Mengendarai elang Guo Jing berulang kali berteriak, memanggil kuda merah kecil di darat untuk mengikuti mereka. Dalam waktu singkat sepasang elang itu telah menempuh jarak yang cukup jauh. Meskipun sepasang elang ini luar biasa besar, mereka tidak dapat terbang terlalu jauh sambil membawa manusia di punggungnya. Tidak lama kemudian, mereka mulai turun dan akhirnya mendarat di tanah.

Guo Jing segera melompat dari punggung elang dan bergegas melihat kondisi Huang Rong. Ia menemukan bahwa Huang Rong pingsan saat berada di punggung elang. Dengan tergesa-gesa ia membuka ikat pinggangnya dan memijat nadinya. Setelah beberapa saat Huang Rong sadar kembali, tetapi masih linglung dan tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun.

Pada saat itu awan gelap menggantung di langit, menghalangi bulan dan bintang menyinari cahayanya ke tanah. Setelah nyaris lolos dari kematian, ketika ia mengingat apa yang baru saja terjadi, Guo Jing masih menggigil ketakutan. Ia memegang Huang Rong di tangannya, berdiri di tengah hutan belantara. Ia merasa dunia ini luas dan tidak jelas, dan tidak tahu kemana ia harus pergi. Ia tidak berani memanggil kuda merah kecilnya karena takut Qiu Qianren akan mendengar panggilannya.

Setelah berdiri diam selama setengah harian, ia tidak punya pilihan selain mulai berjalan. Setiap langkah yang diambilnya, ia menginjak semak atau rumput tinggi, tidak ada jalan sama sekali. Betisnya tertusuk duri di sepanjang jalan. Meski merasakan sakit, ia dengan tabah berjalan ke depan. Di sekelilingnya gelap gulita, bahkan jika ia mencoba membuka matanya lebar-lebar, ia tetap tidak bisa melihat tangannya di depan matanya. Ia terpaksa berjalan sangat lambat, karena takut akan melangkah ke ruang kosong, namun karena takut orang-orang Telapak Besi akan mengejar, ia tidak berani berhenti.

Setelah berjalan merana sekitar dua li, tiba-tiba ia melihat sebuah bintang besar berkelap-kelip rendah di ufuk sebelah kirinya. Ia melihat dengan penuh perhatian, berusaha memahami apa yang dilihatnya, dan ia menemukan bahwa itu bukan bintang, tetapi cahaya api. Dan di mana ada cahaya, pastilah ada orang di sekitarnya. Guo Jing sangat senang, ia mempercepat langkah kakinya berjalan langsung ke sumber cahaya itu. Ia melihat bahwa cahaya itu terkadang menghilang di antara pepohonan, sepertinya sumber cahaya itu ada di dalam hutan lebat di depannya. Tapi begitu memasuki hutan ia tidak bisa berjalan lurus, jalurnya berbelok ke sana-sini, sehingga ia segera kehilangan cahaya itu. Sulit untuk melihat ke mana ia pergi di hutan lebat itu, jadi ia melompat ke atas pohon dan melihat ke sekeliling, dia menemukan bahwa cahaya sudah ada di belakangnya.

Ia berjalan kembali, tetapi dengan segera ia kehilangan arah lagi. Setelah berjalan berputar-putar, kepalanya pusing, kemanapun ia pergi, ia tidak bisa mencapai sumber cahaya itu. Ia sedang memikirkan sepasang elang dan kudanya, tetapi tidak tahu kemana mereka pergi. Ia berpikir untuk melompat dari pohon ke pohon, tetapi sangat gelap sehingga ia tidak bisa melihat ke mana harus melangkah, dan juga ia takut cabang-cabang pohon itu akan melukai Huang Rong. Tapi mereka harus mencari penginapan untuk bermalam karena ia tahu mereka tidak bisa tinggal di hutan yang gelap ini menunggu fajar. Ia bertekad untuk tetap berjalan meski harus membenturkan kepalanya ke pohon. Karena itu ia memutuskan untuk menenangkan diri dan mengatur napas terlebih dahulu, istirahat sejenak.

Sekarang Huang Rong perlahan sadar kembali, di punggung Guo Jing ia bisa merasakan bagaimana mereka berjalan berkeliling, berbelok kesana-kemari. Meskipun ia tidak bisa melihat apa-apa, ia mulai memahami jalur hutan. “Jing Gege, jalan menyilang ke kanan,” katanya dengan suara rendah.

“Rong’er, kau baik-baik saja?” tanya Guo Jing dengan senang.

Huang Rong bergumam tidak jelas, ia masih terlalu lemah untuk berbicara. Guo Jing berjalan mengikuti arahannya. Huang Rong diam-diam menghitung langkah kakinya. Setelah sekitar tujuh belas langkah ia berkata, “Berjalan ke kiri delapan langkah.” Guo Jing mengikuti instruksinya. Huang Rong kembali berkata, “Menyilang ke kanan lagi tiga belas langkah.”

Dengan satu memberikan arah yang lain mengikuti, dua orang itu membuat kemajuan yang bagus di jalur hutan berliku yang gelap gulita itu. Ketika Guo Jing berjalan bolak-balik sebelumnya, Huang Rong menyimpulkan dengan benar bahwa jalur ini adalah buatan manusia. Ia telah menguasai sebagian teori Wu Xing Qi Men yang luar biasa dari Huang Yaoshi, meskipun jalurnya membingungkan ia bisa melihatnya dengan jelas dengan mata tertutup. Jika siang hari ia akan tiba lebih cepat, tetapi dalam kegelapan ia sama sekali tidak bisa menemukan jalur yang aman.

Dengan mengikuti instruksi Huang Rong, Guo Jing terkadang berjalan ke kiri, terkadang ke kanan, terkadang secara diagonal beberapa langkah ke kiri atau ke kanan, kadang-kadang tampaknya ia berjalan menjauh dari cahaya, tetapi dalam waktu kurang dari waktu yang dibutuhkan untuk minum secangkir teh, sumber cahaya tiba-tiba muncul di depan mereka. Guo Jing sangat senang, ia berlari ke depan.

“Jangan terlalu cepat!” cegah Huang Rong dengan. “Aiyo!” teriak Guo Jing. Kakinya langsung tenggelam ke dalam parit. Dengan cepat ia menendang kakinya untuk menarik keluar dari parit. Begitu mereka kembali ke tanah yang padat, bau lumpur yang kuat dari kakinya menyerang lubang hidung mereka. Mereka melihat ke depan dan samar-samar melihat dua gubuk jerami yang dikelilingi lapisan tipis kabut. Cahaya itu berasal dari gubuk-gubuk ini.

Guo Jing dengan lantang berseru, “Kami kebetulan lewat, juga menderita luka serius. Kami mohon kepada tuan rumah agar memberi kami tempat untuk beristirahat dan air minum.” Namun setelah menunggu lama tidak ada jawaban yang keluar dari gubuk tersebut. Guo Jing memanggil lagi, tapi tetap tidak ada yang menjawab. Setelah memanggil untuk ketiga kalinya, suara perempuan menjawab dari dalam gubuk, “Kalian bisa sampai sejauh ini, tentu kau punya kemampuan untuk memasuki rumah. Masa aku harus keluar untuk menyambutmu?” Suaranya sangat dingin dan acuh tak acuh, jelas ia tidak menyambut pengunjung dan tidak ingin diganggu.

Dalam keadaan normal Guo Jing lebih suka bermalam di hutan, ia juga tidak suka kalau harus mengganggu tuan rumah yang tidak ramah, tetapi untuk saat ini kesejahteraan Huang Rong lebih penting baginya. Namun di depannya ada rawa yang luas, yang ia tidak tahu bagaimana cara menyeberang, karena itu dengan suara rendah ia mendiskusikan hal ini dengan Huang Rong.

Huang Rong berpikir sejenak lalu berkata, “Gubuk-gubuk ini dibangun di tengah kolam lumpur. Coba lihat dengan jelas dan beritahu aku apa benar bentuk gubuk itu satu persegi dan yang lainnya bulat.”

Guo Jing membuka matanya lebar-lebar sejenak lalu ia berseru, “Benar! Rong’er, kau tahu semuanya.”

“Pergi ke belakang gubuk bundar itu, dari sana jalan lurus ke sumber cahaya tiga langkah, lalu belok menyilang ke kiri empat langkah, lalu lurus tiga langkah dan menyilang ke kanan empat langkah. Kalau dengan hati-hati berjalan lurus dan menyilang seperti ini, kau tidak akan salah langkah,” kata Huang Rong.

Guo Jing mengikuti instruksinya dengan teliti, dan benar saja, setiap kali ia menginjakkan kakinya, ia akan menginjak tiang kayu yang terendam. Hanya saja tiang-tiang kayu itu yang tidak kokoh, ada yang goyah dan ada yang ditanam miring, jika ilmu meringankan tubuhnya tidak bagus, mereka akan jatuh ke rawa. Ia memusatkan seluruh perhatiannya untuk berjalan tiga langkah secara diagonal dan empat langkah lurus, dan setelah berjalan sebanyak seratus sembilan belas langkah, mereka sampai di depan gubuk persegi.

Gubuk itu sebenarnya tanpa pintu. Huang Rong berbisik, “Dari sini kau melompat ke depan, pastikan kau mendarat di sisi kiri.”

Membawa Huang Rong di punggungnya, Guo Jing melompat ke depan dan mendarat di sisi kiri, dia tidak bisa menahan perasaan kagum, “Semuanya persis seperti yang diantisipasi Rong’er.”

Ada sebuah halaman di dalam tembok, yang terbagi menjadi dua bagian, di sebelah kiri adalah tanah yang kokoh, sedangkan di sebelah kanan adalah sebuah kolam. Guo Jing melintasi halaman dan memasuki ruang utama. Di luar ruangan itu ada sebuah Yue Liang Men1 di atasnya. “Langsung saja,” kata Huang Rong, “Tidak ada yang aneh mulai dari sini.”

Guo Jing mengangguk. Dengan suara lantang dan jelas ia berkata, “Tamu-tamu yang numpang lewat ingin masuk ke dalam rumah. Zaixia mohon kepada tuan rumah yang terhormat2 untuk memaafkan kelancangan kami.” Ia menunggu sebentar lalu mulai memasuki ruangan.

Di dalam aula ada meja panjang, di atasnya ada tujuh lampu minyak, tersusun dalam formasi Bintang Utara. Seorang wanita berambut abu-abu berjongkok di tanah, pakaiannya terbuat dari kain kasar. Perhatiannya terfokus pada potongan bambu yang tak terhitung jumlahnya yang tersebar di tanah. Konsentrasinya begitu dalam, bahkan ketika mendengar ada orang masuk, ia tidak mengangkat kepalanya untuk melihat.

Guo Jing dengan lembut menurunkan Huang Rong di kursi. Di bawah cahaya lampu mereka melihat wajah wanita itu kurus dan pucat, seolah-olah tidak punya darah, mereka merasa iba. Guo Jing hendak membuka mulutnya meminta air, tetapi melihat wanita itu begitu asyik dengan apa pun yang dilakukannya, ia takut mengganggu, karenanya ia menahan diri.

Setelah duduk sejenak, semangat Huang Rong bangkit kembali. Ia melihat potongan bambu di tanah kira-kira panjangnya empat cun dan lebarnya dua fen, itu adalah potongan bambu yang biasanya digunakan untuk perhitungan. Sekali lagi ia melihat lebih dekat, perhitungan itu didasarkan pada metode perhitungan ‘shang, shi, fa, jie’3 dengan empat titik desimal. Saat ini ia sedang menghitung akar kuadrat dari 55.225, dengan posisi ‘shang’ telah menunjukkan hasil menjadi 230. Tapi wanita itu masih berkutat dengan digit ketiga.

Huang Rong menyindir, “Lima! Dua ratus tiga puluh lima!”

Wanita tua itu terkejut, ia mengangkat kepalanya, matanya berbinar, menatap Huang Rong dengan tatapan tajam, lalu segera menundukkan kepalanya untuk melanjutkan perhitungannya. Saat ia mengangkat kepalanya, Guo Jing dan Huang Rong melihat wajahnya yang sederhana dan cantik. Mereka percaya ia belum genap empat puluh tahun. Mungkin rambut di pelipisnya sudah memutih karena terlalu banyak pikiran.

Setelah menghitung beberapa saat, wanita itu menemukan jawabannya memang ‘lima’, ia mengangkat kepalanya untuk melihat Huang Rong lagi. Ia tampak bingung, tetapi juga marah, seolah-olah ia akan berkata, “Kau hanya anak ingusan, cuma kebetulan benar. Jangan main-main dengan urusanku di sini.” Ia menuliskan angka 2354 di selembar kertas, lalu melanjutkan ke soal berikutnya.

Kali ini dia sedang mencari akar pangkat tiga dari 34.012.224. Dia mulai dengan meletakkan Shang, Shi, Fang, diikuti oleh Lian, Yu dan Xia, enam batang dan menemukan digit pertama menjadi ‘tiga’.

Huang Rong dengan lembut berkata, “Tiga ratus dua puluh empat.”

Wanita itu mengeluarkan suara ‘Hmm’, bagaimana ia bisa mempercayainya? Ia terus menghitung, dan setelah kira-kira waktu yang diperlukan untuk menghabiskan secangkir teh, hasilnya keluar, memang ‘324’.

Wanita itu menegakkan punggungnya dan berdiri, ternyata dahinya penuh kerutan, tetapi pipinya penuh, wajahnya terlihat bulat. Setengah bagian atas wajahnya tampak tua, bagian bawahnya tampak muda, tampak seperti kedua bagian berbeda sebanyak dua puluh tahun. Matanya menatap Huang Rong, tiba-tiba ia menunjuk ke arah ruang dalam dan berkata, “Ikut aku.” Ia mengambil lampu minyak dan masuk.

Guo Jing menyangga Huang Rong dan mengikutinya ke dalam. Dinding ruang dalam berbentuk bulat, lantainya tertutup pasir halus. Di atas pasir tertulis banyak simbol aneh, garis dan lingkaran vertikal dan horizontal, juga beberapa karakter seperti Tai, Tian Yuan, Di Yuan, Ren Yuan, dan Wu Yuan.5

Guo Jing tidak tahu apa arti semua itu, ia takut mengacaukan simbol-simbol ini, jadi ia berhenti di pintu dan tidak berani masuk ke ruangan.

Sejak masa kecilnya, Huang Rong telah diajari oleh ayahnya dalam semua jenis matematika. Ia melihat simbol di lantai dan segera menyadari bahwa itu adalah teori matematika tingkat lanjut yang disebut Tian Yuan Zhi Shu6. Meskipun terlihat rumit, seharusnya tidak terlalu sulit untuk diselesaikan selama orang memahami prinsipnya.

Huang Rong menarik tongkat bambu dari pinggangnya, bersandar pada Guo Jing, lalu mulai menulis di atas pasir. Dalam waktu singkat ketujuh, delapan soal matematika di atas pasir diselesaikan. Wanita itu dengan susah payah mencoba memecahkan masalah itu selama berbulan-bulan, ketika melihat penyelesaian Huang Rong, ia merasa sangat bingung. Ia terdiam agak lama, lalu tiba-tiba bertanya, “Siapa kau?”

Huang Rong tersenyum tipis dan menjawab, “Apa yang istimewa Tian Yuan Si Yuan Zhi Shu? Buku matematika terdiri dari sembilan belas dasar, setelah Ren ada Xian, Ming, Xiao, Han, Lei, Ceng, Gao, Shang, dan Tian. Sebelum Ren adalah Di, Xia, Di7, Jian, Luo, Si, Quan, An, dan Gui. Setelah kita menguasai sembilan belas dasar itu, semua masalah lain akan kelihatan gampang!”

