Mu Nianci membiarkan Huang Rong memegang tangan kanannya, ia memandangi rontokan kelopak bunga yang terapung di permukaan air sambil berkata, “Waktu melihatnya membunuh Ouyang Ke, kupikir dia berniat bertobat. Lagipula aku melihat dua orang anggota Kai Pang sangat hormat kepadanya ketika mereka pergi ke barat. Aku pernah ketemu kedua paman itu sebelumnya, mereka orang kepercayaan Qigong Qianbei. Melihat mereka memperlakukan dia seperti itu aku sangat gembira, jadi aku mengikuti mereka sampai tiba di Yuezhou, di mana Kai Pang sedang mengadakan pertemuan besar di Gunung Jun.”

“Sebelumnya dia pernah diam-diam mengatakan bahwa dia menerima mandat dari Hong Enshi untuk menjadi ketua Kai Pang. Aku sangat terkejut dan gembira. Sejujurnya saja, hal itu sangat sulit kupercaya, tapi aku melihat bahkan penatua dengan tingkat tertinggi pun memperlakukan dia dengan sangat hormat, aku tidak punya pilihan lain kecuali percaya. Aku bukan anggota Kai Pang, jadi sewajarnya aku tidak bisa ikut serta dalam pertemuan itu dan harus menunggunya di Yuezhou. Kupikir setelah menjadi pemimpin para pendekar Kai Pang seharusnya dia bisa berbuat baik bagi rakyat dan negara, melakukan hal-hal besar, dan di masa depan akan mampu melawan para penjajah dan membalas dendam ayah dan ibu.”

“Malam itu pikiranku kacau dan aku tidak bisa tidur, kupikir sejak saat itu semuanya akan menjadi baik. Saat itu sudah menjelang pagi ketika aku akhirnya merasa sangat lelah dan hampir ketiduran, tapi tiba-tiba dia melompat masuk dari jendela. Aku melompat ketakutan, kukira dia mau macam-macam. Tapi ternyata dia bicara dengan suara rendah, ‘Meizi, semuanya tidak berlangsung mulus, kita harus segera pergi.’ Aku terkejut dan bertanya ada apa, dia bilang, ‘Ada masalah internal di Kai Pang, anggota Baju Kotor menolak perintah Hong Bangzhu. Anggota Baju Bersih dan Baju Kotor saling baku hantam sendiri dalam urusan pemilihan ketua, banyak yang tewas.’ Aku sangat terkejut, ‘Kita harus bagaimana?’ kutanya. Dia bilang, ‘Karena banyak yang tewas, aku menarik pencalonanku, aku sudah tidak berminat lagi menjadi ketua.’ Dengan mempertimbangkan keseluruhan situasi, kupikir dia melakukan hal yang benar. Dia bilang lagi, ‘Anggota Baju Bersih tidak mau melepaskan aku, untungnya Qiu Bangzhu dari Telapak Besi datang menolongku dan membantuku pergi dari Gunung Jun. Saat ini kita sebaiknya pergi ke Gunung Telapak Besi dulu dan kita bicara lagi setelah itu.’ Aku tidak tahu Sekte Telapak Besi itu perkumpulan baik atau jahat, tapi karena dia sudah bilang begitu, aku mengikutinya.”

“Waktu kami tiba di Gunung Telapak Besi, aku tidak melihat Qiu Bangzhu dari Sekte Telapak Besi, tapi aku dipandang dengan tatapan dingin. Kulihat tingkah laku para anggota Telapak Besi itu mencurigakan, aku melihat benda-benda aneh di mana-mana. Aku bilang kepada Yang Kang, ‘Meskipun kau tidak menjadi ketua Kai Pang, kau seharusnya tidak meninggalkan mereka. Kurasa sebaiknya kau pergi menemui gurumu, Changchun Zi Qiu Daozhang, dan memintanya untuk mengumpulkan para ahli kungfu di Jianghu untuk menegakkan keadilan, membantu Kai Pang memilih orang yang bijaksana dan punya prestasi dalam sekte mereka untuk menjadi ketua, dan dengan begitu menghindari pertumpahan darah di dalam sekte. Dengan cara begitu kau akan tetap melaksanakan amanat Hong Enshi.’ Dia bergumam tidak jelas, tidak mengiyakan atau menolak, tapi malah bicara soal pernikahan antara aku dengan dia. Aku mengomel, dan dia jadi marah. Kami akhirnya berdebat sengit. Hari berikutnya aku mulai menyesali sikapku yang kasar, kupikir meskipun dia tidak bisa membedakan hal penting dan sepele, teman atau lawan, dan kadang-kadang kekanak-kanakan, betapapun juga dia selalu baik kepadaku. Aku merasa sikapku agak keterlaluan, tidak heran dia jadi marah. Malam itu semakin kupikir, aku jadi semakin tidak tenang. Aku mehyelakan lampu dan menulis pesan. Diam-diam aku pergi ke kamarnya, aku baru mau menyelipkan pesan itu melalui jendela, tapi tiba-tiba aku mendengar dia bicara dengan seseorang. Aku mengintip dari balik jendela, kulihat seorang pria tua bertubuh pendek dan berjenggot putih, dia memakai jubah kasar dari linen berwarna kuning, dengan sebuah kipas besar dari daun palem di tangannya.”

Guo Jing dan Huang Rong bertukar pandang, keduanya berpikir, “Entah itu Qiu Qianren atau Qiu Qianzhang?”

Mu Nianci melanjutkan, “Orang tua itu mengambil botol porselen dari sakunya dan meletakkannya di atas meja, dia bilang, ‘Saudara Yang, kalau tunanganmu tidak mau menurut, itu masalah kecil. Cukup ambil sedikit obat dari botol ini, campurkan ke secangkir teh hijau, suruh dia minum, kujamin kau pasti akan menikmati malam pengantin hari ini.’”

Waktu Guo Jing dan Huang Rong mendengar hal ini, mereka berpikir, “Itu pasti Qiu Qianzhang.”

Mu Nianci melanjutkan, “Agak mengherankan ternyata si Yang Kang itu mukanya bersinar kegirangan, dia bilang terima kasih berkali-kali. Aku sangat marah sampai hampir pingsan. Beberapa saat kemudian orang tua itu pergi. Diam-diam aku membuntutinya. Setelah cukup jauh, aku menyerangnya, aku memukul dadanya dan menjatuhkan dia. Kalau saja bukan sedang di tempat berbahaya aku pasti sudah mengambil pisau dan menikamnya sampai mati. Aku memukulinya sampai dia pingsan, lalu aku menggeledah dia. Saku baju orang itu isinya macam-macam, ada cincin, pedang patah, potongan batu bata, dan segala barang aneh lainnya. Aku juga menemukan sebuah buku. Aku tidak tahu itu buku apa, tapi kupikir akan ada gunanya nanti, jadi kusimpan di saku bajuku. Makin kupikir, aku jadi makin marah. Aku sudah bertekad untuk menghadapi Yang Kang.”

“Aku kembali lagi ke kamar Yang Kang. Tak kusangka dia berdiri di pintu. Dia tersenyum dan bilang, ‘Meizi, silakan masuk.’ Awalnya aku sudah memutuskan malam itu aku harus membuat ketegasan, jadi aku masuk. Dia menunjuk ke botol kecil di meja dan tersenyum. ‘Meizi,’ katanya. ‘Coba tebak ini apa?’ Aku sangat marah, ‘Aku mana tahu soal barang-barang kotor seperti ini!’ kubilang. Dia tersenyum dan bilang lagi, ‘Ada teman yang baru saja memberiku barang ini, katanya kalau aku memberimu sedikit saja obat ini dan dicampur ke dalam secangkir teh, maka semuanya akan terjadi sesuai keinginanku.’ Omongannya sungguh-sungguh membuatku tercengang, kecurigaanku langsung lenyap. Aku mengambil botol kecil itu dan melemparkannya keluar jendela. ‘Dan kau menurutinya?’ tanyaku. ‘Aku menghormati dan mengagumi Meizi seperti seorang Dewi, masa aku mau berbuat sejahat itu?’ jawabnya.”

Guo Jing menganggukkan kepalanya. “Yang Xiandi benar,” katanya. “Hm,” dengus Mu Nianci, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Huang Rong ingat ketika di Gunung Telapak Besi ia mengintip melalui jendela dan melihat Yang Kang duduk di sudut tempat tidur, memeluk Mu Nianci sambil bicara dengan lembut. Saat itu Mu Nianci tersenyum, wajahnya tampak lembut. Rupanya itu terjadi setelah ia membuang botol obat itu.

“Lalu apa yang terjadi?” tanya Guo Jing. Zhou Botong memberitahu dia bahwa ketika seseorang sedang bercerita, kalau mengatakan ‘Lalu apa yang terjadi?’ sekali-sekali, itu akan membuat orang yang sedang bercerita tetapbersemangat, tapi di luar dugaan muka Mu Nianci memerah, ia memalingkan muka dan menundukkan kepalanya tanpa mengatakan apa-apa.

“Ah, aku tahu!” kata Huang Rong, agak mendadak. “Setelah itu kalian berdua bersujud kepada Langit dan Bumi dan menjadi suami-istri.”

Mu Nianci memalingkan kepalanya kembali, sebetulnya mukanya tampak agak pucat, ia menggigit bibirnya dan matanya bersinar aneh. Huang Rong merasa ngeri, ia tahu bahwa ia salah bicara. “Maafkan aku, aku ngomong sembarangan,” katanya buru-buru. “Kakak yang baik, tolong jangan tersinggung.”

Mu Nianci bicara dengan suara pelan, “Kau bukan bicara sembarangan, aku yang mengacaukan segalanya. Aku… aku sudah menjadi istrinya, tapi kami tidak… kami tidak bersujud kepada Langit dan Bumi. Aku benci kepada diriku sendiri, aku tidak bisa mengendalikan diri…” Bicara sampai di sini air matanya menetes membasahi pipinya.

Melihat kesedihan di mukanya, Huang Rong mengulurkan tangan kirinya untuk merangkul bahunya. Ia ingin mengatakan sesuatu untuk menghibur, jadi setelah beberapa saat ia menunjuk kepada Guo Jing dan berkata, “Jiejie, tidak usah kuatir, itu sih bukan apa-apa. Saat itu di Desa Niu Jing Gege dan aku juga menjadi suami-istri.”

Ketika mendengar ini, Guo Jing terdiam. Ia tersipu dan tidak berani mengangkat kepalanya, hanya bergumam,”Kita… kita tidak… tidak…”

Huang Rong tertawa, “Jangan bilang kau tidak memikirkan hal itu.”

Muka Guo Jing merah padam sampai ke telinga, ia menundukkan kepalanya dan berkata pelan, “Aku tidak baik.”

Huang Rong mengulurkan tangan kanannya dan menepuk bahu Guo Jing. “Kau ingin menjadi suami-istri denganku, dan aku sangat menyukainya. Apa maksudmu kau tidak baik?” katanya dengan suara rendah.

Mu Nianci menghela nafas dan berpikir, “Meskipun Huang Meizi luar biasa cerdas, tapi dia terlalu muda untuk mengerti hubungan pria dan wanita. Dia sungguh beruntung ketemu orang yang begitu jujur dan penuh pengertian seperti Guo Dage.”

“Jiejie,” tanya Huang Rong. “Terus bagaimana?”

Mu Nianci menatap ke arah sungai dan berkata dengan suara renndah, “Lalu… lalu… aku mendengar ada ribut-ribut di luar, seperti ada pertempuran. Dia bilang supaya aku tidak bersuara, katanya itu urusan dalam Sekte Telapak Besi, tidak ada hubungannya dengan kami. Beberapa saat kemudian ada orang mengetuk pintu, orang itu bilang Qiu Bangzhu ingin bicara. Dia buru-buru bangun dan bilang kepadaku supaya bersembunyi di tempat tidur dan tidak bergerak. Dia menyalakan lampu dan orang itu masuk. Aku melihat melalui tirai dan kaget, ternyata itu orang tua brengsek yang kulihat beberapa saat yang lalu. Aku takut kalau-kalau ternyata dia adalah ketua Sekte Telapak Besi, takutnya dia datang untuk menginterogasi aku kenapa aku menentangnya. Bagaimana aku tahu kalau… kalau dia adalah ketua? Untungnya dia tidak mengungkit soal itu, malahan dia dan Yang Kang bicara soal bagaimana menghancurkan Kai Pang dan mendukung tentara Jin untuk bergerak ke Selatan.”

Huang Rong tersenyum. “Jiejie, dua orang itu tidak sama,” katanya.

“Tidak sama?” tanya Mu Nianci kaget.

Huang Rong tertawa. “Mereka saudara kembar, kelihatannya sama. Yang kau kalahkan itu bernama Qiu Qianzhang, kungfunya biasa saja, dia cuma bisa menipu orang. Si Qiu Bangzhu ini, Qiu Qianren, luar biasa. Untungnya kau mengalahkan ketua palsu, kalau ketemu yang asli, hanya dengan satu pukulan rasanya nyawamu sulit dipertahankan.”

“Oh begitu,” kata Mu Nianci kecewa. “Sebetulnya jauh lebih baik kalau saat itu aku ketemu Qiu Bangzhu yang asli, dan dengan satu pukulan dia menghabisi aku.”

Huang Rong tertawa. “Saudara Yang kita mungkin tidak akan mau menyerahkanmu begitu saja,” katanya.

Mu Nianci memutar tubuhnya supaya tangan Huang Rong terlepas dari bahunya. “Jangan bicara seperti itu,” katanya dengan ketus.

Huang Rong menjulurkan lidahnya dan tertawa. “Baiklah, aku yang tidak mau menyerahkanmu.”

Mu Nianci bangkit dan berkata, “Guo Dage, Huang Meizi, aku pergi. Kalian berdua hati-hati dengan rencana jahat orang Telapak Besi yang di perahu itu.”

