Ketika Huang Rong sedang menari di udara, tiba-tiba ia berseru tertahan, “Ah!” dan melompat turun dari pohon. Memberi isyarat kepada Guo Jing ia berjalan masuk kedalam hutan. Guo Jing takut tersesat, maka ia mengikutinya dalam jarak dekat dan tidak berani menjauh lebih dari setengah langkah di belakangnya. Huang Rong berjalan cepat di sepanjang jalan berliku dan kemudian berhenti mendadak. Ia menunjuk ke arah sebuah tumpukan kuning di atas tanah sambil bertanya, “Apa itu?”

Guo Jing bergegas maju beberapa langkah dan melihat seekor kuda kuning tergeletak di atas tanah. Ia buru-buru mendekat dan berjongkok untuk mengamati. Ia mengenalinya sebagai kuda kuning milik guru ketiganya, Han Baoju. Ia meraba punggung kuda itu dan mendapati bahwa punggung itu sudah dingin, kuda itu sudah mati beberapa hari yang lalu. Kuda itu sudah mengikuti Han Baoju jauh ke padang gurun, Guo Jing sudah mengenalnya sejak masih kanak-kanak. Kuda itu sudah seperti teman baik baginya. Mendadak melihatnya mati di situ ia merasa sangat sedih. Ia menimbang dengan hati-hati, “Kuda ini memang sudah tua, tapi dia seekor kuda yang istimewa, bukan kuda sembarangan. Dia sudah menjelajahi wilayah Utara dan Selatan selama bertahun-tahun dengan langkah ringan, sama sekali tidak menunjukkan usia tuanya, mana mungkin tiba-tiba jatuh dan mati di sini? San Shifu pasti sangat sedih.”

Ia melihat lebih dekat dan memperhatikan bahwa kuda kuning itu bukan berbaring ke salah satu sisi, tetapi melingkar dengan kaki terlipat di bawah perutnya, terlipat menjadi satu seperti onggokan daging. Hati Guo Jing terasa dingin, ia teringat hanya dengan satu pukulan Huang Yaoshi telah membunuh kuda milik Putri Huazheng persis seperti ini. Ia buru-buru mengulurkan tangannya berusaha mengangkat sebelah bawah leher kuda, dan menahan tangan kanannya untuk memeriksa kaki depan kuda itu. Ia menemukan bahwa tulang-tulang di kaki telah patah. Ia menarik tangannya dan memeriksa ulang punggung kuda, hanya untuk menemukan bahwa tulang belakangnya juga patah. Guo Jing semakin terkejut. Ia menarik tangannya dari kuda dan melompat ngeri karena melihat tangannya berlumuran darah. Darah itu telah berubah menjadi ungu kehitaman, tetapi bau darahnya masih ada. Tampaknya darah itu sudah berumur sekitar tiga-empat hari. Cepat-cepat ia membalikkan tubuh kuda itu untuk memeriksanya lebih teliti, tetapi ia tidak melihat ada luka sedikitpun di sekujur tubuhnya. Sambil melamun ia duduk di tanah dan berpikir, “Apa mungkin ini darah San Shifu? Kemana dia?”

Sementara Guo Jing memeriksa kudam Huang Rong berdiri diam di sampingnya, baru pada saat itu ia berkata dengan nada rendah, “Jangan kuatir, mari kita selidiki urusan ini dengan teliti.” Sambil menyibakkan semak-semak bunga ia memandang ke tanah dan berjalan maju perlahan. Guo Jing juga melihat jejak tetesan darah di tanah. Tanpa berpikir bahwa ia bisa tersesat, ia menyelinap melewat Huang Rong dan dengan cemas bergegas maju mengikuti jejak darah itu.

Jejak itu kadang-kadang hilang, jadi Guo Jing beberapa kali salah belok. Huang Rong selalu teliti, ia mengamati semak terdekat atau timbunan rumput tebal di antara bebatuan untuk menemukan jejak darah. Terkadang jejak darah hilang sama sekali, maka ia mencari jejak tapak kuda atau helaian rambut kuda.

Setelah mengikuti jejak beberapa li mereka melihat di hadapan mereka ada deretan semak bunga rendah, dengan sebuah makam di tengah belukar. Huang Rong dengan cemas bergegas mendekati makam itu. Guo Jing pernah melihat ,akam ini sebelumnya ketika ia pertama kali datang ke Pulau Bunga Persik, jadi ia tahu ini adalah makam ibu Huang Rong. Ia melihat batu nisannya roboh tergeletak di atas tanah, maka ia menegakkannya kembali. Ia melihat sebaris kalimat di makam itu, ‘Tao Hua Dao Nu Zhu Feng Shi Mai Xiang Zhi Zhong’1.

Huang Rong melihat pintu makam itu terbuka dan menebak bahwa ada perubahan yang sangat radikal di pulau itu. Ia melihat rumput hijau di arah menuju ke sebelah kiri makam terinjak-injak secara kasar, sementara ada bekas guratan pedang di pintu makam. Ia mendengarkan dengan cermat sampai lama di pintu masuk dan tidak mendengar suara apa-apa dari dalam, akhirya ia membungkuk dan masuk.

Guo Jing takut kehilangan jejak, ia segera mengikuti. Di sepanjang jalan di dalam makam ia melihat batu-batu yang somplak, atau bahkan berserakan dari dinding, pertanda sebuah pertarungan sengit. Keduanya sangat takut.

Beberapa zhang berikutnya Huang Rong membungkuk untuk memungut sesuatu dari lantai. Jalanan di dalam makam itu redup, tetapi mereka bisa samar-samar mengenalinya sebagai setengah bagian dari balok timbangan milik Quan Jinfa. Balok timbangan itu terbuat dari besi, setebal lengan anak kecil, tetapi sekarang mereka melihat balok itu telah dipatahkan seseorang. Huang Rong dan Guo Jing saling berpandangan, mereka tidak berani mengatakan apa-apa. Dalam hati mereka tahu bahwa hanya ada sedikit orang di dunia ini yang sanggup mematahkan balok itu dengan tangan kosong. Di Pulau Bunga Persik, sewajarnya tidak ada orang lain selain Huang Yaoshi.

Huang Rong memegang patahan balok itu dengan tangan gemetar. Guo Jing mengambil balok itu dari tangan Huang Rong dan menyelipkannya di ikat pinggangnya. Ia membungkuk berusaha menemukan potongan lainnya. Ia merasa hatinya seolah-olah ditarik turun oleh lima belas ember penuh air, dipenuhi aneka macam pikiran kacau. Sebagian dirinya berharap ia akan menemukannya, sebagian lagi berharap tidak.

Beberapa langkah selanjutnya jalanan itu semakin gelap. Guo Jing meraba lantai dan menemukan sebuah benda bundar. Ternyata itu adalah beban timbangan, yang biasanya digunakan oleh Quan Jinfa sebagai palu terbang untuk menghantam musuh. Guo Jing menaruhnya di dalam saku. Tiba-tiba ia merasa tangannya menyentuh sesuatu yang dingin, lunak dan seperti berminyak. Rasanya seperti muka manusia. Ia melompat ngeri dan kepalanya terbentur langit-langit jalan masuk makam itu. Tanpa merasakan sakitnya, ia bergegas menyalakan api dengan kertas apinya. Ia menjerit dan menangis dengan penuh kepahitan, rasanya seperti langit berpaling ke arahnya dan bumi di bawah kakinya bergoncang, ia jatuh terjengkang dan pingsan.

Kertas api itu masih di tangan Guo Jing dan apinya berkedip. Di bawah cahaya api Huang Rong melihat Quan Jinfa dengan matanya yang terbelalak, tewas di tanah. Separuh potongan balok timbangan itu menonjol keluar dari dadanya. Semuanya menjadi jelas bagi Huang Rong sekarang. Ia menenangkan diri, dan kemudian mengumpulkan keberaniannya untuk mengambil kertas api dari tangan Guo Jing. Ia menaruh api itu di bawah hidung Guo Jing. Asap mengepul tipis, Guo Jing bersin dua kali dan tersadar dari pingsan. Ia menatap kosong ke arah Huang Rong sebelum akhirnya bangkit berdiri, keduanya berjalan memasuki makam.

Mereka melihat kondisi makam itu kacau balau, salah satu sudut meja persembahan telah hancur, tiang pikulan milik Nan Xiren tergeletak miring di atas lantai. Di sudut kiri mereka melihat seseorang terbaring di situ, ia mengenakan ikat kepala dari kain, sepatunya terlepas. Dari potongan punggungnya siapa lagi kalau bukan Zhu Cong.

Guo Jing berjalan mendekat dalam diam dan menarik tubuh Zhu Cong. Di bawah cahaya api ia melihat di sudut bibir Zhu Cong tersungging senyum samar, sementara jenazahnya sudah lama dingin. Dalam kondisi seperti itu senyumnya tampak aneh dan sekaligus sedih. Dengan suara rendah Guo Jing berkata, “Er Shifu, Dizi Guo Jing ada di sini!” Dengan lembut ia mengangkat jenazah Zhu Cong. ‘Klining, klining, klining’ terdengar rangkaian suara berdenting ringan, butiran mutiara tak terhitung banyaknya dan sejumlah batu berharga jatuh dari saku Zhu Cong, berserakan di lantai.

Huang Rong memungut segenggam penuh perhiasan untuk mengamatinya dari dekat, tapi dengan segera melemparkannya jauh-jauh. Sambil menghela nafas ia berkata, “Barang-barang ini ditaruh ayahku di sini untuk menemani ibuku.”

Guo Jing menatapnya lekat-lekat, matanya tampak seolah-olah akan mengeluarkan darah, dengan nada rendah dan suara tenang ia berkata, “Kau bilang… bilang Er Shifu-ku datang kemari untuk mencuri perhiasan-perhiasan ini? Kau berani bilang Er Shifu-ku…”

Huang Rong sama sekali tidak berkedip di bawah tatapannya, ia balas menatap Guo Jing, hanya saja tatapannya penuh keputusasaan dan kecemasan yang menyakitkan.

Guo Jing melanjutkan, “Guruku seorang pejuang dan pahlawan sejati, mana mungkin dia mencuri perhiasan ayahmu? Dia tidak mungkin… tidak mungkin datang kemari untuk merampok makam ibumu.” Tetapi ketika melihat ekspresi muka Huang Rong nada bicaranya berubah dari marah menjadi sedih. Kenyataannya adalah, perhiasan-perhiasan itu jatuh dari saku Zhu Cong, ia juga ingat guru keduanya itu dikenal sebagai Sastrawan Tangan Ajaib[^tangan-ajaib]. Ia mampu mengambil apapun dari saku siapapun tanpa kesulitan sama sekali. Mungkinkah ia betul-betul datang kesini untuk mencuri perhiasan dari dalam makam? Tidak, tidak, Er Shifu-nya selalu jujur dan terbuka, ia pasti tidak mungkin melakukan tindakan kotor dan licik, pasti ada penjelasan untuk semua ini. Guo Jing berduka dan sekaligus marah, rambut di dahinya basah oleh keringat, pikirannya gelap, ia mengepalkan injunya begitu keras sampai-sampai persendiannya gemeretak.

Huang Rong dengan lembut berkata, “Ketika aku melihat ekspresi muka Da Shifu-mu hari itu, aku merasa segalanya pasti sulit bag kita berdua untuk memiliki sesuatu yang baik bersama-sama. Kalau kau ingin membunuhku, lakukan saja. Ibuku ada di sini. Aku hanya memintamu untuk menguburkan aku di samping ibuku. Seelah menguburkan aku, cepat tinggalkan pulau ini, jangan sampai ayahku melihatmu.”

