Malapetaka Yang Akan Datang
Pada saat itu Guo Jing dan Huang Rong sedang menikmati kebahagiaan dan sukacita di hati mereka, mereka tidak mau peduli pada urusan orang lain. Tetapi ketika mendengar ‘Bocah Tua Nakal’ hati mereka terusik. Mereka melompat bersamaan dan mengejar kedua orang itu. Kungfu kedua orang itu tampak biasa saja, mereka bahkan sama sekali tidak curiga bahwa mereka sedang dibuntuti orang. Meninggalkan kota mereka berlari sekitar lima-enam li sebelum berbelok ke arah sebuah lembah. Mereka mendengar suara teriakan dan kutukan terus-menerus datang dari balik gunung itu.
Guo Jing dan Huang Rong mempercepat langkah dan ikut masuk ke dalam lembah. Mereka melihat sekelompok orang sedang berkumpul di suatu lapangan. Dua orang dari mereka memegang obor di tangan. Di tengah lapangan itu Zhou Botong sedang duduk diam tak bergerak. Tidak jelas ia masih hidup atau sudah mati. Di hadapan Zhou Botong ada seseorang yang juga duduk bersila, mengenakan kasaya merah, itu ternyata Lingzhi Shangren. Ia juga tak bergerak. Di sebelah kiri Zhou Botong ada sebuah gua. Jalan masuknya kecil, karena itu orang yang ingin masuk harus membungkuk. Di luar gua itu ada lima-enam orang yang sedang memaki dan berteriak, tetapi tak seorang pun berani mendekat dalam jarak satu zhang dari gua, seolah-olah mereka takut ada sesuatu yang akan keluar dari situ untuk mencelakai mereka.
Guo Jing teringat salah satu pejalan kaki itu berkata, “Bocah Tua Nakal jatuh ke perangkap Saudara Peng.” dan sekarang ia melihat Zhou Botong duduk tak bergerak seperti mayat. Ia kuatir Zhou Botong terluka, ia jadi cemas dan hendak melompat maju ketika Huang Rong menarik tangannya dan berbisik, “Sebelum melakukan sesuatu, kita selidiki dulu apa yang sebenarnya terjadi.”
Keduanya bersembunyi di balik batu gunung dan mengawasi orang-orang di luar gua. Ternyata semuanya adalah kenalan lama, Shen Xian Lao Guai Liang Ziweng, Guo Men Long Wang Sha Tongtian, Qian Shou Ren Tu Peng Lianhu, San Tou Jiao Hou Tonghai, ditambah dengan kedua pejalan kaki yang mereka ikuti sebelumnya. Penerangan dari obor menerangi wajah-wajah mereka, Guo Jing dan Huang Rong mengenali kedua orang itu sebagai dua murid Liang Ziweng. Guo Jing pernah bertarung dengan mereka ketika pertama kalinya ia mempelajari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga.
Huang Rong berpikir bahwa sekarang orang-orang ini bukan tandingan Guo Jing, bahkan juga bukan tandingan dirinya, ia memandang ke sekeliling dan tidak menemukan ada orang lain di situ. Dengan suara rendah ia berkata, “Dengan ilmu Lao Wantong, masa beberapa orang ini bisa mengalahkan dia? Kelihatannya Si Racun Barat Ouyang Feng bersembunyi entah di mana.”
Ia baru hendak memikirkan cara untuk menyelidikinya lebih lanjut ketika Peng Lianhu berseru dengan suara nyaring dan jernih, “Tua bangka! Kalau kau tidak mau keluar, Laofu akan mengasapimu!”
Dari dalam gua terdengar suara tegas, “Akal bulus macam apa pun itu, lakukan saja!”
Guo Jing mengenalinya sebagai suara guru pertamanya, Ke Zhen’E, ia tidak peduli lagi apakah ada Ouyang Feng di sekitar situ. “Shifu!” serunya. “Muridmu Guo Jing ada di sini!” Tangannya sudah bergerak sementara ia masih berteriak. Ia mencekal punggung Hou Tonghai dan melemparkannya ke samping.
Orang-orang di luar gua itu kebingungan. Sha Tongtian dan Peng Lianhu menyerang serempak. Liang Ziweng menyelinap ke belakang Guo Jing, bersiap melakukan serangan mendadak. Ke Zhen’E di dalam gua mendengar semuanya, ia mengangkat tangannya dan menyerang dengan Du Ling1 ke arah punggung Liang Ziweng.
Senjata rahasia itu membawa serta hembusan angin dahsyat. Liang Ziweng buru-buru menundukkan kepala, Du Ling itu terbang melewati kepalanya, memotong beberapa helai rambutnya. Ia begitu kaget sampai keringat menitik di punggungnya. Ia tahu senjata rahasia Ke Zhen’E mengandung racun ganas, sebelumnya Peng Lianhu nyaris tewas terkena senjata itu. Ia buru-buru melompat mundur beberapa zhang, mengulurkan tangannya dan meraba bagian atas kepalanya. Untungnya kulit kepalanya tidak terluka. Dengan segera ia mengambil beberapa batang Jarum Penembus Tulang dari sakunya dan berjalan diam-diam ke arah sebelah kiri gua. Ia ingin memasuki gua untuk membalas.
Ia baru bermaksud mengangkat tangannya ketika mendadak pergelangan tangannya mati rasa, sesuatu telah menghantam tangannya. Dengan suara berdenting jarum-jarumnya berjatuhan ke tanah. Dan kemudian ia mendengar suara perempuan berkata sambil tertawa, “Berlutut! Atau kau akan makan tongkatku!”
Liang Ziweng memalingkan kepalanya dan melihat Huang Rong sedang berdiri sambil tersenyum, dengan tongkat bambu di tangan. Ia merasa sangat ketakutan dan sekaligus marah, telapak tangan kirinya menyerang ke arah bahu Huang Rong, tangan kanannya beusaha untuk merebut tongkat itu. Huang Rong melangkah ke samping untuk menghindari tangan kirinya, tetapi tidak menggerakkan tongkat bambunya, ia membiarkan Liang Ziweng memegang tongkat itu. Liang Ziweng senang, ia mempererat pegangannya, ia berpikir seandainya bocah itu tidak mau melepaskan tongkatnya, maka ia akan merampasnya dengan paksa. Segera setelah ia menarik, ia memang berhasil merebut tongkat itu, tapi di luar dugaannya ujung tongkat itu bergetar dan meluncur lepas dari tangannya. Saat itu ujung tongkat telah memasuki daerah pertahanannya. Tangannya begitu dekat dengan tongkat itu, karena itu ia buru-buru menangkapnya kembali, tapi ia terlambat. Bayangan hijau tua melesat dan ‘plak!’ kepalanya terpukul telak oleh tongkat bambu itu.
Secara keseluruhan kungfunya tidak lemah, dan pada saat kritis itu ia masih sanggup melemparkan diri ke tanah dan bergulingan lebih dari satu zhang sebelum akhirnya bangkit berdiri. Ia menatap kaget ke arah gadis kecil dengan mata jernih dan gigi seperti gading itu. Bagian atas kepalanya terasa sakit, pikirannya kacau, mukanya tampak tidak keruan.
Huang Rong berkata sambil tertawa, “Kau tahu apa nama ilmu tongkat ini? Kau sudah kena gebukanku, itu membuatmu jadi apa?”
Liang Ziweng sudah pernah sengsara gara-gara Tongkat Penggebuk Anjing itu sebelumnya, ia dipukuli setengah mati oleh Hong Qigong. Kejadian itu sudah beberapa tahun yang lalu, tetapi ia masih menyimpan ketakutan dalam hatinya. Ia melihat bahwa teknik tongkat itu memang adalah Ilmu Tongkat Penggebuk Anjing milik Hong Qigong, dipakai untuk melawannya. Kelihatannya anak perempuan ini sungguh-sungguh ahli waris Hong Qigong. Dengan sudut matanya ia melihat Sha Tongtian dan Peng Lianhu terus-terusan mundur di bawah tekanan telapak tangan Guo Jing tanpa bisa balas menyerang. Ia berteriak, “Untuk menghormati Hong Lao Bangzhu, ayo kita mundur!” Ia memanggil kedua muridnya dan berbalik untuk pergi.