Huang Rong buru-buru bangkit dan memegang tangannya. “Jiejie, tolong jangan marah,” katanya memohon. “Aku tidak berani ngomong sembarangan lagi.”

Mu Nianci menghela nafas dalam-dalam. “Aku bukan marah kepadamu, aku… aku hanya sedih.”

“Kenapa?” tanya Huang Rong. “Apa bocah tengik Yang Kang itu membuatmu marah?” Ia menarik tangan Mu Nianci untuk duduk.

Mu Nianci berkata, “Malam itu dari balik kelambu kudengar Yang Kang dan Si Tua Qiu itu bicara segala hal tentang mengkhianati negara dan mencelakai rakyat, makin kudengar aku jadi makin marah. Aku ingin sekali melompat keluar dan membunuh orang tua itu. Mereka bicara sangat lama. Tiba-tiba suara ribut-ribut di luar jadi makin keras. Orang tua itu bilang, ‘Xiao Wangye, aku akan memeriksa keadaan. Kita bicara lagi nanti.’ Lalu ia keluar ruangan.”

“Betul,” sela Huang Rong. “Dia keluar untuk mengejar Jing Gege dan aku.”

“Setelah orang itu keluar,” lanjut Mu Nianci. “Yang Kang kembali untuk mengobrol dengan aku. Aku tanya apakah semua yang mereka bicarakan itu sungguh-sungguh ataukah dia hanya pura-pura setuju. Dia bilang, ‘Kita sudah menjadi suami-istri, aku tidak perlu lagi menutupi apa-apa darimu. Tidak terlalu lama lagi tentara Jin akan menyerbu ke Selatan. Kami menerima bantuan Sekte Telapak Besi untuk menyerang dari luar dan dalam. Dengan menherang dari kedua sisi, kemenangan kita sudah jelas terjamin.’ Dia bicara dengan penuh semangat. Dia bilang setelah Jin Agung berhasil menghancurkan Song, maka ayahnya, Raja Zhao, akan mewarisi harta berlimpah, menjadi Kaisar Negeri Jin, dan dia sendiri akan menjadi Putra Mahkota. Pada saat itu harta dan kehormatan akan tanpa batas. Aku mendengarnya bicara tanpa mengatakan apa-apa. Dia tiba-tiba bilang, ‘Meizi, pada saat itu kau akan menjadi seorang Ratu.’ Aku… aku tidak bisa lagi bersabar, aku menampar mukanya dan lari keluar, dengan kuatir aku turun gunung. Saat itu keributan di Telapak Besi makin memburuk, tak terhitung banyaknya anggota sekte dengan obor di tangan mendaki ke puncak. Hanya aku sendirian yang turun gunung, jadi aku tidak ketemu bahaya apapun.”

“Setelah kekacauan itu hatiku rasanya remuk redam, sebetulnya aku ingin mati. Aku kehilangan arah, entah mana utara atau selatan, barat atau timur, sudah tidak bisa kubedakan lagi, aku hanya terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Akhirnya aku sampai ke sebuah kuil Tao. Aku buru-buru masuk ke situ dan baru melangkah ke pintu aku sudah pingsan. Untungnya ada seorang pendeta perempuan tua yang tinggal di situ memberiku tempat berlindung. Aku sakit lebih dari sepuluh hari, dan baru sembuh beberapa hari yang lalu. Aku memakai pakaian pendeta ini dan bermaksud ke Desa Niu. Tak kusangka aku ketemu kalian berdua di sini.”

Huang Rong sangat senang. “Jiejie, kami dalam perjalanan ke Pulau Bunga Persik dan kebetulan searah. Bagaimana kalau kita bertiga jalan bersama? Supaya perjalanan kita jadi lebih menyenangkan. Kalau kau tidak memandang rendah aku, nanti kuajari beberapa jurus kungfu di perjalanan.”

Mu Nianci menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak, aku… aku ingin pergi sendirian. Aku sangat menghargai maksud baik Meizi.” Ia berdiri, mengambil sebuah buku dari sakunya dan memberikannya kepada Guo Jing sambil berkata, “Guo Dage, buku ini berisi beberapa hal penting menyangkut Sekte Telapak Besi. Harap kau berikan kepada Qigong Lao Qianbei kalau kalian ketemu dia, mungkin akan berguna baginya.”

“Ya,” kata Guo Jing, ia mengulurkan tangan untuk menerima buku itu.

Mu Nianci berjalan dengan cepat, dalam waktu singkat ia sudah jauh, tak sekali pun ia memalingkan mukanya lagi untuk melihat mereka. Guo Jing dan Huang Rong memandangi punggungnya menghilang di balik pepohonan Willow di kejauhan. Mereka terdiam lama.

Guo Jing berkata, “Dia sendirian, jalan ribuan li ke Zhejiang. Kuharap dia tidak menemui gangguan dalam perjalanan. Bagusnya ilmu silatnya tidak lemah, dia tidak perlu takut menghadapi bandit-bandit biasa.”

“Itu sulit diharapkan,” kata Huang Rong. “Bahkan orang seperti kau dan aku juga harus berhadapan dengan orang jahat.”

Guo Jing mendesah. “Er Shifu1 sering bilang, ‘Dalam keadaan terdesak, manusia tidak lebih baik dari anjing.’ Tidak ada yang bisa kita lakukan tentang hal itu.”

“Baiklah, kalau begitu ayo kita bunuh anjing bisu itu,” kata Huang Rong.

“Anjing bisu yang mana?” tanya Guo Jing.

Huang Rong membuat suara ‘ah-uh-uh-ah’ sambil mengerak-gerakkan tangan dan kakinya. Guo Jing tertawa. “Kau masih ingin naik perahu orang bisu ini?” tanyanya.

“Tentu saja,” kata Huang Rong. “Si Tua Bangka Qiu Qianren itu membuatku sengsara, masa kubiarkan begitu saja? Aku bukan tandingannya, tapi aku ingin membunuh beberapa orang murid dan anak buahnya dulu, baru kemudian bicara.”

Mereka bergegas kembali ke restoran, dan melihat tukang perahu bisu itu celingukan di sekitarnya untuk mencari mereka. Guo Jing dan Huang Rong bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa, mereka mengikutinya naik ke perahu.

Perahu itu tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil, dicat warna hitam, di situ sudah ada delapan atau sembilan karung beras. Perahu semacam ini sudah biasa terlihat di sekitar Sungai Yuan, mengangkut berbagai komoditi dari perbukitan di Xiangxi dan beras dari ladang-ladang di depan danau. Dua orang laki-laki bertelanjang dada sedang menyapu dek.

Segera setelah Guo Jing dan Huang Rong naik, si tukang perahu melepaskan tali dan mendorong perahunya ke sungai, menaikkan layar. Di bawah terpaan angin Selatan dan mengikuti arus air, perahu itu meluncur deras seperti anak panah. Guo Jing memikirkan masalah Yang Kang dan Mu Nianci, dan tidak bisa menahan diri untuk menghela nafas dalam-dalam. “Yang Kang adalah adik angkatku.” katanya dalam hati. “Kami sudah bersumpah untuk berbagi suka dan duka. Sekarang dia membuat keputusan yang salah, aku tidak bisa membiarkannya, apapun juga yang terjadi, aku harus membujuknya untuk kembali ke jalan yang benar.” Bersandar di dinding kabin ia melamun.

Huang Rong tiba-tiba berkata, “Coba kulihat buku yang diberikan Mu Jiejie. Entah apa isinya.”

Guo Jing mengambil buku itu dari sakunya. Huang Rong membolak-balik halaman buku itu, menjelajahi isinya. “Ah, jadi begitu rupanya!” serunya tiba-tiba. “Coba baca ini.”

Guo Jing mendekat, duduk di sebelahnya dan membaca buku yang dipegangnya. Saat itu hari sudah sore, sinar matahari tenggelam menyinari sungai, pantulan riaknya menerpa wajah Huang Rong, pakaiannya, dan buku di tangannya, menciptakan gelombang cahaya menari-nari di tubuhnya.

Ternyata buku itu ditulis oleh Ketua Sekte Telapak Besi ketiga belas, Shangguan Jiannan, sebuah jurnal berisi berbagai peristiwa penting di kubu sekte itu selama bertahun-tahun. Shangguan Jiannan adalah mantan pejabat tinggi negara di bawah Jendral Han Shizhong. Setelah Qin Hui membunuh Yue Fei, Han Shizhong mengundurkan diri dari tugas militer dan hidup sebagai rakyat biasa. Sebagian pejabat bawahannya, dan juga para prajurit yang dipimpinnya kembali menjalani kehidupan sipil2.

Shangguan Jiannan membenci cara-cara para menteri korup dalam menjalankan pemerintahan, jadi ia memimpin kumpulan saudara untuk menjadi penjahat di distrik Jing Xiang, di kemudian hari mereka bergabung dengan Sekte Telapak Besi. Tak lama kemudian ketua sekte yang lama meninggal dan Shangguan Jiannan mengambil alih kepemimpinan. Sekte Telapak Besi awalnya adalah sebuah organisasi bawah tanah yang sangat kecil, setelah dikelolanya, sekte itu mampu melakukan banyak tindakan gagah berani. Banyak pendekar dan prajurit di sekitar kedua ‘Hu’3 mendengar tentang jiwa kepahlawanannya dan ikut bergabung, karena itu dalam waktu beberapa tahun reputasi sekte di dunia persilatan boleh dibilang menyamai Kai Pang di wilayah Utara.

Shangguan Jiannan tidak pernah melupakan di mana ia meletakkan kesetiaan dan jiwa patriotnya, meskipun hidup di alam bebas ia tak pernah melupakan tugasnya untuk membela negara dan menghancurkan musuh, dan mengembalikan tanah warisan nenek moyangnya, maka dari itu ia seringkali mengirimkan anak buahnya ke Lin’an, Bianliang dan sekitarnya untuk mengumpulkan informasi, menunggu peluang yang tepat untuk bertindak.

Beberapa tahun berlalu. Salah seorang anggota sekte adalah teman baik penjaga penjara tempat Yue Fei ditawan. Ia menemukan fakta bahwa setelah Yue Fei dieksekusi, semua harta peninggalannya dirampas oleh pemerintah, di antaranya adalah sebuah buku berisi taktik dan strategi militer. Ia pergi ke segala tempat untuk menanyakan hal itu, dan sungguh menemukan bahwa buku itu ternyata disimpan di dalam Istana Kekaisaran. Seekor kuda cepat yang membawa potongan informasi itu langsung dikirimkan ke Puncak Telapak Besi. Hari itu juga Shangguan Jiannan memimpin sekelompok ahli silat untuk memasuki istana di tengah malam dan tanpa banyak kesulitan mereka berhasil mencuri buku itu. Malam itu juga mereka mengirimkan buku itu ke mantan atasannya, Jendral Han Shizhong yang saat itu sudah pensiun.

Saat itu Han Shizhong sudah tua, ia hidup di tempat terpencil di Xihu bersama dengan istrinya, Liang Hongyu. Ketika melihat Shangguan Jiannan membawa warisan Yue Fei, ia teringat bagaimana cara pahlawan itu tewas mengenakan di bawah tuduhan palsu dan mengalami ketidakadilan yang belum juga terbalaskan, ia menghunus pedangnya dan membelah meja di hadapannya. Sambil mengangkat tangan ia menghela nafas panjang.

Mengenang sahabat lamanya, Han Shizhong mengumpulkan semua tulisan Yue Fei, puisi, esai, dan juga strategi militer, menjadi sebuah buku, lalu memberikan buku itu kepada Shangguan Jiannan sebagai hadiah, dengan harapan ia akan meneruskan aspirasi Yue Fei untuk menyatukan para pahlawan di Zhong Yuan guna mengusir penjajah dan mengembalikan tanah mereka.

Sementara Han Shizhong dan Shangguan Jiannan sedang bicara, mereka tiba-tiba teringat, di segala tempat dalam buku strategi militer itu Yue Fei selalu menasihati supaya kesetiaan dan jiwa patriot rakyat dipersembahkan bagi negara sesuai dengan aspirasi jiwa Yue Fei sendiri. Buku itu mengandung pelajaran tentang sikap hidup, tak mungkin Yue Fei menulis buku hanya untuk menemaninya di dalam kubur. Pasti karena pengawalan ketat dari Qin Hui, maka Yue Fei tidak bisa menyelundupkannya keluar dari penjara. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan kebijaksanaan Yue Fei yang luar biasa, ia pasti punya cara untuk menngatasi masalah itu, hanya saja tidak terlalu jelas kepada siapa ia meninggalkan pesan terakhirnya. Kalau pesan itu terlambat datang, dan seseorang datang ke istana untuk mencuri buku, bukankah ia akan seperti memukul angin?

Setelah mendiskusikan hal ini lebih jauh, Shangguan Jiannan menggambar sebuah lukisan dari Gunung Telapak Besi, dengan secarik kertas tersembunyi di antara lapisannya yang berisi pesan berikut: ‘Warisan Wumu di Pegunungan Telapak Besi, puncak jari tengah, ruas kedua’. Han Shizhong kuatir orang itu tidak bisa memahami isi pesan, jadi ia menambahkan sebuah puisi yang ditulis oleh Yue Fei di masa lalu. Ia mengira pewaris buku strategi militer itu pastilah salah seorang anak atau adik Yue Fei, atau salah satu anak buahnya, jadi ia pasti akrab dengan puisi itu, maka dari itu ia menambahkan beberapa detil ke lukisan itu. Akhirnya Shangguan Jiannan kembali masuk ke istana dan meninggalkan lukisan tu di situ, supaya si pewaris itu bisa mengikuti petunjuk sampai ke Gunung telapak Besi.