Guo Jing tidak menjawab, ia mondar-mandir dengan langkah lebar, sambil bernafas dengan berat. Tatapan Huang Rong terpaku pada lukisan ibunya di dinding. Tiba-tiba ia melihat sesuatu di wajah lukisan itu. Ia mendekat dan melihat dua batang senjata rahasia. Ia dengan hati-hati mengambilnya dan memberikannya kepada Guo Jing, itu ternyata adalah Du Ling milik Ke Zhen’E. Ia menarik tirai di belakang meja persembahan sampai terbuka lebar, memperlihatkan peti mati ibunya di belakang tirai itu. Ia berjalan ke sisi peti mati, dan tak sanggup menahan seruannya, “Ah!” ia melihat Han Baoju dan Han Xiaoying, kakak beradik sepupu itu telah tewas di belakang peti mati giok.

Tampaknya seperti Han Xiaoying menggorok lehernya sendiri, tangannya masih memegang erat-erat gagang pedang. Setengah dari tubuh Han Baoju tergeletak di atas peti mati, lima lubang jari tangan terlihat jelas di tengah-tengah dahinya.

Guo Jing berjalan melewati Huang Rong untuk mengambil jenazah Han Baoju sambil bergumam, “Aku melihat sendiri Mei Chaofeng sudah tewas, siapa lagi di dunia ini kalau bukan Huang Yaoshi yang bisa menggunakan Jiu Yin Bai Gu Zhua ini?” Ia dengan lembut meletakkan jenazah Han Baoju di lantai makam, kemudian ia kembali untuk mengangkat jenazah Han Xiaoying, dan membawanya keluar. Ia berjalan melewati Huang Rong tanpa menatapnya, seolah-olah ia bahkan tidak tahu Huang Rong ada di situ.

Hati Huang Rong berubah dingin, ia menatap kosong sampai lama. Tiba-tiba makam itu gelap gulita, kertas api itu telah habis terbakar seluruhnya. Ia biasa datang ke makam itu, tetapi sekarang ada empat jenazah di dalamnya. Ia tak bisa menahan rasa takutnya akan kegelapan dan buru-buru berlari keluar dari situ. Ia tersandung sesuatu dan hampir jatuh, tetapi ia terus berlari. Setelah tiba di luar barulah ia teringat bahwa ia pasti tersandung jenazah Quan Jinfa.

Ia memperhatikan bahwa batu nisan itu miring, ia mengulurkan tangan untuk meluruskannya. Ia hendak menutup pintu makam ketika tiba-tiba sesuatu melintas di benaknya, “Setelah membunuh Empat Orang Aneh dari Jiangnan, kenapa ayah tidak menutup pintu makam? Dia sangat mencintai ibu. Meskipun dia terburu-buru, dia tetap tidak akan membiarkan pintu terbuka lebar begini.” Satu pikiran melompat ke pikiran berikutnya, kecurigaannya mulai timbul. “Mana mungkin ayah membiarkan Empat Orang Aneh menemani ibu di dalam makam? Ini tidak mungkin. Apa mungkin ayah juga mengalami malapetaka?” Dengan segera ia mendorong batu nisan itu tiga kali ke kanan dan tiga kali ke kiri untuk menutup pintunya, dan kemudian bergegas menuju ke rumahnya.

Guo Jing telah meningggalkan makam terlebih dahulu, tetapi setelah berjalan beberapa puluh langkah, belok ke kiri dan berputar ke kanan, ia tersesat. Ia melihat Huang Rong lewat dan dengan segera mengikutinya.

Tanpa bicara keduanya berjalan melewati semak bambu, melompati kolam teratai, menuju ke arah ruang belajar di mana Huang Yaoshi tinggal. Mereka melihat bangunan itu berantakan, palangnya patah dan pilarnya bengkok.

“Ayah! Ayah!” seru Huang Rong. Bergegas masuk ia melihat meja terbalik dan sampah berserakan di sampingnya, buku-buku, pena dan tinta berserakan di lantai, sebagian dari lukisan dan puisi di dinding merosot turun, tetapi tidak terlihat bayangan Huang Yaoshi. Huang Rong terbentur meja yang terbalik, tubuhnya bergetar dan ia nyaris jatuh.

Setelah agak lama ia berhasil menenangkan diri. Ia bergegas ke ruangan para pelayan bisu-tuli, tetapi ia tidak menemukan satu pun tanda-tanda kehidupan. Abu di atas kompor sudah dingin. Kalau tidak tewas, mereka pastilah sudah pergi sejak lama. Tampaknya tak ada orang lain di pulau itu kecuali Guo Jing dan dirinya sendiri.

Pelan-pelan ia berjalan kembali ke ruang belajar, hanya untuk melihat Guo Jing sedang berdiri tak bergerak di situ, matanya menatap lurus tanpa ekspresi. Dengan suara gemetar Huang Rong berkata, “Jing Gege, kalau ingin menangis, menangislah. Cepat menangislah, lalu kita bicara!” Ia tahu jelas Guo Jing dan keenam gurunya punya hubungan seperti anak dan orang tua. Saat ini hatinya dilanda duka yang teramat sangat dalam. Tenaga dalamnya telah dilatih sampai ke tingkat yang menakjubkan, karena itu kalau ia tidak bisa melampiaskan amarah, kesedihan dan sakit hatinya, maka ia pasti akan mengalami luka dalam yang serius. Di luar dugaan ternyata Guo Jing kelihatannya tidak mendengar apa-apa, ia hanya menatap kosong ke arah Huang Rong.

Huang Rong bermaksud mendesaknya lagi, tetapi ia sendiri juga dilanda kesedihan. Ia hanya berkata, “Jing Gege,” dan tidak bisa mengatakan hal lain.

Keduanya berdiri diam sampai lama sekali. Guo Jing bergumam dengan suara rendah, “Aku tidak boleh membunuh Rong’er, aku tidak boleh membunuh Rong’er!”

Hati Huang Rong terasa pahit, ia berkata, “Guru-gurumu semuanya tewas, keluarkan saja isi hatimu.”

Guo Jing mengatakan apa yang ada di benaknya, “Aku tidak menangis, aku tidak menangis.”

Setelah percakapan singkat itu, ruangan itu kembali sunyi. Suara ombak di kejauhan samar-samar terdengar, dalam waktu singkat berbagai pikiran berkelebat di benak Huang Rong. Segala hal yang pernah dialaminya di pulau itu sejak ia masih kanak-kanak sampai berusia lima belas tahun, satu per satu melintas dengan jelas di pikirannya, dan tubuhnya gemetar lagi.

Ia mendengar Guo Jing berkata seolah-olah sedang bicara kepada diri sendiri, “Aku harus menguburkan guru-guruku dulu. Begitu, kan? Haruskah aku menguburkan guru-guruku dulu?”

“Betul,” jawab Huang Rong. “Kita harus mengubur para Shifu lebih dulu.” Ia keluar untuk menunjukkan jalan, kembali ke makam ibunya. Tanpa mengatakan apa-apa Guo Jing mengikuti di belakangnya.

Huang Rong mengulurkan tangan untuk membuka pintu makam, tiba-tiba Guo Jing bergegas mendahului, kaki kanannya terbang, menyapu ke arah bagian tengah batu nisan. Batu nisan itu terbuat dari batu granit yang sangat keras, kalaupun tendangan Guo Jing sepuluh kali lipat lebih kuat, yang bisa dilakukannya hanyalah membuat batu itu miring, dan tidak akan merusaknya sedikitpun. Kaki kanannya berdarah, tapi ia seperti tidak merasakan sakitnya. Sepasang telapak tangannya dengan ganas memukul dan mendorong batu itu. Ia menarik setengah potongan dari balok timbangan Quan Jinfa untuk memukul batu nisan itu berkali-kali. Bunga api dan debu beterbangan kemana-mana. Tiba-tiba, ‘krekk!’ balok itu patah. Menggunakan kedua tangannya Guo Jing dengan ganas memecahkan batu itu sampai terbuka, memperlihatkan batangan baja di dalamnya. Ia mengambil baja itu, berusaha mematahkannya, tetapi pintu makam telah terbuka sebelum batang baja itu bengkok.

Guo Jing memandang dengan tatapan hampa, tiba-tiba ia berteriak, “Kecuali Huang Yaoshi, siapa yang bisa membuka pintu gerbang? Siapa yang bisa menggiring guru-guruku untuk memasuki makam sialan ini? Kalau bukan dia, lalu siapa lagi? Siapa?” Ia melempar kepalanya ke belakang dan berteriak, lalu berlari memasuki makam.

Darah Guo Jing di batu nisan mengalir turun menutupi bekas jejak tangannya. Ketika melihat kebenciannya yang dalam terhadap makam ibunya, Huang Rong bertekad, “Kalau dia mau menghancurkan peti mati giok ibuku untuk melampiaskan amarahnya, aku akan mati di atasnya lebih dulu.” Ia baru hendak memasuki makam ketika Guo Jing kembali sambil membawa jenazah Quan Jinfa. Ia meletakkan jenazah itu di atas tanah, lalu kembali masuk dan berturut-turut membawa jenazah Zhu Cong, Han Baoju dan Han Xiaoying satu per satu dan meletakkan semuanya di atas tanah.

Huang Rong mencuri pandang ke arahnya dan melihat kedalaman cinta dan kekaguman di mukanya, hatinya berubah sedingin es. “Dia mencintai semua gurunya jauh lebih dalam daripada memcintai aku. Aku harus mencari ayahku, aku harus mencari ayahku!”

Guo Jing membawa keempat jenazah gurunya ke dalam hutan, beberapa ratus langkah dari makam itu, sebelum akhirnya membungkuk untuk menggali sebuah lubang. Awalnya ia menggali menggunakan pedang panjang milik Han Xiaoying, ia menggali dengan cepat, dan lebih cepat lagi sampai akhirnya pedang itu patah, bahkan gagangnya pun rusak. Tiba-tiba hawa panas timbul dari dadanya dan ia muntah darah dua kali. Ia tidak berhenti, ia menekuk pinggangnya dan menggunakan kedua tangannya untuk terus menggali, meraup tanah dan melemparkannya ke samping seperti orang gila.

Huang Rong pergi ke ruangan para pelayan bisu-tuli yang memimpin penanaman pohon dan mengambil dua buah pacul. Ia memberikan satu kepada Guo Jing dan memakai yang satunya untuk membantu menggali lubang. Tanpa mengatakan apa-apa Guo Jing merebut pacul itu dari tangannya, lalu mematahkannya menjadi dua, dan membuangnya ke tanah, sementara ia sendiri terus menggali dengan menggunakan pacul yang lainnya. Huang Rong sama sekali tidak menangis, ia hanya duduk di atas tanah sambil menonton.

Guo Jing mengerahkan tenaganya dan berhasil menggali dua lubar, yang satu besar dan yang lainnya kecil, dalam waktu yang diperlukan untuk menanak nasi. Ia menempatkan jenazah Han Xiaoying di lubang yang kecil. Ia berlutut dan membenturkan kepalanya di atas tanah beberapa kali, dan kemudian memandang wajah Han Xiaoying dengan tatapan kosong sampai lama sekali sebelum akhirnya menutupnya dengan tanah. Berkutnya, ia mengambil jenazah Zhu Cong dan hendak meletakkannya di lubang yang besar ketika tiba-tiba hatinya terusik. “Bagaimana mungkin aku membiarkan perhiasan-perhiasan kotor milik Huang Yaoshi menemani Er Shifu-ku di kuburnya?” Karena itu ia merogoh saku Zhu Cong dan mengambil mutiara, batu giok, dan batu-batu perhiasan lain satu per satu, dan tanpa melihat lagi ia membuang semuanya ke atas tanah. Terakhir ia merogoh bagian bawah saku dan mengeluarkan selembar kertas. Ia membuka lipatannya dan membaca beberapa patah kata:

Dari Jiangnan, kami orang-orang sederhana Ke Zhen'E, Zhu Cong, Han Baoju, Nan Xiren, Quan Jinfa 
dan Han Xiaoying mengunjungi Qianbei, Majikan Pulau Bunga Persik. Beberapa waktu yang lalu kami 
mendengar desas-desus bahwa dengan mengabaikan ketidakmampuan mereka sendiri, Enam Pendekar Quanzhen
hendak membereskan urusan mereka dengan Pulau Bunga Persik. Kami menyadari bahwa masalah ini 
mengandung suatu kesalahpahaman, tetapi patut kami sesalkan bahwa kami tidak mampu bertindak sebagai 
penengah bagi kedua belah pihak. Qianbei adalah seorang ahli di masa kini, rekan dari almarhum 
Wang Chongyang, Wang Zhenren. Bagaimana mungkin Qianbei membiarkan kehomatan dan prestasi sendiri jatuh 
akibat bersitegang dengan generasi yang lebih muda tentang salah dan benar? Di masa lalu Lin Xiangru 
mengalah kepada Lian Po, dan hal itu dipandang sebagai sebuah peristiwa besar dalam sejarah. Hati seorang 
pria sejati yang heroik adalah selapang lautan, dan pasti tidak akan terganggu dengan kehadiran ayam 
dan cacing. Akan tiba suatu hari di mana para murid Quanzhen merendahkan diri di hadapan Daozhu, 
dan para pejuang di seluruh dunia akan mengagumi kegagahan Qianbei yang terhormat. 
Bukankah hal demikian akan sangat baik?