Siku kiri Guo Jing bergerak melingkar memaksa Sha Tongtian mundur tiga langkah, diikuti oleh sapuan tangan kirinya. Peng Lianhu melihat bahwa telapak tangan itu membawa serta hembusan angin kuat, ia tidak berani menghadapinya secara terang-terangan, ia buru-buru melangkah ke samping untuk mengelak. Tangan kanan Guo Jing mengait, mencekal punggungnya dan mengangkatnya ke atas.
Peng Lianhu agak pendek, diangkat setinggi itu di udara kakinya menendang-nendang dengan panik. Ia berusaha membebaskan dirinya, siap untuk memukul dada Guo Jing seperti palu menghantam paku, tetapi bagaimana ia bisa meneruskan pukulan itu? Ia cepat-cepat berseru, “Ini hari apa?”
“Apa?” tanya Guo Jing bingung.
“Masa kau tidak ingin memelihara nasib baikmu? Kau tidak ingin menepati janji?” tanya Peng Lianhu.
“Apa?” tanya Guo Jing lagi, tangan kanannya masih mencekal Peng Lianhu di udara.
“Kita punya kesepakatan untuk bertarung dalam kontes di Jiaxing pada tanggal lima belas bulan delapan,” kata Peng Lianhu. “Ini bukan Jiaxing, dan sekarang juga bukan Perayaan Pertengahan Musim Gugur. Masa kau mau mencelakai aku?”
Guo Jing berpikir bahwa ia benar, ia hendak melepaskan Peng Lianhu ketika tiba-tiba teringat sesuatu. “Apa yang kau lakukan terhadap saudaraku Zhou Botong?”
Peng Lianhu menjawab, “Lao Wantong itu taruhan melawan biksu Tibet, siapa yang bergerak lebih dulu akan kalah. Apa hubungannya dengan aku?”
Guo Jing melirik kedua orang yang sedang duduk berhadapan di atas tanah, ia merasa lega. “Jadi begitu rupanya,” pikirnya. Lalu ia berseru, “Da Shifu, kau baik-baik saja?” Ke Zhen’E mengeluarkan suara ‘Hm’ dari dalam gua.
Guo Jing kuatir segera setelah ia melepaskan Peng Lianhu, kakinya akan langsung menendang ke dadanya, karena itu ia melemparkan Peng Lianhu beberapa kaki dari situ dengan tangan kanan sambil berteriak, “Pergi sana!”
Peng Lianhu mengambil kesempatan itu untuk bersalto dan mendarat di tanah. Ia melihat Sha Tongtian dan Liang Ziweng sudah melarikan diri. Ia mengomel dalam hati atas ketidaksetiaan mereka. Ia merangkapkan tangannya kepada Guo Jing sambil berkata, “Tujuh hari lagi di Jiaxing kita akan bertarung untuk menentukan siapa yang lebih unggul.” Ia berbalik dan memamerkan Qinggong-nya untuk melarikan diri. Ia sedang berpikir-pikir tentang satu hal, “Setiap kali aku ketemu bocah tengik ini, kungfunya selalu melompat maju sangat jauh. Kenapa seaneh ini? Mungkinkah dia minum ramuan ajaib atau menemukan salah satu rahasia ilahi?”
Huang Rong mendatangi Zhou Botong dan Lingzhi Shangren, ia memperhatikan bahwa mereka berdua saling menatap tanpa mengedipkan mata. Melihat situasi itu ia teringat pembicaraan antara kedua pejalan kaki dan tahu bahwa ini pasti ulah Peng Lianhu yang sangat jahat. Mereka pasti takut menghadapi kungfu Zhou Botong, karena itu mereka mengakalinya supaya taruhan dengan biksu Tibet itu untuk tetap diam tak bergerak. Kungfu Lingzhi Shangren jauh sekali jika dibandingkan dengan Zhou Botong, tetapi kalau bisa membuatnya diam tak bergerak, maka yang lainnya akan punya kesempatan untuk menghadapi Ke Zhen’E.
Lao Wantong akan senang sekali kalau ada orang yang menemaninya bermain-main, ia tidak akan peduli tentang hal lain, jadi tidak ada gunanya mencoba berunding dengan dia. Meskipun ada pertarugan dahsyat yang mengguncang dunia di dekatnya, ia pasti akan tetap diam tak bergerak seperti Gunung Taishan, bahkan ia tak akan menggerakkan jari kelingkingnyam ia sudah bertekad untuk memenangkan taruhan dengan Lingzhi Shangren.
“Lao Wantong! Aku di sini!” panggil Huang Rong.
Zhou Botong mendengarnya, tapi ia takut kalah taruhan, jadi ia tidak menanggapi.
Huang Rong berkata, “Taruhan pakai cara ini, kalaupun kalian duduk sampai berjam-jam tetap saja tidak ketahuan siapa yang menang atau kalah, ini sih tidak asyik! Begini saja, aku akan menggelitik kalian berdua di titik Xiao Yao Xue[^xiao-yaou-xue] dengan kedua tanganku. Aku akan membuat kedua tanganku berisi tenaga dalam jumlah yang sama. Siapa yang tertawa lebih dulu berarti kalah.”
Zhou Botong sudah lama duduk diam dengan tidak sabar, ketika mendengar ucapan Huang Rong ia setuju dengan sepenuh hatinya, tetapi ia tidak berani menunjukkan persetujuannya. Huang Rong tidak mengatakan apa-apa lagi, ia mengambil posisi di antara mereka berdua dan duduk di situ. Ia menaruh Tongkat Penggebuk Anjing di atas tanah dan mengulurkan kedua tangannya, kedua jari telunjuknya menotok Xiao Yao Xue di tubuh kedua orang itu. Ia tahu tenaga dalam Zhou Botong jauh sekali melampaui Lingzhi Shangren, jadi ia bukan berlaku tidak adil, ia engerahkan sejumlah tenaga yang sama untuk menotok keduanya. Tetapi di luar dugaan, sementara Zhou Botong memang tidak bergerak sesuai perkiraannya, teryata Lingzhi Shangren juga tampaknya tidak merasakan apa-apa.
Huang Rong diam-diam mengaguminya, ia berpikir, “Cara biksu ini menutup titik akupunturnya sendiri bagus sekali. Kalau aku yang ditotok seperti ini pasti aku akan langsung tertawa sampai bergulingan.” Lalu ia mengerahkan lebih banyak tenaga di kedua tangannya.
Zhou Botong menggunakan tenaga dalamnya, berusaha keras melawan kekuatan jari Huang Rong, tetapi titik akupuntur Xiao Yao Xue itu erletak di dekat tulang iganya, otot-otot yang menutupinya sangat lunak, sangat sulit mengirimkan tenaga dalam ke daerah itu. Kalau ia meluruskan punggungnya maka ia akan bisa meminjam momentum dari gerakan itu untuk mengerahkan tenaga, tapi itu akan membuatnya bergerak dan kalah taruhan. Ia merasa tenaga jari Huang Rong makin lama makin kuat, ia tak punya pilihan selain melawan jari itu dengan putus asa.
Sedetik kemudian ia tak tahan lagi, otot-otot di sekitar tulang iganya berkontraksi dan menyingkirkan jari Huang Rong. Ia melompat dan tertawa nyaring, sambil berkata, “Biksu gendut, kau hebat! Lao Wantong mengaku kalah!”
Melihatnya mengaku kalah, Huang Rong menyesal. “Kalau aku tahu akan jadi begini, aku pasti akan memakai lebih banyak tenaga ke tubuh biksu gendut itu,” pikirnya. Lalu ia berdiri dan berkata kepada Lingzhi Shangren, “Kau menang. Nenekmu2 tidak mau mengambil nyawamu. Ayo sana pergi! Pergi!”
Sangat menarik, ternyata Lingzhi Shangren seperti tidak mendengar ucapannya, ia masih tetap duduk diam tak bergerak. Huang Rong mengulurkan tangan dan mendorong bahunya, sambil berteriak nyaring, “Siapa yang ingin melihat tampang tololmu di sini? Kau mau mati?” Ia hanya mendorong pelan, tapi yang mengejutkannya adalah Lingzhi Shangren terjungkal ke tanah, tetap dalam posisi duduk bersila, seperti ukiran kayu Buddha.