Setelah itu Shangguan Jiannan kembali ke Gunung telapak Besi dan mengumpulkan para patriot untuk mendiskusikan ekspedisi militer ke Utara. Tak disangka pemerintah terlalu takut kepada bangsa Jin, bukan saja mereka tidak mendukung gerakan itu, malah pasukan militer kekaisaran dikirim untuk mengepung dan akhirnya membantai Sekte Telapak Besi. Tentu saja Sekte Telapak Besi lebih lemah dari pasukan pemerintah, karena itu mereka mampu menembus pertahanan di gunung. Shangguan Jiannan sendiri terluka parah dan akhirnya tewas di Puncak Telapak Besi.

Guo Jing membalik halaman terakhir dan menghela nafas. “Tak kusangka Shangguan Bangzhu ini ternyata orang baik. Sampai akhir hidupnya ia masih memegang teguh ajaran leluhur. Tadinya kukira dia seperti Qiu Qianren dan saudaranya, melakukan kolusi dengan bangsa Jin dan menjual negara demi keuntungan pribadi. Awalnya aku tidak menyukai dia. Kalau aku menemukan kenyataan ini sebelumnya, aku pasti membungkuk hormat di hadapan tulang belulangnya. Tak kusangka ternyata Telapak Besi sangat heroik dan patriotik di masa lalu, dan sekarang berubah menjadi kumpulan bandit. Kalau saja Shangguan Bangzhu di alam baka tahu, dia pasti sangat marah.”

Sementara itu langit mulai berubah menjadi gelap, si tukang perahu merapat ke dekat desa dan pergi untuk menyembelih ayam untuk makan malam mereka. Huang Rong kuatir ia menaruh sesuatu di dalam makanan itu, dengan alasan ia tidak suka makanan itu, ia mengajak Guo Jing ke desa dan mengunjungi salah satu rumah penduduk setempat untuk menyiapkan makanan sendiri. Si tukang perahu menatap mereka dengan marah, tapi karena ia pura-pura bisu, maka ia tidak bisa terang-terangan mengutuk mereka dan terpaksa menelan amarahnya. Ia melihat Huang Rong membuat isyarat dengan tangannya, yang artinya ‘lelucon itu seperti butiran mutiara, kepandaian bicara itu seperti gading’[^lelucon-1]. Ia tidak menemukan cara untuk membantahnya, jadi ia hanya bisa menggertakkan gigi dan setelah menunggu sampai Guo Jing dan Huang Rong tiba di pantai, barulah ia pergi ke kabin untuk menyumpah-nyumpah.

Setelah makan malam kedua anak muda itu menikmati hembusan angin senja yang sejuk di bawah pohon di depan rumah penduduk. Guo Jing berkata, “Waktu Shangguan Bangzhu lari ke Telapak Besi, kenapa pasukan pemerintah tidak datang untuk menangkapnya?”

“Aku juga tidak tahu,” kata Huang Rong. “Kelihatannya puncak bagian tengah itu daerah kasar yang berbahaya, karena itu para prajurit tidak berani mengambil resiko untuk mendakinya. Atau ada anggota sekte berilmu tinggi yang menjaga tempat itu dan para prajurit tidak bisa menembus pertahanannya, maka mereka hanya mengumumkan kemenangan dan pergi dari situ.” Setelah diam sejenak, Huang Rong melanjutkan, “Tak kusangka Qu Lingfeng, Qu Shige secara tidak sengaja membuat prestasi besar seperti ini.”

Guo Jing hanya bisa menatapnya dengan bodoh. Huang Rong menjelaskan, “Warisan Wumu ini awalnya tersembunyi di gua di belakang air terjun dekat Cui Han Tang, Shangguan Jiannan mencuri buku itu, melukis gambar itu, sewajarnya dia akan menaruh lukisan itu di tempat buku itu — begitu kan?”

Guo Jing mengangguk. “Betul.”

“Setelah Qu Shige diusir dari Pulau Bunga Persik, dia sangat mengharapkan untuk diterima kembali di perguruan. Dia tahu ayahku sangat menyukai lukisan, kaligrafi dan barang-barang antik, dia juga tahu bahwa istana kekaisaran pastilah tempat terbaik untuk menemukan barang-barang langka di dunia ini. Karena itu dia mengambil resiko untuk memasuki istana dan merampok beberapa lukisan terkenal, kaligrafi, buku-buku…”

“Betul, betul,” potong Guo Jing. “Qu Shige-mu mencuri lukisan itu bersama dengan beberapa karya seni lain, menyembunyikannya di dalam kamar rahasia di Desa Niu. Dia bermaksud memberikan semuanya kepada ayahmu, sayangnya dia tewas terbunuh oleh pengawal istana. Lalu ketika Wanyan Honglie datang, bukan saja Warisan Wumu hilang, lukisan yang mengandung petunjuk itu juga hilang. Aih, kalau saja kita tahu lebih awal tentang hal ini, kita tidak perlu taruhan nyawa untuk mempertahankan gua itu. Aku juga tidak perlu terluka oleh Racun Tua, dan kau tidak perlu kuatir selama tujuh hari tujuh malam.”

“Itu belum tentu benar,” kata Huang Rong. “Kalau kau tidak merawat luka di dalam ruang rahasia di Desa Niu, dari mana kau tahu tentang lukisan itu? Bagaimana juga…” Tiba-tiba ia teringat ketika melihat Huazheng di Desa Niu, ia tidak bisa menahan kesedihannya. Ia berusaha mengalihkan perhatian dan berkata, “Entah bagaimana kabar ayahku beberapa hari belakangan ini.” Ia mendongak memandang bulan purnama di cakrawala. “Sebentar lagi Zhongqiu Jie4, bulan ke delapan. Setelah adu ilmu silat di Jiaxing, apa kau akan pergi ke Mongolia?” tanyanya dengan lembut.

“Tidak,” jawab Guo Jing. “Pertama-tama aku harus membunuh Wanyan Honglie untuk membalas dendam ayahku dan Paman Yang.”

Sambil menatap rembulan Huang Rong bertanya lagi, “Setelah membunuhnya, lalu apa?”

“Kita masih punya beberapa urusan lain,” kata Guo Jing. “Aku ingin merawat luka Shifu lalu aku ingin membawa Zhou Dage ke Rawa Hitam untuk menemui Ying Gu. Lalu ada juga keenam guruku, aku mau mengunjungi mereka di rumah masing-masing. Aku juga ingin menemukan makam ayahku.”

“Dan setelah kau membereskan segala urusan itu, apa kau harus kembali ke Mongolia?” tanya Huang Rong.

Guo Jing tidak bisa bilang ia harus pergi, tapi ia juga tidak bisa bilang bahwa ia tidak akan pergi, kalau bicara sejujurnya ia sungguh tidak tahu sebaiknya harus bagaimana.

Mendadak Huang Rong tertawa dan berkata, “Aku sungguh bodoh, kenapa aku harus kuatir tentang segala hal ini? Selama kita bisa bersama, kebahagiaan satu jam harus kita nikmati selama satu jam penuh. Satu hari berlalu, artinya adalah hari-hari bahagia ini sudah berkurang satu. Ayo kita kembali ke perahu dan membuat lelucon untuk mengganggu tukang perahu itu.”

Saat keduanya kembali ke perahu, si tukang perahu dan kedua pembantunya sudah tertidur. Guo Jing berbisik di telinga Huang Rong, “Kau tidur saja, aku yang menjaga mereka.”

Huang Rong berkata dengan suara rendah, “Kuajari kau beberapa bahasa isyarat, besok bisa kau tunjukkan kepadanya.”

“Kenapa bukan kau saja yang melakukannya?” tanya Guo Jing.

Huang Rong cekikikan. “Ini semua bahasa jorok, anak perempuan dari keluarga terhormat seharusnya tidak ngomong seperti ini.”

“Ternyata orang-orang bisu juga bisa ngomong jorok,” kata Guo Jing dalam hati, tapi mulutnya berkata, “Pergi tidur sana, besok juga belum terlambat untuk memaki dia.” Setelah sembuh dari cederanya, tenaga Huang Rong masih belum pulih benar. Kalau bicara sejujurnya ia sangat lelah, jadi ia meletakkan kepalanya di kaki Guo Jing dan perlahan ia pun tertidur lelap.

Awalnya Guo Jing ingin bermeditasi untuk menghimpun tenaga dalamnya, tetapi ia kuatir tukang perahu itu akan curiga, jadi ia memutuskan untuk berbaring di kabin sambil mengutip teori-teori dari Jiu Yin Zhen Jing yang diterjemahkan Yideng Dashi dari bahasa Sansekerta. Lalu ia berlatih berdasarkan teori itu selama satu jam, dan ia merasa keempat persendiannya beserta tulang-tulang di tubuhnya jadi penuh energi. Ia sangat senang. Tiba-tiba ia mendengar Huang Rong bergumam, “Jing Gege, jangan menikah dengan Putri Mongolia itu, aku ingin jadi istrimu.”

Guo Jing terkejut, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab, tetapi kemudian ia mendengar Huang Rong berkata lagi, “Tidak, tidak, aku salah, aku tidak menginginkan apa-apa. Aku tahu dalam hatimu kau mencintaiku, itu sudah cukup bagiku.”

“Rong’er, Rong’er,” kata Guo Jing dengan suara rendah. Tetapi Huang Rong tidak menjawab, pernafasannya sangat teratur, rupanya ia tidur. Ternyata ia mengigau. Guo Jing merasakan cinta dan sekaligus kasihan kepada gadis itu. Ia menatap kosong ke arah wajah Huang Rong yang diterangi sinar bulan. Ia baru mulai sembuh dari cedera, mukanya masih pucat dan di bawah cahaya bulan wajah itu tampak seolah tembus pandang. Guo Jing menatapnya lama. Ia melihat alis Huang Rong sedikit berkerut dan sepertinya air mata berlinang di pelupuk matanya. Dalam hati Guo Jing berkata, “Dia pasti sedang bermimpi tentang tantangan yang kita hadapi. Sepanjang hari dia seolah tanpa beban, tertawa dan bercanda, tapi di dalam hati sebenarnya dia sedih. Aih, akulah yang membuatnya kuatir. Aku sungguh berharap kita tidak usah ketemu di Zhangjiakou, hidupnya pasti lebih baik. Lalu bagaimana dengan aku? Apa aku rela melepaskannya?”

Yang seorang sedang tidur dan bermimpi sedih, yang lain terjaga dengan berat hati, tiba-tiba ia mendengar suara air bergolak, sebuah perahu mendekat dari arah bawah. Guo Jing berpikir, “Daerah sekitar Sungai Yuan ini sangat kasar, perahu macam apa yang berani datang ke sini di tengah malam buta?” Ia baru saja hendak menjulurkan kepalanya keluar dari kabin untuk mengintip, ketika tiba-tiba dari arah buritan perahunya sendiri terdengar tiga kali tepukan tangan. Suara tepukan itu sangan pelan, tetapi di tengah keheningan malam suara itu terbawa jauh di atas permukaan air. alu ia mendengar suara layar diturunkan dan suara dayung memecahkan permukaan air. Perahu yang lain itu semakin mendekat ke sebelah kanan tepi sungai dan perlahan-lahan menempatkan diri sejajar dengan perahunya. Dalam waktu singkat kedua perahu itu sudah berdampingan.

Guo Jing menepuk bahu Huang Rong dengan ringan untuk membangunkannya, ia merasa lambung perahu itu bergoyang perlahan. Buru-buru ia mengangkat tirai kabin untuk melongok keluar, bertepatan pada saat itu sebuah bayangan gelap melompat dari perahunya ke arah perahu pendatang. Melihat penampilannya, bayangan itu seperti si tukang perahu bisu.

“Aku akan memeriksa ke sana, kau tetap menjaga di sini,” kata Guo Jing. Huang Rong mengangguk.

Guo Jing mengendap-endap dan berjalan sambil membungkuk, ia melihat perahu pendatang itu terayun-ayun oleh arus air, ia melompat dan mendarat di bagian horizontal tiang layar, yang secara kebetulan adalah bagian tengah perahu. Tiang layar itu agak cekung, tetapi kemiringan perahu itu sama sekali tidak berubah, tak ada orang yang menyadari kehadirannya. Ia membuka matanya lebar-lebar, mencoba menemukan celah di atap kabin. Ia melihat tiga orang sedang berdiri di dalam kabin, mereka mengenakan seragam hitam dari Sekte Telapak Besi. Salah seorang bertubuh tinggi, ia mengenakan tutup kepala hijau, kelihatannya ia adalah pemimpin mereka.

Gerakan Guo Jing sangat cepat, sehingga meskipun tukang perahu yang pura-pura bisu itu melompat lebih dahulu, saat itu ia baru masuk ke kabin. Ia merangkapkan tangannya untuk menyapa pria yang tinggi itu. “Komandan Qiao.”

“Kedua bajingan kecil itu masih di dalam?” tanya Pemimpin Qiao.

“Ya,” jawab tukang perahu.

“Mereka curiga?” tanya Pemimpin Qiao lagi.

“Tidak,” jawab tukang perahu. “Tapi dua bocah tengik itu tidak mau makan malam di perahu, jadi aku tidak punya kesempatan melakukan apa-apa.”

“Hm!” kata Pemimpin Qiao. “Mereka akan mati di Qing Long Tan. Besok lusa, tengah hari, kau akan tiba di Qing Long Tan. Sekitar tiga li dari pantai ada Desa Qing Long. Patahkan kemudi perahu di sana, kami akan menunggumu.”

Tukang perahu itu memberikan jawabannya. Pemimpin Qiao melanjutkan, “Kedua bajingan kecil itu berilmu tinggi, kau harus berhati-hati. Setelah misi ini sukses Bangzhu akan memberimu hadiah. Sekarang kembali ke perahu, jangan sampai mereka waspada.”

“Ya,” jawab tukang perahu. “Pemimpin Qiao masih punya instruksi lain?”