Guo Jing mengenali tulisan tangan Er Shifu-nya, ia memegang kertas itu dengan tangan gemetar, ia berkata dalam hati, “Ketika Tujuh Pendekar Quanzhen bertarung melawan Huang Yaoshi di Desa Niu, Ouyang Feng melakukan serangan mendadak dan membunuh Changzhen Zi Tan Chuduan. Pada saat itu Ouyang Feng mengalihkan kesalahan kepada Huang Yaoshi. Huang Laoxie ini sungguh sombong, dia bahkan tidak mau repot membantah, jadi secara alamiah Perguruan Quanzhen membencinya sampai ke tulang sumsum. Ketika keenam guruku tahu bahwa Perguruan Quanzhen akan datang dengan kekuatan penuh untuk membalas dendam, mereka kuatir kedua belah pihak akan mengalami luka parah, jadi mereka menulis surat ini guna membujuk Huang Yaoshi untuk secara sementara menghindari konfrontasi dan memikirkan cara untuk membongkar kebenaran di kemudian hari. Guru-guruku punya niat yang baik, bagaimana mungkin bajingan tua Huang Yaoshi ini membuat ulah yang menyebabkan bencana bagi mereka?” Tapi kemudian ia berpikir, “Er Shifu sudah menulis surat ini, kenapa dia tidak mengirimkannya, tapi malah disimpan di saku? Ah, betul juga, situasinya sangat mendesak, Enam Pendekar Quanzhen datang dengan cepat, jadi mereka buru-buru datang untuk mencegah pertempuran.” Mengikuti pikiran ini ia berpikir lagi, “Huang Laoxie, Huang Laoxie, kau pasti mengira keenam guruku datang untuk membantu Quanzhen, karena itu tanpa memisahkan hijau dari merah atau hitam dari putih, kau langsung menyerang dengan tangan beracunmu.”

Ia sibuk dengan pikirannya untuk beberapa saat, lalu ia melipat kertas itu dan menyimpannya di sakunya. Tiba-tiba ia melihat beberapa karakter dicoret-coret di belakang surat itu. Ia buru-buru membolak-baliknya dan jantungnya berdegup kencang karena melihat sebuah tulisan kasar, “Urusan ini berubah jadi lebih buruk, semua orang mewaspadai…” karakter terakhir itu hanya ditulis dalam tiga coretan. Kelihatannya bencana sudah tiba, karena itu tidak diselesaikan.

Guo Jing berseru, “Ini jelas karakter ‘Timur’2. Er Shifu memperingatkan semua orang supaya waspada terhadap Si Sesat Timur. Sayang sekali dia tidak punya cukup waktu.” Ia meremas kertas itu menjadi gumpalan bola. Sambil menggertakkan rahangnya ia berkata, “Er Shifu, Er Shifu, Huang Laoxie melihat niat baikmu sebagai kejahatan.” Pegangannya mengendur dan gumpalan kertas itu jatuh ke tanah. Sambil membungkuk ia mengangkat jenazah Zhu Cong.

Huang Rong selalu mengawasi Guo Jing ketika ia membaca kertas itu. Ia melihat air mukanya berubah beberapa kali, ia tahu surat itu pastilah sangat penting. Begitu kertas itu jatuh, ia berjalan pelan mendekatinya dan memungutnya. Ia membaca tulisan di kedua sisi dan berkata dalam hati, “Keenam gurunya datang ke Pulau Bunga Persik dengan niat baik. Sayangnya Si Sastrawan Tangan Ajaib punya niat buruk, sudah terbiasa mencuri di sepanjang hidupnya, jadi waktu melihat banyak harta karun di makam ibuku dia tidak bisa menahan diri dan melanggar tabu terbesar bagi ayahku…”

Dalam duka dan penyesalannya ia melihat Guo Jing sedang membaringkan jenazah Zhu Cong. Tangan kiri Zhu Cong terkepal erat-erat. Guo Jing membukanya secara paksa dan mengambil sesuatu yang dipegang tangan itu. Huang Rong mendekat dan melihat benda itu adalah pahatan batu giok hijau berbentuk sepatu wanita, kira-kira sepanjang satu inci. Meskipun mainan, tapi bentuknya seperti sepatu asli, pahatannya sangat halus dan indah, sungguh sebuah karya seni yang mahal. Hanya saja ia belum pernah melihat sepatu itu di dalam makam ibunya sebelum ini. Ia bertanya-tanya dari mana Zhu Cong mendapatkan benda itu.

Guo Jing membolak-balik sepatu itu di tangannya untuk memeriksanya, ada karakter Zhao3 terukir di solnya, sementara karakter Bi4 terukir di sebelah dalam, kecuali kedua karakter itu tidak ada hal lain yang istimewa tentang sepatu itu. Guo Jing sangat membenci semua harta karun itu, ia membuang sepatu itu ke tanah. Ia menatap kosong selama beberapa waktu, lalu secara perlahan mengangkat jenazah Zhu Cong, Han Baoju dan Quan Jinfa, dan meletakkan semuanya di dalam lubang. Ia hendak menutup lubang itu dengan tanah, tetapi ketika memandang wajah ketiga gurunya ia tidak tega melakukannya. Ia berseru, “Er Shifu, San Shifu, Liu Shifu, kalian… kalian sudah tewas!” Suaranya lembut, dengan nada yang sama seperti yang biasa digunakannya ketika berbicara dengan para gurunya di masa lalu.

Setelah kira-kira setengah harian ia melirik tumpukan harta karun di sisi lubang itu, amarahnya meluap. Dengan kedua tangannya ia meraup semuanya dan berjalan dengan mantap menuju ke makam ibu Huang Rong. Huang Rong kuatir ia akan merusak peti mati giok ibunya. Ia mengejar dengan cemas, sambil mengulurkan tangan ia menghadang di pintu makam. “Kau mau apa?” tanyanya dengan menantang.

Guo Jing tidak menjawab, lengan kirinya mendesak Huang Rong dengan lembut ke samping, kedua tangannya melemparkan harta benda itu ke dalam makam. Srangkaian suara berdenting terdengar ketika semua perhiasan itu menyentuh lantai. Huang Rong melihat sepatu giok hijau itu jatuh di dekat kakinya, ia membungkuk untuk memungutnya dan berkata, “Ini bukan milik ibuku.” Ia menyerahkan kembali sepatu itu kepada Guo Jing. Guo Jing hanya menatapnya dengan pandangan kosong, mengabaikannya. Huang Rong menyimpan sepatu itu di sakunya sendiri. Guo Jing berbalik dan kembali ke lubang yang digalinya, ia menguruk tanah dan menguburkan jenazah ketiga gurunya.

Guo Jing sibuk setengah harian. Langit secara berangsur-angsur menjadi gelap. Huang Rong masih tetap tidak melihatnya menangis, ia jadi makin kuatir. Ia berpikir kalau ia meninggalkannya sendirian maka Guo Jing akan menangis, jadi ia kembali ke rumahnya untuk mengambil beberapa potong ikan asin dan ham, lalu memasak beberapa makanan sederhana. Ia meletakkan semuanya di dalam keranjang dan kembali ke tempat Guo Jing, hanya melihat bahwa Guo Jing masih tetap berdiri diam di dekat makam para gurunya. Huang Rong memerlukan waktu sekitar satu jam untuk menyiapkan makanan itu, tapi Guo Jing bukan saja tidak bergerak selangkah pun, ekspresi mukanya juga tidak berubah sama sekali.

Melihat Guo Jing berdiri seperti paung batu di kegelapan, Huang Rong merasa takut dan juga kuatir. “Jing Gege, bagaimana perasaanmu?” panggilnya. Tetapi Guo Jing tidak menyahut, bahkan sama sekali tidak mempedulikannya. Huang Rong memanggil lagi, “Ke sinilah dan makan sesuatu, kau pasti lapar sepanjang hari!”

“Aku lebih baik mati kelaparan daripada makan apa pun di Pulau Bunga Persik,” kata Guo Jing.

Mendengarnya bicara Huang Rong merasa agak lega, ia kenal betul temperamen Guo Jing yang keras kepala. Ia patah hati, dan sakit hati, sekali ia berkata tidak mau makan apa-apa di pulau ini, maka ia pasti tidak akan makan. Karena itu ia pelan-pelan meletakkan keranjangnya ke atas tanah dan duduk.

Yang seorang berdiri dan yang lain duduk, waktu berlalu dalam diam. Bulan purnama muncul dari laut dan secara perlahan-lahan bergerak ke atas kepala mereka. Makanan di dalam keranjang telah menjadi dingin, sedingin suasana hati pasangan itu.

Dalam hembusan angin dingin di bawah cahaya bulan, di antara suara ombak yang samar-samar memecah pantai, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tangisan. Suara itu terasa penuh duka, seperti lolongan serigala atau auman harimau, tetapi juga seperti suara manusia. Suara itu terbawa oleh angin, maka ketika angin berhenti bertiup, suara itu juga menghilang. Huang Rong menegakkan telinganya untuk mendengarkan lebih cermat. Ia samar-samar mengenali suara itu sebagai suara seseorang yang sedang bergumul hebat dalam kesakitannya, hanya tidak jelas apakah suara itu milik manusia ataukah binatang buas. Setelah menentukan dari mana suara itu berasal, ia menggerakkan kakinya menuju ke sumber suara.

Sebenarnya ia ingin mengajak Guo Jing, tetapi kemudian ia berubah pikiran. “Kemungkinan besar ini bukan sesuatu yang baik, hanya akan menambah kecemasannya.” Kegelapan meliputinya dari segala penjuru, ia sebenarnya takut pergi sendirian. Untungnya ia mengenal semua rerumputan dan pepohonan yang ada di Pulau Bunga Persik dengan sangat baik, jadi meskipun jantungnya berdegup kencang, ia mengumpulkan semua keberaniannya untuk terus melangkah.

Ia baru melangkah sekitar beberapa puluh langkah ketika tiba-tiba ia merasakan hembusan angin di sisinya. Guo Jing lewat di dekatnya dan berlari di depannya. Ia tidak kenal jalan, maka dari itu dalam waktu singkat ia pun tersesat. Huang Rong melihat tangannya memukul-mukul dan kakinya menendang-nendang, berusaha menghancurkan setiap pohon atau semak-semak yang menghalangi jalannya, seolah-olah ia kehilangan ingatan. “Ikuti aku,” kata Huang Rong.

“Si Shifu, Si Shifu!” panggil Guo Jing. Ia mengenali suara guru keempatnya, Nan Xiren.

