecah menjadi empat bagian sejak musim gugur.”

Peng Lianhu bingung dan geli pada saat bersamaan. “Masa ada hal seperti itu?” bisiknya. Ia mengulurkan tangannya untuk memeriksa pantat Hou Tonghai, sepertinya memeriksa apakah masih utuh. Ia tidak menemukan apa pun yang terluka. Ia tahu ada sesuatu yang salah, tetapi ia tidak ingin menghadapi bahaya dengan gegabah. “Siapa di dalam?” tanyanya.

Masih kesakitan Hou Tonghai menjadi marah. “Bagaimana aku tahu?” bentaknya. “Begitu masuk, aku langsung dilempar keluar. Bangsat bajingan itu!”

Di bawah cahaya bintang, mereka melihat jubah merah Lingzhi Shangren berkibar saat ia memasuki air terjun dengan langkah lebar. Di tengah suara gemericik air, mereka bisa mendengar teriakan kerasnya dalam bahasa Tibet. Sepertinya ia sedang bertarung sengit dengan orang di dalam.

Semua orang saling memandang dengan heran. Sha Tongtian dan Liang Ziweng telah diusir. Tapi dalam kegelapan samar-samar mereka melihat, di balik tirai air, seorang pria dan seorang wanita. Pria itu dengan tangan kosong dan wanita itu memegang tongkat di tangannya. Pada saat ini mereka mendengar raungan keras Lingzhi Shangren. Sepertinya ia juga mengalami kesulitan.

Wanyan Honglie mengerutkan kening. “Mengapa Shangren begitu sembrono? Ia berteriak begitu keras. Kalau pengawal istana mendengarnya, lalu datang ke sini, bagaimana kita bisa mendapatkan buku itu?” katanya.

Ia baru saja selesai berbicara ketika mereka melihat kasaya merah Lingzhi Shangren terbang keluar dari air terjun dan mendarat di atas kolam teratai merah, diikuti oleh dua suara berdenting saat dua simbal tembaga yang digunakannya sebagai senjata juga terbang keluar. Peng Lianhu takut simbal akan mengeluarkan suara keras jika menyentuh tanah, dan dengan demikian membuat pengawal istana waspada. Ia mengulurkan tangannya dan menangkap simbal. Mereka mendengar teriakan keras dengan kata-kata kutukan Tibet yang berasal dari air terjun, yang tidak dapat dipahami oleh siapa pun, diikuti oleh tubuh besar yang terbang keluar.

Untungnya kungfu Lingzhi Shangren berbeda dari Hou Tonghai. Meski jatuh ke belakang, ia bisa mendarat dengan mulus, sehingga pantatnya tidak terluka sama sekali. Ia mengutuk dengan keras, “Itu bocah-bocah yang kita temui di kapal.”

Ketika Guo Jing dan Huang Rong sedang bersembunyi di balik bukit palsu, mereka mendengar Wanyan Honglie memerintahkan orang-orang untuk masuk ke dalam gua dan mencuri buku itu. Mereka mengira jika Warisan Wumu diperolehnya, pasukan Jin dapat mengikuti strategi militer Yue Wumu untuk menyerang selatan, yang akan menjadi bencana. Mereka menyadari bahwa Ouyang Feng ada di sekitar situ, dan bahwa mereka bukan tandingannya, tetapi jika mereka tidak melangkah maju dengan berani, bagaimana mereka akan menanggungnya, jika di masa depan rakyat jelata di dunia mengalami bencana seperti itu?

Awalnya Huang Rong ingin mencari cara untuk menakut-nakuti orang-orang ini, tetapi Guo Jing tahu bahwa situasinya kritis, dan mereka tidak punya waktu untuk ragu-ragu. Ia segera meraih tangan Huang Rong dan menyelinap ke belakang air terjun. Mereka berharap untuk melakukan penyergapan dan menyerang Ouyang Feng secara tiba-tiba. Untungnya gemuruh air terjun begitu keras sehingga tidak ada yang mendengar gerakan mereka.

Keduanya melakukan semua yang mereka bisa untuk mengusir Sha Tongtian dan yang lainnya. Mereka sangat terkejut dengan hasilnya, dan tidak menyangka panduan ‘Mengubah Otot Menempa Tulang’ menghasilkan efek yang luar biasa. Tongkat Penggebuk Anjing Huang Rong memiliki variasi yang tak terbatas. Begitu menakjubkannya, bahkan orang-orang sekaliber Sha Tongtian dan Lingzhi Shangren dilemparkan keluar dalam keadaan tidak berdaya, yang membingungkan mereka sendiri. Guo Jing memanfaatkan situasi ini untuk mengirimkan telapak tangannya, dan akibatnya mereka berhasil mengusir semua orang keluar dari air terjun.

Guo Jing dan Huang Rong tahu bahwa saat Sha Tongtian dan yang lainnya kalah, Ouyang Feng akan beraksi. Mereka sama sekali tidak dapat melawannya. “Ayo cepat keluar dari sini!” kata Huang Rong. “Kita harus membunyikan lonceng, dan membiarkan para pengawal istana datang untuk mencegah orang-orang ini bertindak lebih jauh.”

“Itu benar!” kata Guo Jing. “Kau keluar dan membunyikan lonceng. Aku tinggal di sini untuk berjaga-jaga.”

“Kau tidak boleh melawan Racun Tua,” kata Huang Rong.

“Ya. Pergi sekarang! Pergi!” kata GuoJing.

Huang Rong hendak keluar melalui lubang di belakang air terjun ketika mereka tiba-tiba mendengar gerutuan keras dan semburan tenaga yang besar datang melalui air terjun dari luar. Keduanya tidak berani memblokirnya, dan melompat ke samping untuk menghindari gelombang tenaga itu. Dengan raungan keras, tenaga Jurus Kodok Ouyang Feng menembus air terjun, dan menabrak gerbang besi. Air memercik ke mana-mana dan kekuatannya mencengangkan.

Meskipun Huang Rong berhasil melompat ke samping, punggungnya masih terkena efek samping Jurus Kodok. Ia merasa darahnya mengalir deras dan pandangannya kabur. Ia mencoba memusatkan pikirannya dan kemudian berlari keluar sambil berteriak sekuat tenaga, “Tangkap pembunuh! Tangkap pembunuh!” Ia lari sambil terus berteriak.

Saat ia berteriak-teriak, para pengawal istana di sekitar Cui Han Tang bangun dengan terkejut. Teriakan segera dimulai dari mana-mana, membunyikan lonceng. Huang Rong melompat ke atap aula, mengambil beberapa genteng, dan secara acak melemparkannya ke tanah.

“Bunuh gadis kecil itu dulu, baru kita bicara,” kutuk Peng Lianhu. Menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, ia mengejar. Liang Ziweng melompat ke kiri, mencoba menghalanginya.

Wanyan Honglie masih tenang. Ia berkata kepada Yang Kang, “Kang’er, pergilah dengan Ouyang Xiansheng, dan dapatkan bukunya.”