Zhou Botong, Guo Jing dan Huang Rong terpana. Huang Rong berpikir, “Apa mungkin caranya menutup titik akupuntur masih belum sempurna dan ia tewas karena melakukan itu?” Ia mengulurkan tangan untuk merasakan pernafasannya dan menemukan bahwa Lingzhi Shangren masih bernafas. Dengan segera ia mengerti apa yang terjadi, ia marah tapi sekaligus juga geli. Kepada Zhou Botong ia berkata, “Lao Wantong, kau jatuh ke perangkap orang tanpa tahu apa-apa. Kau betul-betul tolol!”
Zhou Botong terbelalak. “Apa?” Ia sangat marah.
Huang Rong berkata sambil tersenyum, “Coba kau buka dulu totokannya, baru kita bicara lagi.”
Zhou Botong memutar pandangannya lalu berjongkok dan meraba tubuh Lingzhi Shangren. Ia mengetuk di beberapa tempat dan menemukan bahwa delapan dari titik akupuntur utama telah ditotok orang. Ia melompat ,arah dan berteriak, “Itu tidak masuk hitungan! Tidak masuk hitungan!”
“Apa yang tidak masuk hitungan?” tanya Huang Rong.
Zhou Botong menjawab, “Teman-temannya menotoknya setelah dia duduk, tentu saja biksu gendut ini tidak bisa bergerak. Kalaupun kami duduk tiga hari tiga malam lagi dia tetap tidak akan kalah.” Berpaling kepada Lingzhi Shangren yang tergeletak di tanah ia berseru, “Ayo kita mulai lagi.”
Melihat Zhou Botong riang gembira, tampaknya sama sekali tidak cedera, Guo Jing mulai kuatir tentang gurunya. Ia tidak lagi mendengarkan omong kosong Zhou Botong, ia menyelinap ke dalam gua dan melihat Ke Zhen’E tidak mengatakan apa-apa.
Zhou Botong berjongkok untuk membuka totokan Lingzhi Shangren sambil terus bicara, “Ayo kita mulai lagi, kita mulai dari awal!”
Huang Rong berkata dengan dingin, “Bagaimana dengan guruku? Kau lempar ke mana dia?”
Zhou Botong terkejut. “Aiyo!” Ia menjerit dan berpaling ke sekelilingnya, bergegas masuk ke dalam gua. Ia bergerak mendadak, sampai-sampai hampir menabrak Guo Jing di mulut gua. Guo Jing sedang memegang tangan Ke Zhen’E, menuntunnya keluar dari dalam gua. Ia melihat gurunya mengenakan pakaian putih dengan ikat kepala putih. Guo Jing terkejut. “Shifu!” katanya. “Apa salah satu anggota keluargamu meninggal? Mana Er Shifu dan yang lain?”
Ke Zhen’E mendongak ke arah langit tanpa mengatakan apa-apa, dua tetes air mata berlinang di pipinya. Guo Jing terperanjat, tapi tidak berani bertanya. Ia melihat Zhou Botong sedang membantu orang lain keluar dari dalam gua. Tangan kiri orang itu sedang membawa kendi arak, tangan kanannya menggenggam setengah ekor ayam, mulutnya sibuk mengunyah paha ayam, senyum lebar menghiasi wajahnya, ia terus menganggukkan kepalanya. Ia tak lain dan tak bukan adalah Si Dewa Pengemis Sembilan Jari, Hong Qigong.
Guo Jing dan Huang Rong kegirangan. “Shifu!” panggil mereka serempak.
Air muka Ke Zhen’E mendadak berubah sangai marah, ia mengangkat tongkat besinya dan dengan ganas menghantam bagian belakang kepala Huang Rong. Gerakan tongkat itu sangat cepat dan ganas, itu serangan yang sangat mematikan dari rangkaian Fu Mo Zhang Fa3, yang dengan mati-matian disempurnakannya di tengah padang rumput Mongolia dengan tujuan untuk melawan Mei Chaofeng yang buta. Gerakan itu dirancang sedemikian rupa sehingga kalaupun Mei Chaofeng bisa mendengar suara angin yang mengiringi tongkat itu, ia tidak akan bisa menghindarinya.
Huang Rong baru saja melihat Hong Qigong setelah lama tidak bertemu, dan sedang dipenuhi kegembiraan. Ia tidak mewaspadai serangan mendadak dari arah belakangnya. Pada saat ia merasakan tiupan angin, tongkat itu telah mengurungnya. Guo Jing melihat tongkat itu hendak menghantam tengkoraknya, dalam keadaan terdesak tangan kirinya menyapu horizontal untuk menyingkirkannya ke samping, sementara tangan kanannya terulur dan mencekal kepala tongkat. Dalam kepanikan ia telah menggunakan terlalu banyak tenaga, tanpa menyadari bahwa pada saat itu tenaganya telah meingkat sangat pesat. Gerakan tangan kirinya adalah dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga.
Ke Zhen’E merasakan gelombang tenaga yang sangat kuat. Ia tidak sanggup menahannya dan tongkat itu terlepas dari tangannya, ia sendiri terhuyung jatuh ke tanah. Guo Jing terkejut, buru-buru ia berkongkok untuk memapahnya berdiri. “Da Shifu!” panggilnya. Guo Jing melihat hidung Ke Zhen’E bengkak dan dua giginya patah.
Ke Zhen’E meludahkan giginya yang patah, bersama dengan segumpal darah, ke telapak tangannya. “Untukmu!” katanya dengan suara dingin.
Guo Jing terdiam. Ia berlutut dan berkata, “Dizi pantas mati. Shifu, harap menghukumku dengan berat.”
Ke Zhen’E masih masih memegang tangannya, dan berkata, “Untukmu!”
Guo Jing meratap. “Da Shifu…” Ia tersedak, tak tahu apa yang harus dikatakan atau dilakukannya.
Zhou Botong tertawa dan berkata, “Aku sudah melihat guru memukuli muridnya, tapi aku belum pernah melihat ada murid memukul gurunya sampai hari ini. Luar biasa! Sungguh luar biasa!”
Mendengar hal ini Ke Zhen’E lebih murka lagi. “Baik,” katanya. “Ada pepatah mengatakan ‘telan gigi yang patah berikut darahnya’, apa aku harus melakukannya untukmu?” Sambil memegang tangan Guo Jing, ia memasukkan gigi yang patah itu ke dalam mulutnya, lalu menggerakkan kepalanya ke belakang seraya menelan gigi itu ke dalam tenggorokannya. Zhou Botong bertepuk tangan, ia tertawa terbahak-bahak dan bersorak nyaring.”
Hung Rong melihat situasi yang tidak biasa. Ekspresi duka di wajah Ke Zhen’E belum lenyap. Jelas sekali ke Zhen’E ingin membunuhnya, hatinya dipenuhi pertanyaan. Pelan-pelan ia mendekati Hong Qigong dan menarik tangannya.
Guo Jing membenturkan kepalanya ke tanah dan berkata, “Kalaupun harus mati puluhan ribu kali, Dizi tidak bakalan berani menyinggung perasaan Da Shifu. Dizi sudah gila berani membiarkan tangan Dizi terpeleset dan mengenai Da Shifu.”
Ke Zhen’E berkata, “Shifu ini dan Shifu itu, memangnya siapa gurumu? Kau punya mertua Juragan Pulau Bunga Persik, kenapa kau masih perlu seorang guru? Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan tak punya cukup kemampuan, mana mungkin kami pantas jadi guru Guo Daye4?”
Guo Jing mendengar kata-katanya makin lama makin tajam, ia lagi-lagi membenturkan kepalanya ke tanah.
Akhirnya Hong Qigong tidak tahan lagi, ia menyela, “Ke Daxia, guru dan murid saling menguji ilmu silat, ada yang lepas kendali itu hal yang sangat biasa. Jurus yang dipakai Jing’er tadi aku yang mengajarkan. Salahkan saja Pengemis Tua ini. Tolong terima permohonan maafku.” Dan ia sungguh-sungguh merangkapkan kedua tangannya dengan sikap penuh hormat.