Hati Huang Rong berubah dingin, ia berpikir, “Akan sangat aneh kalau Si Shifu-nya melihatku dan tidak ingin membunuhku.” Saat itu ia sudah mengabaikan segala konsekuensi, ia tahu pasti bencana besar ada di depannya, tapi ia tidak berusaha melarikan diri dari hal itu. Ia memimpin Guo Jing memasuki hutan lebat di sebelah timur pulau. Mereka melihat di bawah pohon persik, seorang laki-laki sedang berguling-gulingan dengan tubuh terpelintir.

Guo Jing menjerit dan bergegas maju untuk memeluknya. Muka Nan Xiren tampak tersenyum, mulutnya mengeluarkan suara ‘heh, heh’. Guo Jing takut tetapi sekaligus gembira. Tiba-tiba tangisnya meledak. Ia menangis sambil memanggil-manggil, “Si Shifu! Si Shifu!”

Nan Xiren tidak mengatakan apa-apa, ia memukul Guo Jing dengan bagian belakang tangannya. Guo Jing kaget, secara naluriah ia menunduk untuk mengelak. Ketika telapak tangannya tidak menemui sasaran, kepalan kiri Nan Xiren menghantam. Kali ini Guo Jing mengira gurunya sedang menghukumnya, ia sangat gembira, jadi ia membiarkan tinju Nan Xiren mengenainya. Di luar dugaan tinju Nan Xiren mengandung tenaga dahsyat yang sangat mengejutkannya. ‘Bukk!’ Guo Jing terlempar bergulingan di tanah.

Sejak kecil Guo Jing telah berlatih teknik pukulan bersama Nan Xiren, entah ratusan atau bahkan ribuan kali, ia tahu pasti kekuatan tinju dan telapak tangan Nan Xiren, ia terperanjat ketika melihat kekuatan Nan Xiren tiba-tiba meningkat beberapa kali lipat. Guo Jing baru saja bangkit berdiri ketika kepalan Nan Xiren datang lagi. Guo Jing masih tidak ingin mengelak. Kepalan itu mengandung tenaga yang lebih dahsyat lagi. Guo Jing melihat bintang-bintang menari di depan matanya, ia hampir pingsan. Nan Xiren membungkuk untuk memungut sebuah batu besar, dan dengan ganas menghujamkannya ke batok kepala Guo Jing. Kalau ia tidak juga menghindar, maka bisa dipastikan tengkoraknya akan pecah dan isi otaknya berceceran.

Dari samping Huang Rong melihat situasi kritis, ia cepat-cepat melayang maju dan mendorong lengan Nan Xiren dengan tangan kirinya. Nan Xiren, dengan batu masih di tangannya, jatuh ke tanah. Mulutnya mengeluarkan suara ‘heh, heh’ dan yang mengejutkan adalah, ia tidak kembali bangkit.

“Kenapa kau mendorong Si Shifu-ku?” seru Guo Jing marah.

Satu-satunya tujuan Huang Rong adalah untuk menyelamatkan Guo Jing, ia tidak mengira bahwa Nan Xiren ternyata selemah itu. Begitu ia mendorong, ia buru-buru menahan tangannya untuk membantu Nan Xiren bangkit. Di bawah cahaya bulan ia melihat wajahnya tersenyum, tetapi senyum itu mirip senyuman seorang aktor yang berlebihan di panggung sandiwara, mukanya tampak sangat mengerikan. Huang Rong menjerit ngeri dan segera menarik tangannya, ia tidak berani menyentuh tubuhnya. Mendadak Nan Xiren berbalik dan menghantam bahu kiri Huang Rong dengan kepalannya. Keduanya serempak berteriak kesakitan.

Meskipun tubuhnya dilindungi rompi kulit landak yang lembut, tetapi pukulan itu sungguh menyakitkan dan membuatnya terhuyung mundur beberapa langkah. Darah menetes dari kepalan Nan Xiren yang tertusuk duri dari rompi Huang Rong. Di tengah teriakan kedua orang itu, Guo Jing berseru, “Si Shifu!”

Nan Xiren menatap Guo Jing seolah-olah ia baru saja mengenalinya, ia membuka mulut untuk berbicara, tetapi meskipun otot-otot di sekitar mulutnya berkedut beberapa kali, ia tetap tidak bisa mengatakan apa-apa. Mukanya nampak tersenyum, tetapi matanya tampak putus asa.

“Si Shifu,” kata Guo Jing. “Istirahat dulu. Apapun yang ingin kau katakan, itu bisa menunggu nanti.”

Nan Xiren berusaha keras untuk bicara, ia mengangkat lehernya untuk mendongak, tapi bibirnya tidak bisa mengucapkan kata-kata. Setekah menegang sejenak, kepalanya tertunduk, menatap tanah.

“Si Shifu!” panggil Guo Jing beberapa kali. Ia bergegas maju untuk mengangkat Nan Xiren.

Dari samping Huang Rong bisa melihat dengan jelas. “Gurumu sedang menulis,” katanya.

Guo Jing menengok ke samping dan melihat jari telunjuk kanan Nan Xiren sedang menulis dengan perlahan di atas tanah yang lunak. Di bawah cahaya bulan ia melihat Nan Xiren menulis karakter demi karakter, “Yang… membunuhku… adalah…”

Huang Rong memperhatikan bahwa ia menulis dengan penuh kesulitan, jantungnya berdebar-debar, tiba-tiba ia teringat sesuatu, “Dia sedang berada di Pulau Bunga Persik, seorang dungu sekalipun pasti tahu bahwa ayahku yang membunuhnya. Tapi dia sedang sekarat dan masih memakai sisa-sisa tenaganya untuk menuliskan nama si pembunuh, apa mungkin pembunuhnya orang lain?” Ia mengawasi jari tangan Nan Xiren dengan penuh perhatian, ia melihat jari itu bergerak lebih lambat seolah-olah kehilangan tenaganya, maka ia berdoa dalam hati, “Kalau dia ingin menulis nama orang lain, tolong, tolong, biarkan dia cepat-cepat menulisnya.”

Nan Xiren sedang menulis karakter kelima, ia mulai dari sudut kiri atas dan menuliskan karakter kecil ‘sepuluh’5, kemudian jarinya gemetar dan berhenti bergerak sama sekali.

Guo Jing sedang berlutut di tanah, memeluk gurunya. Ia merasa tubuh Nan Xiren bergetar hebat, lalu ia berhenti bernafas. Ia melihat karakter ‘Shi’ kecil itu dan berseru, “Si Shifu, aku tahu kau akan menulis karakter ‘Huang’, kau akan menulis ‘Huang’!6” Ia melemparkan diri ke tubuh Nan Xiren dan meratap penuh kepahitan, Dalam tangisan itu ia menumpahkan segala duka dan kekecewaan yang telah memenuhi hatinya sepanjang hari. Ia menangis untuk beberapa saat, lalu tubuhnya jatuh di atas tubuh Nan Xiren yang tak bernyawa, ia pingsan.

Tanpa mengetahui berapa lama waktu telah berlalu, ia bangun di bawah cahaya matahari pagi. Ia bangkit berdiri dan menyapu pandangannya ke sekelilingnya. Huang Rong telah pergi, dan jenazah Nan Xiren masih tergeletak di tanah dengan mata terbuka. Guo Jing teringat sebuah pepatah ‘mati tanpa menutup mata’, ia tak kuasa menahan air mata menetes di pipinya lagi. Ia mengulurkan tangan untuk menutup mata Nan Xiren. Tiba-tiba ia teringat sebelum meninggal ekspresi muka Nan Xiren sangat aneh, ia bertanya-tanya cedera macam apa yang dialaminya sampai sedemikian fatal. Karena itu ia melepaskan pakaian Nan Xiren untuk memeriksa sekujur tubuhnya. Aneh sekali, kecuali tangan yang tertusuk duri dari rompi Huang Rong semalam, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki, ia tidak dapat menemukan bekas luka apa pun di tubuh Nan Xiren. Baik dadanya maupun punggungnya tidak terdapat tanda-tanda cedera akibat pukulan yang mengandung tenaga dalam. Kulitnya juga tidak kehitaman ataupun hangus terbakar, jadi tidak ada tanda-tanda keracunan juga.

Guo Jing mengangkat jenazah Nan Xiren untuk menguburkannya bersama dengan Zhu Cong dan yang lain, tetapi jalanan di hutan itu sangat aneh, sehingga setelah beberapa puluh langkah ia kehilangan arah. Ia tak punya pilihan selain putar balik dan menggali sebuah lubang di bawah pohon persik untuk menguburkan Nan Xiren.

Guo Jing tidak makan sepanjang hari, perutnya sakit karena lapar. Ia ingin menemukan jalan kembali ke tepi pantai dan menemukan perahu untuk kembali ke Zhong Yuan, tapi makin jauh ia berjalan, ia jadi makin bingung. Ia duduk beristirahat sejenak, lalu bangkit kembali dengan semangat baru dan kembali berjalan. Kali ini ia menemukan akal, tak peduli ia menemukan jalan keluar atau tidak, ia akan tetap memandang ke arah matahari di sebelah timur.

Setelah berjalan beberapa waktu di hadapannya adalah sebuah hutan lebat, tampaknya tak bisa dilewati. Tak ada yang aneh dengan hutan itu, hanya saja setiap pohon dipenuhi rotan yang panjang dan berduri, sulit baginya untuk menginjakkan kaki. Ia memutuskan, “Aku tidak akan kembali hari ini!” dan kemudian melompat ke atas pohon.

Ia baru berjalan selangkah ketika ‘krekk!’ sudut celananya robek terkena duri dan betisnya berdarah karena beberapa goresan. Ia berjalan dua langkah lagi, dan kaki kirinya terlilit sebuah rotan panjang. Ia mengambil belatinya dan memotong rotan itu. Ia mengangkat kepalanya dan melihat ke kejauhan ternyata deretan rotan itu sangat padat, tampaknya tak berujung. Ia berseru, “Meskipun kakiku dipotong, aku harus meninggalkan pulau terkutuk ini!”

Ia baru akan melompat ke depan ketika tiba-tiba Huag Rong berteriak dari bawah, “Turun, aku akan mengantarmu keluar.” Ia memandang ke bawah dan melihat Huang Rong sedang berdiri di bawah sebuah pohon rotan di sebelah kirinya.

Guo Jing tidak menjawab, ia melompat turun dan melihat muka Huang Rong pucat pasi, seolah-olah kehabisan darah. Ia mau tak mau terkejut, ia ingin bertanya apakah lukanya kambuh, tapi ia memaksa diri untuk menggigit bibirnya sendiri. Huang Rong melihat bahwa ia ingin mengatakan sesuatu, tapi begitu mulutnya mulai bergerak ia memalingkan kepala ke tempat lain. Ia menunggu beberapa saat tanpa melihat tanggapan apapun dari Guo Jing. Ia mendesah dan berkata, “Ayo kita pergi!” Keduanya berjalan di sepanjang jalan menuju ke timur.

Cedera Huang Rong belum sembuh total, dan ia menghadapi malapetaka yang berat, ia terus-terusan membolak-balikkan tubuhnya ketika tidur semalam. Ia tahu bahwa ia tidak bisa menyalahkan Jing gege-nya, ia tidak bisa menyalahkan ayahnya, dan lebih lagi ia tidak bisa menyalahkan Enam Orang Aneh dari Jiangnan. Ia hanya membenci diri sendiri, mengapa ia harus mengalami hukuman dari Surga seperti ini? Apakah Surga membenci orang yang hidup bahagia?

Ia mengantar Guo Jing menuju ke pantai, dalam hati ia tahu bahwa kali ini Guo Jing tidak akan kembali, akan sangat sulit bagi mereka untuk bertemu kembali, maka ia merasa setiap langkah seolah membawa pergi hatinya.

Di seberang hutan rotan itu mereka bisa melihat pantai. Huang Rong merasa takut, ia tak kuasa memcegah tubuhnya gemetar, buru-buru ia menggunakan tongkat bambu untuk menopang dirinya, tapi di luar dugaan lengannya tak punya kekuatan lagi, tongkat bambu itu miring dan ia jatuh ke tanah.