Saat ini Ouyang Feng sudah berjongkok di tanah di depan air terjun. Dengan gerutuan lain ia mengirim semburan tenaga lagi dan gerbang besi ganda di mulut gua terbang masuk. Ia hendak memasuki gua ketika dari satu sisi sesosok bayangan tiba-tiba menyerang. Bahkan sebelum orang itu tiba, telapak tangannya sudah datang, melancarkan serangan dahsyat, Fei Long Zai Tian. Meskipun ia tidak bisa melihat dengan jelas penampilan orang itu di dalam gua yang gelap, begitu ia melihat jurus itu, ia tahu itu pasti Guo Jing. Ia senang, “Jiu Yin Zhen Jing sangat sulit dipahami, aku hanya mengerti dua dari sepuluh kalimat. Kalau bisa menangkap anak ini, aku bisa memaksanya untuk menjelaskan.” Ia mengelak ke samping untuk menghindari serangan itu, lalu dengan cepat mengulurkan tangannya, mencoba meraih punggung Guo Jing.

Guo Jing bertekad bahwa apapun juga yang diperlukan untuk menjaga pintu, ia tidak akan membiarkan musuh masuk. Selama ia bisa menahannya sebentar, pengawal istana akan datang. Meskipun kungfu kelompok pengkhianat ini tinggi, pada akhirnya mereka harus melarikan diri. Ia agak heran melihat Ouyang Feng tidak berusaha membunuhnya tetapi hanya berusaha menangkapnya. Tangan kirinya menyapu tangan penyerang, dan tangan kanannya melakukan serangan balik dengan teknik Tinju Kosong. Meskipun dalam hal kekuatan teknik ini lebih rendah dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, dengan menggunakan Tinju Kosong telapak tangannya melayang dengan gerakan rumit.

“Bagus!” seru Ouyang Feng. Ia menjatuhkan bahunya dan menarik kembali tangannya sambil mencoba menangkap lengan kanan Guo Jing. Tangannya tidak membawa hembusan angin yang datang dengan kekuatannya yang cepat dan ganas seperti biasanya.

Saat ia berada di pulau terpencil, Ouyang Feng mempelajari Buku Panduan yang ditulis Guo Jing. Semakin ia berlatih, semakin ia merasa ada sesuatu yang salah. Tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa buku di tangannya telah diubah sampai menjadi tidak dapat dipahami. Ia berpikir bahwa buku itu mengandung makna yang sangat dalam, yang tidak dapat diuraikan dalam waktu singkat. Kemudian ia mendengar Hong Qigong menggumamkan omong kosong di atas rakit yang menurutnya adalah kunci untuk memahaminya. Juga setiap kali ia bertemu Guo Jing, ia memperhatikan bahwa kungfunya terus berkembang. Ia terkejut, namun senang pada saat yang sama. Terkejut, karena kungfu anak ini meningkat pesat. Oleh karena itu kekuatan yang terkandung dalam kitab itu seharusnya benar-benar sesuatu yang pantas ditakuti. Senang, karena kitab itu ada di tangannya. Dengan memperkuat latar belakangnya sendiri, kemajuannya di masa depan tidak akan terbatas.

Di atas rakit ia bertempur hidup dan mati melawan dua musuh. Kali ini ia merasa bahwa ia telah berada di atas angin, dan ingin bertarung dengan santai. Ia pikir ia akan bisa membedah buku itu dengan memperhatikan setiap gerakan Guo Jing. Ia tidak peduli apakah Pusaka Wumu akan dicuri atau tidak. Dalam hatinya satu-satunya hal penting yang benar adalah kungfu di dalam kitab itu.

Sekarang cahaya dari banyak lentera yang dibawa ke seluruh area telah membuat Cui Han Tang seterang siang hari, karena semakin banyak pengawal istana yang datang. Wanyan Honglie mencatat bahwa Ouyang Feng dan Yang Kang telah lama berada di balik tirai air tanpa keluar lagi. Sementara itu para pengawal istana berkumpul di sekitar mereka. Ia menjadi semakin cemas. Untungnya perhatian penjaga terkonsentrasi kepada Peng Lianhu dan Liang Ziweng di atap yang sedang mengejar Huang Rong, tidak menyadari bahwa ada perkelahian yang lebih besar terjadi di dalam air terjun. Namun ia menyadari bahwa cepat atau lambat para penjaga akan mendeteksi keberadaan mereka di sana. Ia menjejakkan kakinya dan melambaikan tangannya terus menerus, sambil berteriak dengan mendesak, “Cepat… cepat!”

“Jangan kuatir Pangeran, Xiaosheng akan masuk lagi,” kata Lingzhi Shangren. Sambil menggoyangkan telapak tangan kirinya di depan tubuhnya, ia memasuki air terjun. Sekarang cahaya dari luar telah menembus tirai air. Ia bisa melihat Ouyang Feng bertukar posisi dengan Guo Jing di depan pintu masuk gua, sementara Yang Kang mencoba masuk ke dalam gua. Tapi ia tidak bisa melewati hembusan angin dahsyat dari kedua orang yang sedang bertarung itu.

Lingzhi Shangren mengamati beberapa jurus sampai tidak tahan lagi. Ia tahu situasi saat ini sangat mendesak. Tapi Ouyang Feng bertarung santai dengan anak ini. Dia benar-benar bajingan. “Ouyang Xiansheng, biarkan aku membantumu!” serunya.

“Jangan mendekat!” jawab Ouyang Feng.

Lingzhi berpikir, “Dalam situasi seperti ini, kau masih memamerkan dirimu sebagai pendekar besar, dan menunjukkan reputasimu sebagai mahaguru dari perguruan entah apa?” Ia menekuk lututnya dan menyerang sisi kiri Guo Jing. Da Shou Yin miliknya menimpa jalan darah Tai Yang Guo Jing.

Ouyang Feng marah. Tangan kanannya terulur untuk meraih bagian belakang leher Lingzhi, dan melemparkannya keluar. Segera setelah lehernya dicengkeram, Lingzhi Shangren menjadi sangat marah, dan ia meneriakkan serangkaian kata-kata makian yang paling tidak senonoh yang dapat dipikirkannya. Sayangnya ia berbicara dalam bahasa Tibet, jadi Ouyang Feng tentu saja tidak mengerti sepatah kata pun yang dia ucapkan. Yang terdengar hanya “Ba ni mi hong…” setengah kalimat karena air mulai masuk ke mulutnya dan kutukannya tenggelam. Saat jatuh ke belakang dengan wajah menghadap ke langit, ia mendarat di kolam dan air mulai memenuhi mulutnya.

Wanyan Honglie melihat Lingzhi Shangren terbang keluar dan jatuh seperti sedang menaiki awan dan menunggangi kabut. Kemudian ia mendengar suara dentingan keras saat pot bunga besar di depan Cui Han Tang hancur. Ia mengeluh dalam hati. Ia juga melihat banyak pengawal istana datang berturut-turut, jadi ia buru-buru menyelipkan jubahnya dan masuk ke dalam air terjun.