Wanita itu tampak sedih, tubuhnya gemetar, ia menjatuhkan diri ke lantai, memegangi kepalanya sambil tenggelam dalam pikiran. Sesaat kemudian ia mengangkat kepalanya dan dengan wajah gembira bertanya, “Kemampuan matematikamu seratus kali lipat lebih baik dariku, tapi ijinkan aku menanyakan ini, kau punya susunan tiga kali tiga dari nomor satu sampai sembilan, tidak peduli bagaimana kau jumlahkan, secara vertikal, horizontal atau diagonal, jumlah dari tiga angka harus lima belas. Bagaimana caramu mengaturnya?”

Huang Rong berpikir, “Ayahku mendirikan Pulau Bunga Persik berdasarkan variasi lima elemen8, apanya yang misterius sih? Jiu Gong adalah dasar dari diagram Pulau Bunga Persik, mana mungkin aku tidak tahu?” Karena itu dengan tenang ia melafalkan, “Diagram Jiu Gong dibangun seperti pola pada cangkang kura-kura, empat dan dua adalah bahu, delapan dan enam adalah kaki. Tiga di kiri dan tujuh di kanan, atas sembilan dan bawah satu, sementara lima menempati bagian tengah.” Sambil melafalkan ini dia membuat diagram Jiu Gong di atas pasir.

Wajah wanita itu berubah pucat, ia menghela nafas, “Kupikir aku yang mengembangkan formula rahasia ini. Ternyata ada syair tentang itu yang diwariskan dari generasi ke generasi.”

Huang Rong tersenyum, “Tidak hanya Jiu Gong, bahkan kotak empat kali empat, atau lima kali lima, sampai kotak seratus kali seratus, tidak terlalu sulit,” katanya. “Misalnya kotak empat kali empat, kita punya enam belas angka dalam empat baris. Pertama kita menentukan empat pasang sudut, satu dan enam belas dibuat berpasangan, begitu pula empat dan tiga belas. Kemudian kita menentukan empat pasang di dalamnya, enam dan sebelas adalah sepasang, begitu pula tujuh dan sepuluh. Dengan cara ini, jumlah semua baris horizontal, vertikal, dan diagonal adalah tiga puluh empat.”

Wanita itu membuat diagram di atas pasir dan benar saja, seperti yang dikatakan Huang Rong. Huang Rong melanjutkan, “Setiap ruang dari diagram sembilan ruang itu bisa diubah menjadi Ba Gua. Delapan kali sembilan sama dengan tujuh puluh dua. Angka-angka satu sampai tujuh puluh dua mengelilingi Jiu Gong seperti karangan bunga. Setiap putaran terdiri dari delapan angka, setiap empat putaran membentuk lingkaran lain yang lebih besar, ada empat putaran sudut sekaligus, yang membuat jumlah putaran menjadi tiga belas. Jumlah angka dalam setiap putaran adalah dua ratus sembilan puluh dua. Variasi diagram ini dicatat dalam Luo Shu, sangat indah dan ajaib, tidak heran kau tidak menyadarinya.” Sambil menjelaskannya, Huang Rong juga menggambar angka 72 dari delapan diagram sembilan ruang di atas pasir.

Wanita itu tercengang, ia bimbang dan bertanya, “Nona, siapa kau?” Tapi sebelum Huang Rong bisa menjawabnya, ia merasa dadanya sakit, wajahnya memucat, dan dengan cemas ia mengambil botol dari sakunya dan menelan pil hijau dari botol itu. Setelah agak lama wajahnya rileks, ia menghela nafas dan berkata, “Tamat, habislah sudah!” Dua tetes air mata mengalir di pipinya.

Guo Jing dan Huang Rong saling memandang, mereka pikir perilaku wanita ini sangat aneh.

Wanita itu belum berbicara apa-apa ketika tiba-tiba terdengar suara panggilan bersahut-sahutan dari luar. Itu adalah para pengejar dari Telapak Besi. “Mereka teman atau musuh?” tanya wanita itu.

“Mereka musuh yang mengejar kita,” kata Guo Jing.

“Telapak Besi?” tanya wanita itu lagi.

“Ya,” jawab Guo Jing.

Wanita itu mencondongkan telinganya untuk mendengarkan sebentar dan kemudian berkata, “Qiu Bangzhu secara pribadi memimpin anak buahnya untuk mengejar. Siapa kalian sebenarnya?” Saat menanyakan ini suaranya sangat tegas.

Guo Jing bergerak maju selangkah, berdiri di depan Huang Rong, dan dengan tenang ia berkata, “Kami adalah murid-murid Dewa Pengemis Sembilan Jari, Hong Bangzhu. Adik seperguruanku terluka oleh Qiu Qianren dari Telapak Besi. Kami berlindung di sini. Kalau Qianbei punya hubungan dekat dengan Telapak Besi dan tidak mau memberi kami perlindungan, kami akan pergi.” Setelah mengatakan hal ini, ia mengangkat tinjunya dan kemudian berbalik untuk membantu Huang Rong berdiri.

Wanita itu tersenyum dengan acuh tak acuh dan berkata, “Kau masih muda, tapi keras kepala. Kau bisa bertahan, tapi menurutmu Xiao Shimei-mu ini bisa? Jadi kalian murid Hong Qigong, tidak heran kau punya kungfu seperti ini.”

Ia mendengar teriakan orang-orang Telapak Besi terkadang jauh dan terkadang dekat, terkadang tinggi dan terkadang rendah, ia menghela nafas dan berkata, “Mereka tidak bisa menemukan jalan, mereka tidak bisa masuk, santai aja. Bahkan jika mereka berhasil masuk, kalian adalah tamuku, mana mungkin Dewi… Dewi… Ying Gu membiarkan orang lain menggertak tamu kehormatannya?” Ia berpikir, “Tadinya aku dipanggil Shen Suanzi9 Ying Gu, tapi ilmu matematika bocah perempuan ini seratus kali lipat lebih baik dari aku. Mana mungkin aku menyebut diri Shen Suanzi lagi?” Karena itu ia hanya mengucapkan kata pertama Shen, tetapi tidak bisa memaksakan diri untuk mengucapkan dua karakter berikutnya.

Guo Jing membungkuk untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya. Ying Gu menyibakkan pakaian dari bahu Huang Rong untuk melihat lukanya. Ia mengerutkan alisnya tetapi tidak mengatakan apa-apa, ia mengambil botol dari dadanya dan melarutkan pil hijau ke dalam semangkuk air.

Huang Rong mengambil mangkuk itu tetapi ragu-ragu, mereka tidak tahu apakah wanita itu teman atau musuh, bagaimana ia bisa minum obatnya?

Ying Gu melihat keraguannya, dia dengan dingin berkata, “Kamu terluka oleh telapak besi Qianren, masih percaya bisa sembuh? Seandainya aku ingin menyakitimu, apa menurutmu sulit? Obat ini adalah pereda nyeri, kau tidak menginginkannya? Bagus!” Ia mengambil mangkuk itu kembali dan menuangkan isinya ke tanah.

Melihat kekasarannya terhadap Huang Rong, Guo Jing tidak bisa menahan amarahnya. “Adik seperguruanku terluka parah, masa kau bisa sekasar itu?” katanya. “Rong’er, ayo pergi.”

Ying Gu dengan dingin tersenyum dan berkata, “Dua gubuk kecil Ying Gu, apakah menurutmu dua anak kecil seperti kalian bisa datang dan pergi seenaknya begitu?” Dengan dua potongan bambu di tangannya, ia berdiri di ambang pintu, menghalangi pintu keluar.

Guo Jing berpikir, “Bicara tidak ada gunanya, harus pakai tenaga.” Ia berseru, “Qianbei, maafkan aku karena bersikap kasar.” Ia menekuk lututnya sedikit, membuat lingkaran dengan tangannya, ia meluncurkan Kang Long You Hui langsung ke pintu. Jurus ini sangat dahsyat, ia takut Ying Gu tidak bisa menahannya, jadi ia hanya menggunakan tiga puluh persen dari tenaganya. Niatnya hanyalah untuk membuka jalan, ia tidak ingin menyakiti siapa pun. Saat hembusan angin tiba di tubuh Ying Gu, Guo Jing memperhatikan dengan seksama bagaimana Ying Gu akan memblokir serangan ini, apakah ia harus menambah tenaganya atau menariknya segera. Secara tak terduga, Ying Gu hanya memiringkan tubuhnya sedikit, telapak tangan kirinya membuat gerakan diagonal untuk mendorong lengannya dengan ringan dan tenaga Guo Jing dialihkan ke samping.

Guo Jing tidak menyangka ia punya ilmu setinggi itu, ia terdorong maju setengah langkah dari momentum tenaganya sendiri. Ying Gu juga terkejut bahwa dengan serangan yang begitu kuat Guo Jing mampu mempertahankan kuda-kudanya dengan kuat di atas pasir dan tidak jatuh. Dari satu gebrakan ini keduanya diam-diam mengagumi kemampuan lawan mereka.

“Nak, kau sudah mempelajari seluruh keterampilan gurumu?” seru Ying Gu dengan keras. Sambil berteriak ia menggunakan potongan bambunya untuk menotok titik akupuntur Qu Ze di tikungan lengan kanan Guo Jing. Itu adalah titik penting, Guo Jing tidak berani mengabaikan serangan ini. Ia melakukan serangan balik dengan jurus lain dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga.

Setelah beberapa jurus, Guo Jing menyadari bahwa kungfu Ying Gu adalah murni bersifat Yin, yang lunak. Jelas ia tidak melakukan satu serangan frontal, tetapi setiap gerakannya berisi serangan balik yang mematikan, jika Guo Jing tidak menguasai Shuang Shou Hu Bo yang diajarkan Zhou Botong, ia akan terluka sejak dini.

Semakin bertarung semakin ia tidak berani meremehkannya, secara bertahap ia meningkatkan tenaga telapak tangannya, tetapi kungfu Ying Gu sangat unik, gerakannya tampak lembut dan tak bertenaga, tetapi seperti merkuri yang mengalir deras, menembus setiap lubang, membuatnya hampir mustahil untuk dilawan.

Beberapa langkah kemudian Guo Jing terpaksa mundur dua langkah. Tiba-tiba ia teringat nasihat Hong Qigong ketika ia berhadapan dengan Luo Ying Shen Jian Zhang Huang Rong, terlepas dari ribuan perubahan atau puluhan ribu variasi yang digunakan lawan, ia harus mengabaikan semuanya dan terus bertarung menggunakan Delapan Belas Jurus Penakluk Naga untuk memastikan kemenangan.

Awalnya ia tidak punya keinginan untuk bertarung, selain itu wanita ini terlihat seperti seorang Qianbei yang baik. Tetapi tanpa permusuhan atau melakukan kesalahan apa pun, ia mencegah mereka keluar dari gerbang. Guo Jing masih tidak ingin terlibat atau lebih buruk lagi, melukainya, karenanya ia hanya menggunakan tiga puluh persen dari tenaganya, tapi tak terduga wanita ini ternyata sangat kejam. Jika ia lengah sedikit saja, keduanya akan mati di tempat itu.

Guo Jing menarik napas dalam-dalam, mengangkat kedua sikunya sedikit, tangan kanan membentuk kepalan tangan dan tangan kiri telapak tangan, yang satu memukul secara vertikal, yang lain mendorong secara horizontal, yang satu cepat yang lain lambat, kedua tangan bergerak keluar. Itu jurus keenam belas dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, Lu Shuang Bing Zhi, yang diajarkan oleh Hong Qigong di aula leluhur Liu di Baoying. Dalam jurus ini keras dan lembut saling melengkapi, tegak dan terbalik saling melengkapi, keuntungannya tidak terbatas.

Kungfu Hong Qigong bersifat Yang, yaitu panas dan keras, tetapi ketika kekerasan mencapai puncaknya, secara alamiah akan ada kelembutan di tengah kekerasan. Dasar dari kungfu ini dapat ditemukan dalam Kitab Perubahan, Yijing, di mana Yang yang lebih tua melahirkan Yin yang lebih muda. Oleh karena itu di dalam Kang Long You Hui dan Lu Shuang Bing Zhi, tenaga keras dan tenaga lunak bercampur menjadi satu dan tidak mungkin dibedakan.

“Ah!” Ying Gu dengan lembut berseru dan buru-buru mengelak, ia berhasil melepaskan diri dari tinju kanan Guo Jing, tetapi terkena tendangan kirinya. Ia juga tidak bisa menghindari telapak kiri horizontal Guo Jing, yang mendorong bahu kanannya.

Saat tenaga telapak tangannya mencapai target, Guo Jing yakin ia akan terdorong ke belakang, ke dinding. Ia takut dinding tanah gubuk beratap jerami ini tidak akan cukup kuat dan runtuh, tetapi anehnya ketika telapak tangannya menyentuh bahunya, ia merasa tubuhnya ditutupi lapisan pelumas tebal yang sangat licin sehingga telapak tangannya tergelincir ke samping. Tapi tubuh Ying Gu juga tergetar, dan dua potongan bambu di tangannya jatuh ke tanah.

Guo Jing terkejut, dengan cepat ia menahan tenaganya, tapi kelincahan Ying Gu luar biasa, ia sudah memanfaatkan situasi yang menguntungkan. Sepuluh jarinya melesat ke depan dan menyerang titik akupuntur Shen Feng dan Yu Shu10 di dada Guo Jing. Totokannya sangat bagus.

Guo Jing merasa sudah terlambat untuk menangkis, ia mengelak ke samping sedikit. Langkahnya mirip dengan jurus yang digunakannya barusan, tapi serangan maut tersembunyi di dalam jurus itu. Sesuatu melintas di benaknya, “Ilmu totokannya agak mirip dengan Zhou Dage, kalau aku belum pernah latihan dengan Zhou Dage ribuan dan puluhan ribu kali di gua itu, aku tidak bakalan bisa menghindari serangannya sekarang.”

Ying Gu merasakan semburan tenaga keluar dari tubuh Guo Jing melalui lengan kanannya menuju lengannya sendiri, ia menyadari bahwa jika lengannya terkena dorongan musuh, maka lengannya pasti akan patah. Oleh karena itu sekali lagi ia menggunakan gerakan belutnya untuk membuat telapak tangan Guo Jing tergelincir dari bahunya.

Beberapa gerakan ini sangat indah, masing-masing tidak diantisipasi oleh lawan, keduanya terkejut, mereka melompat mundur beberapa langkah hampir bersamaan, keduanya mengambil posisi bertahan. Guo Jing berpikir, “Kungfu wanita ini sangat aneh! Kalau aku tidak bisa menyentuhnya, maka akulah yang akan selalu diserang.”

Ying Gu juga heran, ia berpikir, “Bocah ini masih sangat muda, bagaimana dia bisa punya kungfu semacam ini?” Setelah itu ia berpikir, “Aku bersembunyi di sini selama lebih dari belasan tahun, dan rajin latihan keras, secara tidak sengaja menguasai kungfu yang luar biasa, dan mengira sudah jadi tak terkalahkan di dunia, segera aku bisa keluar dari hutan ini untuk membalas dendam dan menyelamatkan seseorang. Tak disangka dalam matematika aku kalah jauh sama nona cilik ini, dalam hal kungfu bahkan bukan tandingan bocah ini, belakang telinganya masih basah. Apalagi dia sedang menggendong orang. Kalau sungguh-sungguh bertarung, aku pasti sudah kalah sejak tadi. Puluhan tahun aku menahan rasa sakit dan penderitaan, masa semua itu akan musnah terbawa air? Masa aku harus melepaskan keinginanku untuk membalas dendam dan menyelamatkan seseorang? Setelah memikirkan hal ini matanya menjadi merah dan hidungnya sakit, ia tidak bisa menahan air mata mengalir di pipinya.

Guo Jing tahu tenaga telapak tangannya sendiri telah mengguncangnya, ia berkata, “Wanbei sudah menyinggung Qianbei dengan kasar, aku benar-benar tidak bermaksud begitu, tolong maafkan aku dan biarkan kami pergi.”