Mendengar ucapan Hong Qigong, Zhou Botong berpikir, “Kenapa aku tidak ikut ngomong?” Karena itu ia berkata, “Ke Daxia, guru dan murid saling menguji ilmu silat, ada yang lepas kendali itu hal yang sangat biasa. Jurus yang dipakai Guo Xiandi untuk merebut tongkatmu ttadi aku yang mengajarkan. Salahkan saja Bocah Tua Nakal ini. Tolong terima permohonan maafku.” Dan ia juga merangkapkan kedua tangannya dengan sikap penuh hormat.
Ia hanya asal bicara dan bermaksud melucu, tapi Ke Zhen’E sangat tersinggung. Ia sungguh percaya Zhou Botong dengan sengaja ingin menghinanya, dan sebagai akibatnya ia juga menganggap niat baik Hong Qigong sebagai hal yang buruk. Dengan suara nyaring ia berkata, “Kau, Si Sesat Timur, Racun Barat, Kaisar Selatan dan Pengemis Utara, selalu mengira kungfu kalian tak ada bandingannya, dan kalian bisa menjungkirbalikkan dunia ini? Hm! Menurutku tindakan kalian banyak yang tidak benar, sudah jelas tidak ada hal baik bisa timbul dari kalian semua.”
Dengan nada kaget Zhou Botong bertanya, “Hei, apa yang dilakukan Kaisar Selatan, kok kau mendampratnya juga?”
Huang Rong mendengarkan secara diam-diam dari samping, ia tahu makin banyak mereka bicara, situasinya akan makin buruk. Kehadiran Lao Wantong di situ hanya membuat amarah Ke Zhen’E lebih sulit dihilangkan. Ia membuka mulutnya dan berkata, “Lao Wantong, ‘sulaman bebek mandarin ingin terbang bersama secepatnya’ sedang mencarimu, kau mau ketemu dia atau tidak?”
Zhou Botong sangat terkejut, ia melompat tiga kaki ke udara dan berteriak, “Apa?!?”
Huang Rong berkata, “Dia ingin ‘mandi sambil berdiri berhadapan memakai baju merah ketika hijaunya dedaunan musim semi bergelombang di kedalaman senja yang dingin’ bersamamu.”
Zhou Botong lebih kaget lagi. “Mana? Mana?” serunya.
Huang Rong menunjuk ke selatan dan berkata, “Di sana! Ayo cepat temui dia, cepat!”
Zhou Botong berkata, “Aku tidak akan menemuinya. Nona yang baik, aku akan melakukan apapun yang kau katakan, pokoknya jangan bilang kalau kau pernah ketemu aku…” Sebelum ia selesai bicara. kakinya bergerak dan ia melarikan diri ke Utara.
“Aku akan memegang janjimu!” seru Huang Rong.
Dari kejauhan terdengar jawaban Zhou Botong, “Sekali Lao Wantong berjanji, maka aku tidak akan menyesalinya.” Begitu kata ‘menyesalinya’ keluar dari mulut, secepat kilat bayangannya lenyap.
Sebenarnya Huang Rong berniat untuk mempertemukannya dengan Ying Gu. Di luar dugaannya Zhou Botong menghindari Ying Gu seperti menghindari ular atau kalajengking, dan lari terbirit-birit ketakutan. Betapapun juga, ia berhasil menyingkirkan Zhou Botong.
Sampai saat itu Guo Jing masih berlutut di hadapan Ke Zhen’E. Berlinang air mata ia berkata, “Demi muridmu ini ketujuh guru sudah bertualang sampai jauh ke padang rumput. Meskipun tubuh Dizi jadi debu dan tulang Dizi hancur berantakan, masih tetap sulit membalas budi baik Shifu bertujuh. Tangan Dizi ini sudah menyinggung Da Shifu, Dizi tidak menginginkannya lagi!” Menghunus pisau dari pinggangnya Guo Jing membacok pergelangan tangan kirinya.
Ke Zhen’E mengayunkan tongkat besinya secara horizontal, memukul pisau itu ke samping. Meskipun pisau itu ringan dan tongkat itu jauh lebih berat, ketika kedua senjata itu bertemu, percikan bunga api tersebar kemana-mana. Ke Zhen’E merasa tangannya kesemutan. Ia tahu Guo Jing menggunakan segenap tenaganya, dengan demikian membuktikan ketulusannya.
“Baik,” katanya. “Kalau begitu kau harus melakukan apa yang kusuruh.”
Guo Jing sangat gembira. “Apapun juga yang Da Shifu katakan, Dizi tidak berani membantah,” katanya.
“Kalau kau tidak mau melakukan apa yang kusuruh, maka aku melarangmu melihat mukaku lagi, dan mulai saat itu hubungan kita sebagai guru dan murid putus,” kata Ke Zhen’E.
Guo Jing berkata, “Dizi akan berusaha melaksanakannya. Kalau Dizi tidak sanggup, maka lebih baik Dizi mati.”
Ke Zhen’E menghempaskan tongkat besinya ke tanah keras-keras sambil berteriak, “Penggal kepala Huang Laoxie dan anaknya, lalu kau boleh kembali ke sini menemui aku.”
Kalau dikatakan bahwa Guo Jing kaget, rasanya masih terlalu ringan. “Da… Shi… Shifu…” ia tergagap dengan suara gemetar.
“Apa?” tanya Ke Zhen’E.
“Entah apa yang dilakukan Huang Daozhu untuk menyinggung Da Shifu?” tanya Guo Jing.
Ke Zhen’E menghela nafas berat dua kali. Tiba-tiba ia menggertakkan gigi dan berkata, “Aku sungguh berharap Surga memulihkan mataku meskipun hanya untuk sesaat, supaya aku bisa melihat mukamu, kau, binatang kecil yang tak tahu terima kasih!” Mengangkat tongkat besinya tinggi-tinggi, ia menghujamkannya ke batok kepala Guo Jing.
Ketika Ke Zhen’E menyuruh Guo Jing melakukan sesuatu untuknya, Huang Rong sudah menebak samar-samar apa yang diinginkannya. Waktu tongkat Ke Zhen’E tiba-tiba menghujam dan Guo Jing tidak mengelak, ia berpikir bahwa apapun juga yang terjadi, menyelamatkan nyawa Guo Jing adalah lebih penting, karena itu dari samping tongkat bambunya memotong laju tongkat besi itu sebelum mengenai kepala Guo Jing dengan menggunakan jurus E Gou Lan Lu5. Begitu menghantam tongkat besi, tongkat bambu itu bergetar dan melilit tongkat besi, membuatnya melenceng ke samping. Teknik Yongkat Penggebuk Anjing itu sangat menakjubkan, meskipun tenaganya lebih lemah, tapi dengan meminjam kekuatan tongkat besi ia mampu membelokkan arahnya.
Ke Zhen’E terhuyung, tanpa menunggu kakinya berhenti total, ia memukul dadanya sendiri keras-keras dua kali dan kemudian lari ke Utara. Guo Jing mengejarnya sambil berseru, “Da Shifu, tunggu!”
Ke Zhen’E menghentikan langkahnya dan berpaling, dengan nada tajam ia berkata, “Guo Daye ingin mengambil nyawaku?” Ekspresi mukanya tampak bengis dan kejam. Guo Jing sangat terkejut, ia tidak berani melanjutkan. Sambil menundukkan kepala ia mendengar suara tongkat besi membentur tanah makin jauh, sebelum akhirnya tak terdengar lagi. Teringat akan kebaikan hati gurunya, ia tak kuasa menahan diri untuk berlutut dan meratap dengan pahit.
Sambil memegang tangan Huang Rong Hong Qigong berjalan mendekat ke sisinya. Ia berkata, “Ke Daxia dan Huang Laoxie sama-sama punya temperamen aneh, mereka selalu punya semacam selisih pendapat. Jangan kuatir, serahkan saja pada Pengemis Tua untuk menengahinya.”