Meskipun ia telah mempelajari beberapa jurus kungfu, keahliannya hanya biasa-biasa saja. Begitu berada di dalam air terjun, ia menginjak permukaan yang licin dan jatuh. Yang Kang bergegas maju untuk membantunya berdiri. Butuh beberapa saat bagi Wanyan Honglie untuk menelusuri gua dengan matanya, dan melihat apa yang sedang terjadi. “Ouyang Xiansheng, kau bisa mengeluarkan anak muda ini?” serunya. Ia tahu bahwa tidak peduli bagaimanapun ia memohon, Ouyang Feng mungkin belum tentu memperhatikannya. Oleh karena itu ia menggunakan cara halus dengan menanyakan apakah Ouyang Feng mampu mengusir Guo Jing. Ini disebut ‘mengirim seorang jenderal tidak sebaik menghasut seorang jenderal’.

Benar saja, begitu Ouyang Feng mendengarnya, ia menjawab, “Kenapa tidak?” Ia berjongkok, dan dengan seruan keras mengirim tenaga Jurus Kodok ke depan melalui telapak tangannya. Dorongan ini didukung oleh hasil latihan tenaga dalamnya seumur hidup. Bahkan jika Hong Qigong atau Huang Yaoshi ada di sini, mereka tidak akan mampu menahan serangan ini secara langsung, apalagi Guo Jing.

Ouyang Feng baru saja bertukar posisi dengan Guo Jing, memaksanya untuk menggunakan Tinju Kosong. Ia memperhatikan bahwa gerakan Guo Jing halus dengan variasi yang luar biasa. Dalam hatinya ia diam-diam senang, dan berpikir ini pasti kungfu dari Jiu Yin Zhen Jing. Ia ingin melihat sebanyak mungkin bagaimana cara Guo Jing menggunakan teknik ini, supaya ia bisa mencuri sebanyak mungkin. Sayangnya Wanyan Honglie menerobos masuk dan mempertanyakan kemampuannya. Ia masih berpikir bahwa Guo Jing akan berguna, dan ia tahu sampai di mana kekuatannya sendiri, oleh karena itu ia dengan sukarela menarik dorongannya.

Tetapi tanpa diduga Guo Jing bertekad untuk menjaga Pusaka Wumu dengan nyawanya. Ia tahu bahwa jika melangkah ke samping, pintu masuk gua tidak akan terjaga, dan Pusaka Wumu akan jatuh ke tangan musuh. Meskipun ada banyak pengawal istana di luar, tetapi mereka tidak bakalan bisa bertahan melawan Ouyang Feng dan yang lainnya. Ia tahu tenaga yang masuk itu dahsyat. Ia tidak bisa memblokirnya, maka ia harus menghindarinya. Kakinya menendang melompat sekitar empat meter ke atas untuk menghindari serangan, dan mendarat kembali di depan pintu masuk. Ia mendengar suara keras di belakangnya saat pasir dan batu berjatuhan karena kekuatan Ouyang Feng menghantam dinding gua.

“Bagus!” seru Ouyang Feng. Dengan kecepatan luar biasa ia mengirimkan serangan kedua. Gelombang tenaga sebelumnya belum hilang ketika gelombang berikutnya tiba.

Guo Jing tiba-tiba merasa hembusan angin bertiup di bagian atas tubuhnya. Ia mengerang dan segera meluncurkan kedua telapak tangannya ke depan menggunakan Zhen Jing Bai Li. Itu adalah salah satu jurus paling kuat dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga. Kali ini ia membentur kekerasan dengan kekerasan. Untuk sesaat keduanya tetap tak bergerak. Guo Jing menyadari tenaganya bukan tandingan lawan, dan ia tahu ia akan kalah, tapi ia tak punya pilihan lain.

Wanyan Honglie menyaksikan kedua pria ini berkelahi, melompat dan mengelak. Saat yang satu naik, yang lain jatuh. Tiba-tiba mereka kaku seperti mayat. Bahkan satu jari pun tidak bergerak dan mereka bahkan tidak terlihat bernapas. Ia sangat heran. Sesaat kemudian keringat mulai menetes dari tubuh Guo Jing. Ouyang Feng tahu bahwa jika pertarungan ini berlanjut, lawannya akan mengalami cedera serius. Ia punya pikiran untuk mengalah setengah jurus, tetapi segera setelah ia mengurangi tenaganya, dadanya menegang karena tenaga lawannya menekan. Jika bukan karena tenaga dalamnya yang tinggi, ia pasti akan terluka.

Ouyang Feng terkejut. Ia tidak pernah menyangka bahwa di usia yang begitu muda, tenaga Guo Jing akan begitu dahsyat. Ia mengambil napas dalam-dalam dan segera melakukan serangan balik, mendorong tenaga yang masuk kembali. Jika ia hanya menambahkan sedikit tenaga pada dorongannya, ia akan dapat mengalahkan Guo Jing dengan mudah. Tapi saat ini, tenaga telapak tangan kedua belah pihak sama. Jika ia ingin mencetak kemenangan, ia harus menimbulkan luka berat pada lawannya. Tidak akan sulit jika ia benar-benar ingin membunuh Guo Jing, tetapi anak ini adalah kunci untuk memahami Jiu Yin Zhen Jing, jadi bagaimana ia bisa menghancurkan satu-satunya sumber ilmu? Karena itu ia bermaksud menunggu tenaga Guo Jing habis dan kemudian menangkapnya.

Tidak lama kemudian menjadi jelas bahwa ketika tenaga seseorang menurun, yang lain meningkat. Wanyan Honglie dan Yang Kang, yang menonton dari pinggir lapangan, tidak tahu sampai kapan situasi ini akan berlangsung. Mereka menjadi sangat cemas. Sebenarnya kedua orang itu baru sesaat mengalami kebuntuan, tetapi karena cahaya dari luar semakin terang dan suara dari luar juga semakin keras, dalam pikiran Wanyan Honglie dan Yang Kang seolah-olah mereka sudah sangat lama tidak bergerak.

Dengan suara keras, dua penjaga istana tiba-tiba datang menerobos masuk ke dalam air terjun. Yang Kang dengan cepat menerkam. Kedua tangannya menembus tubuh penjaga diiringi suara ‘krekk!’. Itu adalah Jiu Yin Baigu Zhua, ilmu silat maut yang diturunkan oleh Mei Chaofeng. Bau darah yang menyengat menyerang lubang hidung semua orang saat para penjaga mati seketika. Yang Kang kemudian menarik belati dari sepatunya dan melompat ke depan untuk menusuk Guo Jing dari samping.