“Tidak ada,” kata Pemimpin Qiao sambil melambaikan tangannya. Tukang perahu itu merangkapkan tangannya lagi, lalu mengundurkan diri. Ia turun ke air dari samping perahu dan berenang diam-diam kembali ke perahunya.

Guo Jing melompat kembali ke perahunya dari tiang perahu dan memberitahu Huang Rong semua yang sudah didengarnya. Huang Rong tersenyum dingin dan berkata, “Kita sudah pernah melewati arus deras Yideng Dashi untuk naik gunung, kenapa kita harus takut sama pantai kasar Qing Long atau pantai kasar Harimau Putih? Ayo kita tidur dulu.”

Pikiran mereka menjadi tenang setelah tahu rencana bandit-bandit itu. Keesokan harinya mereka menikmati pemandangan alam dengan hati riang, dan beristirahat dengan santai di sore hari, mereka bahkan tidak merasa perlu berjaga malam. Pagi-pagi sekali pada hari ketiga si tukang perahu hendak mengangkat jangkar, tetapi Huang Rong tiba-tiba berkata, “Tahan dulu, biar kudaku mendekat ke pantai dulu, dia bisa mati kalau mau ke pantai Qing Long.”

Muka tukang perahu itu agak berubah, dan hal itu tak bisa disamarkan. Huang Rong mengangkat kedua tangannya, ia tak bisa menahan diri untuk membuat isyarat yang berbau vulgar untuk memaki si tukang perahu. Semua pelayan bisu-tuli di Pulau Bunga Persik adalah mantan kriminal, cara mereka memaki orang sungguh melampaui rata-rata. Ketika Huang Rong mulai belajar menggunakan isyarat-isyarat itu, ia tidak mengerti makna sebenarnya. Kali ini kedua jari kirinya membuat lingkaran, yang mengandung isyarat vulgar, sambil cekikikan ia menurunkan tangannya, dan kemudian ia pergi mengambil kuda bersama Guo Jing.

Tiba-tiba Guo Jing berkata, “Rong’er, jangan main-main lagi. Ayo kita pergi dari sini naik kuda sekarang juga.”

“Kenapa?” tanya Huang Rong.

Guo Jing menjawab, “Orang-orang Telapak Besi ini adalah penjahat, kenapa kita harus cari gara-gara? Selama kita bisa hidup berdampingan dalam damai, kita tidak perlu membuktikan bahwa kita lebih kuat.”

“Apa kita memang bisa hidup berdampingan dalam damai?” tanya Huang Rong. Guo Jing terdiam. Ia melihat Huang Rong melonggarkan tali kekang kuda merah dan menunjuk ke Utara. Kuda merah itu punya kecerdasan tingkat dewa, ia sudah terpisah dari tuannya beberapa kali dan sekarang mengerti bahwa kali ini tuannya ingin berpisah lagi untuk sementara. Tanpa ragu ia berlari menuju ke Utara dan dalam waktu singkat bayangannya tak bisa dilihat lagi.

Huang Rong bertepuk tangan. “Ayo kita naik ke perahu.”

“Kau masih belum pulih benar,” kata Guo Jing. “Masa kita harus menempuh bahaya lagi?”

“Kau tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja,” jawab Huang Rong sambil berjalan turun ke air, menuju ke perahu. Huang Rong tersenyum. “Sha Gege, kita sudah melewati banyak petualangan yang aneh dan fantastis bersama-sama. Suatu hari nanti, kalau kita sudah tidak lagi bersama-sama, kita akan punya banyak kenangan untuk dinikmati, masa hal seperti itu tidak baik?”

“Nantinya, apa kita harus… masa kita harus berpisah?” kata Guo Jing tergagap. Huang Rong menatapnya tanpa mengatakan apa-apa. Guo Jing sama sekali tidak punya bayangan sampai hari itu, bahwa ketika ia berjanji kepada Tolui di Desa Niu untuk menikahi Huazheng, ia telah menorehkan luka yang sangat dalam di hati Huang Rong.

Saat itu sudah menjelang tengah hari, mereka telah berlayar beberapa jam. Makin jauh mereka pergi, tebing di kedua sisi Sungai Yuan itu tampak semakin curam. Qing Long Tan pastilah tidak jauh lagi dari situ. Guo Jing dan Huang Rong berdiri di lambung perahu melihat ke kejauhan. Mereka melihat perahu-perahu yang lewat ditarik oleh kuli-kuli di tepi sungai. Perahu besar memerlukan tenaga lebih dari selusin orang, sedangkan yang kecil hanya memerlukan tiga atau empat orang. Kuli-kuli itu menekuk pinggangnya dalam-dalam, di beberapa tempat dahi mereka nyaris menyentuh tanah, selangkah demi selangkah mereka menarik perahu ke atas melawan arus deras, kadang-kadang perahu itu seolah-olah tidak bergerak, mati kutu seperti keong.

Kuli-kuli itu memakai ikat kepala putih, mereka bertelanjang dada, butiran keringan menitik di kulit mereka yang seperti perunggu, gemerlap di bawah terik matahari. Mulut mereka menyerukan suara ho-ho-ho. Dalam radius beberapa li di sepanjang lembah dan sungai itu dipenuhi seruan ho-ho-ho mereka. Dengan bantuan kuli-kuli itu perahu mereka mampu bergerak dengan tenang dan cepat melewati arus deras sungai.

Ketika melihat hal ini Guo Jing diam-diam waspada, ia mendekat ke arah Huang Rong dan berkata dengan suara rendah, “Rong’er, aku tidak tahu ada daerah yang berbahaya begini di Sungai Yuan, kita tidak boleh lengah. Kulihat arus deras ini mencapai jarak lumayan jauh. Kalau perahu ini merapat dan kau belum sepenuhnya pulih, maka kita bisa celaka.”

“menurutmu kita harus bagaimana?” tanya Huang Rong.

“Kita tundukkan si tukang perahu, arahkan perahu ke tepian,” jawab Guo Jing.

Huang Rong menggelengkan kepalanya. “Wah, itu tidak asyik.”

“Di saat seperti ini kau masih ingin bermain-main?” kata Guo Jing dengan cemas.

Huang Rong memonyongkan bibirnya, lalu tersenyum. “Aku memang suka bermain-main!”

Ketika memandang air keruh di antara cekukan tepian sungai, Guo Jing melihat arus air itu sangat deras. Dengan panik ia memikirkan jalan keluar untuk mengatasi hal itu, tetapi ia lamban, mana mungkin ia bisa memikirkannya?

Di hadapan mereka ada sebuah belokan. Di kejauhan mereka melihat beberapa puluh ekor kuda di tepi sungai. Kuda-kuda itu berdiri tak teratur di bagian rendah dan tinggi bukit. Arus deras membawa perahu itu dengan cepat di sepanjang sungai, lebih cepat dari kuda, sehingga dalam waktu singkat mereka tiba di dekat kuda-kuda itu. Mereka melihat puluhan orang kuli sudah menunggu di sepanjang tepian sungai. Tukang perahu bisu itu melemparkan seutas tali dari dalam perahu ke tepian. Kuli-kuli itu menangkap tali dan melilitkannya di sebuah putaran jangkar besar. Lebih dari selusin kuli memutar jangkar itu, menarik perahu mendekat ke tepian. Perahu itu berukuran cukup besar, diperlukan tenaga sekitar tiga puluh orang untuk menariknya ke tepian. Ketika mereka selesai, beberapa orang kuli berbaring kelelahan di dekat air, tampaknya mereka tidak sanggup bergerak lagi.

Guo Jing berpikir, “Kelihatannya arus di bawah lebih deras ketimbang di permukaan air.” Ia melihat di antara kuli-kuli itu ada beberapa orang yang sudah beruban, tapi ada yang masih berusia sekitar empat atau lima belas tahun, semuanya begitu kurus sampai-sampai tulang iga mereka kelihatan jelas. Tiba-tiba Guo Jing menyadari bahwa semua orang di dunia ini harus bekerja keras untuk mendapatkan nafkah, tenggorokannya serasa tersedak.

Setelah perahu merapat, si tukang perahu menurunkan jangkarnya. Guo Jing melihat ada lebih dari dua puluh perahu juga ikut melemparkan jangkar di dekat tepian. Huang Rong bertanya kepada seorang pria yang sedang berdiri di dekatnya, “Dage, ini tempat apa sih?”

“Qing Long Tan,” jawab pria itu.

Huang Rong mengangguk. Ia mengawasi gerak-gerik si tukang perahu dengan ketat. Ia melihatnya membuat isyarat tangan dengan seorang pria bertubuh besar yang sedang berdiri di tepian yang landai. Tiba-tiba tukang perahu itu mengambil sebuah kapak dan dengan dua kali bacokan ia membabat putus tali tambat. Dengan segera ia mengangkat jangkar. Segera setelah perahu itu terbebas, arus deras menghanyutkannya. Perahu itu belok mendadak ketika lambungnya miring ke samping dan meluncur deras seolah-olah terbang menyusuri sungai. Orang-orang di tepian sungai menjerit ngeri.

Setelah Qing Long Tan, bantaran sungai berubah drastis, menciptakan sebuah air terjun pendek. Arus sungai begitu deras sehingga air muncrat kemana-mana. Tukang perahu bisu itu memegang kemudi erat-erat, dengan mata terpaku pada permukaan air. Kedua pembantunya memegang tiang panjang, berdiri di kedua sisinya. Tampaknya mereka menjaga kemungkinan terjadi kecelakaan atas perahu itu, tetapi juga seolah-olah mereka sedang melindungi si tukang perahu dari serangan Guo Jing dan Huang Rong.

Guo Jing melihat arus air makin lama makin deras, perahu itu meluncur dengan kecepatan gila-gilaan, mereka bisa menabrak salah satu batu besar kapan saja dan perahu itu pasti akan hancur. “Rong’er, rebut kemudinya!” serunya sambil berlari ke buritan.

kedua pembantu itu mendengar seruannya, mereka mengangkat tiang untuk menghalangi Guo Jing dari kedua sisi. Guo Jing mengabaikan keduanya, ia terus menuju ke sisi kanan perahu.

“Tahan!” Tiba-tiba ia mendengar seruan Huang Rong.

Guo Jing menahan langkahnya dan memalingkan muka, “Kenapa?”

Dengan suara rendah Huang Rong berkata, “Kau melupakan elang-elang itu? Kita tunggu sampai perahuu ini terbalik, lalu kita bisa terbang bersama elang. Aku ingin tahu mereka mau apa.”

Guo Jing sangat senang, ia berpikir, “Tidak heran Rong’er tidak takut melihat sungai deras ini, dia sudah memikirkannya sejak lama.” Ia memanggil kedua elang itu untuk mendarat di sisinya.

Tukang perahu itu melihat Guo Jing menerjang ke arahnya, lalu mendadak berhenti di tengah jalan, ia tidak tahu bahwa mereka berdua sudah punya rencana untuk melarikan diri. Ia mengira kedua anak muda yang masih hijau itu begitu ketakutan sampai tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dalam hati ia merasa senang.

Di tengah suara air deras mereka bisa mendengar suara ho-ho-ho para kuli di tepian. Sesat kemudian mereka melihat sebuah perahu lain yang mirip dengan perahu mereka ditarik melawan arus, sebuah bendera hitam berkibar di atas perahu itu. Ketika si tukang perahu melihat perahu itu, ia mengangkat kapaknya dan dengan suara ‘krekk’ ia membacok patah pasak kemudi, lalu ia berdiri di sisi dermaga, bersiap untuk melompat ke perahu pendatang itu.

Guo Jing menekan punggung elang betina sambil berseru, “Rong’er, kau berangkat dulu!”

“Tidak usah buru-buru!” jawab Huang Rong. Tiba-tiba sebuah gagasan melintas di benaknya. “Jing Gege, lemparkan jangkar kita ke perahu itu.” Guo Jing mematuhinya, ia segera mengambil jangkar.

Saat itu perahu mereka sudah kehilangan kemudi, terhanyut oleh arus deras tak terkendali. Dengan segera jarak di antara kedua perahu itu jadi tinggal satu zhang lebih sedikit. Perahu pendatang itu berubah arah untuk menghindari tabrakan. Guo Jing melemparkan jangkar dengan sekuat tenaga, jangkat besi itu melayang dan menabrak tiang di mana tali penarik diikat di bagian lambung perahu pendatang.

Tali penarik itu terbuat dari serat bambu sepanjang beberapa ratus zhang, dipilin dengan ketat, tali itu terikat erat seperti tali busur. Jangkar besi menghantam tiang dengan telak, dan dibarengi suara ‘krekk’ tiang itu patah menjadi dua. Puluhan kuli sedang menarik tali itu dengan sekuat tenaga, ketika tiang itu patah mereka terjungkal ke tanah. Perahu pendatang itu seperti layang-layang yang putus talinya, arus deras memutarnya sedemikian rupa sehingga kemudinya menghadap ke depan dan lambungnya menghadap ke belakang, perahu itu terdorong arus dengan kuat ke hilir. Semua orang menjerit ngeri, suara mereka bergema di sekeliling bukit menutupi suara arus air sungai.

Tukang perahu bisu itu sangat terkejut, mukanya pucat, dengan suara nyaring ia menjerit, “Tolong! Tolong! Tolong!”

Huang Rong tertawa. “Si Bisu bisa bicara, ini sungguh keajaiban dunia.”

Guo Jing melempar sebuah jangkar, perahu itu masih punya sebuah jangkar lagi. Ia melihat bahwa perahu mereka dan perahu pendatang terapung bersama nyaris berdampingan dalam jarak dekat. Ia menarik nafas panjang dan mengangkat jangkar yang satunya, memutar balik tubuhnya tiga kali, dan melontarkan jangkar itu ke arah kemudi perahu pendatang. Ia yakin jangkar itu akan menghantam kemudi dan kemudian kedua perahu akan sama-sama hancur tota, tetapi tiba-tiba seseorang melompat di depan kabin. Orang itu merenggut tiang panjang dan menekuknya seperti busur. ‘Krekk!’, tiang itu patah, tetapi lintasan jangkar itu juga teralihkan. Dengan suara ceburan keras kedua jangkar dan setengah patahan tiang jatuh ke air.