Guo Jing menghapus air matanya dan bangkit berdiri. “Shifu,” katanya. “Kau tahu… kau tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
Hong Qigong menggelengkan kepalanya. “Lao Wantong jatuh ke perangkap mereka dan bertaruh tentang siapa yang bisa diam lebih lama. Bangsat-bangsat itu ingin mencelakai aku. Untungnya kami kebetulan ketemu guru pertamamu di luar Desa Niu, dan dia melindungiku dengan cara menyembunyikan aku di gua ini. Berkat kehebatan Du Ling-nya bajingan-bajingan itu tidak berani mendekat, jadi kami bisa bertahan sejauh ini. Aih, gurumu itu punya hati yang sangat mulia, dia sangat berani melawan ketidakadilan. Dia menemani aku di dalam gua untuk melawan musuh. Tak ragu lagi, dia pasti sudah siap bertarung sampai mati.”
Bicara sampai di sini ia meneguk araknya dua kali, lalu menggigit kaki ayam. Setelah mengunyah dan menelan ayamnya, ia menghapus minyak dari mulutnya dengan lengan baju. Baru pada saat itu ia melanjutkan, “Pertarungan itu sangat sengit, kungfuku sudah lenyap. Aku tidak bisa membantu melawan musuh. Aku hanya bisa melihat muka gurumu, tapi sayangnya tidak sempat bicara apa-apa dengan dia. Kalau menilai dari kemarahannya, kurasa itu bukan karena tanganmu terpeleset dan megenainya. Dia seorang pahlawan gagah berani, masa pikirannya sesempit itu? Untungnya dalam waktu beberapa hari ini Zhongqiu Jie sudah tiba. Kita tunggu setelah selesai adu ilmu silat di Jiaxing, Pengemis Tua akan bicara untuk membantumu.” Sambil menahan air mata, Guo Jing mengucapkan terima kasih.
Hong Qigong tertawa dan berkata, “Kelihatannya kungfu kalian — dua bocah cilik ini — sudah maju pesat. Ke Daxia bisa dibilang karakter yang menonjol di Wulin, tapi setelah kalian bergerak dia langsung di bawah angin. Bagaimana ceritanya sampai bisa begini?”
Dalam hati Guo Jing sangat malu, ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sambil tertawa cekikikan Huang Rong menceritakan kepada Hong Qigong segala hal yang telah mereka alami setelah berpisah.
Hong Qigong bersorak keras-keras ketika mendengar Yang Kang membunuh Ouyang ke, ia menyumpah-nyumpah ketika mendengar para penatua Kai Pang dipermainkan Yang Kang, “Bangsat kecil! Empat tua bangka tolol! Lu Youjiao punya kaki tapi tidak punya otak!” Ia melamun ketika mendengar bagaimana Yideng Dashi menyelamatkan nyawa Huang Rong, dan bagaimana Ying gu datang malam-malam untuk membalas dendam. Akhirnya air mukanya berubah sedikit ketika mendengar Ying Gu tiba-tiba menjadi gila di Qing Long Tan. “Ah!” serunya.
“Shifu, ada apa?” tanya Huang Rong. “Kau juga kenal Ying Gu?” Dalam hati ia bertanya-tanya, “Sepanjang hidupnya Shifu tidak pernah punya istri, apa dia juga terpesona oleh Ying Gu? Hm, apa sih bagusnya Ying Gu ini? Sok misterius, bertingkah seperti orang gila, tapi kok bisa mempesona banyak ahli kungfu di dunia persilatan?” Untungnya jawaban Hong Qigong cukup menyenangkan telinganya.
“Bukan apa-apa,” kata Hong Qigong. “Aku tidak kenal Ying Gu, tapi waktu Kaisar Duan meninggalkan rumah dan menjadi biksu, dia mengundangku ke Selatan. Aku tahu dia tidak akan mengundang Pengemis Tua ini kalau tidak ada urusan penting. Aku juga ingat ham dari Yunnan, bihun itu, dan juga potongan kue-kue dan cemilan lain, jadi aku langsung berangkat. Waktu aku melihatnya, mukanya tirus, seperti baru sakit berat, sangat lain kalau dibandingkan waktu kulihat dia di pertandingan kungfu Hua Shan, dia waktu itu kelihatan hidup, dengan penampilan seperti naga atau harimau. Aku merasa sangat heran. Setelah tinggal di sana beberapa hari dengan alasan diskusi tentang kungfu, dia ingin mengajariku Xian Tian Gong dan Yi Yang Zhi. Pengemis Tua berpikir, di masa lalu ilmu Yi Yang Zhi dia seimbang dengan Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, Jurus Kodok milik Racun Tua, Pi Kong Zhang dan sentilan jari milik Huang Laoxie. Sekarang dia menguasai Xian Tian Gong milik Wang Chongyang. Dalam pertandingan Hua Shan kedua nanti, gelar Pendeka Nomor Satu Dunia pastilah akan jadi miliknya. Kenapa dia harus mewariskan ilmu istimewa itu kepada Pengemis Tua tanpa alasan yang jelas? Kalau dia ingin bertukar ilmu, kenapa dia tidak ingin belajar Delapan Belas Jurus Penakluk Naga? Pasti ada alasan di balik semua itu. Belakangan Pengemis Tua merenungkan masalah ini, aku bicara dengan dia dan keempat orang muridnya, akhirnya aku menemukan petunjuk. Ternyata setelah mewariskan kedua ilmu itu kepadaku dia berniat bunuh diri. Hanya saja, entah apa alasannya sampai dia begitu sedih, bahkan para muridnya juga tidak tahu pasti.”
Huang Rong berkata, “Shifu, Kaisar Duan takut kalau setelah dia meninggal nanti, tidak ada orang bisa mengendalikan Ouyang feng.’
“Betul,” kata Hong Qigong. “etika aku tahu soal itu, aku bersikeras tidak mau belajar apa-apa dari dia. Akhirnya dia menceritakan masalah yang sebenarnya, dia bilang meskipun murid-muridnya sangat setia dan rajin, tapi pikiran mereka sudah terlalu lama sibuk dengan segala urusan negara, maka mereka tidak bisa berkonsentrasi untuk berlatih ilmu silat, dengan begitu sangat sulit bagi mereka untuk mencapai sukses. Tampaknya ilmu silat Ketujuh Pendekar Quanzhen juga tidak bisa mencapai titik sempurna. Dia bilang boleh-boleh saja kalau aku tidak ingin belajar Yi Yang Zhi, tapi kalau Xian Tian Gong sampai lenyap, maka dia tidak punya lagi ketemu Wang Chongyang Zhenren di akhirat. Aku memintanya untuk mempertimbangkan lagi keputusannya, tapi bujukanku tidak berguna. Hanya saja, aku sama sekali tidak bergeming dari keputusanku untuk tidak belajar apa-apa dari dia, dengan harapan bisa menyelamatkan nyawanya. Kaisar Duan tidak bisa mengubah keputusanku, akhirnya dia mengalah dengan jalan mengundurkan diri dan menjadi biksu. Aku ada di sampingnya pada hari itu, ketika dia mencukur rambut. Itu sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Aih, akhirnya permusuhan itu bisa dibereskan, ini betul-betul bagus.”
“Shifu,” kata Huang Rong. “Kami sudah selesai menceritakan pengalaman kami, bagaimana dengan Shifu?”
“Aku?” tanya Hong Qigong. “Hmm, di dapur istana aku makan empat masakan Yuan Yang Wu Zhen Kuai6, itu sudah cukup untuk mengatasi ketagihanku. Lalu aku makan buah leci dan ginjal, sup burung puyuh, lidah domba saus kental, keong dengan saus jahe dan cuka, tiram yang diawetkan dalam babat domba…” Ia terus menggumamkan daftar makanan yang dimakannya di dapur istana, sambil terus menerus menelan ludah dan menjilat bibirnya sendiri.
“Kenapa setelah itu Si Lao Wantong tidak bisa menemukanmu?” sela Huang Rong.