Guo Jing sedang melawan telapak tangan Ouyang Feng dengan seluruh kekuatannya. Ia tentu saja tidak bisa menghindari serangan yang masuk ini, selain juga sama sekali tidak menduga bahwa Yang kang akan berbuat begitu. Ia tahu jika ia bergerak sedikit saja, maka ia akan mati akibat Jurus Kodok Racun Barat. Karena itu meskipun ia tahu belati itu akan segera menembus tubuhnya, ia terpaksa mengabaikannya. Ia tiba-tiba merasakan sakit yang parah di sisi tubuhnya, dan napasnya berhenti. Ia secara naluriah mengayunkan tinjunya dan memukul tangan Yang Kang.

Pada saat ini perbedaan kungfu antara keduanya sangat besar. Tinju Guo Jing memukul tangan Yang Kang seperti hendak meretakkan tulang. Yang Kang buru-buru menarik tangannya, sehingga belati hanya menembus setengah jalan ke samping tubuh Guo Jing. Tepat pada saat itu tenaga dari Jurus Kodok Ouyang Feng datang melonjak ke dada Guo Jing. Ia mendengus tanpa suara, membungkuk, dan jatuh.

Menyadari bahwa pada akhirnya ia telah melukai Guo Jing, Ouyang Feng melambaikan tangannya dan menggelengkan kepalanya. “Sayang sekali! Sayang sekali!” serunya. Ia sedih dan tahu bahwa anak ini tidak dapat bertahan hidup. Tidak ada alasan mengapa ia harus mengurusnya, karena ia masih harus mencari buku warisan Wumu. Ia menatap Yang Kang dengan marah dan berpikir, “Anak ini telah mengacaukan urusan besarku.” Ia berbalik dan memasuki gua dengan langkah lebar. Wanyan Honglie dan Yang Kang mengikuti di belakang.

Saat itu banyak pengawal istana di sana. Tanpa berbalik, Ouyang Feng meraih ke belakang, dan satu per satu melemparkan para pengawal. Pada akhirnya tidak ada pengawal yang bisa masuk ke dalam gua.

Yang Kang menyalakan obor untuk melihat bagian dalam gua. Ia melihat debu tebal di mana-mana… tanda bahwa selama ini tidak ada orang yang memasuki tempat itu. Ada sebuah meja batu di tengah gua dan sebuah kotak batu di atasnya, berukuran sekitar dua kaki persegi. Kotak itu disegel. Selain itu tidak ada benda lain yang terlihat di dalam gua. Yang Kang mendekatkan obornya untuk melihatnya. Tulisan di segel terlihat sangat tua dan karakternya tidak dapat dikenali.

“Buku itu pasti ada di dalam kotak ini,” seru Wanyan Honglie.

Yang Kang sangat senang. Saat ia mengulurkan tangannya untuk mengambil kotak itu, lengan kiri Ouyang Feng dengan lembut mendorong bahunya menjauh. Yang Kang terhuyung mundur beberapa langkah sebelum jatuh. Ia terkejut dan melihat bahwa Ouyang Feng telah mengambil kotak itu.

“Pekerjaan besar telah tercapai…semuanya mundur!” seru Wanyan Honglie.

Dengan Ouyang Feng di depan memimpin jalan, ketiganya keluar dari gua. Yang Kang melihat Guo Jing, tubuhnya berlumuran darah, terbaring tak bergerak di antara beberapa pengawal di pintu masuk gua. Ia merasakan sedikit penyesalan dan bergumam pelan, “Kau tidak tahu apa yang baik dan apa yang buruk, dan selalu mencampuri urusan orang lain. Kau tidak bisa menyalahkan aku untuk ini, terlepas dari persaudaraan kita.” Mengingat belatinya masih ada di tubuh Guo Jing, ia membungkuk untuk mengambilnya, dan tiba-tiba melihat bayangan muncul di luar. “Jing Gege, kau dimana?” bayangan itu memanggil.

Yang Kang mengenali suara Huang Rong. Ia terkejut, tanpa mengambil belati ia melompati tubuh Guo Jing dan berlari keluar dari tirai air untuk mengikuti Ouyang Feng dan yang lainnya.


Sebelumnya Huang Rong telah dikejar kesana-kemari oleh Peng Lianhu dan Liang Ziweng. Tak lama kemudian, pengawal istana mulai berkumpul di kawasan itu. Peng Lianhu dan Liang Ziweng ketakutan dan tidak berani mengejar Huang Rong lagi, jadi mereka kembali bergabung dengan Sha Tongtian dan yang lainnya menunggu Wanyan Honglie di dekat air terjun. Mereka membunuh beberapa pengawal di luar gua sebelum Ouyang Feng keluar.

Huang Rong menguatirkan Guo Jing, jadi ia kembali ke dalam gua dan memanggil beberapa kali tanpa mendapat jawaban. Ia mulai gugup, jadi ia memukul-mukulkan batu api ke bungkusan pemantik apinya dan melihat Guo Jing, tubuhnya berlumuran darah, tergeletak di samping kakinya. Huang Rong ketakutan setengah mati dan tangannya mulai gemetar, bungkusan pemantik apinya jatuh dan api padam.

Di luar gua, para pengawal masih berteriak keras, saling memanggil untuk menangkap si pembunuh. Lebih dari selusin pengawal ditangkap dan dibuang oleh Ouyang Feng dengan leher patah. Tidak ada yang berani mendekati mereka lagi. Para pengawal istana memikul beban tanggung jawab yang berat, dan saat ini ada seorang pembunuh di istana. Jika mereka tidak berteriak keras dan tampil berani dengan tidak melarikan diri, bagaimana lagi mereka bisa menunjukkan kesetiaan mereka?

Huang Rong membungkuk untuk memegang Guo Jing, menyadari bahwa tangannya masih hangat dan merasa lega. Ia memanggil beberapa kali tanpa mendapat jawaban, jadi ia memutuskan untuk menggendongnya di punggung, lalu diam-diam menyelinap pergi dari air terjun menuju bagian belakang bukit palsu.

Saat ini area di sekitar Cui Han Tang sudah seterang siang hari akibat lentera para pengawal. Pengawal dari bagian lain istana telah mendengar berita itu, dan bergegas datang susul-menyusul. Meskipun gerakan Huang Rong cepat, tidak mungkin untuk tidak terlihat oleh beberapa pengawal. Mereka berteriak keras dan mulai mengejarnya. Huang Rong diam-diam mengutuk. “Kalian sekelompok sampah. Kalian tidak mengejar orang jahat, malah mengejar orang baik.”

Ia menggertakkan giginya dan terbang menjauh. Beberapa penjaga yang punya kungfu yang lebih tinggi berhasil mendekatinya, memaksanya meluncurkan beberapa jarum baja. “Aiyo!” ia mendengar beberapa penjaga berteriak dan jatuh. Penjaga lainnya tidak berani mengejarnya dan hanya bisa memandangnya tanpa daya saat ia melompati tembok istana dan menghilang tanpa jejak.