Ying Gu memperhatikan bahwa saat berbicara, Guo Jing berulang kali menatap Huang Rong dengan penuh perhatian di wajahnya. Ia mengingat kemalangannya sendiri, bagaimana ia terpisah dari kekasihnya dan tidak dapat bertemu sampai hari ini, kecemburuannya timbul, dan ia berkata dengan nada dingin, “Nona ini terkena Telapak Besi Qiu Qianren. Ada bayangan gelap di wajahnya, dia tidak akan hidup sampai hari keempat, buat apa kau masih menguatirkannya?”

Guo Jing kaget, ia langsung memeriksa wajah Huang Rong, dan memang ia bisa melihat lapisan bayangan gelap di antara alisnya seperti diolesi tinta. Hatinya menjadi dingin, segera ia mengangkat Huang Rong dan dengan suara gemetar bertanya, “Rong’er, kau… bagaimana perasaanmu?”

Huang Rong merasakan dada dan perutnya panas membara sementara keempat anggota tubuhnya sedingin es. Ia tahu bahwa wanita itu tidak bicara omong kosong, ia menghela nafas dan berkata, “Jing Gege, selama tiga hari ini, jangan pernah meninggalkanku bahkan untuk satu langkah pun. Bisakah?”

“Aku… aku tidak akan meninggalkanmu bahkan setengah langkah pun,” kata Guo Jing.

Ying Gu mencibir dan berkata, “Bahkan jika kau tidak akan meninggalkannya setengah langkah, kau hanya punya tujuh puluh dua jam.”

Guo Jing mengangkat kepalanya, matanya berkaca-kaca. Ia memandang wanita itu dengan sungguh-sungguh memohon untuk tidak mengatakan apa pun yang mungkin menyakiti perasaan Huang Rong.

Ying Gu adalah seorang wanita malang, belasan tahun penderitaan telah membuat hatinya kebal. Melihat kedua orang yang saling mencintai ini mengalami bencana, hatinya dipenuhi dengan sukacita. Ia akan mengatakan sesuatu untuk menyakiti perasaan mereka ketika ia melihat ekspresi sedih Guo Jing. Tiba-tiba sebuah ide muncul seperti sambaran petir di benaknya, ia berpikir, “Ah, ah, surga mengirim keduanya ke sini untuk membantuku membalas dendam.” Ia mengangkat kepalanya dan merenung, “Surga, oh Surga!”

Saat itu suara orang berteriak di luar hutan semakin keras. Rupanya mereka telah mencari kemana-mana dan sampai pada kesimpulan bahwa Guo Jing dan Huang Rong masih berada di dalam hutan, hanya saja mereka tidak dapat menemukan cara untuk masuk.

Setelah lama, suara Qiu Qianren terdengar memanggil dari luar hutan, “Shen Suan Zi Ying Gu, Qiu Qianren dari Tie Zhang Bang ingin ketemu.” Ucapannya dilontarkan melawan angin, tetapi secara mengejutkan terdengar dengan jelas, menandakan tenaga dalam yang dahsyat.

Ying Gu berjalan ke jendela, mengumpulkan Qi di Dan Tian, dan berteriak balik, “Aku biasanya tidak menemui orang luar, siapa pun yang datang ke rawa hitam ini pasti mati, kau tidak tahu?”

“Ada seorang laki-laki dan perempuan datang ke rawa hitammu, tolong serahkan mereka kepadaku,” jawab Qiu Qianren.

“Siapa yang bisa masuk ke rawa hitamku? Qiu Bangzhu terlalu meremehkan Ying Gu,” seru Ying Gu.

Qiu Qianren tertawa dingin, sepertinya ia mempercayai kata-katanya. Kemudian mereka mendengar teriakan orang-orang Telapak Besi yang satu persatu meninggalkan tenpat itu. Ying Gu berbalik ke arah Guo Jing dan bertanya, “Kau ingin menyelamatkan adik seperguruanmu?”

Guo Jing tercengang, segera ia menekuk lutut untuk berlutut dan berkata, “Kalau Qianbei bersedia memberikan petunjuk…”

Wajah Ying Gu tiba-tiba tampak tertutup lapisan es, dengan tegas berkata, “Qianbei! Apa menurutmu aku sudah tua?”

“Tidak tidak!” kata Guo Jing buru-buru. “Tidak terlalu tua.”

Perlahan mata Ying Gu bergerak dari Guo Jing untuk melihat ke luar jendela, ia bergumam pelan, “Belum terlalu tua. Hmm, bagaimanapun juga, itu artinya aku sudah tua.”

Guo Jing senang dan cemas pada saat bersamaan, mendengarkan caranya berbicara, sepertinya Huang Rong bisa diselamatkan. Tapi kata-katanya telah menyinggung perasaannya, ia tidak yakin apakah dia masih mau memberikan bantuan. Ia ingin mengatakan sesuatu untuk mengoreksi, tetapi tidak tahu harus bilang apa.

Ying Gu berbalik ke arahnya, melihatnya berkeringat deras, terlihat sangat tertekan, ada tikaman rasa sakit di hatinya. “Kalau saja laki-lakiku menunjukkan sepersepuluh belas kasihan yang dimiliki anak bodoh ini, ah, hidupku tidak akan sia-sia,” katanya dalam hati. Kemudian ia dengan lembut melantunkan syair, “Empat mesin tenun, anyaman bebek mandarin ingin terbang bersama. Sayang sekali, belum tua tapi rambut di kepala sudah memutih. Ketika rerumputan musim semi yang hijau beriak di tengah dinginnya fajar, berdiri berhadap-hadapan mandi mengenakan pakaian merah.”

Mendengarnya membacakan puisi pendek ini, hati Guo Jing tergerak, ia diam-diam berpikir, “Kedengarannya tidak asing, aku pernah mendengarnya sebelumnya.” Tetapi berusaha sekuat tenaga, ia tidak dapat mengingat siapa yang menulisnya. Itu bukan Er Shifu Zhu Cong, juga bukan Huang Rong, jadi dengan suara rendah ia bertanya, “Rong’er, siapa yang mengarang puisi yang dibacanya? Apa artinya?”

Huang Rong menggelengkan kepalanya, “Ini pertama kali aku mendengarnya, aku tidak tahu siapa yang membuatnya. Hmm, ‘Sayang belum tua tapi rambut di kepala sudah memutih.’ Itu bagus! Bebek mandarin selalu berkepala putih…” Bicara sampai di sini, matanya tanpa sadar menoleh ke arah mata Ying Gu, rambut beruban. “Tepat ‘Sayang belum tua tapi rambut di kepala sudah memutih.’!” pikirnya.

“Rong’er diajar oleh ayahnya, ia tahu segalanya. Kalau itu adalah puisi terkenal, ia pasti tahu siapa yang menulisnya,” pikir Guo Jing, “Lalu siapa yang menulis puisi ini? Tidak mungkin dia, tidak mungkin ayahnya, juga aku yakin itu tidak mungkin Lu Zhuangzhu dari Gui Yun Zhuang. Tapi aku yakin aku pernah mendengarnya sebelum ini. Ah, tidak masalah siapa yang membacakan puisi ini selama orang tua ini benar-benar punya cara untuk menyelamatkan Rong’er. Ia mengajukan pertanyaan kepadaku dan aku memberinya jawaban yang salah. Kuharap ada cara untuk menebus kesalahanku. Aku tidak peduli apa yang akan dia minta…”

Saat ini Ying Gu masih ternggelam dalam kenangan masa lalunya, wajahnya kadang-kadang tampak gembira, kadang-kadang sedih. Dalam waktu singkat hatinya mengingat rasa terima kasih dan dendam yang terpendam puluhan tahun lamanya. Tiba-tiba ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Adik seperguruanmu terkena Telapak Besi Qiu Qianren. Aku tidak tahu dia sanggup menahan tenaga telapak tangannya atau tidak, atau mungkin kau yang menangkis telapak tangannya, jadi dia tidak langsung mati. Bagaimanapun juga, hanya dalam tempo tiga hari yang singkat… Hmm, hanya ada satu orang di muka bumi ini yang bisa menyelamatkan hidupnya!”

Guo Jing mendengarkan setiap kata yang diucapkannya, jantungnya berdebar kencang. Mendengar kalimat terakhirnya, ia berlutut dan membenturkan kepalanya ke tanah tiga kali sambil berteriak, “Tolong Qian… Bukan, bukan. Tolong bantu kami. Kami akan selamanya berterima kasih.”

Ying Gu dengan dingin berkata, “Heh! Kau kira aku punya ilmu untuk menyelamatkan orang lain? Kalau aku memang punya kemampuan suci ini, mengapa aku harus bertahan di tempat yang lembab dan sangat dingin seperti ini?” Guo Jing tidak berani membuka mulutnya. Sesaat kemudian Ying Gu melanjutkan, “Anggap saja dirimu beruntung bertemu denganku, dan aku tahu keberadaan orang ini, juga anggap dirimu beruntung karena dia tinggal tidak terlalu jauh, kau mungkin bisa mencapai tempatnya dalam tiga hari. Hanya saja, orang itu mau membantu atau tidak, sangat sulit untuk mengatakannya.”

Guo Jing merasa senang. “Aku akan dengan sungguh-sungguh memohon,” katanya, “Aku percaya dia tidak akan berpangku tangan melihat orang dalam kesulitan.”

Ying Gu menyeringai, “Apa maksudmu ‘tidak akan berpangku tangan melihat orang dalam kesusahan’? Melihat orang sekarat dan tidak melakukan apa-apa adalah perilaku alami manusia. Kau akan memohon dengan sungguh-sungguh, apakah menurutmu orang lain tidak? Apa kau pikir kau bisa membujuknya untuk membantumu? Apa yang sudah kau lakukan? Kenapa dia harus menolongmu?” Suaranya penuh dengan kepahitan dan kebencian.

Guo Jing tidak berani membuka mulutnya, saat ini ada secercah harapan untuk Huang Rong, ia membuat kesalahan bahkan setengah kata sekalipun, dan dengan demikian merusak kesempatan ini. Ia melihat wanita itu berjalan keluar ke ruangan persegi, duduk di meja, mengambil kuas, dan mulai menulis.

Setelah menulis sebentar, ia melipat kertas itu dan membungkusnya dengan kain, lalu ia mengambil jarum dan menjahit kain itu ke dalam kantong yang rapat. Dengan cara yang sama ia membuat tiga kantong, baru kemudian ia kembali ke ruang bundar. “Setelah meninggalkan hutan ini, hindari orang-orang Telapak Besi, lurus ke timur laut. Ketika tiba di perbatasan Kabupaten Taiyuan, buka kantong putih. Di dalamnya kau akan menemukan apa yang harus kau lakukan secara detail. Kau tidak boleh membuka kantong itu dengan alasan apa pun sebelum tiba di sana.”

Guo Jing sangat senang, ia memberikan janjinya berulang kali, dan mengulurkan tangannya untuk menerima kantong itu. Ying Gu menarik tangannya dan berkata, “Tidak secepat itu! Kalau orang itu tidak mau membantu, biarlah. Tetapikalau dia bersedia dan bisa menyelamatkan nyawanya, aku punya satu permintaan yang harus kau lakukan.”

“Kami telah menerima kebaikanmu,” kata Guo Jing, “Kalau Qianbei sesuatu untuk kami lakukan, beritahu kami.”

Ying Gu dengan dingin berkata, “Kalau adik seperguruanmu tidak mati, dalam sebulan dia harus kembali ke sini dan tinggal bersamaku selama setahun.”

“Untuk apa?” Guo Jing bertanya-tanya.

“Itu bukan urusanmu,” kata Ying Gu dengan tegas. “Aku cuma bertanya, dia mau atau tidak?”

Huang Rong menyela, “Kau ingin aku mengajarimu Qi Men Shu Shu11. Sesulit itukah? Baiklah, aku berjanji.”

Ying Gu melirik ke arah Guo Jing dan mengejek, “Tidak ada gunanya kau jadi laki-laki, kecerdasanmu bahkan tidak ada sepersepuluhnya adik seperguruanmu.” Tapi ia tetap memberikan ketiga kantong itu.

Guo Jing mengulurkan tangannya. Selain kantong putih, ia melihat kantong lainnya berwarna merah dan kuning. Ia meletakkan semuanya dengan aman di sakunya dan kemudian membungkuk untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya.

Ying Gu dengan cepat menyingkir, tidak mau menerima rasa terima kasihnya. “Kau tidak perlu berterima kasih,” katanya. “Aku tidak membutuhkannya. Kalian berdua bukan keluargaku atau temanku, mengapa aku ingin menyelamatkannya? Bahkan jika kita berhubungan, kau tetap tidak perlu berterima kasih kepadaku sebesar-besarnya! Terus terang saja, aku membantunya untuk kepentinganku sendiri. Huh, biar Surga menghukum orang yang tidak melakukan sesuatu untuk diri sendiri sampai mati!”

Kata-katanya terdengar sangat kejam di telinga Guo Jing, tapi ia tidak pernah pandai berkata-kata, jadi ia tidak ingin membantahnya, selain itu sekali ini ia harus memikirkan Huang Rong, ia tidak berani mengatakan apa-apa lagi, ia hanya mendengarkan dengan hormat.

Ying Gu memandang mereka dengan merendahkan, ia berkata, “Kalian berdua pasti lelah malam ini, dan juga lapar. Makanlah bubur.”

Huang Rong berbaring di sofa, setengah bangun dan setengah tidur. Guo Jing berdiri di sisinya dengan hati penuh dengan pikiran yang menggelisahkan. Sesaat kemudian Ying Gu kembali dengan nampan kayu di tangannya. Ada dua mangkuk besar bubur beras yang mengepul dan berbau harum di atas nampan, bersama dengan sepiring besar hidangan ayam liar dan sepiring kecil ikan yang diawetkan.

Guo Jing sudah lama lapar, sebelumnya ia lupa akan makanan karena sangat menguatirkan kondisi Huang Rong. Saat ini suasana hatinya sedang lebih baik. Melihat ayam, ikan, dan bubur, ia terpaksa menelan ludah seteguk. Dengan lembut ia menepuk tangan Huang Rong dan berkata, “Rong’er, bangun dan makan bubur.”

Huang Rong membuka matanya sedikit, menggelengkan kepalanya dan berkata, “Dadaku sangat sakit, aku tidak bisa makan.”

Ying Gu mencibir, “Aku punya obat untuk menghentikan rasa sakit, tapi kau sangat curiga.”

Huang Rong mengabaikannya, “Jing Gege,” katanya, “Ambil Pil Embun Sembilan Bunga Giok dan berikan padaku.” Ini adalah pil yang diberikan oleh Lu Chengfeng di Gui Yun Zhuang tempo hari. Huang Rong selalu membawanya di sakunya. Ketika Hong Qigong dan Guo Jing dilukai oleh Ouyang Feng, mereka meminum beberapa pil ini. Meski pil ini tidak bisa menyembuhkan luka mereka, tapi bisa menghentikan rasa sakit dan menyegarkan semangat mereka. Guo Jing menurut dan membuka ikatan kantongnya, mengeluarkan pil.

Ketika Huang Rong menyebutkan Pil Embun Giok Sembilan Bunga Giok, tiba-tiba tubuh Ying Gu sedikit tergetar, setelah ia melihat pil merah, ia dengan tegas berkata, “Apakah itu Pil Embun Sembilan Bunga Giok? Coba kulihat!”

Guo Jing merasa cara bicaranya sangat aneh, tanpa sadar ia mengangkat kepala untuk menatapnya. Ia melihat kilatan kejam di matanya, ia merasa lebih aneh, tapi ia tetap memberikan kantong pil padanya.

Ying Gu mengambil pil itu dan membawanya ke hidungnya. Aroma wewangian menyerang lubang hidungnya, memberinya perasaan sejuk. Ia memandang Guo Jing dengan tatapan tajam dan bertanya, “Ini adalah obat khusus Pulau Bunga Persik. Dari mana kalian mendapatkannya? Cepat katakan, ayo cepat katakan!” Kalimat terakhirnya bernada yang sangat sengit.

Hati Huang Rong tergerak, “Wanita ini mempelajari Qi Men Wu Xing, apa dia punya hubungan dengan salah satu murid ayahku?” Ia mendengar Guo Jing menjawab, “Dia putri dari Tao Hua Daozhu.”