Orang yang memegang tiang itu memakai jubah pendek kasar berwarna kuning, janggut putihnya terpelintir ke telinga, ditiup hembusan angin keras dari sungai. Meskipun perahu itu bergoyang keras, tetapi ia berdiri kokoh di dek. Kehadirannya membawa aura yang sangat mengesankan. Ia tak lain adalah ketua Sekte Telapak Besi, Qiu Qianren.

Ketika melihat Qiu Qianren di atas perahu, Guo Jing dan Huang Rong sangat terkejut. Mereka belum pulih dari kaget ketika mendadak terdengar suara tabrakan, bagian lambung perahu mereka menabrak batu karang. Tabrakan itu begitu kerasnya sehingga keduanya terlempar sampai punggung mereka menghanta pintu kabin.

Perahu itu tenggelam dengan cepat hingga dalam waktu singkat air telah mencapai pergelangan kaki, mereka tidak punya cukup waktu bahkan seandainya ingin lolos dengan menaiki punggung elang. Pada saat kritis itu Guo Jing bertindak tanpa berpikir lagi, ia meluncur ke depan dan berseru, “Ikuti aku!” Dengan Fei Long Zai Tian ia melontarkan tubuhnya ke arah Qiu Qianren. Ia tahu pada saat itu perbedaan antara hidup dan mati adalah setipis helaian rambut, kalau ia mendarat di sisi lain perahu lawan, maka Qiu Qianren sudah pasti akan melancarkan serangan mendadak dari sisi itu. Dengan kekuatannya saat itu ia tahu bahwa ia tidak akan mampu melawan, dan hanya bisa bertahan tanpa punya peluang untuk menginjakkan kaki di perahu lawan.

Qiu Qianren sangat menyadari niatnya, ia mengayunkan tiang patah di tangannya untuk menikam beberapa titik di tubuh Guo Jing sementara ia masih di udara, memaksanya untuk mengubah arah dan tidak mendarat di atas perahu. Guo Jing mengeluh dalam hati, “Celaka!” Sambil mengulurkan tangan ke arah tiang tubuhnya terus turun ke arah perahu lawan, tetapi karena hal itu Fei Long Zai Tian kehilangan momentum.

Sambil tertawa keras Qiu Qianren melepaskan tiang dan telapak tangannya meluncur deras ke arah dada Guo Jing. Dengan posisinya yang berdiri kokoh di dek sementara lawan sedang di udara, dan telapak tangannya memukul ke atas, lawan akan dipaksa menceburkan diri ke air. Tetapi sebelum tiang itu jatuh, sebuah tongkat bambu mencegatnya, dan meminjam momentum tersebut seseorang melompat ke atas perahu, itu Huang Rong. Sebelum ia mendarat, tongkatnya sudah tiba, menghantam ke bawqah dengan cepat, mata kiri Qiu Qianren dalam bahaya tertusuk ujung tongkat, ia tidak punya pilihan selain menarik mundur tangannya.

Guo Jing menggunakan kesempatan itu untuk mendarat di lambung perahu dan dengan segera melancarkan serangan balasan. Qiu Qianren tidak berani meremehkan serangan itu, ia bergerak ke samping untuk menghindari tongkat bambu, sementara kaki kanannya menyapu, memaksa Guo Jing mundur selangkah, dan kemudian kedua telapak tangannya melancarkan serangan.

Ilmu silat Sekte Telapak Besi sama sekali bukan biasa-biasa saja. Telapak Besi membangun markasnya di pegunungan dan selama beberapa ratus tahun ini kekuatan dan prestasi mereka telah tersebar luas ke segala penjuru di Zhong Yuan, semua itu karena keindahan teknik telapak tangan mereka. Shangguan Jiannan dan Qiu Qianren menambahkan lebih banyak lagi variasi ke dalam detil dan kehalusan teknik itu. Meskipun kekuatannya masih di bawah Delapan Belas Jurus Penakluk Naga, tetapi teknik telapak tangan mereka sangat cerdik dan lebih halus ketimbang Delapan Belas Jurus Penakluk Naga.

Dalam waktu singkat kedua orang itu bertukar tujuh sampai delapan jurus di lambung perahu. Meskipun mereka saling mewaspadai, namun tangan dan kaki mereka tidak berhenti bergerak. Suara arus deras itu sangat keras, tetapi tidak dapat menutupi suara angin keras yang timbul akibat keempat telapak tangan mereka.

Saat itu para anggota Sekte Telapak Besi sudah mengambil alih kemudi, secara perlahan mereka mengarahkan perahu ke kanan supaya mereka bis dengan bebas meluncur ke hilir. Perahu si tukang perahu bisu itu sudah pecah menjadi dua bagian, si tukang perahu bersama dengan kedua pembantunya, berikut pecahan papan dan layar terdampar di sebuah batu besar di tengah sungai dengan pusaran arus mengelilingi mereka. Jeritan minta tolong tukang perahu bisu itu terdengar dari jarak jauh, sudah jelas suaranya sangat nyaring dan jernih.

Huang Rong sibuk membuat isyarat dengan tangan kiri di belakang punggungnya, memaki-maki si tukang perahu. Dalam hal ini tidak ada orang yang mempedulikannya, jadi ia dengan bebas bisa memaki sesuka hati.

Meskipun tukang perahu bisu dan kedua pembantunya itu berpegangan mati-matian pada batu besar, pusaran air terlalu kuat, dalam sekejap mereka tersedot ke dasar sungai.

Perahu berbendera hitam itu meluncur cepat, sehingga ketika Huang Rong memalingkan kepalanya, mereka telah berada sekitar dua-tiga li dari pusaran air. Sepasang elang itu terbang berputar-putar di atas kepala mereka, terus menerus memekik nyaring. Huang Rong mengayunkan tongkat bambunya untuk medorong para anggota Sekte Telapak Besi menjauh dari lambung perahu. Ia bermaksud membantu Guo Jing bertarung melawan Qiu Qianren. Tiba-tiba sudut pandangannya menangkap kilauan belati dari dalam kabin, seseorang hendak memotong sesuatu di dalam. Tanpa mengetahui apapun tentang hal itu, tangan kirinya meraih jarum baja, menyerang lengan orang itu. Golok orang itu terjatuh dan menyayat lututnya sendiri, ia menjerit nyaring.

Huang Rong bergegas masuk ke kabin, ia mengangkat kakinya untuk menendang orang itu, ia melihat seseorang terbaring di dek, tangan dan kakinya terikat erat sehingga ia tidak bisa bergerak. Matanya yang dingin menatap Huang Rong, ia adalah si Dewi Matematika, Ying Gu.

Huang Rong sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa ia akan menyelamatkan nyawa Ying Gu di tempat ini. Ia memungut golok yang jatuh di dek dan memotong tali yang mengikat tangan Ying Gu. Segera setelah tangannya bebas, Ying Gu megulurkan tangan dan merebut golok dari tangan Huang Rong. Huang Rong kaget, ia melihat kilauan mata golok berkelebat, dan Ying Gu telah membunuh orang berbaju hitam itu. Setelah itu barulah ia membungkuk untuk memutuskan tali yang mengikat kakinya.

“Meskipun kau menyelamatkan aku, jangan harap aku akan membalasnya nanti,” katanya.

Huang Rong tersenyum. “Siapa yang ingin dibalas?” katanya. “Kau menyelamatkan aku, dan hari ini aku juga menyelamatkanmu. Sekarang kita impas, tidak ada yang berhutang apa-apa.”

Sebelum selesai bicara ia sudah melangkah ke lambung kapal bersama tongkat bambunya untuk membantu Guo Jing. Qiu Qianren diserang dari depan dan belakang, ia meningkatkan tenaga di telapak tangannya, berusaha mempertahankan keunggulannya. Tetapi kemudian ia mendengar suara percikan dan ‘aiyo, aiyo’ berturut-turut, Ying Gu dengan golok di tangan telah menyerang para anggota Sekte Ttelapak Besi dan menceburkan mereka ke dalam sungai. Dalam kondisi arus deras seperti itu keselamatan mereka tak bisa diharapkan.

Awalnya ketika bertarung melawan Guo Jing, Qiu Qianren secara bertahap telah berada di atas angin, tetapi sekarang Huang Rong datang untuk membantu dengan Tongkat Penggebuk Anjing, ia sendirian melawan dua musuh. Dalam beberapa puluh jurus selanjutnya ia dipaksa mundur mengelilingi perahu untuk mempertahankan diri. Punggungnya menghadap ke air, jadi Huang Rong tidak bisa menyerangnya dari belakang.

Guo Jing melancarkan serangan beruntun, tetapi kaki Qiu Qianren seolah-olah terpaku di dek, ia tidak bisa didorong setengah inci pun. Saat itu ia begitu dekat dengan batas perahu, selangkah lagi akan membuatnya jatuh ke sungai.

Huang Rong berkata dalam hati, “Meskipun julukanmu ‘Telapak Besi Mengapung Di Air’, tapi bagian ‘Mengapung Di Air’ itu hanya untuk membangga kehebatan Qinggong saja. Jangankan di arus deras ini dan pergolakan air seperti ini, di atas permukaan air tenang sekalipun kau tidak bakalan bisa mengapung di atas air, kecuali kau menguasai seni tipu-menipu kakakmu dengan menancapkan ribuan atau ratusan bilah bambu di bawah permukaan air sebelumnya.” Ia mengamati bahwa sementara telapak tangannya bergerak stabil, matanya terus menatap ke arah air, tampaknya ia berharap ada perahu lain datang untuk menolongnya. Ia berpikir, “Kungfu orang tua ini mungkin saja tinggi, tetapi kalau hari ini tiga lawan satu kami tidak sanggup mengalahkanmu, maka kami boleh dianggap sama seperti kotoran manusia.”

Saat itu Ying Gu sudah menyapu bersih semua anggota Sekte Telapak Besi, kecuali orang yang sedang mengemudikan perahu. Ia melihat Guo Jing dan Huang Rong tidak bisa unggul, ia berkata dengan dingin, “Chou Yatou5, minggir, aku datang!”

Ketika mendengar nada menghina dalam seruan itu Huang Rong tak dapat menahan amarahnya, tongkat bambunya bergerak ke depan dan ia melancarkan serangan bertubi-tubi, sementara kakinya terus bergerak maju. Ketika Qiu Qianren melangkah ke samping untuk menghindar, Huang Rong melompat mundur dua langkah sambil menarik jubah Guo Jing dan berkata, “Biarkan dia bertarung.” Guo Jing menggunakan telapak tangannya untuk menjaga diri, lalu mundur.

Ying Gu berkata dengan dingin, “Qiu Bangzhu, nama besarmu di Jianghu tidak bisa diremehkan, tapi waktu aku tidur di penginapan kau menggunakan dupa berisi obat bius untuk menangkapku. Itu betul-betul cara murahan, bahkan untuk orang semacam engkau!”

“Kau tertangkap oleh anak buahku, apa lagi yang bisa kau katakan?” jawab Qiu Qianren. “Kalau aku yang maju sendiri, hanya dengan menggunakan sepasang tangan ini aku pasti bisa menangkap sepuluh orang Dewi Matematika.”

Ying Gu berkata dengan dingin, “Kapan aku pernah menyinggung Sekte Telapak Besi?”

Qiu Qianren menjawab, “Kedua bocah tengik ini tanpa ijin masuk ke daerah terlarang di Puncak Telapak Besi, kenapa kau memberi mereka petunjuk di Rawa Hitam? Aku bicara baik-baik supaya kau melepaskan mereka, tapi kau berani berbohong, kau pikir aku — Qiu Qianren — orang sembarangan?”

“Ah, ternyata hanya karena kedua bocah tengik ini,” kata Ying Gu. “Kalau kau punya kemampuan, silakan tangkap mereka, aku tidak mau mencampuri urusan orang lain.” Setelah mengatakan hal itu ia mundur beberapa langkah dan duduk bersila di sisi perahu, mukanya tampak tak acuh, tampaknya ia bermaksud nonton harimau berkelahi, mengharapkan Guo Jing, Huang Rong dan juga Qiu Qianren terluka parah. Sikapnya sungguh di luar dugaan Qiu Qianren, Guo Jing dan Huang Rong.

Ternyata setelah rencananya untuk membunuh Yideng Dashi digagalkan oleh Guo Jing yang menyamar, dan kemudian melihat Yideng menyodorkan dadanya dengan sukarela, mendadak ia menyadari kebaikan hati Yideng dan ia tidak tega meneruskan niatnya. Ia turun gunung dengan kecewa, dengan kenangan tentang kematian anaknya memenuhi benaknya. Ia berhenti di sebuah penginapan untuk bermalam. Kebingungan, amarah dan kekecewaan memenuhi hatinya, menempatkannya dalam situasi lemah. Tepat pada saat itu para anggota Sekte Telapak Besi menggunakan dupa berisi obat bius untuk menangkapnya. Kalau bukan begitu, dengan kecerdasan dan ilmunya yang tinggi masa ia bisa jatuh ke tangan segelintir orang berilmu lebih rendah dari generasi di bawahnya? Saat itu ia melihat Guo Jing dan Huang Rong, ia ingin melampiaskan amarah dan frustasinya dengan berharap ketiga orang itu akan tewas di dalam sungai deras ini.