Orang-orang itu sangat berisik sehingga seluruh istana panik. Di kegelapan malam tidak ada yang tahu apakah itu kudeta untuk merebut tahta kaisar, atau pejabat pemerintah yang menghasut pemberontakan, atau peristiwa lain. Pengawal istana, tentara kekaisaran, dan semua personel angkatan bersenjata terkejut, tetapi tidak ada satu pun perwira militer berpangkat tinggi yang tahu pasti apa yang sedang terjadi. Mereka bingung sepanjang sisa malam itu. Menjelang fajar kavaleri dikirim dan kota itu jungkir-balik untuk mencari ‘pemberontak’ atau ‘pembunuh’. Cukup banyak orang yang ditangkap. Sayangnya, penyelidikan selanjutnya membuktikan bahwa orang-orang ini hanyalah pencuri kecil dan bajingan lokal. Para pejabat dipaksa untuk memalsukan pengakuan lisan, dan mengeksekusi beberapa orang secara acak untuk menenangkan tahta, dan untuk memastikan keamanan dan posisi mereka sendiri.

Setelah meninggalkan istana malam itu, Huang Rong berlari tanpa melihat kemana tujuannya. Ia secara acak memilih jalan, dan hanya melambat setelah menyadari bahwa tidak ada yang mengejar mereka. Ia memasuki gang kecil dan merentangkan jarinya untuk merasakan napas Guo Jing. Ia lega menemukan Guo Jing masih bernafas, tetapi karena batunya telah hilang di istana, dalam kegelapan ia tidak dapat memeriksanya untuk menentukan di mana letak lukanya. Ia tahu jika menunggu fajar akan lebih sulit untuk menemukan tempat berlindung di dalam tembok kota, terutama karena ia membawa orang yang berlumuran darah bersamanya, jadi ia memutuskan untuk meninggalkan kota pada malam yang sama dan menuju toko arak Sha Gu.

Kungfu Huang Rong tinggi, tetapi setelah berlari cepat selama setengah malam sambil menggendong Guo Jing di punggungnya, dengan gugup ia membuka pintu toko Sha Gu. Ia kehabisan napas dan tubuhnya terasa lemas. Ia duduk untuk menenangkan dirinya. Setelah mengatur napas, ia menemukan sebatang kayu bakar dan menyalakannya supaya bisa melihat wajah Guo Jing dan memeriksa lukanya. Ia bahkan lebih terkejut daripada ketika mereka berada di istana.

Mata Guo Jing tertutup rapat, wajahnya seputih seprai, dan ia tampak lebih mirip mati daripada hidup. Huang Rong telah melihatnya terluka beberapa kali sebelumnya, tetapi belum pernah melihatnya dalam kondisi kritis seperti ini. Ia merasa seolah-olah jantungnya sendiri akan melompat keluar dari tenggorokannya. Saat berdiri melamun dengan obor di tangannya, sebuah tangan tiba-tiba terulur dari samping dan menyentuh obor itu. Huang Rong perlahan menoleh dan melihat bahwa itu adalah Sha Gu. Huang Rong menarik napas dalam-dalam. Sekarang ada seseorang di sampingnya, ia merasa agak lebih baik. Ia ingat bahwa ia akan memeriksa luka Guo Jing. Di bawah cahaya obor yang terang, ia bisa melihat benda kehitaman menonjol dari sisi tubuh Guo Jing. Benda itu tampak seperti gagang belati. Ia menundukkan kepalanya untuk melihat lebih dekat, dan melihat bahwa itu memang belati dengan bilah tertancap di sisi kiri Guo Jing.

Saat ini kepanikan Huang Rong telah mencapai puncaknya, pikirannya menjadi tenang. Ia dengan lembut merobek pakaian di sekitar pinggang Guo Jing, memperlihatkan kulit dan otot yang telanjang. Ia melihat bahwa darah telah menggumpal di sekitar bilah, yang telah menembus otot sedalam beberapa cun. Ia takut jika ia mencabut belati itu, Guo Jing akan segera tewas, tetapi jika ia menunggu terlalu lama akan lebih sulit untuk menyelamatkan hidupnya. Sambil menggigit bibir, ia mengulurkan tangan untuk meraih gagang belati, tetapi keraguan tiba-tiba merayap ke dalam hatinya, dan ia menarik tangannya. Hal ini terjadi beberapa kali. Ia tidak bisa mengambil keputusan.

Sha Gu menjadi tidak sabar. Keempat kalinya Huang Rong menarik tangannya, ia tiba-tiba mengulurkan tangannya, meraih gagangnya, lalu tiba-tiba mencabut belati itu. Baik Guo Jing dan Huang Rong berteriak kaget, tapi Sha Gu berpikir itu menyenangkan dan tertawa gembira.

Huang Rong melihat darah memancar seperti mata air dari luka Guo Jing, sementara Sha Gu masih tertawa bodoh. Huang Rong dari terkejut berubah menjadi marah. Telapak tangannya memukul mundur membuat Sha Gu berguling-guling di lantai. Kemudian ia segera membungkuk untuk menekan luka Guo Jing dengan sapu tangan.

Ketika Sha Gu jatuh, ia membawa obor bersamanya. Api padam dan ruangan menjadi gelap gulita. Sha Gu marah. Ia melompat dan menendang kaki Huang Rong. Huang Rong tidak menghindari tendangan itu. Sha Gu takut Huang Rong akan membalas, jadi ia segera melompat mundur setelah menendang. Setelah beberapa saat, ia mendengar Huang Rong terisak pelan. Ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia menyalakan kembali obor dan datang bertanya, “Apakah aku menyakitimu?”

Saat belati dicabut, rasa sakitnya begitu parah hingga membangunkan Guo Jing. Dalam cahaya obor ia melihat Huang Rong berlutut di sampingnya. “Buku Jendral Yue… apakah itu … apa itu dicuri?” tanyanya buru-buru.

Huang Rong senang mendengarnya berbicara. Mengetahui ia sangat prihatin dengan masalah ini, ia merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menambah kecemasannya. “Jangan kuatir,” katanya. “Para pengkhianat itu tidak bisa mendapatkan buku itu…” Ia ingin bertanya bagaimana perasaannya tetapi tangannya masih terasa hangat oleh darah Guo Jing.

“Kenapa kau menangis?” tanya Guo Jing dengan suara rendah.

Huang Rong memaksakan senyum dan berkata, “Aku tidak menangis.”

Sha Gu tiba-tiba membuka mulutnya, “Dia menangis, kan? Lihat, masih ada air mata di mukanya.”

“Rong’er, jangan kuatir.” kata GuoJing. “Ada bagian tentang mengobati luka di dalam Jiu Yin Zhen Jing. Aku tidak akan mati.”

Mendengar ini, Huang Rong seperti seseorang dalam kegelapan yang tiba-tiba melihat seberkas cahaya. Matanya bersinar terang dan kegembiraannya tak terkatakan, seolah-olah tidak ada yang bisa meredam semangatnya. Ia ingin menanyakan detilnya, tetapi takut membuat Guo Jing lelah. Ia berbalik untuk memegang tangan Sha Gu. “Jiejie, apa aku barusan menyakitimu?” tanyanya sambil tersenyum.