Hong Qigong tersenyum. “Koki-koki di dapur istana terus-terusan menemukan bahwa masakan yang mereka siapkan menghilang tanpa jejak, mereka pikir ada Peri Rubah mengganggu tempat itu, jadi mereka membakar dupa dan menyalakan lilin untuk menyembah aku. Belakangan mereka mengatakan semua itu kepada kepala pengawal istana, yang kemudian mengerahkan delapan orang pengawal untuk pergi dan menangkap Peri Rubah itu di dapur. Pengemis Tua merasa ini situasi yang sangat serius, dan baik lao Wantong maupun bayangannya sama sekali tidak kelihatan saat itu. Aku tidak punya pilihan selain menyelinap pergi ke tempat agak jauh untuk menyembunyikan diri sebentar. Tempat itu bernama E Lu Hua Ting7 atau yang semacam itu, itu penuh dengan pohon Mei Hua8. Dari penampilannya, itu pasti ruangan untuk musim dingin, di mana sobatku itu, Si Kaisar, menghabiskan waktunya untuk menikmati mekarnya bunga-bunga Meihua. Hanya saja, ini di tengah musim panas, kecuali beberapa gelintir kasim yang menyapu tanah setiap hari di pagi hari, bahkan bayangan hantu pun tidak ada di tempat itu. Pengemis Tua dengan bebas bisa menjelajah kemana-mana. Di segala tempat di istana, pasti ada saja yang bisa dimakan, bahkan seratus pengemis pun tidak akan mati kelaparan di tempat itu, karena itu aku bisa menyembuhkan cederaku dengan damai dan tenang.”
“Aku tinggal di situ selama lebih dari sepuluh hari. Suatu hari di tengah malam, aku tiba-tiba mendengar suara Lao Wantong pura-pura jadi hantu, dan kemudian suara itu berubah menjadi gonggongan anjing dan kucing meong-meong. Dia menjungkirbalikkan istana dengan segala suara berisik. Lalu aku mendengar ada orang memanggil, ‘Hong Qigong, Hong Laoyezi, Hong Qigong, Hong Laoyezi9!’ Aku mengintip. Ternyata mereka itu Peng Lianhu, Sha Tongtian, Liang Ziweng dan semua bangsat lainnya.”
“Ah!” seru Huang Rong terkejut. “Kenapa mereka mencarimu?”
“Kupikir itu memang sangat aneh,” kata Hong Qigong. “Segera setelah melihat mereka, aku kembali ke tempat persembunyianku. Di luar dugaan Lao Wantong suudah menemukan aku. Dia sangat kegirangan, dia mendekat dan memelukku, dan bilang, ‘Terima kasih Surga, terlima kasih Bumi, karena akhirnya mengijinkan aku menemukanmu.’ Dia segera menyuruh Liang Ziweng dan lainnya untuk mengikuti di belakang kami…”
“Kenapa Liang Ziweng dan yang lain bisa menuruti perintah Lao Wantong?” tanya Huang Rong dengan heran.
Hong Qigong tertawa dan berkata, “Saat itu aku juga memeras otak dan tidak bisa menemukan jawabannya. Yang bisa kukatakan hanyalah bahwa mereka takut kepada Lao Wantong. Apapun yang dikatakannya, mereka tidak berani membantah. Dia menyuruh Liang Ziweng dan kawan-kawan mengikuti kami, sementara dia sendiri menggendongku di punggungnya sampai ke Desa Niu untuk mencari kalian berdua. Sepanjang jalan dia menceritakan bahwa dia sudah mencariku kemana-mana dan tidak menemukan aku, dia sangat kuatir. Lalu secara sangat kebetulan dia ketemu Liang Ziweng dan kawan-kawan di tembok kota. Dia melampiaskan rasa frustasinya dengan jalan memukuli mereka semua sampai setengah mati dan kemudian menyuruh mereka menyapu jalanan dan lorong-lorong sepanjang hari sepanjang malam untuk mencari aku. Dia bilang mereka sudah mencari ke sekeliling istana, tapi istana itu sangat luas sementara aku bersembunyi di tempat yang agak jauh. Akhirnya mereka tidak menemukanku.”
Huang Rong berkata sambil tersenyum, “Tak kuduga Si Lao Wantong bisa sepintar itu, bisa membuat kepala-kepala iblis mematuhi segala perintahnya. Entah kenapa mereka tidak melarikan diri.”
Hong Qigong tersenyum dan berkata, “Lao Wantong memakai akal bulus. Dia membuat butiran pil-pil dari dakinya sendiri, lalu memaksa mereka masing-masing minum tiga butir, dia bilang ‘racun’ itu akan bereaksi dalam tujuh kali tujuh, atau empat puluh sembilan hari. Racun itu sangat mematikan dan tak seorang pun di dunia ini bisa memunahkannya, kecuali diriya sendiri. Kalau mereka patuh, maka ia akan memberikan penawarnya pada hari ke empat puluh delapan. Meskipun bajingan-bajingan itu hanya setengah percaya, tapi mereka juga tidak berani mengambil resiko dengan taruhan nyawa. Akhirnya mereka tidak punya pilihan selain percaya dan menuruti segala teriakan dan omelan Lao Wantong, tanpa berani membantah.”
Awalnya Guo Jing berduka, tapi setelah mendengar cerita Hong Qigong ia tak kuasa menahan senyum. Hong Qigong melanjutkan, “Waktu tiba di Desa Niu, kami tidak menemukan kalian berdua. Lao Wantong lagi-lagi memaksa mereka keluar untuk mencari kalian. Semalam mereka pulang dengan kepala tertunduk. Lao Wantong mengomel dan memaki mereka. Dia makin lama makin marah sampai akhirnya bilang, ‘Kalau sampai besok kalian masih belum menemukan kedua bocah itu, Guo Jing dan Huang Rong, kalian akan kuberi Pil Air Kencing!’ tentu saja mereka jadi mulai curiga dan terus-terusan merongrong Lao Wantong supaya bicara lebih jelas. Lao Wantong berteriak-teriak dan menendang-nendang, akhirnya mereka tahu bahwa pil-pil yang mereka minum sebelumnya itu sama sekali bukan racun. Aku tahu situasinya berubah jadi berbahaya, bajingan-bajingan itu pasti akan membuat masalah yang tidak bisa diremehkan. Aku menyuruh Lao Wantong membunuh mereka semua. Tak kuduga, Peng Lianhu melihat bahaya, dan segera merancang tipuan licik, dia menyuruh biksu Tibet gendut itu supaya berlomba dengan Lao Wantong untuk duduk dalam meditasi. Aku tidak bisa menghentikan mereka, dan terpaksa melarikan diri keluar dari Desa Niu. Aku berpapasan dengan Ke Daxia di luar desa. Dia melindungiku dan kami lari sampai ke tempat ini. Peng Lianhu dan lainnya mengejar kami. Meskipun Lao Wantong agak ngawur, tapi dia tahu bahwa kami tidak bisa ditinggalkan sendirian, jadi dia mengejar kami ke sini. Bajingan-bajingan itu terus membujuknya, sampai akhirnya Lao Wantong tidak tahan lagi dan setuju untuk bertaruh dengan si biksu.”
Mendengarkan cerita itu Huang Rong jadi marah dan sekaligus geli, ia berkata, “Kalau kami tidak kebetulan ketemu mereka, Shifu, nyawamu pasti akan hilang gara-gara Si Bocah Tua Nakal itu.”
Hong Qigong berkata, “Nyawaku toh sudah hampir lenyap, bukan masalah besar itu gara-gara siapa.”
Huang Rong tiba-tiba teringat sesuatu. “Shifu,” katanya. “Hari itu ketika kita pulang dari Ming Xia Dao…”
“Itu hukan Ming Xia Dao, itu Ya Gui Dao,” sela Hong Qigong.
“Baik,” kata Huang Rong sambil tersenyum. “Itu Ya Gui Dao. Sekarang Ouyang Ke bukan lagi ‘Hantu Palsu’, dia sudah jadi hantu betulan. Waktu kita menyelamatkan mereka berdua — paman dan keponakan itu — di atas rakit Racun Tua bilang bahwa di seluruh dunia hanya ada satu orang yang bisa menyembuhkan cederamu. Hanya saja kungfu orang itu tak tertandingi, jadi tidak bisa memkai cara paksamelawannya, dan kau bilang tidak mau mengambil keuntungan dari orang lain dengan cara memintanya menyembuhkanmu. Waktu itu kau tidak mau bilang siapa namanya. Setelah itu Jing gege dan aku pergi ke Xiangxi. Sewajarnya sekarang kami tahu bahwa orang itu pastilah Kaisar Duan, atau sekarang sudah jadi Yideng Dashi, pasti tidak ada orang lain lagi.”