Secara naluriah Guo Jing mengulurkan tangan kanannya untuk membantu, tetapi ketika jarinya akan menyentuh lengan Huang Rong, ketidakadilan yang diderita guru-gurunya berkelebat di benaknya. Tangan kirinya bergerak dan ‘plak!’ tangan itu menampar pergelangan kanannya sendiri. Ia menggunakan Shuang Shou Hubo ajaran Zhou Botong. Begitu tangan kanannya terkena, ia membalikkan telapak tangannya dan segera melompat mundur.

Tanpa menerima bantuan Huang Rong jatuh ke tanah. Ketika Guo Jing melihatnya jatuh, penyesalan, cinta, duka, rasa tidak senang dan segala emosi lainnya berkecamuk di dalam hatinya. Meskipun hatinya terbuat dari batu, ia tak dapat menahan diri untuk membungkuk dan mengangkatnya. Ia melihat ke segala penjuru guna mencari tempat yang nyaman supaya Huang Rong bisa berbaring, pada saat itulah ia melihat kain hijau berkibar tertiup angin di atas batu di sebelah timur laut dari posisinya.

Huang Rong membuka mata dan melihat tatapan Guo Jing melekat pada sesuatu di kejauhan. Ia mengikuti arah pandangannya dan juga melihat kain hijau itu. “Ayah!” serunya terkejut. Guo Jing menurunkannya, dan bergandengan tangan mereka berari ke arah batu itu. Mereka melihat kain itu adalah jubah panjang, tersangkut di cekungan batu, mereka juga melihat sebuah topeng kulit manusia tergeletak di dekatnya. Jelas sekali semua itu adalah milik Huang Yaoshi.

Huang Rong sungguh kaget, ia membungkuk untuk memungut jubah itu dan dengan jelas melihat cap tangan berdarah di kerah jubah, dengan jari-jarinya meninggalkan jejak berliku. Tampaknya sangat mengerikan.

Guo Jing teringat. “Setelah membunuh San Shifu dengan menggunakan Jiu Yin Baigu Zhua, Huang Yaoshi pasti membersihkan jari-jarinya menggunakan pakaian ini.”

Semula ia sedang menggandeng tangan Huang Rong, tapi sekarang darahnya mendidih di dalam dada, ia melepaskan tangan Huang Rong, merebut jubah itu, dan dengan suara ‘krekk’ ia merobek jubah itu menjadi dua. Ia melihat salah satu sudut jubah itu robek, kelihatannya seperti potongan kain hijau yang diikatkan di kaki elang. Jejak darah itu begtu jelas sehingga di bawah matahari yang cerah tampak seolah-olah telapak tangan itu hendak melompat keluar dari kain jubah dan menampar muka seseorang. Tetapi hal itu memancing amarah Guo Jing lebih jauh lagi, ia merasa seakan-akan ia bakal jadi gila karena sedih dan marah. Ia menyelipkan jubahnya sendiri di ikat pinggang dan menceburkan diri ke air menuju ke sebuah perahu layar.

Para pelayan bisu-tuli sudah lama pergi entah kemana, menghilang tanpa jejak. Tanpa menengok kembali ke arah Huang Rong ia menghunus belatinya dan memotong tali, mengangkat jangkar dan berlayar di laut.

Huang Rong mengawasi perahu itu berlayar ke barat. Mula-mula ia berharap bahwa Guo Jing akan berubah pikiran, membelokkan kemudi dan kembali ke pulau, menjemputnya untuk pergi bersama, tetapi kemudian ia melihat perahu itu semakin lama semakin kecil, sementara hatinya makin lama makin dingin. Ia menatap kosong ke arah laut sampai perahu itu menghilang di cakrawala. Tiba-tiba ia teringat bahwa ia sendirian di pulau itu, Jing Gege telah pergi, dan ia tidak tahu apakah ayahnya akan pulang atau tidak. Bagaimana ia akan melewati hari-harinya? Akankah ia terus berdiri di pantai ini selamanya? Rong’er, Rong’er, kau jangan mengambil jalan pintas dan mati!

Guo Jing sendirian mengemudikan perahu meninggalkan Pulau Bunga Persik, menuju ke barat. Ia telah berlayar beberapa puluh li ketika mendengar suara pekikan elang yang cemas di atas kepalanya. Sepasang elang itu mengikutinya dan bertengger di gagang kemudi. Gu Jing berpikir, “Elang-elang ini mengikuti aku, Rong’er sendirian di pulau, dia pasti sangat kesepian!” Dikalahkan oleh rasa kasihan dan penyesalan ia secara spontan memutar balik kemudi, ingin membawanya pergi bersama. Tetapi setelah berlayar sebentar ia teringat, “Da Shifu menyuruhku memenggal kepala Huang Yaoshi dan Rong’er sebelum aku boleh datang menemuinya. Da Shifu, Er Shifu dan yang lain datang ke Pulau Bunga Persik dan jatuh ke tangan beracun Huang Yaoshi. Meskipun Da Shifu buta, dia bisa mendengar dengan jelas. Karena suatu alasan dia beruntung bisa lolos dan tetap hidup, Dia mengangkat tongkatnya untuk membunuh Rong’er. Dia mau membunuh Rong’er, apa yang telah dilakukan Rong’er? Aku tidak bisa membunuh Rong’er. Er Shifu dan yang lain bukan dibunuh oleh Rong’er. Tapi bagaimana aku bisa terus bersama dengan dia? Aku harus memenggal kepala Huang Yaoshi dan membawanya menemui Da Shifu. Kalau aku bukan tandingan Huang Laoxie, maka aku akan membiarkannya membunuhku.” Dengan segera ia memutar balik kemudi lagi, membuat sebuah lingkaran di permukaan laut, sekali lagi mengarah ke barat.

Malam pada hari ketiga perahu itu tiba di pantai. Karena kebenciannya pada segala sesuatu yang berasal dari Pulau Bunga Persik ia mengambil jangkar dan menghantam dasar perahu sebelum melompat ke pantai. Ia mengawasi ketika perahu itu perlahan-lahan miring ke sisi dan tenggelam di dasar laut. Ia tak kuasa menahan rasa kehilangan dalam hatinya. Meninggalkan pantai ia berjalan ke barat. Ia menemukan rumah penduduk dan membeli nasi untuk dimakan. Setelah menemukan arah yang tepat ia langsung menuju Jiaxing.

Sore itu ia bermalam di tepi sungai Qiantang. Ia melihat pantulan terang bulan di permukaan sungai, seperti sebuah roda emas besar terapung di atas air. Mendadak ia melompat kaget. Ia kuatir terlambat menghadiri adu ilmu silat di Kedai Hujan Berkabut, Jiaxing. Dengan segera ia bertanya kepada pemilik rumah tempatnya bermalam, dan mendapat kenyataan bahwa hari ini adalah tanggal tiga belas bulan delapan. Buru-buru ia menyeberangi sungai malam itu juga. Ia membeli seekor kuda yang sehat dan mencambuk kuda itu untuk berpacu cepat, dan tiba di Jiaxing pada siang hari keesokan harinya.

Sejak masa kanak-kanaknya ia telah mendengar keenam gurunya mengenang pertarungan mereka melawan Qiu Chuji, bagaimana mereka berlomba minum arak dari guci tembaga raksasa di Zui Xian Lou7, keindahan kungfu mereka dan kepahlawanan yang meliputi pertarungan itu. Mereka berenam suka menceritakan kisah itu dengan senang hati. Karenanya begitu memasuki pinu gerbang selatan ia menanyakan di mana letak Gedung Dewa Mabuk itu.

Zui Xian Lou terletak di tepi Danau Selatan — Nan Hu. Guo Jing tiba di depan gedung itu. Ia memandang ke atas dan melihat penampilannya persis seperti apa yang diceritakan oleh Han Xiaoying. Gedung itu telah tercetak dalam-dalam di benaknya selama belasan tahun, dan hari ini ia pertama kali melihatnya dengan matanya sendiri. Ia memperhatikan keindahan ukiran di atapnya, sungguh sebuah gedung yang indah. Di depan gedung itu berdiri sebuah papan besar dari kayu yang bertuliskan Tai Bai Yi Feng, yang dikutip dari puisi karya Li Bai. Keempat karakter itu diukir di atas papan kayu itu. Sementara di atas pintu masuk utama ada sebuah papan nama Zui Xian Lou, ditulis oleh Su Dongpo, yang adalah seorang ahli kaligrafi terkenal Dinasti Song. Tulisan itu ditulis dengan warna emas, berkilau di bawah cahaya matahari.

Jantung Guo Jing berdegup kencang, berjalan dan melompat ia menuju ke lantai atas. Seorang pelayan kedai arak menyambutnya dan berkata, “Tamu yang terhormat, silakan memakai lantai dasar, karena lantai atas ini sudah dipesan oleh tamu lain.”

Guo Jing baru hendak menjawab ketika tiba-tiba seseorang memanggilnya, “Jing’er, kau datang!” Guo Jing menengok dan melihat seorang pendeta Tao sedang duduk sambil minum arak, jenggot panjangnya mencapai dada, mukanya cerah kemerahan. Ternyata itu Changchun Zi, Qiu Chuji.

Guo Jing bergegas maju dan membungkuk ke lantai, “Qiu Daozhang!” sapanya. Suaranya agak tersedak.

Qiu Chuji mengulurkan tangan untuk membangkitkannya, ia berkata, “Kau kepagian sehari, itu bagus sekali. Aku juga kepagian sehari. Kupikir karena besok kita akan bertarung melawan Peng Lianhu, Sha Tongtian dan lainnya, maka aku ingin mampir ke sini untuk minum arak dan mengenang masa lalu dengan keenam gurumu. Enam gurumu juga sudah tiba? Aku sudah menyiapkan meja untuk mereka.”

Guo Jing melihat ada sembilan meja di lantai atas ini. Kecuali meja Qiu Chuji, yang dipenuhi makanan dan arak, kedelapan meja lainnya hanya punya sepasang sumpit dan sebuah cawan arak. Qiu Chuji berkata, “Delapan belas tahun yang lalu aku bertemu ketujuh gurumu untuk pertama kalinya di tempat ini. Mereka mengatur meja persis seperti ini. Meja yang satu ini diisi dengan makanan tanpa daging untuk Jiaomu Dashi, sayangnya aku sudah tidak bisa lagi ketemu dia dan Wu Shifu-mu.” Ia terdengar sangat berduka. Guo Jing memalingkan mukanya, tidak berani menatapnya secara langsung.

Qiu Chuji tidak memperhatikan apa-apa, ia terus bicara, “Hari itu kami berlomba minum dari guci tembaga. Begitu enam gurumu tiba kita bisa minum lagi persis seperti masa lalu.”

Guo Jing memalingkan kepalanya melihat ke arah guci tembaga raksasa di dekat tirai. Sebelah luarnya tampak hijau kehitaman karena karat tembaga, tetapi sebelah dalamnya dicuci dan disikat bersih-bersih, dan diisi sampai meluap dengan arak berkualitas tinggi, aroma harum arak mengusik hidungnya. Guo Jing menatap kosong ke arah guci tembaga itu sampai lama, lalu ia mengalihkan perhatiannya pada delapan meja kosong. Ia berpikir, “Kecuali Da Shifu, tak seorang pun bisa menikmati perjamuan lagi. Seandainya saja aku bisa melihat tujuh orang guruku duduk bersama, minum arak, bicara dan tertawa, mabuk sepanjang hari, aku akan sangat bahagia meskipun aku sebentar lagi mati.”