Pikiran Sha Gu masih tertuju pada saat ketika ia melihat Huang Rong menangis, jadi ia mengabaikan pertanyaan itu, dan balik bertanya, “Kau menangis… masa kau tidak mengakuinya?”

Huang Rong tersenyum, “Baik, aku menangis, tapi kau tidak. Kau perempuan yang baik.” Sha Gu sangat senang mendengar pujiannya.

Guo Jing perlahan mengedarkan tenaga dalamnya karena rasa sakitnya tak tertahankan. Saat ini Huang Rong telah menjernihkan pikirannya. Ia mengeluarkan jarum baja dan menusuk titik akupuntur di sekitar sisi kirinya, baik untuk memperlambat aliran darah maupun untuk mengurangi rasa sakit. Kemudian ia mencuci lukanya, mengoleskan obat, dan membungkus kembali lukanya dengan kain bersih. Ia juga memberinya Pil Embun Sembilan Bunga Giok untuk membantu mengurangi rasa sakit.

Guo Jing berkata, “Meskipun belati itu masuk cukup dalam, tapi… untungnya tidak mengenai organ vital, jadi… tidak akan mengancam nyawa. Aku menderita luka yang lebih berbahaya dari Jurus Kodok Racun Tua. Untungnya dia tidak menggunakan seluruh tenaganya, jadi sepertinya aku bisa disembuhkan. Hanya saja, aku yang harus membuatmu menderita tujuh hari tujuh malam.”

Huang Rong menghela nafas. “Kau tahu meskipun aku harus menderita tujuh puluh tahun untukmu, aku akan tetap bersedia,” katanya.

Guo Jing merasakan rasa manis merayapi hatinya, dan pada saat yang sama ia merasa pusing. Setelah menunggu sejenak, pikirannya menjadi sedikit jernih dan ia berkata, “Sayang sekali ketika Shifu terluka, aku melewatkan kesempatan beberapa hari untuk merawatnya. Kalau tidak, meskipun racun ular itu ganas, tidak akan terlalu sulit baginya untuk pulih sepenuh. Dia tidak akan… tidak akan cacat seperti sekarang ini.”

Huang Rong menjawab, “Ketika kita berada di pulau itu, kalaupun kita bisa menyembuhkan luka Shifu, kau pikir Racun Tua dan keponakannya akan mengijinkan kita? Tolong jangan berpikir seperti itu. Katakan saja metodemu untuk menenangkan pikiranku.”

“Pertama kita harus menemukan tempat yang sepi dan tenang,” kata Guo Jing. “Kemudian mengikuti petunjuk dari kitab, kita menyalurkan tenaga dalam bersama-sama. Masing-masing mempertemukan telapak tangan kita. Dengan menggunakan tenaga dalammu, kau membantuku menyembuhkan lukaku.” Pada titik ini ia memejamkan mata untuk mengatur napas sebelum melanjutkan. “Satu-satunya kesulitan adalah, selama tujuh hari tujuh malam telapak tangan kita tidak boleh dipisahkan, bahkan untuk sedetik pun. Napasmu akan terkait erat dengan napasku. Kita bisa saling bicara, tapi pasti tidak bleh ada orang ketiga yang mengganggu kita, bahkan dengan setengah kalimat pun. Juga, kita tidak boleh berjalan bahkan setengah langkah pun. Kalau orang lain mengganggu kita, kita mungkin…”

Huang Rong menyadari perlakuan semacam ini mirip dengan meditasi untuk mengembangkan tenaga dalam seseorang. Sebelum mencapai hasil yang memuaskan, seseorang tidak dapat mengalami gangguan eksternal. Jika tidak, pikiran akan terganggu dengan pikiran buruk atau lepas kendali. Tidak dapat dihindari hasilnya akan terjadi penyesatan dan tidak hanya seluruh kungfu akan hilang, tetapi paling tidak orang tersebut dapat menderita cedera atau bahkan tewas. Itulah alasan pendekar yang melatih tenaga dalam akan menemukan gunung atau lapangan yang terpencil dan tidak berpenghuni, atau setidaknya menutup pintu mereka dan tidak pergi, dan ada guru atau teman yang berilmu tinggi dan kuat untuk melindungi mereka dari sela-sela, untuk mencegah latihan mereka tersesat.

Ia berpikir, “Dalam waktu singkat ini, sulit untuk menemukan tempat yang sepi dan tenang, dan hanya aku yang dapat membantunya mengobati luka. Tidak mungkin mengandalkan Sha Gu untuk menjaga dari gangguan eksternal. Ia bahkan bisa datang dan membuat gangguan tanpa henti sendiri. Kalau saja Kakak Zhou kembali. Tapi meski begitu aku tidak yakin ia akan bisa memfokuskan pikirannya untuk menjaga kita selama tujuh hari tujuh malam. Tidak ada jaminan sukses, dan kemungkinan besar semuanya akan salah. Apa yang harus kulakukan?” Ia merenungkan masalah ini agak lama. Kemudian ia melirik mangkuk besi di lemari. Sebuah ide muncul di benaknya, “Aku tahu. Kita bisa bersembunyi di dalam ruang rahasia. Di masa lalu Mei Chaofeng berlatih kungfu tanpa ada yang melindunginya. Dia menyembunyikan diri di dalam gua!”

Sekarang sudah subuh. Sha Gu pergi ke dapur dan memasak bubur nasi untuk dimakan berdua. “Jing Gege,” kata Huang Rong. “Tunggu di sini sebentar. Aku akan membeli makanan, lalu kita bisa segera mulai.”

Ia berpikir bahwa dengan cuaca yang sangat panas, kalau ia memasak nasi, pasti akan rusak jika disimpan di kamar itu selama tujuh hari tujuh malam. Ia pergi ke pasar desa untuk membeli sepikul semangka.

Petani yang menjual semangka membawa semuanya kembali ke tempat Sha Gu, dan menumpuknya di lantai. Dalam perjalanan keluar setelah dibayar, ia berkata, “Semangka Desa Niu kami manis dan renyah. Begitu Nona mencicipinya, Nona akan tahu.”

Mendengar kata-kata Desa Niu, jantung Huang Rong berdetak kencang. “Jadi ini ternyata Desa Niu,” katanya dalam hati. “Ini kampung halaman Jing Gege.” Ia takut jika Guo Jing tahu, pikirannya akan terganggu, karena itu ia menjawab sambil lalu.

Ia menunggu sampai penduduk desa keluar sebelum pergi ke ruang tersembunyi. Guo Jing tertidur dan darah tidak lagi merembes keluar melalui kain katun yang melilit pinggangnya. Huang Rong membuka lemari, memutar mangkuk besi untuk membuka pintu ruang rahasia, dan membawa semangka ke dalamnya satu per satu. Maka hanya satu hal yang tersisa di luar… Sha Gu. Huang Rong berulang kali memperingatkan Sha Gu untuk tidak memberitahu siapa pun bahwa mereka akan tinggal di dalam kamar. Tidak peduli langit ambruk atau apapun juga, ia tidak boleh memanggil dari luar.