Ying Gu melompat kaget, “Dia anak Huang Laoxie?” Matanya bersinar terang, satu lengannya terulur, yang lain ditarik ke belakang, seolah-olah akan menyerang.

“Jing Gege, kembalikan ketiga kantong itu!” kata Huang Rong. “Dia musuh ayahku, kita tidak butuh belas kasihannya.”

Guo Jing mengeluarkan kantongnya, tapi ia ragu untuk menyerahkannya. Huang Rong berkata, “Jing Gege, sudahlah! Aku belum tentu mati. Kalaupun aku mati, lalu kenapa?”

Guo Jing tidak pernah tidak mematuhi Huang Rong sejak awal, ia meletakkan kantong di atas meja dengan air mata mengalir di pipinya.

Ying Gu sedang melihat ke luar jendela, bergumam, “Surga, oh Surga!” Tiba-tiba ia berjalan ke kamar lain. Punggungnya menghadap mereka, jadi mereka tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.

“Ayo kita pergi,” kata Huang Rong, “Aku muak melihat perempuan ini.”

Sebelum Guo Jing sempat menjawab, Ying Gu masuk dan berkata, “Aku rajin belajar matematika karena ingin masuk ke Pulau Bunga Persik. Tetapi menilai dari putri Huang Laoxie, bahkan jika aku belajar selama seratus tahun lagi, itu tetap tidak berguna. Ini sudah takdir. Apa lagi yang bisa kukatakan? Pergi saja. Singkirkan kantong-kantong ini.” Sambil mengatakannya, ia mendorong kantong Pil Embun Sembilan Bunga Giok dan tiga kantong yang dibuatnya ke tangan Guo Jing. Kepada Huang Rong ia berkata, “Pil Embun Sembilan Bunga Giok ini berbahaya bagi lukamu. Jangan diminum apapun yang terjadi. Setelah kau sembuh, jangan lupa janjimu untuk tinggal bersamaku selama setahun. Ayahmu telah menghancurkan hidupku. Aku lebih suka memberikan semua makanan ini kepada anjing daripada kau makan.” Ia membuang bubur, ayam, dan ikan ke luar jendela.

Huang Rong mendidih karena marah, ia ingin membalas dengan sinis, tapi kemudian ia berubah pikiran. Ia memegang tangan Guo Jing dan berdiri, lalu dengan tongkat bambunya ia menulis tiga soal matematika di tanah.

Yang pertama mengikutsertakan koleksi Ri, Yue, Shui, Huo, Mu, Jin, Tu12 dari Qi Yao Jiu Zhi Tian Zhu Bi Suan.

Yang kedua adalah Li Fang Zhao Bing Zhi Yin Gei Mi Ti13.

Yang ketiga adalah Gui Gu Suan Ti14. “Ada angka yang tidak diketahui. Tiga dan tiga bersisa dua, lima dan lima bersisa tiga, tujuh dan tujuh bersisa dua, apakah operan matematika itu?”

Setelah menulis tiga soal ini, Huang Rong perlahan berjalan keluar sambil memegangi lengan Guo Jing. Saat melangkah melewati pintu, Guo Jing menoleh dan melihat tangan Ying Gu menggenggam alat hitungnya, matanya tertuju ke tanah seperti terpesona. Begitu mereka berada di luar, Guo Jing menggendong Huang Rong di punggungnya, masih mengikuti arahan Huang Rong, berjalan selangkah demi selangkah keluar dari rawa. Guo Jing takut salah menghitung langkahnya, jadi ia tidak berani bicara, tetapi begitu mereka meninggalkan hutan, ia bertanya, “Rong’er, apa yang kamu tulis di atas pasir?”

Huang Rong tersenyum, “Aku memberikan tiga soal matematika kepadanya. Huh, aku ragu apa dia bisa menyelesaikannya dalam setengah tahun. Biarkan semua ubannya memutih. Siapa yang menyuruhnya bersikap kasar?”

“Kenapa dia memusuhi ayahmu?” tanya Guo Jing.

“Aku belum pernah dengar Ayah menyebutkannya,” jawab Huang Rong. Setelah terdiam lama, ia tiba-tiba berkata, “Dia pasti sangat cantik saat masih muda. Jing Gege, kau setuju?” Sebenarnya ia menyimpan rasa curiga di dalam hatinya, “Apa mungkin dulu ayahku dan dia adalah sepasang kekasih? Huh, kemungkinan besar dia ingin ayahku menikahinya tapi ayahku tidak menginginkannya.”

Guo Jing menjawab, “Tidak masalah apakah dia cantik atau tidak, kalaupun dia tidak bisa menyelesaikan masalahmu, dia tetap tidak akan bisa mengejar kita dan mengambil kantong ini kembali.”

“Aku ingin tahu apa yang ada di dalam kantong-kantong itu. Aku ragu apa dia sungguh memikirkan keselamatan kita. Ayo kita buka dan lihat,” kata Huang Rong.

“Tidak tidak!” kata Guo Jing buru-buru. “Kita harus mengikuti petunjuknya, kita tidak boleh membukanya sampai kita tiba di Taoyuan.”

Huang Rong sangat penasaran, ia membujuk Guo Jing untuk membukanya, tetapi Guo Jing dengan tegas menolak, akhirnya Huang Rong menyerah.

Setelah sibuk sepanjang malam akhirnya langit mulai terang. Guo Jing melompat ke atas pohon untuk melihat ke sekeliling, ia lega tidak melihat jejak orang-orang Telapak Besi. Ia bersiul keras beberapa kali, dan kuda merah kecil itu berlari kencang. Tidak lama kemudian sepasang elangnya juga terlihat terbang di atas kepala mereka.

Keduanya baru saja menaiki kuda, ketika tiba-tiba mereka mendengar teriakan dari dalam hutan. Lusinan murid Telapak Besi bergegas maju. Mereka berjaga-jaga di sekitar hutan semalaman. Begitu mendengar siulan Guo Jing, mereka keluar untuk menangkap mereka. Untungnya Qiu Qianren tidak termasuk orang-orang ini. Guo Jing berseru, “Kalian meleset!” Ia menekankan kakinya di perut kuda dan kuda merah kecil itu berlari seperti angin, sesaat kemudian mereka tidak bisa melihat pengejar mereka lagi.

Menjelang siang hari itu kuda merah kecil itu telah berlari lebih dari seratus li, mereka berhenti di sebuah restoran kecil di pinggir jalan. Dada Huang Rong masih sakit, tetapi ia berhasil minum setengah mangkuk sup nasi. Guo Jing bertanya-tanya dan menemukan bahwa mereka telah tiba di perbatasan Taoyuan. Ia buru-buru mengambil kantong putih itu dan memotong benangnya. Di dalamnya ia menemukan peta dengan dua baris karakter yang berbunyi, “Ikuti rute yang ditunjukkan di peta. Di ujung jalan kalian akan menemukan air terjun dengan gubuk jerami di sebelahnya. Buka kantong merah saat tiba di sana.” Guo Jing tidak tinggal lebih lama lagi, mereka kembali menaiki kudanya dan bergegas pergi.

Setelah menempuh perjalanan sekitar tujuh sampai delapan puluh li, jalan semakin menyempit. Delapan sampai sembilan li kemudian mereka memasuki lorong sempit dengan dinding gunung di kedua sisinya. Segera jalan itu berubah menjadi gang berliku yang begitu sempit sehingga satu orang hampir tidak bisa masuk. Mereka terpaksa meninggalkan kuda kecil berwarna merah itu untuk merumput sendiri di sisi bukit. Guo Jing membawa Huang Rong dan menggendongnya, bersama-sama mereka memasuki gang. Mengikuti jalanan pegunungan yang curam, mereka berjalan sekitar dua jam. Kadang-kadang gang itu sangat sempit sehingga Guo Jing harus mengangkat Huang Rong ke atas dan berjalan menyamping, menyelip di antara dinding gunung.

Ini sudah bulan ketujuh, cuaca panas terik, seolah-olah panasnya cukup untuk melelehkan logam. Untungnya ada puncak gunung pencakar langit di sekitar mereka yang menyejukkan jalan mereka.

Sesaat kemudian Guo Jing lapar, dia mengambil beberapa roti kering dari sakunya dan menyobek beberapa potong untuk memberi makan Huang Rong. Namun ia tidak berhenti berjalan, ia makan sambil berjalan. Setelah makan tiga potong roti ia haus. Tiba-tiba ia mendengar dari kejauhan suara air terjun yang samar. Semangatnya bangkit dan ia mempercepat langkahnya.

Dalam kesunyian gunung, air terjun itu bergema di lembah, menimbulkan suara gemuruh yang keras seperti banjir yang deras. Semakin dekat, semakin keras suara itu. Ketika sampai di puncak bukit, ia melihat air terjun besar seperti naga putih keluar dari antara sepasang puncak di seberang bukit tempatnya berdiri, jatuh ke kolam besar di bawah dengan kekuatan yang mencengangkan.

Dari puncak bukit, Guo Jing melihat ke bawah dan melihat sebuah gubuk jerami di sebelah air terjun. Guo Jing duduk di atas sebongkah batu dan mengambil kantong merah dari sakunya. Di dalamnya ada selembar kertas dengan kata-kata ini, “Cedera yang diderita gadis ini hanya bisa disembuhkan oleh Kaisar Duan…”

Melihat ketiga karakter ‘Duan Huang Ye’, Guo Jing terkejut, “Kaisar Duan, bukankah dia Kaisar Selatan yang sama terkenalnya dengan ayahmu?” tanyanya.

Huang Rong kelelahan, tetapi mendengarnya menyebut Kaisar Selatan, hatinya tergerak. “Kaisar Duan?” katanya. “Shifu juga mengatakan bahwa lukanya hanya dapat disembuhkan oleh Kaisar Duan. Aku mendengar ayahku menyebutkan Kaisar Duan adalah kaisar Dali di Yunnan. Bukankah itu…” Tiba-tiba ia teringat bahwa tempat ini dengan Yunnan dipisahkan oleh ‘puluhan ribu sungai dan ribuan gunung15. Tidak mungkin dicapai dalam tiga hari. Tiba-tiba dadanya terasa dingin. Ia berusaha duduk dan bersandar pada Guo Jing, mereka membaca bersama.

“Cedera yang diderita gadis ini hanya bisa disembuhkan oleh Kaisar Duan. Karena banyak perilakunya yang tidak lurus, ia menyembunyikan dirinya di Taoyuan, dan mempersulit orang luar untuk melihatnya. Siapa pun yang mencari bantuan pengobatan adalah hal yang tabu baginya, kalau kau menyebutkan niatmu, sebelum kau mencapai kediamannya, kau akan dihentikan oleh tangan-tangan jahat seorang nelayan, penebang kayu, petani, dan sastrawan. Oleh karena itu kau harus mengatakan bahwa kalian punya pesan penting dari guru kalian Hong Qigong dan ingin bertemu dengan Kaisar. Setelah kalian berada di hadapan Kaisar Selatan, berikan kantong kuning itu kepadanya. Nasib kalian bergantung pada hal ini.”

Selesai membaca, Guo Jing menoleh kepada Huang Rong hanya untuk melihatnya mengerutkan kening dalam diam. “Rong’er,” tanyanya. “Mengapa Kaisar Duan melakukan banyak perbuatan tidak benar? Mengapa mencari bantuan pengobatan adalah hal yang tabu baginya? Apa tangan jahat seorang nelayan, penebang kayu, petani, dan sastrawan?”

Huang Rong menghela nafas, “Jing Gege, tolong jangan mengira aku begitu pintar sehingga aku bisa tahu segalanya.”

Guo Jing terkejut, ia mengulurkan tangannya dan memeluk Huang Rong. “Baik, mari kita turun,” katanya. Melirik ke kejauhan, ia bisa melihat ada seorang laki-laki duduk di bawah pohon willow di sebelah air terjun. Laki-laki itu memakai topi bambu, namun karena jaraknya yang cukup jauh ia tidak bisa melihat dengan jelas apa yang dilakukan orang itu.

Pertama, ia sedang terburu-buru, kedua, jalan turun jauh lebih mudah, oleh karena itu tanpa perlu banyak waktu Guo Jing dengan Huang Rong di punggungnya dengan cepat tiba di dekat air terjun. Ia melihat orang itu memakai baju pelindung hujan, duduk di atas sebongkah batu, sedang memancing.

Air yang jatuh menciptakan jeram yang kuat, air mengalir terlalu cepat, bagaimana mungkin ada ikan? Kalaupun ada, bagaimana mungkin ikan punya waktu untuk mengambil umpannya?

Guo Jing melihat orang itu berusia sekitar empat puluh tahun, wajahnya hitam seperti dasar pot, penuh dengan janggut dan kumis yang tumbuh seperti sikat kawat. Matanya menatap tak bergerak ke arah air. Melihat ia sedang memancing dengan penuh perhatian, Guo Jing tidak berani mengganggu, ia menurunkan Huang Rong di dekat pohon willow untuk beristirahat, sementara mereka menunggu untuk melihat jenis ikan apa yang hidup di air terjun itu.

Setelah menunggu lama, tiba-tiba seberkas cahaya keemasan keluar dari air, wajah nelayan itu tampak kegirangan, pancingnya ditekuk ke bawah. Mereka melihat sesuatu yang panjangnya sekitar satu kaki menggigit tali pancing. Sesuatu itu tidak terlihat seperti ikan atau ular, tampak sangat aneh.

Guo Jing tercengang, ia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya dan berteriak, “Ah! Apa itu?”

Pada saat itu garis emas lainnya melompat ke atas air untuk menggigit tali pancing. Nelayan itu senang, ia menjaga pancingnya tetap stabil. Tapi gagang itu semakin bengkok. Si Nelayan berjuang untuk membuatnya tetap lurus. ‘Krekk!’ tiba-tiba gagang itu patah. Dua ekor ikan aneh melepaskan pancingnya, lalu berenang pergi dengan puas. Arus airnya sangat kencang tapi sepertinya ikan-ikan itu berenang di air yang tenang. Dalam sekejap mereka menghilang di bawah batu.

Nelayan itu berbalik dengan mata melotot marah, berteriak keras, “Chou Xiaozi, Laofu menunggu dengan susah payah setengah harian, lalu kau bangsat kecil ini datang dan menakuti-nakuti mereka.” Tangannya terentang dengan telapak tangan terbuka lebar, maju dua langkah siap menerkam. Tapi untuk alasan yang tidak jelas ia berhasil mengendalikan emosinya, dan menahan tangannya yang besar itu, persendian jarinya mengeluarkan suara gemeretak, wajahnya penuh emosi.

Guo Jing menyadari bahwa ia secara tidak sengaja menyebabkan masalah, karena itu ia tidak berani balik berdebat. “Paman marah, itu salahku. Tapi ikan aneh macam apa mereka?” tanyanya dengan rendah hati.

Nelayan itu memarahinya, “Kau buta ya? Itu bukan ikan, itu Jin Wawa16.”

Guo Jing tidak marah meski dimarahi, ia tersenyum dan bertanya lebih lanjut, “Maafkan ketidaktahuanku, tapi apa itu Jin Wawa?”

Nelayan itu jadi marah, ia berteriak, “Jin Wawa ya Jin Wawa, kau bocah tengik ini mau tahu saja!”

Karena Guo Jing sungguh-sungguh ingin memintanya menunjukkan jalan untuk menemui Kaisar Duan, ia tidak berani mengatakan apa-apa, ia hanya mengangkat dan merangkapkan tangannya untuk meminta maaf.

Huang Rong tidak bisa menahan kesabarannya lebih lama lagi, ia menyela, “Jin Wawa itu ikan raksasa berwarna emas. Kami memelihara beberapa pasang di rumahku. Apa sih anehnya ikan itu?”

Mendengarkan Huang Rong dengan benar menjelaskan apa sebenarnya Jin Wawa itu, nelayan itu agak heran, ia mengomel, “Huh, mulutmu terlalu besar! Memelihara beberapa pasang! Coba kutanya, tujuannya untuk apa?”