Ia mendengar Qiu Chuji melanjutkan, “Pada saat itu kami sepakat bahwa pada tanggal dua puluh empat bulan ketiga tahun ini, kau dan Yang Kang akan mengadu ilmu silat di sini. Aku menghormati tujuh gurumu sebagai pejuang gagah berani berhati mulia. Aku berharap kau akan menang dan mengangkat nama Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan di dunia persilatan. Aku tidak punya cukup waktu untuk membina Yang Kang. Boleh saja tidak mengajarinya ilmu silat yang hebat, tapi aku seharusnya mengajarinya untuk menjadi setia dan gagah berani. Untuk ini aku sangat malu kepada Paman Yang-mu. Meskipun dia sekarang sudah bertobat dari jalannya yang salah, tapi pengaruh jahat dalam hidupnya akan sulit disingkirkan sampai bersih. Kalau aku memikirkan hal ini, hatiku penuh dengan penyesalan.”

Guo Jing ingin menceritakan tentang kelakuan tercela Yang Kang, tapi itu cerita yang sangat panjang, karena itu ia tak tahu dari mana harus mulai. Sementara itu Qiu Chuji melanjutkan, “Dalam hidup seseorang, kemampuan sastra atau seni bela diri bukan segalanya. Yang paling utama adalah dua karakter — kesetiaan dan patriotisme. Kalaupun kungfu Yang kang lebih baik darimu seratus kali lipat, bicara soal karakter, adu ilmu silat di Zui Xian Lou tetap dimenangkan oleh guru-gurumu. Hehe… Qiu Chuji kalah dengan puas hati.” Ia tertawa keras-keras. Tiba-tiba ia melihat air mata Guo Jing menetes seperti hujan, ia terkejut. “Ah, kenapa kau begitu sedih?”

Guo Jing mundur selangkah, ia embungkuk ke tanah dan meratap, “Guruku… guruku… lima guruku yang baik sudah meninggal.”

Qiu Chuji terperanjat. “Apa?!?” ia hampir berteriak.

Masih menangis, Guo Jing berkata, “Kecuali Da Shifu, lima orang lainnya… mereka tewas.”

Kedua kalimat itu menyengat Qiu Chuji seperti petir di siang bolong. Ia terdiam lama sekali. Ia berharap untuk bertemu dengan beberapa orang sahabat lama dan menikmati saat-saat yang indah bersama, tak disangka tiba-tiba malapetaka datang menimpa. Meskipun hari-harinya bersama dengan Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan tidak banyak, selama delapan belas tahun belakangan ini ia sudah menganggap mereka sebagai sahabat seumur hidup. Sekarang ia mendengar kabar mengejutkan ini, hatinya jadi penuh duka. Ia berjalan ke pagar dengan langkah lebar, ia memandang ke arah danau yang luas di hadapannya, melemparkan kepalanya ke belakang ia menangis lama. Satu per satu wajah Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan berkelebat di benaknya. Ia berpaling dan mengangkat guci tembaga itu, dengan suara nyaring ia berteriak, “Teman-temanku sudah tewas, untuk apa aku menyimpanmu?” Sambil mengirimkan tenaga ke tangannya ia melemparkan guci itu jauh-jauh. Guci tembaga itu jatuh ke tengah danau dengan suara keras, percikan air beterbangan kemana-mana. Memalingkan kepalanya ke arah Guo Jing ia memegang lengan Guo Jing sambil bertanya, “Bagaimana mereka tewas? Katakan!”

Guo Jing hendak menjawab ketika dengan sudut matanya ia melihat seseorang diam-diam memasuki ruangan, ia mengenakan pakaian hijau, mukanya sangat elegan dan tanpa beban, orang itu adalah majikan Pulau Bunga Persik, Huang Yaoshi. Guo Jing melihat sampai dua kali, ia takut keliru mengenali orang. Ia menatapnya lekat-lekat dengan penuh perhatian. Siapa lagi kalau bukan Huang Yaoshi!

Huang Yaoshi juga melihatnya dan terkejut. Tiba-tiba ia merasakan terpaan angin tajam di mukanya, Guo Jing menyerangnya dari atas meja dengan meggunakan Kang Long You Hui. Dalam satu jurus itu Guo Jing mengerahkan seluruh tenaganya, kekuatannya sangat menakjubkan. Huang Yaoshi bergerak sedikit ke samping, tangan kirinya meluncur dan mendorong telapak tangan Guo Jing ke samping. Terdengar serangkaian suara benda patah, Guo Jing tidak bisa menahan serangan itu, ia meluncur menembus papan kayu dan jatuh ke lantai bawah.

Hari itu sungguh sial bagi Gedung Dewa Mabuk, Guo Jing mendarat di sebuah rak berisi mangkuk dan cangkir. ‘trang! trang! trang! trang!’ mangkuk, piring-piring, baki, cawan arak, semuanya hancur berkeping-keping.

Siang itu, ketika pengelola gedung yang sudah tua mendengar pesanan Qiu Chuji supaya mengatur meja sedemikian rupa, juga melihatnya membawa guci tembaga raksasa ke lantai atas, ia teringat apa yang pernah terjadi delapan belas tahun yang lalu, ia juga sudah muak tentang hal itu. Sekarang lantai atas dan bawah berantakan, ia tak kuasa menahan diri dan menjerit penuh kepahitan. Ia berdoa dengan segenap hati, “Tolonglah orang-orang yang kesusahan, ya Dewi Maha Pengampun, Kaisar Giok Di Surga, Dewa Kota…”

Guo Jing kuatir pecahan mangkuk dan perabot dapur itu melukai telapak tangannya, karenanya ia tidak berani mendorong tubuhnya untuk bangkit. Ia memutar pinggangnya dan melompat ke atas, dan menerjang kembali ke lantai atas dengan segera. Ia hanya melihat sosok abu-abu berkelebat, diikuti oleh sosok hijau, Qiu Chuji dan Huang Yaoshi satu per satu melompat turun melalui jendela. Guo Jing berpikir, “Kungfu bajingan tua ini di atasku, aku tidak bisa melawannya dengan tangan kosong.” Ia menghunus dua senjata dari pinggangnya, dengan mulut ia menggigit pisau pemberian Qiu Chuji, di tangan kanannya ia menghunus golok emas pemberian Genghis Khan. Ia berpikir, “Meskipun aku harus taruhan segalanya untuk melawan kepalan dan tendangan bajingan tua ini, aku harus membuat beberapa lubang di tubuhnya.” Ia menerjang ke jendela dan melompat turun.

Saat itu jalanan dipenuhi pejalan kaki, mereka mendengar ada orang melompat dari gedung dan bergegas datang ke situ untuk menonton. Mendadak mereka melihat ada orang lain melompat melalui jendela dengan belati berkilau di tangan, kerumunan orang itu menjerit kaget, mereka saling dorong sehingga beberapa orang jatuh. Guo Jing tidak bisa melihat Qiu Chuji dan Huang Yaoshi akibat kerumunan orang. Ia cepat-cepat mengambil pisau dari mulutnya dan bertanya kepada seseorang di dekatnya, “Kemana perginya dua orang yang tadi melompat dari jendela itu?”

Orang tua itu terkejut. Ia berkata, “Tuan pendekar, mohon ampuni aku, itu bukan urusanku.”

Guo Jing mengulangi pertanyaannya, tapi orang tua itu begitu ketakutan sampai-sampai berteriak, “Tolong! Tolong!” Guo Jing mendorongnya dengan lembut ke samping dan keluar dari kerumunan, tetapi Qiu Chuji dan Huang Yaoshi telah sama sekali menghilang.

Ia bergegas kembali ke lantai atas dan memandang ke semua penjuru, a melihat sebuah perahu kecil di danau membawa Qiu Chuji dan Huang Yaoshi, kelihatannya mereka sedang menuju ke Kedai Hujan Berkabut di pulau yang terletak di tengah danau. Huang Yaoshi duduk di kabin, sementara Qiu Chuji duduk di kemudi, mendayung. Ketika melihat hal itu Guo Jing terkejut, ia berpikir, “Kedua orang itu pasti akan bertarung mati-matian di Kedai Hujan Berkabut. Qiu Daozhang memang pemberani, tapi dia bukan tandingan bajingan tua itu.” Ia bergegas kembali ke lantai bawah dengan cemas, mengambil sebuah perahu kecil dan mendayung dengan panik untuk mengejar mereka.

Melihat musuh di depannya sangat sulit baginya untuk menenangkan diri, tapi ia tahu bahwa ia harus bersabar di air. ‘Krekk!’ gagang dayung patah karena ia memakai terlalu banyak tenaga. Ia marah dan sekaligus cemas. Ia mengambil sebuah palang dari perahu dan memakainya untuk mendayung. Sekarang bukannya lebih cepat ia malah makin lambat, jarak antara perahu kedua orang itu dan perahunya sendiri semakin jauh. Ketika dengan susah payah akhirnya ia berhasil mendaratkan perahu itu di pulau, kedua orang itu telah menghilang.

Guo Jing berpikir keras, “Aku harus menelan amarahku, aku tidak boleh kehilangan nyawa sebelum membalas dendam.” Ia menarik nafas panjang dan meludah tiga kali, lalu ia memasang telinga dengan penuh perhatian. Samar-samar ia mendengar suara dentingan suara pedang dari balik kedai, bercampur dengan suara orang saling memanggil dan menjawab, tampaknya itu bukan Qiu Chuji dan Huang Yaoshi. Guo Jing memandang ke sekeliling untuk mempelajari keadaan di sekitarnya, lalu berjingkat memasuki kedai. Ia tidak melihat siapapun di bawah, karenanya ia bergegas naik ke lantai atas, hanya untuk menemukan seseorang sedang bersandar di pagar, di dekat jendela, memandang ke luar, mulutnya masih mengunyah sesuatu dengan suara keras. Itu tak lain adalah Hong Qigong.

“Shifu!” seru Guo Jing sambil bergegas maju. Hong Qigong menganggukkan kepalanya, menunjuk ke luar dan mengangkat setengah potong kaki domba rebus di tangannya dan menggigitnya.

Guo Jing buru-buru melongok ke jendela. Ia melihat kilatan pedang di belakang kedai. Delapan-sembilan orang mengelilingi Huang Yaoshi. Melihat musuh bertarung melawan banyak orang ia agak lega, tapi setelah melihat dengan lebih jelas siapa saja mereka semua, ia tak bisa menahan kaget. Ia melihat Da Shifu-nya — Ke Zhen’E — menggunakan tongkat besinya, bersama dengan seorang pendeta Tao muda berdiri di belakangnya. Ia berpikir, “Bagaimana Da Shifu bisa sampai ke sini?” Ia melihat lagi dan menemukan kenyataan bahwa pendeta muda itu adalah murid Qiu Chuji, Yin Zhiping, yang memakai pedang panjangnya untuk melindungi punggung Ke Zhen’E, bukan untuk menyerang Huang Yaoshi. Enam orang lainnya juga adalah pendeta Tao, mereka adalah Ma Yu, Qiu Chuji, dan anggota Enam Pendekar Quanzhen lainnya.

Guo Jing menonton sejenak dan menyadari bahwa Sekte Quanzhen menggunakan Formasi Bintang Utara untuk melawan musuh. Hanya karena Changzhen Zi Tan Chuduan telah tewas, maka posisi Tian Xuan diambil alih oleh Ke Zhen’E. Sayangnya kungfu Ke Zhen’E tidak bisa mengimbangi rekan-rekannya, ditambah lagi ia tidak menguasai formasi itu, maka Yin Zhiping melindungi punggungnya sambil memberi petunjuk tentang arah. Enam Pendekar Quanzhen mengacungkan pedang mereka, bergerak maju mundur, menyebar dan berkumpul, mengurung Huang Yaoshi di dalam lingkaran dalam pertarungan yang sangat menegangkan.

Hari itu dalam pertarungan sengit di Desa Niu, hanya dua dari Tujuh Pendekar Quanzhen menggunakan pedang panjang mereka, sisanya bertarung dengan tangan kosong, dan pertarungan sudah begitu menegangkan. Kali ini tujuh pedang panjang dan sebuah tongkat besi hadir di situ, kedahsyatannya sangat mengerikan.