Sha Gu tidak mengerti niatnya, tetapi melihat ekspresi serius Huang Rong, ia bilang bahwa ia mengerti, dan berulang kali menganggukkan kepalanya. “Kau ingin makan semangka di dalam, dan kau tidak ingin ada yang tahu. Setelah kalian selesai makan semangka, kalian akan keluar lagi. Sha Gu tidak akan memberitahu.”

Huang Rong senang. “Kalau Sha Gu tidak memberitahu, berarti Sha Gu anak baik,” katanya. “Kalau Sha Gu memberitahu, berarti Sha Gu anak nakal.”

“Sha Gu tidak akan memberitahu… Sha Gu anak yang baik,” kata Sha Gu berulang kali.

Huang Rong menyuapi Guo Jing semangkuk besar bubur nasi dan juga memakannya sendiri, membantunya memasuki ruang rahasia. Saat menutup pintu dari dalam, ia melihat wajah sederhana Sha Gu menunjukkan senyuman. Sha Gu berkata, “Sha Gu tidak akan memberitahu.”

Tiba-tiba jantung Huang Rong berdebar. “Gadis ini sangat bodoh, bagaimana kalau setiap kali bertemu seseorang dia bilang, ‘Mereka berdua makan semangka di dalam lemari, tapi Sha Gu tidak mau memberitahu?’ Satu-satunya cara untuk memastikan keselamatan kita adalah dengan membunuhnya.”

Ia tumbuh di bawah pengaruh ayahnya. Kebajikan dan keadilan, perbedaan antara yang baik dan yang jahat tidak penting bagi mereka. Meskipun ia tahu bahwa Sha Gu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Qu Lingfeng, pada saat itu ia menghadirkan bahaya bagi keselamatan Guo Jing. Bahkan jika ada selusin Sha Gu, ia akan membunuh mereka semua.

Ia mengambil belati dari pinggang Guo Jing dan berjalan keluar ruangan.

Puisi Karya Yu Guobao

Dalam karakter aslinya (tradisional) adalah sebagai berikut.


一春長費買花錢,
日日醉湖邊。
玉驄慣識西湖路,
驕嘶過、沽酒樓前。
紅杏香中簫鼓,
綠楊影裏鞦韆。

暖風十里麗人天,
花壓鬢雲偏。
畫船載取春歸去,
餘情付、湖水湖煙。
明日重扶殘醉,
來尋陌上花鈿。

Yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris berikut:


Throughout spring I've spent a considerable amount on ladies,
Ending up inebriated by the lake day after day.
Even my white stallion has become familiar with the directions to the West Lake.
It would give a proud neigh as we arrive at the front of a drinking house.
A garden of red apricot blossoms' scent is immersed in the sound of pipes and drums,
There in the shade of viridescent willows a swing sways.

A fine day it was, warm breezes wafted for miles along the way,
Ladies took to pinning flowers to their head tipping their hair.
Adorned cruise vessels set sail carrying spring away,
Cheerful sentiments lingered over the misty waters of the lake.
Tomorrow I shall there return with what remains of my intoxication
To seek her out along the trails.

Pepatah Tentang Sepatu Besi

Pepatah ini adalah salah satu bait dari puisi karya Xia Yuan Ding (夏元鼎), yang kira-kira sebaya dengan Guo Jing, karena tercatat bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 1201 M, di jaman Dinasti Song Selatan. Ia bukan orang terkenal, barangkali karena hal inilah Jin Yong yang memakai pepatah ini luput memperhatikan bahwa ada kemungkinan saat Guo Jing mengucapkannya, puisi itu belum ada.

Isi selengkapnya kutipan tersebut adalah:


崆峒访道屈尊乎,万卷丹书看转愚。
Kōng dòng fǎng dào qūzūn hū, wàn juàn dān shū kàn zhuǎn yú.
Aku pergi ke pegunungan Kong Dong untuk mencari kebenaran, aku membaca sepuluh ribu buku, yang hanya membuatku lebih bingung.

踏破铁鞋无觅处,得来全不费工夫。
Tàpò tiě xié wú mì chù, dé lái quán bù fèi gōngfū.
Aku pergi kemana-mana, bahkan sampai sepatu besiku rusak, tapi masih tidak mendapat apa-apa, ternyata ada tepat di depan 
mataku.

Baris pertama bermakna segala buku tak dapat menjelaskan keindahan pegunungan Kong Dong. Sedangkan baris kedua dipakai untuk menerangkan sebuah makna ‘Perjuangan keras mencari kebenaran ke segala tempat yang jauh, ternyata akhirnya didapat hanya karena keberuntungan’.

  1. Wu Bao (五宝), secara literal berarti ‘Lima Harta Karun’. Yang dimaksud harta karun ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Tionghoa tradisional. Secara umum dapat kita sebutkan sebagai Qi, Darah, Shen, Cairan Tubuh, dan Jing. Ini semua sangat tergantung pada bagaimana orang menafsirkan makna teks kuno, dan saya sendiri sama sekali jauh dari ahli mengenai masalah tersebut, jadi istilah ini hanya diterjemahkan apa adanya. Kaitannya dengan nama makanan itu sendiri adalah, rasa dan manfaat kuliner tersebut dapat memenuhi tuntutan kelima ‘harta karun’ di atas. 

  2. Sha (傻) memang bisa diartikan ‘konyol’ atau bodoh/tolol. Sedangkan Gu (姑) sebenarnya berarti ‘tante’ atau seorang wanita. Tetapi kalau digunakan bersama Niang (娘) akan menjadi ‘Nona’. Istilah Sha Gu (傻姑) bisa diterjemahkan menjadi ‘Si Bodoh’ untuk seorang perempuan. 

  3. Sebetulnya sama dengan Sha Gu, tetapi Shazi ditujukan kepada seorang anak laki-laki. 

  4. Dinasti Shang adalah kerajaan tertua yang tercatat dalam sejarah Tiongkok, dengan bukti sejarah sangat lengkap, yang berasal dari penggalian arkeologi modern. Dinasti Xia, yang sebetulnya tercatat sebagai pendahulu Dinasti Shang, tidak pernah diketemukan bukti-bukti arkeologi peninggalannya. Dinasti Shang digulingkan oleh pemberontakan Ji Fa sekitar tahun 1046 SM, yang menandai dimulainya era Dinasti Zhou. 

  5. Song Zi Tian Wang Tu (送子天王图) adalah nama lukisan dari seorang pelukis terkenal dari Dinasti Tang, yang bernama Wu Daozi (吴道子), 685-758 M. Judul lukisan itu bisa diterjemahkan menjadi ‘Mengirimkan Seorang Anak Ke Tahta Surga’. 