“Apa tujuannya?” kata Huang Rong balik bertanya, “Mereka menarik, bisa mengeluarkan suara ‘ya ya ya’ seperti bayi kecil, jadi kami membesarkan mereka untuk bermain-main dengan mereka.”

Mendengar ia mengatakan hal yang benar, wajah nelayan itu melembut, ia berkata, “Xiao Wawa, kalau kau memelihara beberapa pasang di rumahmu, maka kau harus memberiku sepasang untuk ganti rugi.”

“Wah, kenapa aku harus memberikan ganti rugi?” tanya Huang Rong.

Nelayan itu menunjuk ke arah Guo Jing dan berkata, “Aku kebetulan menangkap satu dengan alat pancingku, tapi dia datang dan berteriak kasar, maka yang lain muncul dan menarik alat pancingku. Jin Wawa ini sangat pintar, setelah lolos dari bahaya, jangan pernah berpikir untuk menangkapnya untuk kedua kalinya. Kalau aku tidak minta ganti rugi kepadamu, lalu aku harus minta kepada siapa?”

Huang Rong tersenyum, “Kalaupun kau menangkapnya, kau hanya menangkap satu. Cobalah sekuat tenaga, tetapi mana mungkin yang kedua mau menggigit umpanmu?”

Nelayan itu tidak menemukan kata-kata untuk menjawab, ia menggaruk kepalanya dan berkata, “Baiklah, berikan aku satu.”

“Kalau kau memisahkan sepasang Jin Wawa, dalam tiga hari keduanya akan mati,” kata Huang Rong.

Nelayan itu tidak ragu lagi, ia merangkapkan tangannya dan membungkuk dengan hormat kepada Guo Jing dan Huang Rong, “Baiklah, anggap saja itu salahku,” katanya. “Maukah kau berbagi pasangan denganku?”

Huang Rong tersenyum. “Katakan dulu, apa yang akan kau lakukan dengan Jin Wawa?” tanyanya.

Nelayan itu ragu-ragu sedikit, lalu menjelaskan, “Baiklah, akan kuberitahu. Paman guruku orang India. Dia datang mengunjungi guruku beberapa hari terakhir ini. Dalam perjalanan ke sini dia berhasil menangkap sepasang Jin Wawa, dia sangat senang. Dia bilang ada serangga yang sangat beracun yang merugikan banyak orang di India. Tidak ada cara untuk memusnahkan serangga ini. Jin Wawa ini sebenarnya adalah musuh serangga. Dia memintaku untuk merawat mereka selama beberapa hari, dan kemudian mengembalikannya kepadanya pada saat dia selesai bicara dengan guruku dan siap untuk turun gunung. Dia akan membawa mereka pulang ke India dan mengembangbiakkan mereka. Siapa sangka…”

“Siapa sangka kau tidak berhati-hati dan membiarkan Jin Wawa itu kabur ke air terjun ini,” potong Huang Rong.

Nelayan itu terkejut, “Wah! Bagaimana kau tahu?” tanyanya.

Mulut kecil Huang Rong cemberut, ia berkata, “Masa itu sulit ditebak? Jin Wawa ini benar-benar tidak mudah dipertahankan. Awalnya kami punya lima pasang, kemudian dua pasang melarikan diri.”

Mata nelayan berbinar, wajahnya tampak senang. “Nona yang baik, tolong beri aku sepasang. Kau masih punya dua pasang. Atau paman guruku akan marah. Aku mungkin tidak bisa menerimanya,” katanya memohon.

Huang Rong tertawa. “Tidak sulit memberimu sepasang, tapi mengapa kau begitu kejam kepada kami sebelumnya?” Ia bertanya.

Nelayan itu tersenyum canggung, ia dengan malu-malu berkata, “Ah! Temperamenku buruk! Aku benar-benar harus berubah. Nona yang baik, di mana rumahmu? Apakah boleh aku mengikutimu? Apa jauh dari sini?”

Huang Rong dengan lembut menghela napas dalam-dalam dan berkata, “Kalau kau bilang sudah dekat, itu tidak benar, tetapi kalau kau bilang jauh, juga tidak. Mungkin sekitar tiga-empat ribu li dari sini.”

Nelayan itu terkejut, kumis kawatnya berdiri, ia meraung, “Nona cilik, kau menipuku!” Tinju seukuran mangkuk cuka itu terangkat, siap menghancurkan kepala Huang Rong, tetapi menyadari ia hanya seorang anak perempuan kecil dan lemah, ia takut ia akan membunuhnya. Tinjunya tetap di udara lalu perlahan-lahan turun ke sampingnya.

Guo Jing sudah siap, begitu nelayan itu menyerang, ia akan segera memblokir serangan itu. Huang Rong tersenyum dan berkata, “Mengapa kuatir? Aku sudah punya ide bagus sejak awal. Jing Gege, tolong panggil elang putih.”

Guo Jing tidak tahu pasti apa niatnya, tetapi ia tetap bersiul untuk memanggil elang. Nelayan itu diam-diam terkejut. Siulan Guo Jing bergema di seluruh lembah dan pegunungan, didukung oleh tenaga dalam yang kuat. “Untungnya aku tidak bertengkar dengannya tadi,” pikirnya. “Kalau tidak, bocah ini akan memukuli aku sampai mati.”

Tidak lama kemudian, sepasang burung elang terbang melintas, mengikuti suara siulan. Huang Rong mengupas sepotong kulit pohon, lalu mengukir garis karakter dengan jarum, ‘Ayah, aku ingin sepasang Jin Wawa. Biarkan elang membawa mereka kembali ke sini. Putrimu, Rong, dengan sangat hormat.’

Guo Jing sangat senang, ia memotong dua potong kain dari ikat pinggangnya, dan dengan kuat mengikat kulit kayu di kaki elang jantan. “Pergi ke Taohua Dao, cepat, dan cepat kembali,” kata Huang Rong kepada sepasang elang.

Guo Jing takut elang tidak mengerti, ia menunjuk ke timur dan berkata tiga kali, “Pulau Bunga Persik.” Sepasang elang memekik panjang, mengangkat sayap mereka dan terbang menjauh. Mereka membuat lingkaran di udara, menuju ke timur dan kemudian menghilang di balik awan dalam waktu singkat.

Rahang nelayan itu turun dan mulutnya tetap terbuka untuk sementara waktu, gumamnya, “Pulau Bunga Persik, Pulau Bunga Persik? Apa arti Huang Yaoshi, Huang Daxia bagimu?”

“Dia ayahku, kenapa?” kata Huang Rong dengan bangga.

“Ah!” seru nelayan itu, ia kehilangan kata-kata.

Huang Rong berkata, “Elang putihku akan membawa Jin Wawa ke sini dalam beberapa hari, tidak terlambat, kan?”

“Kuharap tidak,” kata nelayan itu. Ia melihat Guo Jing dan Huang Rong dari atas ke bawah untuk menilai mereka dengan mata penuh kecurigaan.

Guo Jing membungkuk dan bertanya, “Kami belum tahu nama kehormatan Paman.”

Nelayan itu tidak menjawab, malah balik bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini? Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?”

Guo Jing dengan hormat menjawab, “Wanbei datang untuk menemui Kaisar Duan.” Awalnya ia ingin mengatakan seperti yang dikatakan Ying Gu kepada mereka, bahwa Hong Qigong telah mengirim mereka untuk datang, tapi ia tidak bisa berbohong, akhirnya ia tidak mengatakan apa-apa.

“Guruku tidak menemui orang luar,” kata nelayan itu dengan tegas. “Apa yang kalian inginkan?”

Dengan watak alamiah Guo Jing, ia ingin mengatakan yang sebenarnya, tetapi ia takut mereka tidak akan dapat menemui Kaisar Selatan, dan dengan demikian membahayakan nyawa Huang Rong. Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, namun ia tidak punya cara untuk berbohong, jadi ia ragu-ragu sebelum menjawab pertanyaan itu.

Nelayan itu memperhatikan mukanya yang tidak pasti, juga wajah Huang Rong yang kurus dan pucat, ia telah menebak antara tujuh sampai delapan puluh persen dengan benar. “Kau supaya ingin guruku menyembuhkan lukamu, kan?” tanyanya dengan suara serak.

Guo Jing merasa seperti beban berat diambil dari pikirannya, ia tidak menyembunyikan apa pun lagi. Ia tidak punya pilihan lain selain menganggukkan kepala, tetapi hatinya dipenuhi dengan kecemasan dan penyesalan, ia membenci dirinya sendiri karena tidak bisa berbohong.

Nelayan itu hampir berteriak, “Jangan mimpi untuk ketemu guruku. Kalaupun aku harus menanggung omelan guru dan paman guruku, aku tetap tidak menginginkan Jin Wawa atau Yin Wawa17 lagi. Pergi saja ke gunung, cepat!”

Kata-katanya tanpa tegas keraguan, tidak memberi mereka keringanan sedikit pun. Guo Jing terdiam lama, menghirup udara dingin. Sesaat kemudian ia melangkah maju dan membungkuk hormat. “Yang terluka adalah putri Huang Daozhu dari Pulau Bunga Persik. Saat ini dia juga Bangzhu dari Kai Pang. Aku mohon Paman untuk mempertimbangkan wajah emas Huang Daozhu dan Hong Bangzhu, dan menunjukkan kepada kami jalan, supaya kami bisa bertemu dengan Kaisar Duan.”

Mendengar tiga karakter ‘Hong Bangzhu’, wajah nelayan itu melunak, ia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Nona cilik ini Kai Pang Bangzhu? Aku tidak percaya!”

Guo Jing mengarahkan jarinya ke tongkat bambu di tangan Huang Rong, ia berkata, “Ini adalah Da Gou Bang milik Ketua Kai Pang, pasti Paman mengenalinya.”

Nelayan itu mengangguk. “Kalau begitu, apa hubunganmu dengan Dewa Pengemis Sembilan Jari18 itu?” tanyanya.

“Dia adalah guru kami,” jawab Guo Jing.

“Ah!” si nelayan berseru, “Begitukah? Apa datang untuk menemui guruku juga atas perintah Jiu Zhi Shen Gai?”

Guo Jing ragu-ragu sebelum menjawab, Huang Rong dengan cepat menjawab, “Tentu saja.”

Nelayan itu menundukkan kepalanya dengan ragu, ia berpikir, “Dewa Pengemis Dewa Sembilan Jari punya hubungan persahabatan yang luar biasa erat dengan guruku. Bagaimana aku harus menangani masalah ini?”

Huang Rong memahami keraguannya, ia ingin memanfaatkan kesempatan ini, ia berkata, “Guru kami mengirim kami ke sini untuk bertemu dengan Kaisar Duan, selain untuk memintanya mengobati cedera, juga untuk memberitahu dia dengan hormat tentang masalah yang sangat penting.”

Nelayan itu tiba-tiba mengangkat kepalanya, dengan mata berkobar seperti petir, ia mengarahkan pandangannya pada Huang Rong dan dengan tegas bertanya, “Dewa Pengemis Sembilan Jari menyuruhmu untuk menemui Kaisar Duan?”

“Itu benar!” kata Huang Rong.

“Apa dia benar-benar menyebutkan ‘Kaisar Duan’ dan bukan nama lain?” desak nelayan itu.

Huang Rong tahu pasti ada sesuatu dalam caranya menyebutkan nama itu, tetapi ia tidak bisa mengoreksi dirinya sendiri, ia tidak punya pilihan selain mengangguk setuju.

Nelayan itu bergerak dua langkah ke depan dan dengan suara nyaring berteriak, “Kaisar Duan sudah lama tidak ada di dunia ini!”

Guo Jing dan Huang Rong terkejut, dengan suara gemetar mereka bertanya, “Dia meninggal?”

Nelayan itu berkata, “Ketika Kaisar Duan meninggalkan dunia ini, Dewa Pengemis Sembilan Jari Senior ada di sisinya. Bagaimana dia bisa memberitahumu untuk mengunjungi Kaisar Duan? Siapa yang menyuruhmu datang ke sini? Rencana jahat macam apa yang kau mainkan? Cepat katakan!” Sambil tetap berbicara ia melangkah lebar, tangan kirinya menepis, tangan kanannya direntangkan secara horizontal untuk meraih bahu Huang Rong.

Guo Jing sejak awal sudah mewaspadai kemungkinan bahwa ia akan menggunakan kekerasan. Begitu tangan kanannya berada dalam jarak satu kaki dari tubuh Huang Rong, telapak tangan kiri Guo Jing membuat lingkaran, telapak tangan kanannya lurus ke depan, melancarkan jurus Jian Long Zai Tian, menghalangi di depan tubuh Huang Rong.

Langkah ini bersifat defensif, seperti dinding tak terlihat yang kuat tiba-tiba muncul di antara Huang Rong dan nelayan. Nelayan itu melihat bahwa meskipun Guo Jing mengulurkan telapak tangannya, tetapi ia condong ke satu sisi, maka ia tidak benar-benar menyerangnya, ia agak terkejut, tetapi tangannya terus meraih bahu Huang Rong. Ketika tangannya berjarak sekitar setengah kaki dari sasaran, telapak tangan Guo Jing bertemu dengannya, dan ia merasakan rasa sakit di lengannya, mengalir ke dadanya, seperti tenaga serangannya memantul dan menyerang tubuhnya sendiri. Ia takut Guo Jing akan memanfaatkan situasi yang tidak menguntungkan ini dan melancarkan serangan lagi, ia buru-buru melompat mundur dengan lengan yang terletak secara horizontal di depan dadanya. “Saya mendengarnya ketika Hong Qigong membicarakan kungfu dengan Shifu, ini ilmu Delapan Belas Jurus Penakluk Naga. Maka kedua bocah ini benar-benar muridnya, mereka tidak berbohong,” pikirnya.

Ia melihat Guo Jing merangkapkan tinjunya di dadanya dengan sopan dan hormat, meskipun berada di atas angin, namun mukanya tidak menunjukkan rasa puas diri sedikit pun, membuat kesan yang baik di hati si nelayan. Ia berkata, “Meskipun kalian berdua benar-benar murid Hong Lao Qianbei, tapi dia bukan orang yang mengirimmu ke sini, kan?”

Guo Jing tidak tahu bagaimana ia bisa menebak dengan benar, tetapi karena kebohongan mereka telah terungkap, ia tidak bisa menyangkal dan terpaksa menganggukkan kepalanya. Wajah nelayan itu tidak seganas dan penuh permusuhan seperti sebelumnya. “Sekalipun yang terluka adalah Dewa Pengemis Sembilan jari sendiri, Xiao Ge19 masih tidak bisa membawa kalian naik gunung dan menemui guruku. Mohon maaf.”

“Bahkan kalau guruku ada di sini, kau masih tidak bisa menerimanya?” tanya Huang Rong.

Si Nelayan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bisa! Kalaupun kau membunuhku, aku tetap tidak bisa!” katanya.

Dalam hatinya, Huang Rong berpikir, “Dia dengan jelas mengakui bahwa Kaisar Duan adalah gurunya, tetapi iia juga mengatakan bahwa Kaisar Duan telah meninggal, dan Hong Shifu ada di sisinya ketika ia meninggal. Ada terlalu banyak hal aneh di sini, tapi orang ini benar-benar sulit untuk diajak bicara.” Ia berpikir lebih jauh, “Gurunya ada di gunung ini, soal itu aku yakin, apakah dia Kaisar Duan atau bukan, kita harus naik dan menemuinya.” Ia mengangkat matanya untuk melihat gunung itu begitu tinggi sehingga puncaknya menghilang ke dalam awan, itu lebih tinggi dari Puncak Jari Tengah Telapak Besi, bebatuan gunung tampak licin, bahkan tidak ada sehelai rumput pun yang tumbuh. Sepertinya air terjun itu muncul entah dari mana. Tidak tampak ada jalan yang bisa membawa mereka naik ke gunung. Ia berpikir, “Li Bai20 mengatakan air Huang He naik ke langit, air ini benar-benar berasal dari langit.”