Huang Yaoshi tetap menggunakan tangan kosong, ia melayang di tengah kilatan pedang dan tongkat, seolah-olah ia terpaksa mempertahankan diri tanpa mampu melancarkan serangan balasan. Selama beberapa jurus ia hanya bergerak untuk menghindari mata pedang tanpa melancarkan satu pun pukulan atau tendangan. Guo Jing diam-diam merasa senang, “Tak peduli seberapa banyak pengetahuanmu, akan sulit melarkan diri dari pengadilan hari ini.”

Tiba-tiba ia melihat Huang Yaoshi menyapu dua kali dengan kaki kanannya ke sekeliling tubuhnya dan kaki kirinya tetap teguh di atas tanah, membuat kedelapan orang itu serentak mundur tiga langkah. “Teknik Tendangan Menyapu Daun yang hebat!” puji Guo Jing.

Huang Yaoshi memalingkan kepalanya dan melambaikan tangan kepada Hong Qigong dan Guo Jing di lantai atas dan menganggukkan kepalanya untuk memberi salam. Guo Jing melihat mukanya tampak santai dan tenang, ia tidak tampak seperti orang yang terengah-engah kehabisan nafas, yang membuat Guo Jing curiga. Ia melihat telapak tangan kiri Huang Yaoshi menyapu diagonal ke arah batok kepala Changsheng Zi, Liu Chuxuan, dengan demikian Huang Yaoshi berubah dari posisi bertahan menjadi menyerang.

Sebetulnya Liu Chuxuan tidak bisa menangkis telapak tangan ini, Tian Quan, Qiu Chuji dan Tian Xuan Ke Zhen’E seharusnya melakukan serangan mengapit dari kedua sisi untuk menyelamatkannya. Akan tetapi Ke Zhen’E buta, tidak seperti rata-rata orang, ia mengandalkan pendengarannya, bagaimana mungkin ia bisa mengatasi teknik telapak tangan Huang Yaoshi yang brilian dan tenang? Pedang Qiu Chuji berkedip ke arah ketiak kanan Huang Yaoshi, Ke Zhen’E bergerak mengikuti arahan Yin Zhiping, tetapi ia terlambat selangkah. Liu Chuxuan mendengar suara telapak tangan membelah angin tepat di atas kepalanya, dalam kaget ia melemparkan diri ke tanah dan bergulingan.

Ma Yu dan Wang Chuyi menyadari situasinya kritis, mereka melancarkan serangan serempak dari dua sisi menggunakan pedang. Liu Chuxuan lolos dari bahaya, tapi Formasi Tujuh Bintang Utara rusak. Huang Yaoshi tertawa dan maju ke arah Sun Bu’er. Ia hanya bergerak tiga langkah, tiba-tiba berbalik dan memukul dada Guangning Zi Hao Datong. Hao Datong belum pernah melihat gerakan aneh seperti itu, ia ragu sejenak sebelum menikam punggung Huang Yaoshi dengan pedangnya. Huang Yaoshi bergerak seperti kelinci, ia menerobos kepungan dan berdiri skitar dua zhang dari kerumunan.

Hong Qigong tertawa dan berkata, “Huang Laoxie, itu langkah cerdik!”

“Aku mau turun,” seru Guo Jing sambil bergerak ke tangga.

“pelan-pelan, pelan-pelan!” kata Hong Qigong. “Dari awal mertuamu tidak pernah membalas. Semula aku kuatir tentang Da Shifu-mu, tapi kelihatannya dia tidak berminat menyakiti siapa pun.”

Guo Jing kembali ke jendela dan bertanya, “Shifu tahu dari mana?”

Hong Qigong menjawab, “Kalau dia bermaksud mencelakai orang, kau kira pendeta monyet kurus itu masih tetap hidup? Pendeta kecil itu bukan tandingannya, sama sekali bukan tandingannya!” Ia menggigit kaki dombanya lagi dan berkata, “Sebelum mertuamu dan Qiu Chuji datang, aku melihat pendeta-pendeta tua ini dan Da Shifu-mu megatur formasi di sana, tapi mana mungkin Formasi Bintang Utara dipelajari dalam waktu singkat begini? Pendeta-pendeta tua itu membujuk Da Shifu-mu supaya mengisi posisi untuk sementara. Da Shifu-mu menggertakkan gigi tanpa mengatakan apa-apa. Aku tidak tahu apa yang membuat Da Shifu-mu bermusuhan dengan mertuamu. Dia mengikuti pendeta kecil itu untuk mengambil posisi Tian Xuan, tapi akhirnya mereka masih tidak bisa menangkis tangan maut mertuamu.”

“Dia bukan mertuaku,” kata Guo Jing, penuh kebencian.

Hong Qigong terkejut. “Eh, apa maksudmu dia bukan mertuamu?” tanyanya.

Sambil menggertakkan gigi Guo Jing berkata, “Dia… dia… hmm!”

“Bagaimana kabarnya Rong’er?” tanya Hong Qigong. “Kau ribut sama dia ya?”

“Ini tidak ada hubungannya dengan Rong’er,” jawab Guo Jing. “Bajingan tua itu, dia, dia membunuh lima guruku. Kebencianku sedalam lautan.”

Hong Qigong melompat saking kagetnya, ia cepat-cepat bertanya, “Benarkah?” Tetapi Guo Jing tidak mendengar pertanyaannya, perhatiannya sedang tertuju pada pertarungan sengit di bawah. Saat itu situasi telah berubah, Huang yaoshi menggunakan teknik Pi Kong Zhang Fa8, menciptakan hembusan angin kuat, menangkis serangan kedelapan lawannya.”

Kalau bicara dari sisi ilmu silat Ma Yu, Qiu Chuji, Wang Chuyi dan lainnya, maka Huang Yaoshi seharusnya tidak bisa menembus pertahanan mereka dalam jarak satu zhang dengan hanya mengandalkan tangan kosong. Tetapi dalam Formasi Tujuh Bintang Utara, mereka bergerak kesana-kemari bersama-sama, kungfu Sun Bu’er, Ke Zhen’E dan Yin Zhiping secara mencolok lebih lemah ketimbang yang lain, begitu satu orang terpaksa mundur, maka yang lain tak punya pilihan kecuali mengikuti. Dengan demikian semua orang dipaksa mundur dua langkah, mereka terpisah lebih jauh dari posisi Huang Yaoshi, tetapi Formasi Tujuh Bintang Utara sama sekali tidak kacau.

Saat itu pedang-pedang panjang milik para pendekar Quanzhen sudah terlalu jauh untuk menjangkau tubuh Huang Yaoshi. Tampaknya ia hanya menunggu kesempatan untuk menyerang. Beberapa jurus kemudian Hong Qigong berkata, “Hmm, jadi begitu rupanya.”

“Apanya?” tanya Guo Jing buru-buru.

Hong Qigong menjawab, “Huang Laoxie dengan sengaja memaksa mereka untuk membuka formasi, karena ia ingin mempelajari misteri Formasi Tujuh Bintang Utara ini. Itu sebabnya dia tidak melakukan menyerang maut. Kurang dari sepuluh jurus setelah ini dia akan memperkecil lingkaran sekali lagi.”

Meskipun Hong Qigong kehilangan kekuatan kungfunya, tapi penilaiannya masih tetap sangat jernih, dan terbukti, tenaga tebasan tangan Huang Yaoshi melemah, para Pendekar Quanzhen secara bertahap memperketat kepungan mereka. Dalam waktu yang diperlukan untuk menghabiskan teh semuanya semua orang terkumpul menjadi mirip gumpalan manusia. Liu Chuxuan, Qiu Chuji, Wang Chuyi dan Hao Datong serempak menghujamkan pedang mereka ke tubuh Huang Yaoshi, tetapi dengan salah satu cara ketika pedang mereka hampir menyentuh kulit Huang Yaoshi, mereka semua meleset beberapa inci. Kalu bukan karena reaksi mereka yang cepat, keempat pedang itu akan melubangi tubuh rekan mereka sendiri.

Bertarung dalam lingkaran kecil ini perbedaan antara satu gerakan dengan gerakan lain hanya tinggal selebar helaian rambut. Guo Jing tahu segera setelah Huang Yaoshi mengenal formasi itu dengan baik, ia tidak akan melawan mereka semua dengan santai lagi. Untuk mengacaukan formasi ia harus menyerang titik terlemah, yang mana adalah Da Shifu-nya dan Yin Zhiping. Ia berada terlalu jauh dari mereka berdua, jika situasi berubah meenjadi kritis ia tidak akan punya waktu untuk menolong, sementara saat itu ia melihat situasi berbahaya datang satu per satu. “Dizi turun,” katanya kepada Hong Qigong. Tanpa menunggu jawaban ia melaju ke lantai bawah.

Ketika ia mendekati arena, situasi pertarungan itu sudah berubah lagi. Huang Yaoshi terus menerus maju ke sebelah kiri Ma Yu, tapi semakin jauh ia maju, semakin jauh juga jaraknya dari kerumunan, seolah-olah ia ingin melarikan diri. Guo Jing menggenggam pisau di tangannya, bersiap untuk menyerang begitu ia punya peluang. Mendadak Wang Chuyi bersiul dan bersama dengan Hao Datong dan Sun Bu’er, yang membentuk pegangan dari ‘biduk’9, ia berbalik dari arah kiri ke depan, untuk menjaga supaya Huang Yaoshi tetap berada di tengah formasi.

Huang Yaoshi mengubah posisi tiga kali, tetapi Wang Chuyi juga menggerakkan ‘pegangan biduk’, seperti Qiu Chuji juga menggerakkan keempat ‘bintang’ dari biduk itu, mencegah Huang Yaoshi menguasai posisi di sebelah kiri Ma Yu. Ketika ia berusaha untuk keempat kalinya tiba-tiba Guo Jing mengerti, “Ah, betul, dia ingin mencuri posisi ‘Bintang Kutub Utara’.”

Ketika sedang merawat cederanya di Desa Niu, dari balik dinding ia melihat Tujuh Pendekar Quanzhen bertarung melawan Mei Chaofeng, dan kemudian Huang Yaoshi, menggunakan Formasi Tujuh Bintang Utara. Belakangan ia belajar lebih detil dari Huang Rong mengenai konstelasi Bintang Utara dan Bintang Kutub Utara. Ia tahu bahwa Tian Shu dan Tian Xuan terhubung dalam garis lurus dengan Bintang Kutub Utara. Karena Bintang Kutub Utara akan selalu berada di utara, maka setiap malam Konstelasi Bintang Utara akan berputar mengelilingi bintang itu. Selanjutnya ia ditangkap oleh para anggota Kai Pang di Gunung Jun, Danau Dongting. Lagi-lagi ia memikirkan tentang Konstelasi Bintang Utara ini, ia bukan hanya mendapat pengertian yang lebih dalam mengenai karakteristik Bintang Utara, tetapi juga pergerakan Gormasi Bintang Utara, dan menerapkan teknik jenius itu untuk memperdalam kungfunya sendiri.

Kecerdasan Huang Yaoshi seratus kali lipat lebih baik ketimbang Guo Jing, ia juga sangat menguasai astronomi dan mempelajari Yin Yang Wu Hang10. Setelah gagal mengacaukan Formasi Tujuh Bintang Utara milik Tujuh Pendekar Quanzhen dalam pertarungan di Desa Niu, ia merenungkan soal ini sangat lama, sampai ia akhirnya memahami kelemahan dari formasi itu.

Guo Jing memikirkan formasi itu karena ia ingin ‘belajar’, sementara Huang Yaoshi merasa tidak ada gunanya membuang waktu untuk mempelajari teknik milik Wang Chongyang, jadi ia berkonsentrasi pada bagaimana cara mematahkannya. Ia tahu bahwa yang diperlukannya hanyalah merebut posisi Bintang Kutub Utara, dan formasi itu akan kacau. Ia bisa menunggu dengan santai hingga lawan kelelahan, sementara ia sendiri akan berdiri di posisi tak tertandingi.