  6. Mu Ma Tu (牧马图) adalah lukisan hasil karya Han Gan (韩干 atau tradisional:韓幹), 706-783 M, juga berasal dari era Dinasti Tang. Judul tersebut bisa diterjemahkan menjadi ‘Penggembala Naik Kuda’. Dalam terjemahan novel bahasa Inggris hasil karya penggemar, nama Han Gan ditulis Han Ganhua. 

  7. Li Houzhu (李後主) adalah kaisar terakhir dari Dinasti Tang Selatan, yang sebetulnya bernama Li Yu (李煜), 937-978 Masehi. Li Yu dikenal sangat berbakat di dalam seni, dengan banyaknya puisi, prosa, dan juga lukisan hasil karyanya. Sebelum tahun 961 M, ia lebih dikenal dengan nama Li Congjia (李從嘉). Nama Li Houzhu itu sendiri juga bermakna ‘Penguasa terakhir dari keluarga Li’. Salah satu catatan sejarah penting dari Li Yu adalah konflik yang sulit diuraikan dengan keluarga pendiri Dinasti Song, yaitu Zhao Kuangyin (赵匡胤), di mana ketika Song berhasil menaklukkan Dinasti Tang Selatan, Li Yu tidak dibunuh. Adalah adik kandung Zhao Kuangyin, yaitu Zhao Kuangyi (赵匡义), yang membunuhnya, sebagian karena skandal hubungan seksual dengan adik kandung dari permaisuri Li Yu, yang juga punya skandal dengan Li Yu sendiri. Zhao Kuangyi sendiri saat itu juga punya konflik dengan kakak kandungnya, yang berhubungan dengan tahta Kekaisaran. Judul lukisan tersebut bisa diartikan ‘Menyeberangi Mata Air Hutan’. 

  8. Liang Kai (梁楷) adalah pelukis dari Kekaisaran Song Selatan, yang hidup dari tahun 1140-1210 M. Ia juga dikenal dengan sebutan ‘Orang Gila Liang’, karena gaya lukisannya yang sangat informal. Figur dalam lukisannya, yang mengingatkan Huang Rong kepada Zhou Botong, kemungkinan besar adalah Li Bai, seorang seniman terkenal dari era Dinasti Tang, yang pernah menulis sajak tentang Yang Guifei. Puisi tersebut akhirnya dijadikan bahan oleh beberapa pihak untuk menyingkirkan Li Bai dari istana, dengan memperalat Sang Kaisar Xuanzong (Li Longji), yang teramat sangat menyayangi Yang Guifei. 

  9. Batangan perak berbentuk kapal, uang jaman dulu. 

  10. Yang dimaksud karung beras dan kantong arak di sini adalah para pengawal istana. 

  11. Ini adalah pepatah kuno, Yi Yan Ji Chu, Si Ma Nan Zhui (一言既出,驷马难追). Maksudnya adalah tekad untuk menepati janji. 

  12. Duan Qiao Can Xue (断桥残雪), atau Jembatan Rusak tempat orang bisa melihat sisa-sisa salju. 

  13. Feng Ru Song (风入松), artinya adalah ‘Angin Meniup Pohon Pinus’. 

  14. Fu (扶) = Membantu, meluruskan, atau melegakan. 

  15. Xie (攜) = Membawa serta. 

  16. Zui (醉) = mabuk. 

  17. Jiu (酒) = arak. 

  18. Cui Wei Ting (翠微亭) = Pondok Hijau Kecil. 

  19. Zheng Yi (征衣) adalah seragam militer yang dipakai para prajurit di jaman dulu. 

  20. Ma Ti (马蹄) = tapal kuda. 

  21. Wulin Yuan (武林园) = Taman Ilmu Bela Diri. 

  22. Zhong Kui (钟馗) adalah karakter di dalam mitologi Tiongkok, yang sanggup mengusir roh jahat. Ini adalah simbol dari seseorang yang punya keberanian untuk melawan kejahatan. 

  23. Pan Guan (判官) juga karakter dalam mitologi Tiongkok, hakim di dunia akhirat. 

  24. Zao Jun (灶君 atau 灶神) juga karakter mitologi Tiongkok, Dewa Dapur. 

  25. Tu Di (土地) adalah Dewa Bumi, atau dewa lokal. 

  26. Shen Bing (神兵), sama seperti Zhong Kui, Pan Guan, Zao Jun, dan Tu Di, adalah karakter di dalam mitologi Tiongkok. Shen Bing adalah prajurit Surga, dalam arti ‘Prajurit Ilahi’. 

  27. San Yuan Lou (三原楼), leebih enak kalau kita tulis Kedai San Yuan, atau dibiarkan apa adanya. 

  28. Liu Yong (柳永) adalah seorang penyair Dinasti Song Utara (sekitar 984–1053 M). Ia dikenal karena memakai gaya bahasa yang sangat vulgar bagi jaman itu, dan juga kehidupan pribadinya yang sering menghabiskan waktu di rumah-rumah bordil, termasuk membuat sajak untuk para penghuninya. Selain itu Liu Yong juga dikenal sebagai orang pertama yang melakukan reformasi terhadap puisi Song Ci (宋词). 

  29. Lagu atau syair berjudul Wang Hai Chao (望海潮), yang berarti ‘Memandang Gelombang Laut’. Puisi ini ditulis oleh Liu Yong pada tahun 1003, Wang Hai Chao. Dong Nan Xíng Sheng (望海潮·东南形胜). Puisi tersebut ebetulnya ditulis Liu Yong sebagai sapaan kepada Sun He, salah seorang pejabat kompeten dari Dinasti Song. Begitu diedarkan, puisi tersebut dengan cepat menyebar dan menjadi sangat populer. Sejak itu nama Liu Yong pun dikenal orang. 

  30. Liu Bu Shan (六部山) = Bukit Enam Kementrian. 

  31. Jia Ming Dian (嘉明殿) = Gedung yang terang dan megah. 

  32. Cui Han Tang (翠寒堂) = Gedung Giok Dingin. 

  33. Melati, atau Mo Li (茉莉). 

  34. Su Xin (素馨), kemungkinan adalah Bunga Kamboja. 

  35. She Xiang Teng (麝香藤), kemungkinan adalah sejenis bunga kesturi. 

  36. Hanya ada nama latin dari bunga ini, vermillion hibiscus. Tidak ditemukan referensi tentang nama Shu Jin. 

  37. Yu Gui (玉桂), tampaknya adalah Cinnamon atau Kayu Manis. 

  38. Hong Jiao (红蕉), nama ini sendiri berarti ‘Pisang Merah’. 

  39. Pipa (枇杷), adalah sejenis buah yang rasanya asam, berwarna kuning-oranye seperti kuning telur, dan berbentuk bulat telur. 

  40. Ping Shen (平身), biasa digunakan oleh kaisar untuk mempersilakan para bawahannya bangkit berdiri setelah memberi hormat. Tetapi Guo Jing menambahkan kata ‘Silakan’, atau Qing (请), yang menjadikannya sangat aneh.