Hong Qigong menghela nafas. “Kalau dia menggunakan Yi Yang Zhi untuk menotok kedelapan jalan darah istimewa di tubuhku, tak ragu lagi dia pasti akan bisa menyembuhkan aku. Tapi cara ini akan membuatnya kehilangan tenaga dalam selama lima tahun ke depan, atau setidaknya tiga tahun, itu sulit dikatakan. Anggap saja dia tidak peduli tentang pertandingan di Hua Shan yang kedua, tapi dia sendiri sudah berumur lebih dari enam puluh tahun, berapa lama lagi dia akan bisa bertahan hidup? Bagaimana mungkin Pengemis Tua bisa membuka mulut untuk minta tolong?”
“Shifu,” kata Guo Jing dengan gembira. “Ini luar biasa! Kita justru tidak memerlukan pertolongan orang lain, aku bisa membuka delapan jalan darah istimewamu.”
Hong Qigong terkejut. “Apa?” tanyanya.
Huang Rong berkata, “Jing Gege mengutip bagian kitab yang kacau balau itu dan Yideng Dashi menerjemahkannya untuk kami. Dia menyuruh kami menceritakannya kepada Shifu supaya memakai teknik itu untuk membuka sendiri kedelapan jalan darah istimewa di tubuhmu10.” Ia langsung mengutip semua terjemahan Yideng Dashi itu dari ingatannya.
Setelah mendengarkan semuanya Hong Qigong termenung lama, kemudian ia melompat kegirangan sambil berseru, “Luar biasa! Luar biasa! Aku yakin aku hanya perlu waktu satu setengah tahun untuk memulihkan diri.”
Huang Rong berkata, “Dalam kontes di Jiaxing lawan kita sudah pasti akan mengundang Ouyang Feng untuk membantu mereka. Kungfu Lao Wantong mungkin tidak kalah dari dia, tapi dia itu orang liar. Aku kuatir dia tidak bakalan muncul dalam pertandingan itu. Kita harus pergi ke Pulau Bunga Persik untuk mendapatkan dukungan ayahku supaya bisa menang.”
“Yang kau katakan itu tidak salah,” kata Hong Qigong. “Aku akan pergi ke Jiaxing lebih dulu, kalian berdua yang pergi ke Pulau Bunga Persik.”
Guo Jing tidak ingin meninggalkan gurunya, ia bersikeras untuk mengantarkan Hong Qigong ke Jiaxing. Hong Qigong berkata, “Aku akan naik kuda merahmu. Kalau ada masalah di jalan, Pengemis Tua akan melarikan diri. Siapa bisa mengejarku?”
Dengan segera ia naik ke atas kuda. Ia meneguk araknya beberapa kali, dan menekan perut kuda itu dengan kakinya. Kuda merah kecil itu meringkik panjang ke arah Guo Jing dan Huang Rong, seolah-olah tidak mau meninggalkan mereka, lalu berpacu secepat angin ke Utara.
Guo Jing mengawasi sampai ia tidak bisa lagi melihat bayangan Hong Qigong, ia juga teringat bagaimana Ke Zhen’E begitu ingin membunuh Huang Rong, hatinya terasa berat. Huang Rong tidak berusaha menghiburnya. Ia pergi sendirian untuk mencari perahu yang bisa disewa lalu mereka mulai berlayar menuju Pulau Bunga Persik.
Ketika sampai di pulau, mereka segera menyuruh perahu itu pergi. Huang Rong berkata, “Jing Gege, aku ingin minta memintamu melakukan sesuatu untukku. Kau bisa berjanji untuk melakukannya?”
“Apa itu?” tanya Guo Jing. “Aku tidak mau melakukan sesuatu yang tidak bisa kulakukan.”
Huang Rong tertawa dan berkata, “Aku tidak akan memintamu untuk menggorok leher keenam gurumu.”
Guo Jing marah. “Rong’er,” katanya. “Bisakah kau tidak menyinggung masalah ini lagi?”
“Kenapa tidak?” balas Huang Rong. “Kau mungkin sudah melupakannya, tapi aku tidak bisa. Meskipun aku baik kepadamu, tapi aku juga tidak mau kau menggorok leherku.”
Guo Jing menghela nafas dan berkata, “Aku sungguh tidak mengerti kenapa Da Shifu sangat marah. Dia sudah tahu kau ini orang yang paling kucintai. Aku lebih baik mati ribuan kali, puluhan ribu kali, daripada melukaimu secuilpun.”
Huang Rong bisa mendengar ketulusan dalam suaranya, hatinya tergerak. Ia menarik tangan Guo Jing dan bersandar di tubuhnya. Sambil menunjuk deretan pohon Willow di epi sungai ia berkata dengan lembut, “Jing Gege, kau pikir Pulau Bunga Persik ini indah atau tidak?”
“Ini betul-betul mirip Negeri Dongeng,” jawab Guo Jing.
Huang Rong mendesah. “Aku ingin tinggal di sini selamanya, aku tidak ingin kau bunuh,” katanya.
Guo Jing mengelus rambutnya dengan lembut sambil berkata, “Rong’er yang baik, bagaimana mungkin aku bisa membunuhmu?”
Huang Rong berkata, “Bagaimana kalau keenam gurumu, ibumu, kawan-kawanmu, memintamu untuk membunuhku? Kau mau melakukannya atau tidak?”
Guo Jing dengan penuh keyakinan berkata, “Meskipun semua orang di dunia ini ingin mencelakaimu, aku akan selalu melindungimu.”
Huang Rong memegang tangannya erat-erat dan berkata, “Maukah kau meninggalkan semua orang itu untukku?”
Guo Jing ragu-ragu dan tidak menjawab. Huang Rong menengadah dan menatap matanya, dengan muka penuh kecemasan, ia menanti jawaban.
Guo Jing akhirnya berkata, “Rong’er, aku sudah bilang akan menemanimu di Pulau Bunga Persik seumur hidupku. Aku sudah membuat keputusan itu sebelum membuka mulutku.”
“Bagus!” kata Huang Rong. “Maka mulai hari ini, kau tidak akan meninggalkan pulai ini.”
Guo Jing terkejut. “Mulai hari ini?”
“Hm, ya,” kata Huang Rong. “Mulai hari ini! Aku akan minta ayahku untuk pergi ke Jiaxing dan bertarung untuk kita. Ayah dan aku akan pergi untuk membunuh Wanyan Honglie untuk membalas dendam ayahmu. Ayah dan aku akan pergi ke Mongolia untuk menjemput ibumu. Aku bahkan akan minta ayah untuk tidak menyalahkan keenam gurumu. Aku akan mengurus semua masalah untukmu.”
Guo Jing melihat ekspresi mukanya agak tidak biasa, ia berkata, “Rong’er, apa yang kukatakan kepadamu, itu pasti bisa kau andalkan. Jangan kuatir, kau tidak harus melakukan semuanya itu.”
Huag Rong menghela nafas. “Urusan di dunia ini sulit dikatakan,” katanya. “Ketika kau setuju untuk menikah dengan Putri Mongolia itu, apa kau pernah berpikir bahwa suatu hari nanti kau akan menyesali keputusanmu? Sebelumnya aku hanya tahu kalau aku menginginkan sesuatu, aku akan mendapatkannya. Tapi sekarang aku tahu… Aih! Apapun yang kau inginkan, berdoa saja semoga Surga tidak akan mempersulit jalanmu.” Bicara sampai di sini ia tidak bisa menahan matanya berubah menjadi merah. Ia menundukkan kepalanya.
Guo Jing terdiam, aneka macam pikiran memenuhi benaknya. Ia menyadari betapa cintanya Huang Rong kepadanya, dan itu membuatnya ingin tinggal di Pulau Bunga Persik bersamanya seumur hidup. Tapi ia merasa sangat tidak pantas baginya untuk mengabaikan segala urusan, hanya saja kenapa tidak pantas, ia tidak tahu.