Huang Rong berpikir, “Baiklah, kita menghadapi Qiu Qianren dulu, baru kemudian kita akan bikin perhitungan denganmu.” Ia membuat isyarat muka kepada Guo Jing, lalu keduanya — yang seorang dengan tongkat bambu, yang satnya dengan sepasang tangan kosong — menyerang Qiu Qianren secara serempak. Dalam waktu singkat ketiga orang itu terlibat dalam pertarungan sengit yang mendebarkan.

Ying Gu menonton pertarungan itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa meskipun teknik telapak tangan Qiu Qianren sangat cepat dan dahsyat, namun pada akhirnya ia akan sulit mengalahkan kedua anak muda itu. Ia melihat Qiu Qianren terus bergerak selangkah demi selangkah, tampaknya ia sedang berusaha mengalahkan lawan dengan serangan mendadak.

Guo Jing kuatir akan kondisi Huang Rong. Cederanya sangat serius dan ia baru saja sembuh, ia akan kehilangan banyak tenaga kalau pertarungan itu berlangsung terlalu lama. “Rong’er,” katanya. “Istirahatlah dulu, kau bisa membantuku nanti.”

“Baiklah!” kata Huang Rong sambil tersenyum. Ia mengangkat tongkatnya dan mundur dari arena pertarungan.

Ying Gu melihat kedekatan keduanya, Guo Jing sangat mencintai Huang Rong. “Sepanjang hidupku, kapan ada orang yang memperlakukan aku seperti ini?” pikirnya. Dari iri ia jadi cemburu, dari cemburu akhirnya menjadi benci. Tiba-tiba ia bangkit dan berseru, “Dua lawan satu, kungfu macam apa ini? Ayo kita berempat bertarung masing-masing satu lawan satu untuk menentukan siapa yang menang.” Ia merogoh sakunya dengan kedua tangan dan mengeluarkan dua bilah bambu. Tanpa menunggu jawaban Huang Rong sepasang bambu itu menghujam secara vertikal dan menyapu secara horizontal, menyerang Huang Rong.

“Kau perempuan tua sinting,” omel Huang Rong. “Tak heran Lao Wantong tidak mencintaimu.”

Ying Gu mengangkat alisnya dan meningkatkan serangannya. Segera setelah ia beraksi, situasi di atas perahu berubah total. Meskipun teknik Tongkat Penggebuk Anjing milik Huang Rong sangat indah, tetapi tenaga dalamnya masih di bawah Ying Gu, dan lagi setelah mengalami cedera serius tanaga dalamnya masih belum pulih total, gerakannya tidak segesit sebelumnya. Ia harus mengandalkan teknik totokan dengan segenap kekuatannya untuk mempertahankan diri. Ying Gu sangat licin seperti ikan, ayunan dan goyangan perahu itu hanya menambah kedahsyatannya.

Di pihak lain, Guo Jing bertarung melawan Qiu Qianren, untuk sementara sangat sulit menentukan siapa yang lebih unggul. Setelah menerima instruksi dari Yideng Dashi mengenai teknik tenaga dalam, tenaganya naik setingkat, ia sendiri terkejut bahwa dengan mengerahkan seluruh tenaganya ia mampu bertahan sejauh ini. Di sisi lain, Qiu Qianren sangat heran dengan tindakan Ying Gu, mula-mula ia bersikap bermusuhan dan tidak mau menolong pihak manapun, mendadak ia datang untuk membantunya. Dalam hati ia sangat gembira, semangatnya meningkat dan serangan telapak tangannya makin dahsyat. Ia yakin kalau pertarungan itu berlangsung lama, ia akan mampu mengalahkan Guo Jing.

Qiu Qianren melihat telapak tangan Guo Jing menyaou deras, ia mengelak ke samping untuk menghindari serangan frontal, tangan kanannya di atas, tangan kirinya di bawah, keduanya menempel ketat. Guo Jing menanggapi dengan mengulurkan tangan, keempat telapak tangan mereka bertemu dibarengi kekuatan dahsyat.

“Heh!” keduanya berseru serempak dan sama-sama mundur tiga langkah.

Qiu Qianren terhuyung ke arah kemudi dan memegang kemudi itu untuk menjaga keseimbangannya. Kaki kiri Guo Jing tersandung tali tambang dan ia hampir terjungkal. Karena takut musuh akan menyerang sementara pertahanannya kosong, ia meneruskan dengan bergulingan di dek sambil mempersiapkan kedua tangannya untuk mempertahankan diri. Qiu Qianren mengira kemenangannya sudah di tangan, sambil mengawasi lawan terjungkal dan dalam posisi lemah ia tertawa panjang sambil melangkah maju.

Sementara itu Ying Gu sudah berhasil membuat Huang Rong kewalahan dan terengah-engah, ia melihat butiran keringat menitik di dahinya, ia sangat senang. Mendadak ia mendengar suara tawa itu, ia sangat kaget, air mukanya berubah drastis dan dengan linglung ia menarik serangannya sambil memegang bilah bambu di tangan kiri.

Huang Rong melihat kesempatan ini dan tidak ingin menyia-nyiakannya, tongkat di tangannya berputar untuk menyerang dada Ying Gu. Tetapi ketika tongkat bambu itu hampir menyentuh titik ShenCang di dadanya, tubuh Ying Gu bergetar seolah ia menderita sakit mendadak. “Jadi ternyata kau!” Ying Gu menjerit dan menerjang ke arah Qiu Qianren seperti harimau murka.

Qiu Qianren melihatnya melontarkan diri dengan kedua tangan terpentang lebar tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri. Mulutnya terbuka memperlihatkan deretan gigi putih, seolah ingin menggigitnya hidup-hidup. Meskipun kungfunya tinggi, tetapi melihat serangan nekad itu ia mau tidak mau merasa terkejut. Buru-buru ia melompat ke samping untuk mengelak dan berseru, “Apa yang kau lakukan?”

Ying Gu tidak menjawab. Ia terus melontarkan diri ke arahnya. Segera setelah kakinya mendarat, ia menyerang lagi, dan lagi. Qiu Qianren memukul dengan telapak tangan kirinya ke arah kepala Ying Gu, tetapi Ying Gu terus maju dengan tangan terulur seolah ia menginginkan sesuatu, ia sama sekali mengabaikan datangnya serangan, masih tetap dengan nekad melontarkan diri ke arah Qiu Qianren. Qiu Qianren kaget, ia berpikir seandainya ia tertangkap oleh perempuan gila ini, ia tidak akan bisa meloloskan diri dengan mudah, dan kalau pada saat itu Guo Jing datang menyerang dengan telapak tangannya, bagaimana ia bisa terus hidup? Karena itu ia segera menarik telapak tangannya, menyelamatkan nyawanya lebih penting, buru-buru ia mengelak ke kiri.

Huang Rong menarik tangan Guo Jing, mereka bergerak ke samping. Melihat Ying Gu mendadak hilang ingatan mereka mau tak mau jadi ngeri. Mereka melihat Ying Gu dengan gila-gilaan menerjang maju, mulutnya mengeluarkan suara ‘heh, heh’, bibirnya terbuka memperlihatkan giginya yang putih, berusaha untuk memeluk Qiu Qianren tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri.

Meskipun kungfu Qiu Qianren tinggi, tetapi Ying Gu menyerangnya dengan cara seolah-olah sudah bosan hidup, ia tidak bisa mengimbanginya, dan terpaksa mengelak kesana-kemari. Ia melihat otot-otot di wajahnya tertarik, ekspresinya sangat mengerikan, ia jadi semakin takut. “Pembalasan, pembalasan!” keluhnya dalam hati. “Hari ini aku akan mati di tangan perempuan sinting ini.”

Ying Gu menerjang beberapa kali lagi, Qiu Qianren mengelak sampai ia tiba di dekat kemudi. Mata Ying Gu merah seolah-olah berlumuran darah. Sekali lagi cekalannya luput dari sasaran. Ia menangkat telapak tangannya dan “Bukk!” ia memukul orang yang memegang kemudi dan melemparkannya ke sungai, lalu kakinya melayang dan ia menendang kemudi sampai patah. Perahu itu dengan segera terhanyut kacau karena kehilangan kemudi.

Huang Rong mengeluh dalam hati, “Perempuan ini cepat atau lambat akan jadi gila, kelihatannya kita berempat akan sulit terhindar dari maut kali ini.” Ia segera memonyongkan bibirnya dan bersiul keras memanggil sepasang elang untuk menyelamatkan mereka.

Tepat pada saat itu perahu menghantam sebuah batu besar. Dibarengi suara keras sebuah lubang besar menganga di lambung perahu. Ketika melihat Ying Gu menghancurkan kemudi, Qiu Qianren tahu bahwa ia sudah bertekad untuk mati bersama-sama dengan dirinya. Ia melihat tepian sungai sudah tidak terlalu jauh lagi, ia berpikir entah mati atau hidup ia harus mengambil segala resiko untuk meloloskan diri, karenanya ia melompat ke arah tepian dengan segenap kekuatannya. Tetapi tepian itu masih jauh, dan ‘Byurr!’, ia tercebur ke air da dengan segera tenggelam ke dasar sungai. Ia sadar bahwa segera setelah ia muncul di permukaan, arus deras akan menghanyutkannya, dan akan jadi mustahil untuk membebaskan diri, karena itu ia berpegang erat-erat pada sebuah batu di dasar sungai dan dengan menggunakan tangan dan kakinya ia merangkak di dasar sungai menuju ke tepian. Dengan menggunakan kungfunya, ditambah dengan fakta bahwa arus deras di tepian lebih lemah ketimbang di tengah sungai, meskipun ia harus menelan sejumlah besar air, akhirnya ia berhasil mencapai tepian sungai. Ia sangat kelelahan, ia terduduk di atas batu untuk mengambil nafas dan melihat perahu itu pelan-pelan berubah menjadi titik hitam di kejauhan. Teringat gemeretak gigi Ying Gu dan ekspresi mukanya yang menyeramkan, tanpa sadar ia gemetar ketakutan.

Ketika melihat Qiu Qianren melompat keluar dari perahu, Ying Gu berteriak nyaring, “Keparat busuk, kau mau lari kemana?” Ia menerjang ke arah sisi perahu, bersiap melompat ke dalam air. Tetapi saat itu perahu telah dihanyutkan arus ke tengah sungai, di mana arusnya jauh lebih deras. Di tengah gelombang berbahaya itu, bagaimana ia bisa bertahan hidup kalau nekad melompat ke air.

Guo Jing tidak tega melihatnya, ia bergegas maju untuk meraih punggungnya. Ying Gu sangat marah, ia meraih ke belakang punggungnya untuk menyerang. Guo Jing buru-buru mengelak. Huang Rong melihat sepasang elang mendarat di depan kabin. “Jing Gege, buat apa mempedulikan perempuan gila ini? Ayo cepat kita pergi!”

Air meluap dengan cepat, dalam waktu singkat sudah mencapai mata kaki. Guo Jing mengendurkan cekalannya. Ying Gu menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis keras-keras. “Anakku! Anakku!” jeritnya memilukan.

Huang Rong berulang kali memaksanya untuk pergi, tetapi Guo Jing teringat akan permohonan Yideng dashi untuk menjaga Ying Gu. “Cepat kau pergi ke tepian dengan elang itu, lalu kirim mereka kembali ke sini untuk menjemput kami,” serunya.

“Tidak cukup waktu untuk itu,” kata Huang Rong keberatan, ia sangat cemas.

“Cepat pergi!” kata Guo Jing. “Kita tidak bisa mengabaikan kepercayaan Yideng Dashi.”

Huang Rong teringat kebaikan Yideng Dashi yang menyelamatkan hidupnya, dengan berat hati ia naik ke punggung elang, tahu bahwa ia tak punya pilihan lain. Mendadak tubuhnya bergetar. Dengan suara keras perahu itu menabrak sebuah batu besar di tengah sungai. Air meluap sampai ke kabin, dalam sekejap areal kemudi tenggelam beberapa kaki.

“Lompat ke batu!” seru Huang Rong. Guo Jing mengangguk, ia menarik Ying Gu bersamanya.

Saat itu Ying Gu sedang dalam keadaan linglung, ia tahu Guo Jing memegang tangannya, ia tidak melawan. Mmatanya menatap kosong ke arah sungai. Guo Jing menyelipkan tangan kanannya di bawah ketiak Ying Gu dan berseru, “Lompat!” Ketiganya melompat ke batu karang.

Batu karang itu sebetulnya sekitar satu kaki berada di bawah permukaan air, sungai itu mengelilingi mereka bertiga, cipratan air membasahi pakaian mereka. Ketika berdiri kokoh di atas karang, mereka melihat perahu itu tenggelam di samping mereka. Meskipun sejak kecil bermain-main dengan ombak besar, tetapi ketika melihat pusaran air keruh mengelilinginya, Huang Rong mau tak mau merasa pusing, ia mengangkat kepalanya memandang langit, tidak berani menatap langsung ke arah air.

Guo Jing bersiul memanggil elang untuk menjemput mereka, tetapi sepasang elang itu takut melihat air. Mereka terbang berputar-putar di atas kepala tetapi tidak berani mendaratkan kakinya di atas karang yang setengah terbenam.

Huang Rong memandang ke sekeliling dan melihat sebuah pohon Willow besar di tepi sungai di sebelah kiri mereka, sekitar belasan zhang jauhnya dari situ. Dengan segera ia menemukan gagasan. “Jing Gege,” katanya. “Pegang tanganku.” Guo Jing memegang tangan kirinya erat-era. Diiringi suara ceburan Huang Rong lenyap di bawah permukaan air.

Guo Jing kaget, ia melihat Huang Rong menyelam ke arah perahu yang sedang tenggelam, ia buru-buru berjongkok sampai bagian atas tubuhnya juga tercelup ke dalam air. Ia merentangkan tangannya sejauh mungkin sementara kakinya menjepit sebuah tonjolan batu karang erat-erat. Dengan segenap tenaga tangan kanannya memegang pergelangan kiri Huang Rong, kalau arus air terlalu kuat dan pegangannya lolos, maka Huang Rong bisa jadi tidak akan pernah bisa naik lagi.