Mengikuti air terjun, pandangannya bergerak ke bawah, pikirannya masih berputar-putar mencari akal untuk mendaki gunung, tiba-tiba matanya menangkap cahaya keemasan yang berkilauan di bawah air, ada sesuatu yang bergerak di dalam air. Perlahan ia berjalan ke sisi air terjun untuk melihat lebih jelas. Ternyata itu adalah sepasang Jin Wawa di bawah batu, ekor mereka bergoyang-goyang di luar. Dengan cepat ia memberi isyarat kepada Guo Jing untuk datang dan melihat.

“Ah!” seru Guo Jing. “Biar aku turun untuk menangkap mereka,” katanya.

“Tidak! Jangan!” kata Huang Rong. “Arusnya terlalu kuat, bagaimana kau bisa menginjakkan kaki? Jangan terlalu bodoh.”

Tapi Guo Jing berpikir, “Kalau aku mengambil resiko menangkap dua ikan aneh ini, mungkin hatinya akan tergerak dan dia akan membawa kita menemui gurunya. Kalau tidak, masa harus melihat Huang Rong menderita tanpa daya, tanpa ada yang menyembuhkannya? Ia tahu Huang Rong akan menghentikannya, karena itu tanpa banyak bicara, bahkan tanpa melepas sepatu atau kaus kakinya, ia melompat ke air terjun di bawah.

“Jing Gege!” panggil Huang Rong dengan cemas. Ia berdiri dan mencoba berlari ke depan, tetapi kakinya lemah, ia terhuyung-huyung.

Nelayan itu juga tercengang, ia mengulurkan tangannya untuk memegang Huang Rong, kemudian segera bergegas ke gubuk jerami. Sepertinya ia akan mengambil sesuatu untuk menyelamatkan Guo Jing.

Huang Rong duduk di atas batu untuk menonton Guo Jing. Ia berdiri dengan mantap di dalam air, air terjun mengguyurnya dengan gila-gilaan, menyerangnya dengan ganas, tapi anehnya tubuhnya tidak goyah sama sekali. Perlahan menekuk pinggangnya, ia meraih Jin Wawa itu. Dengan masing-masing tangan memegang ekornya, ia dengan lembut menariknya keluar. Ia takut melukai ikan aneh itu, karena itu ia tidak menggunakan terlalu banyak tenaga, siapa sangka ternyata tubuh ikan itu sangat licin. Dengan menggeliat-geliat, mereka berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Guo Jing dan menyelinap kembali ke bawah batu. Guo Jing cepat-cepat menjangkau, tetapi ia masih agak terlambat, dalam sekejap ikan itu menghilang tanpa jejak.

Huang Rong berteriak cemas, tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggil dengan waspada di belakang punggungnya. Ia berbalik dan melihat si nelayan berdiri di belakangnya. Ada sebuah perahu kecil berwarna hitam mengkilat di bahu kirinya dan dua dayung besi di tangan kirinya, jelas ia siap untuk menyelamatkan Guo Jing.

Guo Jing menghimpun tenaganya untuk berdiri, dengan Qian Jin Zhui ia berdiri kokoh di atas batu, kokoh seperti pilar. Ia menahan napas dan mengulurkan tangan ke batu tempat ikan aneh itu melarikan diri, mencoba mengangkatnya. Yang membuatnya senang, batu itu sedikit bergerak. Menggunakan Fei Long Zai Tian dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, tangannya menyentak batu itu ke atas, dengan suara keras batu besar itu tiba-tiba terangkat.

Guo Jing bergerak sangat cepat, dengan Qian Long Wu Yong ia mendorong batu itu secara horizontal. Batu itu terkena telapak tangannya, dan air terjun itu jatuh ke samping tubuhnya dengan suara gemuruh dan menggelegak, menghilang ke dalam jurang yang dalam di bawahnya. Suara itu bergema di seluruh lembah sampai lama. Guo Jing mengangkat tangannya dengan Jin Wawa di masing-masing tangannya, selangkah demi selangkah ia keluar dari air terjun.

Siang dan malam air jatuh, dengan berlalunya waktu telah menciptakan selokan sedalam sekitar dua zhang. Nelayan itu melihat Guo Jing sedang berdiri di dasar parit itu, bagaimana ia bisa melompat? Oleh karena itu ia mengulurkan dayungnya untuk diambil Guo Jing, lalu ia akan mengangkatnya. Tapi tangan Guo Jing penuh dengan sepasang ikan aneh, ia takut jika ia melonggarkan cengkeramannya, ikan itu akan lepas. Mengumpulkan kekuatannya, kaki kanannya mendorong bagian bawah, diikuti kaki kirinya menendang tepi jurang, ia berhasil meminjam tenaga untuk melompat ke darat.

Meskipun mereka telah bersama untuk sementara waktu, Huang Rong tidak menyangka keahliannya telah meningkat sejauh ini. Ia senang dan sekaligus kagum ketika melihat Guo Jing berdiri kokoh di bawah air, mengangkat batu, meraih ikan, dan melompat dari bawah kekuatan air terjun yang kuat seolah-olah itu bukan apa-apa.

Sebenarnya demi menyelamatkan Huang Rong, Guo Jing tidak berpikir tentang bagaimana ia dengan ceroboh menerjang bahaya, tetapi setelah berada di darat ia menoleh untuk melihat air yang deras memercik ke mana-mana, ia merasa pusing dan takut. Ia tidak percaya ia punya nyali seperti ini untuk pergi ke bawah air.

Nelayan itu berdecak kagum tanpa henti, ia tahu bahwa jika tenaga dalam, Qinggong, dan otot-otot Guo Jing kurang bagus, tidak hanya ia tidak akan bisa menangkap ikan, tetapi ia pasti akan jatuh tenggelam ke dalam jurang yang dalam.

Kedua Jin Wawa itu berjuang di tangan Guo Jing dengan panggilan ‘wah wah’ mereka, seperti tangisan bayi. Guo Jing tertawa, “Tidak heran mereka disebut ikan Wawa, mereka terdengar seperti bayi menagis.” Ia mengulurkan tangannya untuk memberikan ikan itu kepada nelayan.

Wajah nelayan itu tampak senang, ia menjatuhkan dayungnya dan mengulurkan tangannya untuk menerima ikan ketika tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ia menarik tangannya dan berkata, “Buang saja kembali ke air, aku tidak bisa menerimanya.”

“Mengapa?” kata Guo Jing bertanya-tanya.

“Kalaupun kuterima, aku tetap tidak bisa membawa kalian menemui guruku,” kata nelayan itu. “Menerima bantuan dan tidak membalasnya, aku akan jadi bahan tertawaan orang-orang di dunia persilatan.”

Guo Jing kaget, dengan wajah serius ia berkata, “Paman tidak bisa menerima kami, kau pasti punya kesulitanmu sendiri, masa kami bisa memaksakan kehendak? Tapi sepasang ikan ini masalah sepele, siapa yang bilang soal bantuan sagala? Paman tidak perlu memikirkannya, silakan ambil saja.” Sambil mengatakannya, ia menyodorkan ikan itu ke tangan si nelayan.

Nelayan itu akhirnya mengambil ikan itu, wajahnya tampak canggung. Guo Jing menoleh ke Huang Rong dan berkata, “Rong’er, seperti kata pepatah, hidup dan mati ada di tangan takdir, umur manuasia sulit diduga, kalaupun kau tidak bisa sembuh, kau masih punya Jing gege yang akan menemanimu melewati hari-hari suram. Ayo kita pergi!”

Mendengarkan Guo Jing mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, mata Huang Rong memerah, tapi di dalam hati ia masih penasaran. Ia menoleh kepada si nelayan dan berkata, “Paman, kau tidak mau menunjukkan jalan ya tidak apa-apa. Tapi ada sesuatu yang tidak kumengerti, kalau Paman tidak mengatakannya, aku pasti akan mati penasaran.”

“Apa itu?” tanya nelayan itu.

“Puncak gunung ini sehalus cermin,” kata Huang Rong. “Tidak ada jalur menuju puncak. Kalaupun Paman mau membawa kami, bagaimana Paman akan melakukannya?”

Nelayan itu berpikir, “Kalau aku tidak membawa mereka naik, tidak mungkin mereka bisa mendaki gunung sendiri. Rasanya tidak ada salahnya memberitahu mereka.” Kemudian ia berkata, “Kalau kau bilang sulit, memang sulit, tapi sebenarnya juga tidak sesulit itu. Di sekitar bukit berbentuk tanduk itu di sebelah kanannya tidak ada air terjun, arusnya tidak sekuat itu. Aku bisa duduk di perahu besi ini, dan mendayung melawan arus. Suatu kali aku bisa membawa seseorang, kedua kalinya aku bisa membawa dua orang.”

“Ah!” seru Huang Rong. “Rupanya begitu! Sampai jumpa kalau begitu!” Ia berdiri dan bersandar pada Guo Jing untuk menguatkan diri, lalu berbalik dan pergi. Guo Jing merangkapkan kedua tangannya di dada, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

Nelayan itu melihat mereka sedang berjalan menuruni gunung, ia takut Jin Wawa akan melarikan diri, ia berlari menuju gubuk jerami untuk mengamankan mereka.

“Cepat! Ambil perahu besi dan dayungnya, kita pergi ke puncak berbentuk tanduk itu,” kata Huang Rong.

Guo Jing tertegun. “Ini… rasanya ini tidak pantas!” ia tergagap.

“Bagus! Kau ingin jadi pria terhormat, maka jadilah pria terhormat!” kata Huang Rong.

“Mana yang lebih penting? Menyelamatkan nyawa Rong’er atau menjadi seorang pria terhormat?” Pikiran ini terlintas di benak Guo Jing beberapa kali, sulit baginya untuk memutuskan. Tapi kemudian ia melihat Huang Rong mulai berjalan cepat ke puncak, ia tidak punya waktu untuk merenung lebih lama lagi. Ia mengangkat perahu besi itu dan buru-buru pergi ke puncak. Dengan teriakan keras, “Naik!” ia melemparkan perahu ke hulu air terjun. Begitu perahu lepas dari tangannya, ia meraih dayung besi dan menahannya di bawah ketiak kirinya, sementara dengan tangan kanannya ia memeluk Huang Rong.

Saat itu perahu besi sudah terapung ke hilir, terbawa arus. Tiba-tiba ia mendengar suara senjata rahasia di belakang kepalanya, segera ia merunduk dan membiarkan senjata rahasia itu terbang di atas kepalanya. Ia melompat ke depan dan dalam sekejap keduanya mendarat di dalam perahu. Sebuah senjata rahasia mengenai punggung Huang Rong, untungnya mengenai rompi kulit landak di dalam karung di punggungnya. Di tengah suara gemuruh air mereka mendengar suara omelan keras nelayan itu, tetapi mereka tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakannya.

Segera perahu itu berada di ambang air terjun. Jika mereka jatuh ke tepi air terjun yang mengalir deras ini, tubuh mereka pasti akan hancur menjadi debu. Tangan kiri Guo Jing meraih dayung besi dan buru-buru mendayung dengan sekuat tenaga, perahu bergerak ke hulu beberapa kaki. Tangan kanannya melepaskan Huang Rong dan meraih dayung lainnya dan menariknya, sekali lagi perahu bergerak beberapa meter ke depan.

Nelayan itu berdiri di tepi sungai, mengacungkan kedua jarinya, dengan marah memaki dan memarahi. Di tengah angin dan suara air, mereka bisa mendengar kata-kata ‘Chou Yatou’ dan ‘Chou Xiaozi’. Huang Rong terkikik dan berkata, “Dia masih berpikir kau orang baik. Dia hanya mengutukku.”

Semua perhatian Guo Jing terfokus pada mendayung perahu, ia tidak mendengar apa yang dikatakannya. Lengannya dengan kuat mengayuh perahu melawan arus, lunas kapal besi perlahan memotong gelombang. Arus di tempat itu tidak sekuat air terjun, tapi cukup kuat dan cepat hingga membuat wajah Guo Jing memerah karena mengerahkan kekuatannya. Beberapa kali ia hampir terdorong ke hilir.

Sesaat kemudian mereka tiba di bagian yang arusnya sedikit lebih lambat, saat itu Guo Jing sudah mulai mengerti bagaimana cara memegang dayung. Menggunakan Shuang Shou Hubo ajarakn Zou Botong, ia meluncurkan ‘Sang naga Mengibaskan Ekor’ berturut-turut. Setiap gerakan mengayuh didukung oleh tenaga dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, kekuatan telapak tangannya disalurkan ke ujung dayung. Tangan kiri dan kanan mengayuh bergantian dengan dukungan teknik ‘Sang naga Mengibaskan Ekor’, perahu besi itu perlahan bergerak ke hulu melalui jalur sungai yang berkelok-kelok.

“Dengan dayung nelayan itupun perahunya belum tentu bergerak lebih cepat dari ini,” puji Huang Rong.

Sesaat kemudian ada pantai berpasir di kedua sisi sungai, dan setelah berbelok pemandangannya sangat indah, anak sungai yang jernih bersuara pelan, sungai mengalir sangat lancar, di beberapa bagian bahkan tampak seperti air yang tenang. Sungai itu hanya selebar satu zhang, dengan pohon willow yang melambai di kedua sisinya, dedaunannya menyapu air. Tepat di belakang pohon willow hijau mereka bisa melihat pohon persik yang tak terhitung jumlahnya. Pasti sangat indah di musim semi ketika pohon persik mekar penuh. Saat ini tidak ada satu pun bunga persik yang terlihat, tetapi tepian sungai penuh dengan kumpulan kuntum bunga putih, udaranya kental dengan aromanya.

Guo Jing dan Huang Rong sangat santai, mereka tidak pernah menyangka bahwa di puncak gunung yang tinggi ini ada dunia yang sama sekali berbeda. Airnya berwarna hijau tua seperti batu giok, begitu dalam sehingga mereka tidak bisa melihat dasarnya. Guo Jing menurunkan dayung besinya, mencoba mengukur kedalaman sungai, tetapi ia terkejut karena dayung itu hampir terlepas dari genggamannya. Ternyata saat di permukaan airnya halus seperti cermin, ada arus kuat yang mengalir jauh di bawah permukaan.

Perahu besi itu perlahan bergerak maju, burung terbang dan berkicau di antara dedaunan willow hijau. Huang Rong menghela nafas, “Kalau lukaku tidak bisa disembuhkan, aku ingin dikubur di sini. Aku tidak mau turun lagi,” katanya.

Guo Jing hendak mengatakan beberapa kata penyemangat ketika perahu besi itu tiba-tiba memasuki sebuah terowongan. Di dalam terowongan aromanya sangat kental, sementara air mengalir lebih deras mereka mendengar suara keras di depan. “Apa itu?” tanya Guo Jing.

Huang Rong menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu.”

Segera mereka melihat cahaya, perahu besi itu keluar dari terowongan, kedua orang itu tidak bisa menahan napas, “Indah sekali!”

Di luar terowongan mereka melihat air mancur yang sangat besar, mungkin tingginya mencapai dua zhang. Gelembung putih dan aliran hijau giok membentuk kolom air raksasa yang menyembur langsung ke langit dari tengah batu. Suara yang mereka dengar berasal dari air mancur ini. Anak sungai berhenti di sini, ternyata air mancur ini adalah mata air dari mana sungai dan air terjun itu berasal.

Guo Jing membantu Huang Rong datang ke darat. Dia menarik perahu besi itu ke atas batu dan memutar kepalanya. Ia melihat cahaya matahari bersinar menembus kolom air, menciptakan pelangi yang sangat indah. Pemandangannya luar biasa, bahkan jika mereka punya ratusan kata pujian, mereka tidak akan dapat menemukan satu pun yang cocok untuk menggambarkan apa yang mereka lihat. Yang bisa mereka lakukan hanyalah berpegangan tangan dan duduk berdampingan di atas batu, hati mereka cerah dan bersih, tanpa kekuatiran.