Huang Rong berkata dengan lembut, “Aku bukan tidak percaya kepadamu atau ingin memaksamu untuk tinggal di sini. Hanya saja aku sungguh takut.” Bicara sampai di sini ia mendadak melemparkan diri ke pelukannya dan terisak di bahunya.
Guo Jing kaget, ia kehilangan akal tentang apa yang seharusnya dilakukan. “Rong’er, kau takut apa?” Huang Rong tidak menjawab, tapi ia mulai meratap.
Sejak Guo Jing mengenalnya, mereka telah bersama-samamelewati segala kesulitan dan bahaya, terkadang sengsara, tapi ia selalu melihatnya tersenyum dan tertawa. Kali ini ia pulang ke rumahnya sendiri dan dengan segera akan bertemu dengan ayahnya, kenapa ia tiba-tiba takut? Ia bertanya, “Kau takut ayahmu mengalami musibah?”
Huang Rong menggelengkan kepalanya. Guo Jing bertanya lagi, “Apa kau takut begitu meninggalkan pulai ini, aku tidak akan kembali lagi?” Huang Rong lagi-lagi menggelengkan kepalanya. Guo Jing berturut-turut menanyakan empat sampai lima pertanyaan tetapi ia terus menggeleng.
Setelah beberapa saat Huang Rong mengangkat kepalanya dan berkata, “Jing Gege, aku tidak tahu apa yang kutakutkan. Aku teringat ekspresi Da Shifu-mu waktu menyuruhmu membunuhku, aku tidak bisa menyingkirkannya dari pikiranku. Aku selalu merasa bahwa akan tiba suatu hari di mana kau akan menuruti suruhannya dan membunuhku. Itu alasannya kenapa aku memintamu supaya tidak meninggalkan tempat ini. Kau mau berjanji atau tidak?”
Guo Jing tersenyum dan berkata, “Aku bertanya-tanya entah urusan penting apa yang membuatmu begitu kuatir, ternyata hanya urusan semacam ini. Hari itu ketika di Yanjing bukankah keenam guruku memakimu sebagai Xiao Yaonu atau yang semacam itu? Setelah itu aku melarikan diri bersamamu, tapi kita tidak punya masalah sampai hari ini. Keenam guruku kelihatannya memang sangat ketat dan jahat, tapi hati mereka sebenarnya baik dan penuh kasih. Sekali kalian saling meengenal dengan baik aku yakin mereka akan menyukaimu. Er Shifu punya ilmu untuk mencopet yang sangat menakjubkan, kau bisa belajar dari dia. Aku yakin kalian pasti akan menikmatinya. Qi Shifu sangat lembut dan bersahabat…”
Huang Rong memotongnya, “Jadi kau sudah bertekad untuk meninggalkan tempat ini?”
Guo Jing menjawab, “Kita berdua akan pergi bersama, kita berdua akan pergi ke Mongolia untuk menjemput ibuku, kita akan membunuh Wanyan Honglie bersama, dan kemudian kita juga akan kembali ke tempat ini bersama. Bukankah itu bagus?”
Dengan rasa terkejut di mukanyaHuang Rong berkata, “Kalau begitu, kurasa kita tidak bakalan kembali bersama sampai selamanya, kita tidak akan bersama sampai seumur hidup.”
“Kenapa?” tanya Guo Jing heran.
Huang Rong menggelengkan kepalanya dan berkata, “Aku tidak tahu. Tapi waktu aku melihat muka Da Shifu-mu itulah yang kurasakan. Sepertinya membunuhku masih belum cukup. Kebenciannya sampai ke tulang sumsum.”
Ketika Guo Jing menatapnya, ia bisa melihat bahwa ia patah hati. Meskipun mukanya masih menunjukkan keluguan seorang anak-anak, tetapi alisnya dan sudut matanya meperlihatkan dengan jelas perasaannya tentang malapetaka yang akan datang. Ia teringat bahwa Huang Rong selalu benar, kalau kali ini ia tidak mendengarkan apa yang dikatakannya dan suatu hari nanti sebuah malapetaka menimpanya, itu sungguh celaka. Memikirkan hal ini hatinya sakit, ia jadi emosional dan berkata tanpa dipikir lagi, “Baik! Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sama sekali!”
Mendengarnya, Huang Rong menatap mukanya lekat-lekat sampai lama sekali tanpa mengatakan apa-apa, dua titik air mata menetes turun di pipinya. Guo Jing berkata dengan nada rendah, “Rong’er, apa lagi yang kau inginkan?”
“Apa lagi yang kuinginkan?” kata Huang Rong. “Tidak ada lagi!” Ia mengangkat alisnya yang indah. “Kalaupun aku punya keinginan lain, Surga pasti akan melarangku.” Lengan jubahnya yang panjang terangkat pelan, ia menari di bawah pepohonan. Ketika memalingkan kepalanya, ikat rambut keemasan yang dipakainya berkilau di bawah sinar matahari. Pakaiannya berkibar ditiup angin. Ia menari makin cepat, terkadang berhenti untuk menggoyangkan pohon dan kelopak-kelopak bunga berjatuhan seperti hujan. Bunga merah, putihm kuning, ungu, mereka semua berkibar di udara seperti kupu-kupu menari mengelilinginya, menciptakan pemandangan yang sangat indah.
Ia terus menari selama beberapa saat, terkadang ia melompat ke sebuah pohon, lalu melompat ke pohon lain, menari dari pohon ke pohon memperagakan jurus Yan Shuang Fei11 dan Luo Ying Shen Jian Zhang12. Ia tampak sangat bahagia.
Guo Jing berpikir, “Ibu sering menceritakan dongeng tentang peri gunung di Laut Timur, di mana banyak peri tinggal. Entah tempat itu seindah tempat ini, dan apakah ada peri yang lebih cantik dari Rong’er?”
-
Du Ling adalah sejenis kacang air yang beracun, senjata rahasia andalan Ke Zhen’E. ↩
-
Gu Bo (姑婆), sebutan untuk seorang bibi dari ayah seseorang. Tingkatnya setara dengan kakek atau nenek, tetapi tidak ada sebutan yang setara dalam bahasa Indonesia. Kalau kita memakai istilah ‘Bibi Nenek’ akan sangat tidak lucu dan tidak masuk akal. ↩
-
Fu Mo Zhang Fa (伏魔杖法), artinya ‘Ilmu Tongkat Penakluk Iblis’. ↩
-
Da Ye (大爺), secara literal berarti ‘Majikan Besar’, alias ‘Big Boss’. ↩
-
E Gou Lan Lu (惡狗攔路), bisa diterjemahkan menjadi ‘Menghalangi jalan anjing galak’. ↩
-
Yuan Yang Wu Zhen Kuai, secara literal berarti ‘Bebek giling lima harta karun’. ↩
-
E Lu Hua Ting (萼绿花厅), secara literal berarti ‘Gedung Hijau Sepal Bunga’, atau sebuah gedung yang berwarna hijau sepal. Sebagai catatan, sepal adalah bagian tengah dari kuntum bunga, yang biasanya memang berwarna hijau. ↩
-
Mei Hua (梅花) atau Bunga Prem adalah sebuah pohon, yang buahnya banyak beredar di Indonesia sebagai manisan. Manisan ini seringkali terlihat pada saat perayaan Tahun Baru Imlek dan sejenisnya. Warnanya bisa kuning atau hijau. ↩
-
Lao Ye Zi (老爷子) adalah sebutan umum untuk seorang laki-laki tua. ↩
-
Delapan Jalan Darah Istimewa yang dimaksud itu adalah Qi Jing Ba Mai (奇經八脈), yaitu delapan jalan darah yang bukan termasuk jalan darah utama dalam tubuh manusia menurut teori akupuntur. Titik-titik ini biasanya hanya dikenal dan dipakai secara rutin oleh para praktisi ilmu beladiri seperti Tai Chi. ↩
-
Yan Shuang Fei (燕双飞) secara literal berarti ‘Sepasang burung walet terbang’. ↩
-
Luo Ying Shen Jian Zhang (落英神剑掌) adalah Ilmu Pedang Dewa Daun Jatuh, ilmu yang dikembangkan oleh Huang Yaoshi. ↩