Huang Rong menyelam ke arah tiang layar, ia menarik tali tambang layar, lalu melilitkannya ke batu karang. Berikutnya, tangannya secara bergantian menarik tali itu sampai ia mendapatkan sekitar dua puluh zhang tali, lalu ia mengambil belatinya dan memotong tali itu. Setelah itu ia menjulurkn tangannya untuk memanggil elang betina untuk mencengkeram bahunya.

Saat ini sepasang elang itu sudah tumbuh besar, dan bobot mereka cukup berat. Guo Jing takut Huang Rong tidak sanggup menahannya, maka ia mengulurkan tangan untuk menangkap elang. Huang Rong melilitkan ujung tali ke kaki elang betina, ia menunjuk ke arah pohon Willow besar dan membuat isyarat tangan memerintahkan elang itu untuk terbang.

Si elang segera mengambil tali dan terbang berputar-putar beberapa kali di atas pohon itu, lalu terbang kembali. Huang Rong dengan cemas berkata, “Aih! Aku menyuruhmu terbang mengelilingi pohon itu sebelum kembali.” Tapi tentu saja elang itu tidak memahami ucapannya, karena itu Huang Rong menghela nafas dengan cemas. Mereka terus mencoba dan pada kali ke delapan secara kebetulan elang itu terbang mengitari pohon Willow lalu kembali. Guo Jing dan Huang Rong sangat gembira, mereka menarik tambang untuk mempererat ikatannya, lalu mengikatkan ujung lainnya di tonjolan batu karang.

“Rong’er, kau berangkat dulu,” kata Guo Jing.

“Tidak,” jawab Huang Rong. “Aku tetap bersamamu. Biar dia jalan dulu.”

Ying Gu menatap mereka lekat-lekat. Tanpa mengatakan apa-apa, dengan menggunakan kedua tangannya ia menarik dirinya di sepanjang tali itu, menuju ke tepian.

Huang Rong tertawa. “Ini caraku bermain-main waktu masih kecil. Guo Shaoye, jangan pelit kalau kasih hadiah!” Dengan sebuah lompatan ia hinggap di atas tali dan dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya ia berjalan di sepanjang tali itu seperti seorang pemain sirkus, mengayun-ayunkan tongkat bambunya, melintasi ombak besar dari sungai di bawahnya, menuju ke arah pohon Willow di tepian.

Guo Jing tidak pernah mempelajari cara itu, ia takut akan salah melangkah, jadi ia tidak berani bermain-main seperti Huang Rong. Seperti cara Ying Gu, ia menggunakan kedua tangannya untuk menarik dirinya merapat ke tali, menuju ke tepian.

Ia masih sekitar beberapa zhang dari tepian ketika tiba-tiba telinganya mendengar Huang Rong berseru, “Hei, kau mau kemana?” Suaranya terdengar bingung. Guo Jing kuatir pikiran Ying Gu terganggu dan melakukan sesuatu yang nekad, jadi ia mempercepat gerakannya, dan bahkan sebelum mencapai pohon Willow ia sudah melompat turun.

Huang Rong menunjuk ke arah Selatan sambil berkata, “Dia pergi.”

Guo Jing memfokuskan pandangannya dan melihat Ying Gu sedang berlari sekuat tenaga di sepanjang jalan setapak pegunungan. “Pikirannya sedang kacau, aku takut dia akan mencelakai dirinya sendiri. Ayo kita kejar dia,” katanya.

“Baik!” kata Huang Rong. Ia mengangkat kaki bersiap untuk lari, tetapi tiba-tiba kakinya melemah dan ia jatuh terduduk, menggelengkan kepalanya.

Guo Jing tahu ia telah menggunakan tenaga secara berlebihan setelah sembuh dari cedera, ia kelelahan dan tidak punya cukup tenaga untuk berlari. “Duduk saja di sini dan beristirahat dulu, aku yang akan mengejar dia dan membawanya kembali ke sini,” katanya. Dengan segera ia berlari ke arah Ying Gu terakhir terlihat, tetapi setelah menyeberangi lapangan terbuka di hadapannya ia sampai di sebuah simpang tiga. Bayangan Ying Gu tak terlihat lagi, ia tidak tahu ke arah mana Ying Gu pergi. Di situ banyak batu-batu besar, rumput mencapai setinggi dada, memendang ke sekeliling ia tidak melihat ada orang lain di situ. Sementara itu matahari mulai tenggelam di balik pegunungan, langit mulai gelap, ia takut Huang Rong akan menguatirkan dirinya, jadi ia memutuskan untuk kembali.

Kedua orang itu melewati malam di tengah bebatuan, lapar dan lelah. Ketika fajar menjelang mereka bangun dan mulai berjalan menyusuri jalan setapak kecil di tepian sungai. Mereka harus menemukan kuda merah mereka sebelum kembali ke jalan utama.

Setelah berjalan lama mereka menemukan sebuah penginapan di tepi jalan, mereka membeli tiga ekor ayam, seekor untuk mereka makan, sementara dua ekor lainnya mereka berikan kepada sepasang elang mereka. Sepasang elang itu hinggap di atas pohon tinggi, mereka makan ayam sampai bulu-bulunya berjatuhan seperti hujan salju.

Mereka sedang makan dengan lahap ketika tiba-tiba elang betina memekik panjang, menjatuhkan ayam yang baru dimakan separuh, merentangkan sayapnya dan terbang ke Utara. Si elang jantan mengikutinya dengan cemas sambil memekik keras.

“Kedua elang itu sangat marah, entah apa yang mereka lihat?” kata Guo Jing.

“Ayo kita lihat,” kata Huang Rong. Keduanya berlari di sepanjang jalan utama. Mereka melihat sepasang elang itu terbang berputar-putar di kejauhan, tiba-tiba mereka meluncur turun dan naik lagi. Mereka berputar-putar beberapa kali, lalu turun lagi.

“Mereka sedang berkelahi melawan musuh,” kata Guo Jing.

Mereka mempercepat langkah, dan setelah dua-tiga li mereka melihat ada barisan kuda berdiri berdekatan, itu sebuah kota kecil. Sepasang elang itu terbang berputar-putar di atas kota ini, tampaknya mereka kehilangan jejak musuh. Guo Jing dan Huang Rong bergegas menuju lingar luar kota itu, mereka berusaha memanggil sepasang elang itu turun, tetapi elang-elang itu mengabaikan mereka, mereka terus terbang berputar-putar di atas seolah-olah sedang mencari-cari musuh.

“Entah dengan siapa mereka bermusuhan,” kata Guo Jing.

Beberapa saat kemudian barulah sepasang elang itu turn satu persatu. Kaki elang jantan tampak berdarah karena terkena sabetan golok yang cukup dalam, kelihatannya kalau saja otot dan tulangnya tidak cukup kuat, pastilah kaki itu sudah terbabat putus. Cakar kanan elang betina tampak mencengkeram sebuah benda berwarna kehitaman. Mereka melihat lebih dekat, dan mendapati bahwa benda itu adalah potongan kulit kepala manusia, dengan segumpal besar rambut di atasnya. Sepertinya kulit kepala itu dicabut paksa dari kepalanya, dengan noda darah masih tersisa di sekelilingnya.

Huang Rong mengoleskan obat luka di kaki elang jantan. Guo Jing membolak-balik kulit kepala yang diambilnya dari elang betina sambil bergumam, “Sepasang elang ini sangat jinak sejak masih kecil, meeka tidak akan melukai siapa pun kecuali kalau sengaja ditantang, bagaimana mungkin mereka tiba-tiba bermusuhan dengan manusia?”

“Ada sesuatu yang salah di sini,” kata Huang Rong. “Kalau kita bisa menemukan orang yang kehilangan kulit kepala ini, maka kita pasti akan memahami semuanya.”

Keduanya memasuki kota dan menemukan sebuah penginapan untuk bermalam, lalu mereka keluar secara terpisah untuk mencari informasi. Tetapi kota itu ternyata cukup besar, penduduknya cukup banyak, mereka menyelidiki sampai jauh malam, tetapi masih tidak menemukan petunjuk sedikitpun.

“Aku sudah menjelajah kesana-kemari untuk menemukan orang tanpa kulit kepala, tapi tidak menemukan apa-apa,” kata Guo Jing.

Huang Rong tersenyum. “Orang tanpa kulit kepala masih bisa memakai topi untuk menutupi kepalanya,” katanya.

“Ah!” seru Guo Jing, mendadak ia tercerahkan. Ia teringat ada banyak orang memakai topi yang dilihatnya di kota itu, tapi tentu saja ia tidak bisa seenaknya melepaskan topi mereka untuk memeriksa kepalanya.

Menjelang fajar sepasang elang itu kembali bersama kuda merah mereka. Guo Jing dan Huang Rong sangat menguatirkan kondisi Hong Qigong, juga adu ilmu silat yang akan diadakan di Perayaan Pertengahan Musim Gugur sudah semakin dekat. Lagipula, permusuhan antara kedua elang itu dengan entah siapa sebetulnya tidak sepenting itu, maka mereka memutuskan untuk segera mulai perjalanan ke Timur.

Keduanya menunggangi kuda merah kecil yang cepat itu, dengan sepasang elang mengikuti di atas mereka. Di sepanjang jalan Huang Rong terus bicara dan tertawa, bermain-main, tampak lebih lincah dari biasanya. Kadang-kadang sampai jauh malam ia tidak mau beristirahat. Guo Jing tahu ia kelelahan, ia seringkali memaksanya beristirahat, tapi Huang Rong mengabaikannya. Terkadang larut malam ia masih duduk bersila di atas pembaringan, mengobrol tentang hal-hal yang tidak penting.

Suatu hari dari bagian barat jalanan Jiangnan mereka tiba di bagian selatan di perbatasan Zhejiang. Mereka sudah berkuda sepanjang hari. Tempat itu tidak terlalu jauh dari pantai Laut Timur. Mereka berhenti di sebuah penginapan untuk bermalam. Huang Rong meminjam keranjang belanja dari pengelola penginapan, ia ingin pergi ke kota untuk membeli daging dan sayuran dan memasak makanan.

“Kau pasti lelah seharian di perjalanan,” kata Guo Jing berusaha membujuknya. “Kita makan makanan restoran saja.”

“Aku ingin memasak untukmu,” jawab Huang Rong. “Masa kau tidak suka lagi masakanku?”

“Sudah tentu aku suka masakanmu,” kata Guo Jing. “Tapi aku ingin kau banyak beristirahat. Tunggu sampai kesehatanmu membaik, barulah kau memasak untukku. Itu masih belum terlambat, kan?”

“Tunggu sampai aku membaik, pada saat itu…” kata Huang Rong. Tangannya memegang keranjang belanjaan, salah satu kakinya sudah melangkah keluar ruangan, ia berhenti seolah-olah kaget.

Guo Jing tidak mengerti jalan pikirannya, ia dengan lembut menarik keranjang belanjaan dari tangannya dan berkata, “Betul. Tunggu sampai kita menemukan Shifu, lalu kita bisa sama-sama menikmati masakanmu.”

Huang Rong menatap kosong sampai lama. Akhirnya ia berbalik ke tempat tidur dan dengan segera ia tampak tertidur. Pelayan penginapan datang membawa makanan mereka. Guo Jing memanggilnya untuk makan. Huang Rong dengan cepat melompat dari tempat tidur dan berkata sambil tertawa, “Jing Gege, kita tidak usah makan makanan ini, ayo kita pergi.”

Guo Jing menurut dan mengikutinya keluar dari penginapan, mereka berjalan menuju kota. Huang Rong secara sembarangan memilih sebuah rumah berdinding putih dengan pintu berwarna hitam, rumah keluarga kaya. Mereka berputar ke belakang rumah dan melompati tembok, menyelinap ke dalam rumah. Guo Jing tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi bagaimanapun juga ia hanya mengikuti keinginan Huang Rong. Huang Rong langsung menuju ke arah bangunan depan, dan menemukan bahwa bangunan itu terang benderang oleh cahaya lilin, rupanya tuan rumah sedang mengadakan pesta.

“Luar biasa!” seru Huang Rong dengan gembira. “Pilihan bagus.” Sambil cekikikan ia berjalan meju dan berseru dengan suara nyaring dan jernih, “Minggir semua!”

Di situ ada tiga meja perjamuan, tuan rumah bersama dengan sekitar tiga puluh tamunya terkejut. Mereka melihatnya sebagai seorang gadis muda belia yang cantik, mereka saling berpandangan, bingung. Dengan santai Huang Rong menangkap seorang pria gendut, kakinya bergerak menjegal pria itu, membuatnya jatuh terjungkal. “Kau masih tidak mau bertarung?” katanya sambil tertawa.

Para tamu saling bertarung dalam kebingungan. Tuan rumah berteriak, “Pengawal! Mana pengawal!”

Di tengah keributan itu seorang instruktur ilmu bela diri memimpin selusin penduduk setempat dengan golok dan tongkat di tangan datang mendekat. Sambil tertawa Huang Rong menerjang maju, dan dalam dua jurus ia berhasil membekuk kedua instruktur itu. Ia merebut sebuah golok dan mengayun-ayunkannya, menciptakan sinar putih berkilauan, pura-pura berniat membunuh orang. Para tamu menjerit ngeri, mereka berlarian panik dan saling bertabrakan ketika berusaha melarikan diri.