Setelah menikmati pemandangan ini agak lama, tiba-tiba mereka mendengar suara nyanyian dari balik pelangi. Lagunya adalah Shan Po Yang.

Kota-kota menjadi buruk, 
di mana para pahlawan? 
Bisakah naga di awan menjelaskan? 
Berpikir tentang kemakmuran dan kemunduran, 
menyempitkan dada. 
Dinasti Tang muncul Dinasti Sui menurun, 
jalan dunia seperti awan yang terus berubah. 
Cepat, adalah kesalahan langit dan bumi, 
lambat, juga salah langit dan bumi!

‘Domba lereng bukit’ adalah lagu populer dari akhir Dinasti Song21, semua orang di mana pun bisa menyanyikan lagu itu. Lagunya hanya satu, tapi liriknya bisa diubah sesuai keinginan penyanyi, jadi mau tidak mau ada ratusan ribu variasi di luar sana, hanya sebagian besar kasar dan vulgar.

Huang Rong memperhatikan bahwa lagu ini meratapi naik turunnya umat manusia, membawa makna yang mendalam. Ia diam-diam memuji penyanyi itu. Ia melihat penyanyi itu keluar dari balik pelangi, tangan kirinya membawa seikat kayu bakar, sedangkan tangan kanannya memegang kapak, ternyata ia adalah seorang penebang kayu.

Huang Rong mengingat catatan Ying Gu yang berbunyi, “Siapa pun yang mencari bantuan pengobatan adalah hal yang tabu baginya, kalau kau menyebutkan niatmu, sebelum kau mencapai kediamannya, kau akan dihentikan oleh tangan jahat seorang nelayan, penebang kayu, petani, dan sastrawan.” Pada waktu itu ia tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan’, tapi sekarang ia menyadari orang yang menangkap Jin Wawa adalah nelayan, dan sekarang ia melihat penebang kayu. Berarti nelayan, penebang kayu, petani, dan sastrawan itu kalau bukan murid-murid, pastilah orang-orang kepercayaan Kaisar Duan. Mau tidak mau ia merasa cemas, “Benar-benar tidak mudah melewati nelayan itu. Lagu penebang kayu ini tidak vulgar, sepertinya ia tidak mudah dihadapi. Aku jadi ingin tahu orang macam apa petani dan sarjana itu?”

Sementara itu si penebang kayu terus bernyanyi, “Di jembatan Tianjin, bersandar di pagar melihat jauh, nuansa kekaisaran telah layu dan jatuh. Di antara pepohonan hijau tua dan air yang luas, dari panggung awan kebangkitan tidak terlihat. Dari keabadian, dalam siklus kehidupan, semuanya musnah. Pahala, tidak akan bertahan selamanya! Nama, juga tidak akan bertahan selamanya!”

Ia perlahan berjalan mendekat dan melihat ke arah Guo Jing dan Huang Rong, tetapi seolah-olah ia tidak melihat mereka, ia hanya menarik kapaknya dan mulai memotong kayu di lereng bukit.

Huang Rong memperhatikan wajah pria ini agung dan heroik, penampilannya seperti harimau. Caranya mengangkat tangan atau mengambil langkah mengandung kekuatan yang mengesankan seperti seorang jendral angkatan darat. Jika tidak mengenakan pakaian kasar dan memotong kayu di gunung terpencil ini, ia pasti memberi kesan sebagai jendral yang memimpin pasukan besar. Hati Huang Rong tergerak, “Menurut Shifu Kaisar Selatan, Kaisar Duan, sebenarnya adalah seorang kaisar Dali di Yunnan. Apa mungkin penebang kayu ini sebenarnya jendralnya? Hanya saja, mengapa lagunya membawa perasaan putus asa dan sedih?” pikirnya.

Si Penebang kayu terus bernyanyi, “Puncak gunung berdiri seolah-olah mereka berkumpul bersama, ombak bergulung seolah-olah mereka sedang marah. Pegunungan dan sungai di dalam dan sekitar jalan menuju Tongguan, memandang ke barat, hati penuh keraguan. Dinasti Qin dan Han berduka, istana mereka telah berubah menjadi debu. Selanjutnya, rakyat menderita, binasa, rakyat jelata menderita!”

Mendengarkan dua baris terakhir, Huang Rong teringat ayahnya sering berkata, “Apa itu kaisar atau jenderal? Semuanya adalah penjahat yang merugikan orang biasa. Menggulingkan dinasti, mengubah nama keluarga, pada akhirnya rakyat jelata menderita!” Ia tidak dapat menahan pujiannya, “Lagu bagus!”

Penebang kayu menoleh, memasukkan kapak kembali ke pinggangnya ia bertanya, “Bagus? Apa bagusnya?”

Huang Rong hendak menjawab, tetapi kemudian ia berpikir, “Dia suka menyanyi, mengapa aku tidak menyanyikan Shan Po Yang untuk menjawabnya?” Setelah itu ia tersenyum sedikit, menundukkan kepalanya dan bernyanyi, “Pegunungan hijau saling menunggu, awan putih saling mencintai, bahkan tidak memimpikan jubah ungu dan sabuk emas. Satu gubuk jerami di antara bunga liar yang bermekaran, mengapa kuatir tentang siapa yang berkembang dan siapa yang binasa? Cukuplah satu jalan kecil dan satu sendok sayur. Miskin, semangat tidak berubah, sukses, kemauan tidak berubah22!”

Ia telah menyimpulkan bahwa penebang kayu ini pasti jendral yang mengikuti Kaisar Selatan ke tempat terpencil ini, sebelumnya ia harus memimpin seluruh pasukan, yang pernah memegang tempat terkemuka di kerajaan. Oleh karena itu, lagu yang dinyanyikannya adalah pujian atas jasa dan namanya, kepada orang yang hidup dengan puas di hutan pegunungan yang liar. Sebenarnya meski jenaka dan cerdas, tentu saja ia bukan sastrawan yang dalam waktu singkat mampu menciptakan lagu yang bagus seperti yang baru saja dinyanyikannya. Saat berada di Pulau Bunga Persik, ia mendengar ayahnya menyanyikan lagu ini, hanya saja ia mengubah beberapa karakter untuk menekankan kekayaan dan kehormatan penebang kayu ini di masa lalu, dan sangat mementingkan pencapaiannya yang besar. Sayang sekali ia menderita cedera, maka tenaga dalamnya tidak sekuat itu, dan suaranya agak lemah. Seperti kata pepatah, Qian Chuan Wan Chuan, Ma Pi Bu Chuan23! Lagu ini membuat penebang kayu sangat senang ketika mendengarnya. Ia telah memperhatikan bahwa Guo Jing dan Huang Rong sedang menaiki perahu besi dan menggunakan dayung besi untuk mendayung di sepanjang sungai, pastilah nelayan di bawah gunung yang meminjamkan perahu itu kepada mereka. Ia tidak curiga, dan tanpa bertanya terlalu banyak ia hanya menunjuk ke lereng bukit dan berkata, “Naik ke sana!”

Mereka melihat rotan panjang seukuran lengan manusia tergantung di sepanjang lereng bukit menuju puncak. Guo Jing dan Huang Rong mendongak dan melihat setengah dari puncaknya tersembunyi di awan, tidak jelas seberapa tinggi puncaknya.

Ketika Huang Rong dan penebang kayu sedang menyanyikan lagu, Guo Jing bahkan tidak mengerti setengah kata pun dari apa yang mereka ucapkan. Saat penebang kayu melepaskan mereka dan mengarahkan mereka untuk naik, ia masih tidak tahu alasannya, tetapi takut penebang kayu itu akan berubah pikiran, tanpa berkata apa-apa ia segera membawa Huang Rong di punggungnya, meraih rotan panjang itu dengan kedua tangannya, dan dengan terengah-engah mulai memanjat.

Lengannya ditarik secara bergantian dan mereka merangkak dengan cepat. Dalam waktu singkat mereka telah mendaki sekitar selusin zhang, samar-samar mereka masih bisa mendengar si penebang kayu menyanyikan sesuatu seperti, “… dulu orang-orang berjuang, tapi di mana mereka sekarang? Menang, semuanya berubah menjadi debu! Kalah, mereka semua berubah menjadi debu!”

Berjongkok di punggung Guo Jing, Huang Rong tertawa dan berkata, “Jing Gege, menurut apa yang dikatakannya, kita tidak perlu repot-repot berobat.”

Guo Jing bingung, ia bertanya, “Apa?”

“Bagaimanapun juga semua orang akan mati, kalau sembuh, aku akan berubah menjadi debu! Kalau aku tidak sembuh, aku juga tetap akan menjadi debu!” kata Huang Rong.

“Puihh!” Guo Jing meludah, “Jangan dengarkan dia.”

Huang Rong dengan lembut bernyanyi, “Hidup, gendong aku di punggungmu! Mati, kau menggendongku di punggungmu!”

Bersamaan dengan lagu lucu Huang Rong, keduanya telah memasuki awan, yang mereka lihat hanyalah hamparan putih yang luas ke mana pun mereka memandang. Saat itu masih musim panas, cuacanya panas, tapi sebenarnya mereka merasakan hawa dingin di udara. Huang Rong menghela nafas, “Tepat di depan mata kita ada keajaiban yang tak terhitung jumlahnya, kalaupun lukaku tidak bisa disembuhkan, perjalanan kita di sini tidak akan sia-sia.”

“Rong’er,” kata Guo Jing. “Bisakah kau tidak menyebutkan hidup dan mati lagi?”

Huang Rong menundukkan kepalanya dan tertawa, ia dengan lembut menghembuskan nafasnya di belakang leher Guo Jing. Guo Jing merasakan lehernya hangat dan gatal, ia berseru, “Jangan beri aku masalah! Jika tanganku terpeleset, kita berdua akan terjun ke alam maut.”

Huang Rong tertawa. “Baik!” katanya. “Kali ini bukan aku yang bicara tentang hidup dan mati!”

Guo Jing tertawa, ia tidak bisa menjawab, ia merangkak lebih cepat dan sesaat kemudian mereka sampai di ujung, atau tepatnya akar tempat rotan tumbuh. Ternyata mereka sudah sampai di puncak. Mereka baru saja menginjakkan kaki di tanah yang kokoh ketika tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang keras, seolah-olah batu gunung pecah, dan kemudian mereka juga mendengar seekor lembu melenguh dengan keras, diikuti dengan teriakan keras seorang laki-laki.

Guo Jing terkejut, “Puncak ini sangat tinggi, tapi bisa ada seekor sapi di sini. Sangat aneh!” Sambil membawa Huang Rong di punggungnya, ia bergegas menuju ke sumber suara itu.

“Nelayan, penebang kayu, petani dan sastrawan. Jika ada seorang petani, maka pasti ada seekor sapi,” kata Huang Rong.

Ia baru saja selesai bicara ketika mereka melihat seekor lembu kuning di lereng bukit dengan kepala terangkat, bersuara keras, tetapi lembu itu sebenarnya dalam posisi yang sangat aneh. Ia berbaring telentang di atas batu, keempat kakinya berjuang tetapi tidak bisa berdiri. Batu itu bergetar, siap jatuh, di bawah batu itu ada seorang lelaki yang menggantung batu itu dengan kedua tangan di atas kepalanya seperti huruf ‘T’, jika tangannya terpeleset, baik batu maupun lembu itu akan jatuh ke jurang. Pria itu berdiri di atas tebing yang menonjol, tidak ada tempat untuk mundur. Jika ia tidak mau melepaskan lembu itu, batu itu akan hancur dan tidak hanya mematahkan lengannya, tetapi juga kakinya. Melihat kondisi mereka, tampaknya lembu itu sedang merumput di lereng bukit dan menginjak batu yang lepas. Pria yang berada di dekatnya mencoba menyelamatkan lembu itu dengan menangkap batu itu tetapi berakhir dalam situasi genting ini.

Huang Rong tersenyum. “Baru saja kita mendengar lagu ‘domba di kaki bukit’, dan sekarang kita melihat ‘sapi di bukit’!” katanya.

Di puncak gunung itu ada sebidang tanah datar, sudah dibajak siap untuk ditanami, sekitar dua puluh mu sawah. Ada cangkul di pinggir lapangan. Orang yang memegang batu bertelanjang dada, kakinya berlumuran lumpur sampai ke lutut, tampak seperti lembu yang jatuh ketika sedang menyiangi rumput.

Huang Rong melihat ke sekeliling untuk menilai situasinya, ia berpikir, “Orang ini jelas adalah Si Petani dari sederetan orang yang dimaksud. Sapi beratnya kira-kira tiga ratus kati, sepertinya batu itu tidak lebih ringan dari lembu. Meskipun setengah dari batu itu bersandar di lereng bukit, namun melihat kakinya yang kokoh, pria ini memiliki kekuatan yang luar biasa.”

Guo Jing sudah menurunkannya dan bergegas membantu. Huang Rong buru-buru berseru, “Jangan terlalu cepat, jangan gegabah!” Tapi menurut Guo Jing membantu orang lain lebih penting, ia sudah tiba di sisi petani.

Ia berjongkok di bawah batu dan mengangkatnya sambil berkata, “Aku akan memegangnya, kau pergi dan selamatkan lembu itu dulu!”

Petani itu merasa bebannya semakin ringan, tetapi ia masih takut Guo Jing mungkin tidak cukup kuat untuk menopang lembu dan batu besar itu. Ia melepaskan tangan kanannya dan bersandar ke samping, tetapi tangan kirinya masih menopang dasar batu. Guo Jing memantapkan kakinya, lalu mengerahkan tenaga dalamnya dan mendorong ke atas dengan kedua tangannya, batu itu terangkat sekitar satu kaki, memberi kesempatan kepada petani itu untuk melepaskan tangan kirinya.

Petani itu menunggu sebentar. Setelah melihat bahwa batu besar itu tidak akan hancur, ia tahu kekuatan Guo Jing cukup untuk menopangnya. Akhirnya ia membungkuk dan keluar dari bawah batu, melompat ke lereng bukit untuk menyelamatkan lembu kuning itu. Ia tidak bisa tidak mencuri pandang ke arah Guo Jing untuk melihat pahlawan macam apa yang tiba-tiba datang dan menawarkan bantuan. Ia heran karena apa yang dilihatnya adalah seorang anak muda berusia delapan belas, sembilan belas tahun. Lebih mengejutkan lagi, tangan anak muda ini mengangkat batu dan lembu itu tanpa memaksakan diri.

Petani itu selalu bangga memiliki kekuatan fisik yang luar biasa, namun jelas kekuatan anak muda ini jauh di atas dirinya. Kecurigaannya muncul, ia juga melihat ke bawah lereng bukit dan melihat seorang anak perempuan bersandar di batu, ekspresi wajahnya lelah, seperti sedang menderita penyakit serius. Kecurigaannya semakin dalam, “Teman, apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya kepada Guo Jing.

“Ingin bertemu dengan gurumu,” jawab Guo Jing.

“Untuk apa?” tanya petani itu lagi.

Guo Jing terkejut dan sesaat tidak tahu bagaimana menjawabnya. Huang Rong di samping berseru, “Cepat tarik sapi itu ke tempat yang aman dulu, tidak akan terlambat untuk bertanya nanti. Kalau tangannya terpeleset, maka baik orang dan sapi itu akan jatuh bersamaan!”

Petani itu berpikir, “Keduanya ada di sini untuk ketemu Shifu, kenapa kedua kakak seperguruanku yang turun gunung tidak menembakkan panah bersiul? Kalau keduanya menerobos mereka, itu berarti kungfu mereka tidak bisa dianggap enteng. Sekarang sementara tangannya tidak bebas, aku perlu memahami masalah ini dengan lebih baik.” Setelah itu ia bertanya, “Kalian ingin meminta Shifu untuk mengobati luka?”

Guo Jing berpikir, “Orang-orang di pegunungan sudah sadar, tidak perlu menyembunyikan kebenaran darinya.” Ia hanya menganggukkan kepalanya.

Wajah petani sedikit berubah, “Aku perlu bertanya dulu,” katanya. Tanpa menarik lembu itu, ia melompat menuruni lereng bukit.