Ketika tuan rumah melihat situasi tidak menguntungkan itu, ia berusaha menyelinap pergi, tetapi Huang Rong mengulurkan tangan untuk menarik jenggotnya. Tangan kanannya mengayun-ayunkan golok seolah-olah akan membacoknya. Tuan rumah begitu ketakutan, sampai-sampai ia menjatuhkan diri berlutut dan dengan suara gemetar berkata, “Nu… Nu Da Wang6, Nona… Nona yang baik, kau mau perak atau emas, aku pasti akan memberikan semuanya untukmu. Mohon ampuni aku…”

Huang Rong tertawa. “Siapa yang mau uangmu?” katanya. “Aku ingin kau menemani kami minum-minum.” Sambil merenggut jenggotnya dengan tangan kiri, ia menarik tuan rumah itu bangkit. Tuan rumah merasa kesakitan tetapi tidak berani bersuara. Huang Rong menarik Guo Jing untuk duduk bersama di meja utama.

“Semuanya duduk!” kata Huang Rong memerintah. “Kenapa kalian masih berdiri?” Ia mengangkat golok tinggi-tinggi, lalu menghujamkannya sampai tertancap dalam-dalam ke atas meja.

Para tamu terkejut dan ketakutan, mereka berkerumun di sekeliling dua meja lain, tak seorang pun berani duduk di meja utama.

Huang Rong berseru, “Kalian tidak mau menemaniku minum-minum ya? Siapa yang tidak datang mendekat, pasti akan kugorok lebih dulu!”

Semua orang bergegas maju, saling sikut dan mendorong, menyebabkan tujuh sampai delapan kursi jungkir balik. Huang Rong berseru lagi, “Kalian bukan anak umur tiga tahunan, kan? Kenapa tidak bisa duduk dengan manis?”

Masih saling sikut dan mendorong para tamu berserakan ke segala tempat, dan setelah agak lama barulah mereka bisa duduk dengan tenang di seputar tiga meja perjamuan.

Huang Rong menuangkan secawan arak untuk dirinya sendiri dan menghabiskan isinya sekali teguk. “Pesta macam apa ini?” tanyanya kepada tuan rumah. “Ada orang mati di rumahmu ya? Berapa orang yang mati?”

Tuan rumah gemetar. “Sebetulnya, ada bayi yang baru lahir di usia tuaku. Hari ini dia genap sebulan, jadi aku mengundang teman-teman, kerabat dan tetangga dekat untuk merayakannya.”

Huang Rong tertawa. “Luar biasa! Coba kulihat anakmu,” katanya.

Muka tuan rumah itu pucat pasi, ia takut Huang Rong akan mencelakai anaknya, tetapi setelah melihat golok yang tertancap di atas meja ia tidak berani membantah, ia menyuruh pengasuh anaknya untuk membawa anak itu keluar.

Huang Rong menggendong anak itu di tangannya, ia memandang wajah mungil itu di bawah cahaya lilin, dan kemudian ia menatap tuan rumah. Sambil memiringkan kepalanya ke satu sisi ia berkata, “Dia sama sekali tidak mirip denganmu, kau yakin ini anakmu?”

Tuan rumah tampak sangat tidak nyaman, sekujur tubuhnya gemetaran, ia berkata, “Ya, ya!” Tidak begitu jelas ia membenarkan bahwa anak itu memang anaknya, ataukah ia ingin mengatakan, “Yang Nona katakan memang benar.” Para tamu merasa lucu, tetapi tak seorang pun berani tertawa.

Huang Rong mengambil uang emas dari sakunya dan memberikannya kepada si pengasuh, ia juga mengembalikan bayi itu. “Ini hadiah kecil. Anggap saja hadiah untuk pertemuan pertama dari nenek luarnya7,” katanya.

Semua orang bisa melihat bahwa ia masih sangat muda, tetapi ia memanggil diri sendiri ‘nenek’, mereka juga bisa melihat penampilannya yang anggun, ia tampak heroik dan kaya, mereka saling pandang dengan heran.

Tuan rumah merasa sangat gembira dengan perubahan peristiwa itu, ia berulang kali mengungkapkan rasa terima kasihnya.

“Mari,” kata Huang Rong. “Aku bersulang untukmu!” Ia mengambil cawan besar dan menuangkan arak, mendorongnya ke hadapan tuan rumah.

Tuan rumah berkata, “Kemampuan minumku sangat rendah. Nona, mohon maaf.”

Huang Rong menaikkan alisnya yang indah, mebgulurkan tangan untuk menarik jenggotnya. “Kau mau minum atau tidak?” bentaknya.

Tuan rumah tidak punya pilihan selain mengangkat cawannya dan ‘Gluk, gluk’ ia meneguk habis seisi cawan.

“Bagus!” kata Huang Rong sambil tertawa. “Sekarang kita bersenang-senang. Ayo, kita mendongeng sambil minum-minum.”

Kalau ia ingin mendongeng sambil minum-minum, siapa di sekitar meja itu yang berani membantah? Tapi para tamu di sekitar meja itu bukan pedagang kaya atau orang terpelajar, mereka hanya petani dan penduduk desa, mana bisa Huang Rong menemukan orang terpelajar di antara mereka. Semua orang gemetar ketakutan, berusaha mengarang cerita asal-asalan.

Setelah beberapa saat Huang Rong jadi tidak sabaran, ia berteriak nyaring, “Minggir semua!”

Seperti menerima sebuah pengampunan, semua orang berlomba untuk bangkit berdiri. Tiba-tiba ‘dukk!’, tuan rumah jatuh terjengkang di kursinya. Ternyata ia sangat mabuk dan tidak mampu berdiri lagi. Huang Rong tertawa terbahak-bahak. Ia terus minum arak dan bicara kepada Guo Jing seolah-olah tidak ada orang lain di situ, membuat para tamu berdiri terpaku di sekeliling mereka dengan pasrah, hanya bisa menonton.

Mereka terus makan dan minum sampai jam satu malam. Beberapa kali Guo Jing berusaha membujuknya dan akhirnya Huang Rong merasa cukup dan bersedia pergi.

Kembali ke penginapan Huang Rong bertanya sambil tertawa, “Jing Gege, apa kau merasa senang malam ini?”

Guo Jing menjawab, “Tanpa alasan kau menakut-nakuti orang setengah mati, kenapa harus masuk ke situ?”

“Aku mencari keselamatan dan kesenanganku sendiri,” kata Huang Rong. “Kenapa aku harus memikirkan soal hidup-mati orang lain?”

Guo Jing terkejut, ia merasa sikapnya berbicara agak tidak biasa, tapi sementara itu ia tidak bisa menemukan makna tertentu di balik ucapan itu.

Huang Rong tiba-tiba berkata, “Aku ingin keluar dan berjalan-jalan. Kau mau ikut tidak?”

“Ini sudah tengah malam,” kata Guo Jing. “Kau mau pergi ke mana?”

“Kupikir bayi itu lucu,” kata Huang Rong. “Nenek ingin memeluknya dan bermain-main beberapa hari, lalu akan kukembalikan ke keluarganya.”

“Mana bisa kau berbuat begitu?” kata Guo Jing dengan cemas.

Huang Rong hanya tersenyum dan berjalan ke pintu, melompat melewati tembok. Guo Jing bergegas mengejarnya, menarik tangannya, berusaha mencegahnya. “Rong’er, kau sudah terlalu lama bermain-main,” katanya. “Masa belum puas juga?”

“Pasti belum cukup,” jawab Huang Rong sambil berdiri diam. Ia berhenti beberapa detik lalu melanjutkan, “Aku ingin kau menemaniku. Hanya dengan begitu aku puas. Beberapa hari lagi kau akan meninggalkan aku, kau akan bersama dengan Putri Huazheng itu. Sudah pasti dia tidak akan mengijinkanmu menemuiku lagi. Waktu kita bersama-sama bisa dihitung dengan jari, entah tiga atau empat hari. Tetap saja tidak cukup bagiku. Jing Gege, aku tidak ingin tidur malam, aku ingin bermain-main dan bicara denganmu. Kau mengerti perasaanku? Tolong jangan hentikan aku.”

Guo Jing menggenggam tangannya erat-erat, ia merasakan cinta dan perhatian yang sangat dalam. “Rong’er,” katanya. “Aku ini sangat bodoh, aku tidak pernah menyadari kau punya cinta seperti ini kepadaku. Aku… aku…” Bicara sampai di sini ia sebetulnya tidak tahu apa yang harus dikatakan lagi.

Huang Rong tersenyum sedikit. “Ayah mengajarku untuk membaca banyak puisi klasik tentang kecemasan, kebencian, dan lain sebagainya. Aku hanya tahu sebetulnya dia merindukan ibuku yang sudah meninggal, karena itu dia suka membaca tentang segala hal itu. Hari ini aku menemukan bahwa kebahagiaan dan kegembiraan hanya datang untuk sementara, tetapi sakit dan penderitaan adalah masalah seumur hidup.”

Bulan purnama terbit di atas pohon Willow, udara malam itu sedingin air, hembusan angin lembut menyapu pakaian mereka. Semula Guo Jing tidak terlalu peduli, meskipun tahu perasaan Huang Rong kepadanya sangat dalam, tetapi ia tidak menyadari cinta Huang Rong kepadanya ternyata sedalam ini. Sementara mendengar ia bicara, semua yang terjadi sepanjang hari itu menjadi jelas baginya. Dalam hati ia berkata, “Aku orang kasar yang selalu bicara langsung. Di masa depan aku tidak akan bersama dia. Meskipun aku akan sering memikirkan dia, pada akhirnya aku tetap akan melupakan dia. Tapi bagaimana dengan dia? Dia akan hidup sendirian di Pulau Bunga Persik hanya dengan ayahnya. Masa dia tidak kesepian?” Ia berpikir lebih jauh, “Suatu hari nanti ayahnya pasti akan meninggal, lalu hanya beberapa orang pelayan bisu-tuli yang menemaninya. Dia sangat suka hal-hal baru, melakukan segala hal baru. Tanpa ada orang yang menemaninya, bisa-bisa dia mati bosan.”

Memikirkan semua itu tanpa sadar tubuhnya gemetar. Genggamannya ke tangan Huang Rong jadi lebih erat, matanya menatap muka gadis itu lekat-lekat. “Rong’er,” katanya. “Meskipun langit ambruk, aku ingin bersamamu di Pulau Bunga Persik seumur hidupku!”

Huang Rong gemetar, ia mengangkat kepalanya dan berkata, “Kau… kau bilang apa?”

Guo Jing berkata, “Aku tidak peduli soal Genghis Khan, tentang Putri Huazheng. Sepanjang hidupku aku ingin bersamamu.”

Huang Rong terisak pelan dan membenamkan kepalanya di dada Guo Jing. Guo Jing mengulurkan tangan dan memeluknya erat-erat. Masalah ini sudah agak lama mengganggunya. Saat ini, dengan mengabaikan semua masalah lain ia tiba-tiba bertekad, hatinya merasakan kebahagiaan dan kelegaan. Keduanya saling peluk dengan erat, mereka melupakan segala sesuatu di sekitar mereka.

Setelah beberapa saat Huang Rong bertanya dengan lembut, “Bagaimana dengan ibumu?”

“Aku akan menjemputnya dan membawanya ke Pulau Bunga Persik,” jawab Guo Jing.

“Masa kau tidak takut kepada gurumu, Jebe, dan saudara angkatmu, Tolui?” tanya Huang Rong lagi.

“Mereka sangat mencintaiku, hatiku tidak boleh bercabang,” jawab Guo Jing.

“Lalu bagaimana dengan keenam gurumu yang dari Jiangnan? Bagaimana dengan Ma Daozhang, Qiu Daozhang? Apa yang akan mereka katakan?” tanya Huang Rong.

Guo Jing menghela nafas dan berkata, “Mereka pasti akan marah, tapi aku akan bicara perlahan-lahan sejujurnya. Rong’er, kau tidak boleh meninggalkan aku, aku juga tidak akan meninggalkanmu.”

Huang Rong berkata sambil tertawa, “Aku punya ide. Kita bisa bersembunyi di Pulau Bunga Persik dan tidak usah keluar selamanya. Ayahku mengatur pulau dengan cara misterius, kalaupun mereka datang ke pulau, mereka tidak akan bisa menemukan dan memarahimu.”

Guo Jing merasa gagasannya itu mungkin kurang pantas, ia baru hendak menanyakan apakah ia punya usul lain lagi ketika terdengar suara langkah kaki sekitar puluhan zhang di luar ruangan. Dua orang pejalan kaki sedang menggunakan ilmu meringankan tubuh dari arah selatan menuju ke utara. Salah seorang berkata, “Si Bocah Tua Nakal itu sudah terebak oleh perangkap Saudara Peng, kita tidak usah takut kepadanya. Ayo cepat kita pergi.”

  1. Er Shifu (二师父) berarti ‘Guru Kedua’, yang dalam hal ini adalah orang kedua dari Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan, Zhu Cong, yang mengajarkan segala hal yang berbau sastra dan pengetahuan ilmiah. 

  2. Jie Jia Gui Tian (解甲归田), secara literal berarti ‘Melepas baju perang dan kembali ke sawah’. 

  3. Dua ‘Hu’ yang dimaksud di sini adalah Hunan dan Hubei. 

  4. Zhongqiu Jie (中秋节) adalah Perayaan Pertengahan Musim Gugur, yang secara tradisional ditandai dengan kehadiran Kue Bulan. Tradisi ini masih terus dirayakan oleh para keturunan Tionghoa, termasuk di Indonesia. 

  5. Chou Yatou (臭丫头), secara literal berarti ‘Anak perempuan yang berbau busuk’. Istilah ini bisa diterjemahkan secara sederhana menjadi ‘Bocah tengik’. 

  6. Nu Da Wang (女大王) secara literal berarti ‘Raja Perempuan’. Tetapi istilah ‘Da Wang’ ini biasanya dipakai untuk memanggil para perampok. 

  7. Wai Zu Mu (外祖母), atau secara literal ‘Nenek Luar’, adalah panggilan bagi nenek dari pihak ibu. Orang-orang Tionghoa membedakan panggilan bagi kakek/nenek dari pihak ayah dan dari pihak ibu.