“Hai!” seru Guo Jing. “Bantu aku meletakkan batu ini dulu, baru kita bisa bicara!”

Petani itu tersenyum, “Aku segera kembali.”

Mengamati apa yang sedang terjadi, Huang Rong sudah menebak sejak awal niat petani itu, ia ingin menguras tenaga Guo Jing. Ia akan dengan sengaja menunggu Guo Jing lelah karena menahan batu itu, dan kemudian ia akan kembali dan membantu. Pada saat itu akan mudah untuk mengusir kedua orang ini turun gunung. Ia membenci dirinya sendiri karena terluka pada saat seperti ini, karenanya ia tidak dapat membantu Guo Jing mendorong batu besar itu. Ia melihat petani itu berlari keluar dari ladang, tidak tahu kapan ia akan kembali, ia cemas dan sekaligus marah. “Hei, Paman!” serunya. “Tolong kembali!”

Petani itu berhenti sejenak dan tersenyum, “Dia punya kekuatan yang luar biasa, tidak ada hal buruk yang akan terjadi padanya dalam waktu tiga perempat atau satu jam, jangan kuatir,” katanya.

Huang Rong marah, ia berpikir, “Jing Gege berbaik hati membantumu, tetapi kau sebenarnya menipu dia dan membiarkannya terjebak selama tiga perempat atau satu jam. Aku harus menemukan cara untuk memberimu pelajaran.” Ia mengerutkan alisnya dan memikirkan sebuah ide. “Paman,” serunya. “Kau ingin minta nasihat gurumu, itu sangat masuk akal. Ini adalah surat dari guru kami Hong Qigong yang akan dikirimkan kepada gurumu. Bisa sekalian kau bawa?”

“Ah!” mendengar nama Hong Qigong, petani itu berseru kaget, “Ternyata Nona adalah murid Dewa Pengemis Sembilan Jari. Apa Xiao Ge ini juga murid Hong Lao Qianbei? Tidak heran dia sebagus ini.” Ia kembali untuk mengambil surat itu.

Huang Rong mengangguk, “Hei, dia kakak seperguruanku, mampu mengangkat beberapa ratus kati. Berbicara tentang kungfu, dia tidak terlalu jauh di bawah Paman.” Perlahan ia membuka bungkusannya, pura-pura mencari surat itu, tapi pertama-tama ia mengambil rompi kulit landak yang lembut, dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Guo Jing, wajahnya terlihat ketakutan. “Aiyo! Celaka!” serunya. “Telapak tangannya akan hancur. Paman, cepat cari cara untuk membantunya.”

Petani itu terkejut, tetapi kemudian tertawa, “Dia baik-baik saja,” katanya, “Di mana surat itu?” Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil surat itu.

“Paman tidak tahu,” kata Huang Rong dengan cemas. “Saudaraku sedang berlatih Pi Kong Zhang24. Telapak tangannya direndam dalam cuka tadi malam, tapi latihannya belum selesai. Kalau ditekan terlalu lama, telapak tangannya akan hancur.” Di Pulau Bunga Persik ia telah dilatih Pi Kong Zhang oleh ayahnya, karena itu ia tidak asing dengan metode latihannya.

Meskipun petani itu tidak mengerti kungfu ini, tetapi ia adalah murid seorang ahli silat, pengetahuannya sangat luas, ia telah mendengar tentang kungfu ini sebelumnya, ia berpikir, “Kalau aku tanpa alasan yang jelas membuat murid Pengemis Tua itu cedera, tidak hanya Shifu akan menegurku, tetapi aku juga akan menyesalinya selama sisaku. Selain itu dia cukup baik mau membantuku. Hanya saja aku tidak tahu apakah yang dikatakan nona cilik ini benar atau bohong. Takutnya dia hanya menipuku untuk melepaskan kakaknya dari bawah batu.”

Huang Rong memahami keragu-raguannya, ia mengeluarkan Ruan Wei Jia dan mengguncangnya. “Ini adalah harta paling berharga di Pulau Bunga Persik, rompi kulit landak yang lembut, pisau dan pedang tidak bisa melukainya. Kuminta Paman meletakkannya di bahunya sebagai bantalan dan membiarkannya menopang batu dengan bahunya. Dengan begitu dia tidak akan bisa pergi, tapi dia juga tidak akan cedera, cara ini cukup adil untuk kedua pihak, kan? Kalau tidak, takutnya Shifu akan menganggap Paman sengaja melukai dia, dan nanti akan mencari gurumu untuk menyelesaikan masalah ini.”

Petani itu juga mendengar tentang Ruan Wei Jia, setengah percaya dan setengah ragu ia mengambil rompi unik itu. Huang Rong melihat bahwa ia belum yakin, jadi ia berkata, “Guruku mengajarkan supaya kita tidak membohongi orang lain, masa aku bisa menipu Paman? Kalau Paman tidak percaya, cobalah memotong rompi ini beberapa kali.”

Petani itu melihat wajahnya yang lugu, pikirnya, “Pengemis Utara adalah orang tua terhormat yang berilmu tinggi, kata-katanya seperti emas dan batu giok, setiap kali Shifu menyebutkan namanya, ia selalu tampak sangat hormat dan kagum. Nona cilik ini juga tidak terlihat seperti pembohong.” Karena memikirkan keselamatan dan kesejahteraan gurunya, maka ia tidak berani bertindak sembarangan. Oleh karena itu ia mencabut pedang pendek dari pinggangnya dan menebas rompi kulit landak itu beberapa kali. Benar saja, baju itu tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan, ini benar-benar salah satu harta dunia persilatan. Semua keraguannya lenyap. “Baik, aku akan meletakkan benda ini di pundaknya sebagai bantalan,” katanya.

Ia sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa di balik wajah polos dan kekanak-kanakan Huang Rong, tersembunyi hati dan pikiran yang penuh tipu daya. Ia mengambil rompi kulit landak yang lembut itu, dan pergi ke arah Guo Jing. Ia melemparkan baju itu ke bahu Guo Jing dan mengerahkan tenaga ke lengannya, ia mengangkat batu itu dan berkata, “Lepaskan tanganmu, topang batu ini dengan bahumu.”

Bersandar pada batu gunung, Huang Rong terus memperhatikan kedua orang itu. Segera setelah si petani mengambil batu besar, ia berteriak, “Jing Gege, Fei Long Zai Tian!”

Guo Jing merasa tangannya bebas, ia juga mendengar teriakan Huang Rong, hampir tanpa berpikir telapak tangan kanannya mendorong ke depan, telapak tangan kirinya berbelok dari pergelangan tangan kanan, meluncurkan Fei Long Zai Tian ajaran Hong Qigong. Ia melompat ke udara, sekali lagi telapak tangan kanannya menghadap ke depan dari telapak tangan kirinya dan mendorong ke depan, ia mendarat di sisi Huang Rong, dengan rompi kulit landak itu masih bertengger dengan baik di bahunya. Ia mendengar petani itu berteriak mengutuk, jadi ia menoleh untuk melihat petani itu dengan tangan terangkat tinggi, menopang batu besar dan tidak bisa bergerak.

Huang Rong sangat bangga pada dirinya sendiri, ia berkata, “Jing Gege, ayo pergi.” Sambil menoleh ke arah petani itu ia berkata, “Kau punya tenaga yang luar biasa, tidak akan ada hal buruk yang terjadi kepadamu dalam setengah sampai satu jam, jangan kuatir.”

Petani itu mengutuknya, “Chou Yatou, kau menipu Laofu! Katamu Pengemis Utara selalu menepati janji. Huh! Nama besar Hong Lao Qianbei ini dirusak seorang bocah perempuan.”

Huang Rong tersenyum, “Apa yang kuhancurkan?” katanya. “Guruku mengajariku supaya tidak pernah berbohong, tetapi ayahku bilang bahwa sesekali menipu orang bukan masalah besar. Aku suka mendengarkan ayahku, guruku tidak bisa berbuat apa-apa soal ini.”

“Siapa ayahmu?” petani itu marah.

“Ah! Bukankah aku tadi memberimu Ruan Wei Jia?” tanya Huang Rong.

Petani itu semakin mengutuk, “Aku pantas mati! Aku pantas mati! Ternyata bocah licik ini anak Huang Laoxie. Mengapa aku sebodoh ini?”

Huang Rong tertawa, “Benar! Kata-kata Shifu seperti gunung, dia tidak akan pernah menipu siapa pun. Ini sangat sulit dipelajari, aku tidak mau mengikuti ajarannya. Menurutku ajaran ayahku lebih baik!” Ia terkikik dan menarik tangan Guo Jing, menuntunnya untuk mengikuti jalan setapak.

  1. Yue Liang Men (月亮门), atau ‘Gerbang Bulan’ adalah sebuah gerbang tanpa daun pintu yang berbentuk bulat, ini adalah elemen yang sudah biasa di setiap bangunan tradisional Tiongkok. Referensi Wikipedia tentang Moon Gate

  2. Untuk laki-laki umumnya dipanggil Zhuangzhu, dan perempuan Nu Zhu (女主). 

  3. Teori matematika di jaman Dinasti Song yang dimaksud Huang Rong adalah berdasarkan Shu Shu Jiu Zhang (数书九章), yaitu teori yang ditulis oleh ahli matematika Qin Jiushao (秦九韶) pada tahun 1247. Dalam hal ini ada kemungkinan Jin Yong agak meleset dalam pemakaian topik ini untuk jaman Guo Jing dan Huang Rong. Tetapi dengan disebutkannya Shang, Shi, Fa dan Jie itu, maka berarti memang metode inilah yang dimaksud. Buku Qin Jiushao sendiri punya cakupan yang sangat luas, mulai dari pertanian, astronomi, perpajakan, survei, militer, dsb. Isinya terdiri dari 9 bab. Metode perhitungan yang dimaksud Huang Rong adalah Shang (商) atau niaga/perdagangan/bisnis, Shi (实) yang berarti realitas atau kenyataan, Fa (法) atau ‘Hukum/Aturan’, Jie (借) atau ‘Pinjaman’, Fang (方) atau bujur sangkar, Lian (廉) atau ‘murah’, Yu (隅) atau ‘sudut’, dan Xia (下) atau ‘bawah’. Di jaman itu alat bantu dalam menghitung bukan Suanpan (算盘) atau sempoa, melainkan potongan-potongan bambu. Di era tersebut mampu menghitung dengan presisi empat angka di belakang koma adalah sangat mencengangkan. 

  4. Liang Bai San Shi Wu (两百三十五), angka 235. Dalam dialek lain, misalnya Guangdong, karakter Liang (两) tersebut akan ditulis menurut angka 2, yaitu Er (二). 

  5. Tai (太) yang berarti ‘Besar’, Tian Yuan (天原) yang berarti ‘Langit Utama’, Di Yuan (地原) ‘bumi utama’, Ren Yuan (人原) ‘manusia utama’, dan Wu Yuan (物原) ‘benda/objek/substansi utama’. 

  6. Referensi yang ditemukan adalah Tian Yuan Shu (天元术). Karakter Zhi sebelum Shu (术) tersebut kemungkinan diambil dari nama ahli matematika dari Dinasti Yuan Li Zhi (李治), yang merevisi Tian Yuan Shu di dalam bukunya yang berjudul Yigu Yan Duan (益古演段). Dengan demikian ini adalah salah satu bug dalam novel Jin Yong ini, mengingat Dinasti Yuan didirikan oleh Kubilai Khan, yang notabene adalah anak keempat dari Tolui, sedangkan Tolui sendiri dalam cerita ini adalah saudara angkat Guo Jing yang sebaya. Mengenai empat karakter ini sendiri, berikutnya Huang Rong malah menyelipkan karakter Si (四), yang berarti ‘Empat’, sehingga menjadi Tian Yuan Si Yuan Zhi Shu (天元四元治术). Istilah terakhir itu melambangkan struktur ajaran Tian Yuan Shu yang terdiri dari 4 Yuan yang dipandang sebagai 4 variabel yang tidak diketahui, yaitu Tian, Di, Ren, dan Wu. Secara berurutan adalah Langit, Bumi, Manusia dan Benda-benda. Nantinya di era Dinasti Yuan yang didirikan oleh anak keempat Tolui, ahli matematika Zhu Shijie akan mengembangkan teori ini untuk membawa Tian Yuan Shu menjadi sebuah masterpiece dengan nama Si Yuan Yu Jian (四元玉鉴), atau Cermin Giok dan Empat Variabel. Baca lebih lengkap

  7. Di (地) berarti ‘rendah’, karakter yang sama dengan ‘bumi’ atau ‘tanah’m tetapi dipakai dalam konteks yang berbeda. 

  8. Wu Xing Qi Men adalah pelajaran dasar Taoisme, dan berkaitan erat dengan astronomi. 

  9. Shen Suan Zi (神算子) bisa kita terjemahkan secara bebas menjadi ‘Dewi Matematika’. 

  10. Titik akupuntur Yu Shu ini tidak ditemukan dalam daftar, kemungkinan salah terjemahan atau entah kesalahan lainnya. 

  11. Cara berhitung cepat dan ajaib. 

  12. Matahari, bulan, air, api, kayu, logam, dan tanah. 

  13. Prajurit memasok perak. Ini adalah teori angka vertikal dalam matematika barat. 

  14. Soal matematika lembah hantu. 

  15. Wan Shui Qian Shan, secara umum artinya adalah ‘Sangat jauh’. 

  16. Jin Wawa secara literal berarti ‘Bayi Emas’. 

  17. Yin (银) Wawa secara literal berarti ‘Bayi perak’, istilah ini dikarang seenaknya. 

  18. Jiu Zhi Shen Gai (九指神丐) adalah julukan Hong Qigong, yang bisa diterjemahkan menjadi ‘Dewa Pengemis Sembilan Jari’. Julukan itu didapat karena ia memang hanya memiliki sembilan jari, salah satu jarinya dipotongnya sendiri untuk mengatasi kerakusannya. Tetapi upaya ini gagal, ia tetap saja rakus. 

  19. Istilah Xiao Ge (小哥) yang agak aneh ini dimaksudkan untuk merendahkan diri, dan menyebut diri sendiri dengan istilah ‘kecil’ (Xiao), meskipun dirinya juga bertindak sebagai kakak (Ge). 

  20. Li Bai adalah penyair terkenal dari era Dinasti Tang. 

  21. Hampir semua tautan yang kita dapatkan dari Google akan menyatakan bahwa lagu tersebut datang dari era Dinasti Yuan (Mongol), yang tentu saja ada di masa depan dari cerita ini sendiri, tepatnya di era Zhang Wuji atau masa kejayaan Zhang Sanfeng. 

  22. Lagu Shan Po Yang ini dari era ke era akan tetap sama, tetapi syairnya bisa diubah-ubah menurut si penyanyi atau orang yang sedang berpuisi, atau apa yang sedang berkembang di era tersebut. Menurut novel ini awalnya populer di era Dinasti Song Selatan, tetapi kalau kita menggunakan Google Search yang kita dapatkan adalah sejumlah besar referensi yang mengatakan bahwa ini adalah lagu dari era Dinasti Yuan, yang didirikan oleh cucu dari Genghis Khan, yaitu Kubilai Khan, anak keempat Tolui, yang baru akan muncul di buku kedua Trilogi Rajawali ini. 

  23. Qian Chuan Wan Chuan, Ma Pi Bu Chuan (千穿万穿 , 马屁不穿). Karakter Chuan (穿) secara literal berarti ‘Dipakai/Terpakai/Memakai’. Sedangkan Ma Pi (马屁), alias ‘Kentut Kuda’ di sini adalah istilah umum untuk ‘menjilat’ atau ‘memuji’. Secara literal kalimat ini berarti ‘Dipakai ribuan kali, pujian tidak terpakai’. Tetapi makna sebenarnya adalah ‘Puluhan ribu benda bisa rusak atau usang, lalu tidak berguna, hanya pujian yang selalu berguna’. 

  24. Ilmu membelah objek dengan tangan kosong.