Para pendekar Quanzhen juga menyadari bahwa ia sedang berusaha untuk mematahkan formasi dengan cara merebut posisi krusial. Dalam hati mereka sangat cemas. Jika Tan Chuduan masih hidup, mereka bertujuh bisa bergerak sebagai satu kesatuan, tntu saja mereka tidak akan membiarkan Huang Yaoshi mencuri posisi Bintang Kutub Utara. Kali ini Tian Xuan ditempati oleh Ke Zhen’E dan Yin Zhiping, yang kungfunya harus diakui lebih lemah, dan tidak menguasai teknik formasi, sebagai akibatnya efektivitas formasi itu menjadi berkurang secara signifikan.

Ma Yu dan yang lain tahu bahwa jika pertarungan itu berlangsung lama, maka akan menjadi buruk bagi mereka. Terlebih lagi, Guo Jing sedang berdiri di samping, jika Huang Yaoshi dalam situasi berbahaya, maka sebagai menantu ia tidak mungkin tidak membantu. Tetapi kematian Paman Guru dan saudara seperguruan mereka harus dibalas. Almarhum guru besar mereka Wang Chongyang adalah ahli silat nomor satu dunia, jika keenam muridnya bergabung bersama melawan seorang Huang yaoshi, dan masih tidak bisa menang, maka reputasi Perguruan Quanzhen akan rusak.

Mereka mendengar Huang yaoshi tertawa dan berkata, “Aku tidak tahu kalau murid-murid Chongyang begitu keras kepala sampai tidak tahu apa yang baik bagi mereka!” Sementara bicara ia bergerak cepat ke arah Sun Bu’er dan membacok dengan tangannya tiga kali. Ma Yu dan Hao Datong mengangkat pedang mereka untuk menyelamatkannya. Huang Yaoshi memiringkan tubuhnya sedikit ke samping untuk menghindari pedang mereka, ‘wus, wus, wus!’ ia membacok tiga kali ke arah Sun Bu’er.

Teknik telapak tangan majikan Pulau Bunga Persik itu secara alamiah sangat indah. Kalau pun Wang Chongyang hidup kembali, atau Hong Qigong pulih dari cederanya, mereka tidak akan bisa mengelak dari enam telapak tangan ini dengan mudah. Mana Mungkin Sun Bu’er menangkisnya? Ia melihat telapak tangan datang dengan cepat, ia tak punya pilihan kecuali mengacungkan pedangnya dalam pola bunga dan dengan marah melindungi wajahnya sekuat tenaga. Tiba-tiba kaki Huang Yaoshi menyapu secara beruntun dan menendangnya enam kali. Luo Ying Shen Jian Zhang dan Sao Ye Tui itu adalah bagian dari kungfu Pulau Bunga Persik, Kuang Feng Jue Ji. Kalau lawan tidak mundur dalam enam jurus pertama, maka enam jurus berikutnya menyusul, lebih cepat dari sebelumnya. Dalam enam kali enam, tiga puluh enam jurus, meskipun seorang pahlawan atau pejuang mampu menghindari tamparan, ia tidak akan mampu menghindari tendangan.

Ma Yu dan yang lain memperhatikan bahwa Huang Yaoshi memusatkan serangan ganasnya kepada Sun Bu’er. Dengan segera mereka berusaha menyelamatkannya, sebagai akibatnya dalam situasi mendesak itu formasi mereka menjadi berantakan. Ke Zhen’E buta, karenanya pergerakan formasi menjadi agak lambat. Huang Yaoshi tertawa panjang dan ia telah berada di belakang Ke Zhen’E. “Aiyo!” tiba-tiba Ke Zhen’E mendengar seseorang menjerit nyaring di tengah udara, orang itu terbang ke atas atap Kedai Hujan Berkabut. Ternyata Huang Yaoshi mencekal punggung Yin Zhiping dan melemparkannya jauh-jauh.

Celah dalam formasi jadi semakin besar. Tanpa memberi kesempatan bagi lawan untuk memperbaiki formasi, Huang Yaoshi bergerak ke arah Ma Yu, sepenuhnya menantikan Ma Yu mengelak. Yang mengejutkannya ketika pedangnya menangkis serangan itu, pedang di tangan kiri Ma Yu langsung mengarah ke alis Huang Yaoshi. gerakannya sangat mantap, didukung oleh tenaga dalam yang kuat.

Huang Yaoshi terpaksa memiringkan tubuhnya ke samping untuk menghindar, ia tidak bisa menahan pujiannya, “Bagus! Kau pantas menjadi kepala murid-murid Quanzhen.” Mendadak kakinya menyapu ke bawah, menendang kaki Hao Datong, sementara pada saat yang sama ia membungkuk untuk merebut pedang Hao Datong dan menghujamkannya ke dadanya. Liu Chuxuan terkujut, ia mengacungkan pedangnya untuk menangkis. Huang Yaoshi tertawa keras-keras dan menjeentikkan jarinya. ‘Krekk!’ kedua pedang itu patah.

Bayangan hijau berkelebat, Sang Majikan Pulau Bunga Persik bergerak ke arah posisi Bintang Kutub Utara. Saat itu formasi sudah kacau balau, tak seorang pun bisa menghentikannya. Para pendekar Quanzhen berteriak pahit, mereka tahu Huang Yaoshi pasti akan mengendalikan mereka sepenuhnya. Ma Yu menhela nafas dalam-dalam dan hendak melemparkan pedangnya untuk mengaku kalah, dan bersiap untuk menerima hukuman apapun yang akan diberikan lawan kepada mereka. Mendadak mereka melihat sosok hijau tua berkelebat kembali, sudah ada orang yang menguasai posisi Bintang Kutub Utara. Orang itu adalah Guo Jing.

Di antara para Pendekar Quanzhen, hanya Qiu Chuji yang kegirangan, ia telah melihat Guo Jing mempertaruhkan segalanya untuk menyerang Huang Yaoshi di Gedung Dewa Mabuk. Ma Yu dan Wang Chuyi tahu bahwa Guo Jing baik hati dan jujur. Meskipun mereka berpikir ia akan membantu mertuanya, sudah jelas ia tidak akan mencelakai gurunya sendiri, Ke Zhen’E. Para pendekar Quanzhen lainnya kaget, mereka melihat Guo Jing sudah menguasai posisi Bintang Kutub Utara, begitu mertua dan menantu itu bekerja sama, Perguruan Quanzhen akan tewas tanpa dikubur. Akan tetapi mereka lebih kaget lagi ketika melihat Guo Jing menyerang Huang Yaoshi dengan telapak tangan kiri kosong dan sebuah pedang di tangan kanannya.

Ketika berhasil mematahkan formasi, Huang Yaoshi ingin memaksa Perguruan Quanzhen untuk mengakui bahwa mereka salah. Di luar dugaan tiba-tiba seseorang telah menguasai posisi Bintang Kutub Utara. Perhatiannya terpusat pada melawan para Pendekar Quanzhen, karena itu tanpa menengok ke belakang ia mengirimkan telapak tangannya ke belakang menggunakan Pi Kong Zhang ke arah dada lawan. Orang itu mengulurkan tangan kirinya untuk menangkis serangan yang datang, tetapi ia tidak bergerak setengah langkah pun. Huang yaoshi terkejut, ia berpikir, “Sangat sedikit orang di dunia ini yang mampu menangkis telapak tanganku, siapa orang ini?” Ia memalingkan kepalanya dan melihat bahwa orang itu ternyata Guo Jing.

Pada saat itu Huang Yaoshi dikepung oleh lawan dari depan dan belakang. Kalai ia tidak bisa menyingkirkan Guo Jing, Formasi Tujuh Bintang Utara akan mengepungnya dari belakang dan hal itu akan menempatkannya dalam situasi yang sangat berbahaya. Ia mengirimkan serangan telapak tangan tiga kali berturut-turut ke arah Guo Jing, masing-masing lebih ganas dari sebelumnya, tetapi setiap kali Guo Jing dengan sederhana menangkisnya. Telapak tangan yang keempat mengandung serangan palsu dan yang sebenarnya, ia mengharapkan Guo Jing akan memanfaatkan lowongan dan melakukan serangan balik. Di luar dugaan Guo Jing hanya mengambil posisi bertahan dan tidak balas menyerang. Guo Jing mengangkat pisaunya di depan dada, sementara tangan kirinya menyapu lambat di sepanjang bawah perutnya, Dengan cara ini kalaupun ia menerima satu jurus dengan dua serangan dari Huang Yaoshi, kedua serangan itu akan mentah.

Huang Yaoshi terkejut, ia berpikir, “Anak bodoh ini ternyata tahu bagaimana cara bertahan dan mematahkan formasi. Dia dengan gigih mempertahankan posisi Bintang Kutub Utara dan tidak mau bergerak setengah langkah pun. Ah, betul juga, dia pasti menerima perintah dari para Pendekar Quanzhen dan datang ke sini untuk membantu mereka melawan aku.”

Ia tidak tahu bahwa dugaannya itu hanya sebagian benar. Guo Jing memang benar memahami rahasia Formasi Tujuh Bintang Utara, tetapi ia belajar dari Jiu Yin Zhen Jing, dan bukan dari para Pendekar Quanzhen. Ketika Guo Jing berhadapan dengan musuh yang sangat dibencinya, ia menekan amarahnya dan mempertahankan posisinya, seolah-olah kakinya tertanam di tanah dalam-dalam. Ia dengan sederhana mengabaikan tipuan apapun yang dibuat oleh Huang Yaoshi untuk memancingnya menyerang.

Huang Yaoshi diam-dia mengeluh, ia berpikir, “Anak bodoh ini tidak tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur! Hm! Meskipun Rong’er menyalahkan aku, aku akan menyakitimu hari ini, kalau tidak kau pasti tidak mau mundur.” Tangan kirinya membuat lingkaran sekitar tujuh inci di depan dada, tangn kanannya menumpang di atas tangan kiri, meminjam tenaga dari tangan kiri tangan itu mendorong ke depan, tenaganya menjadi berlipat ganda. Tetapi sebelum tangannya menyentuh muka Guo Jing, ia tiba-tiba teringat, “Kalau ia tidak menghindar, pukulan ini pasti akan membuatnya terluka parah. Apapun alasannya, Rong’er pasti akan sedih seumur hidupnya.”

Guo Jing melihatnya meminjam tenaga dari tangan kiri untuk melancarkan serangan, ia tahu serangan yang datang pasti tidak ringan. Menggertakkan giginya ia melancarkan Jian Long Zai Tian, jurus yang bersifat ‘mempertaruhkan segalanya’ dari Delapan Belas Jurus Penakluk Naga. Ia menyadari bahwa kungfunya sangat jauh lebih rendah dari lawan, ia akan terluka parah jika berhadapan langsung dengan telapak tangan itu, tapi untuk menghindari serangan itu ia harus bergerak dari posisi Bintang Kutub Utara, yang akan mengirimnya kembali ke situasi sulit. Karenanya dalam satu jurus itu ia siap mengorbankan nyawanya sendiri. Di luar dugaannya, ketika telapak tangannya kira-kira satu kaki dari muka lawan, Huang Yaoshi tiba-tiba menarik serangannya dan membentak, “Bocah tolol, minggir! Kenapa kau mempersulit aku?”

Guo Jing menggenggam pisaunya erat-erat, ia menatap Huang yaoshi dengan penuh perhatian untuk melindungi diri dari tipuan macam apapun yang mungkin dilakukannya, ia tidak menjawab. Saat itu para Pendekar Quanzhen telah mengatur kembali formasi mereka. Mereka mengepung tidak jauh dari punggung Huang Yaoshi, menunggu kesempatan untuk menyerang. “Mana Rong’er?” tanya Huang Yaoshi.

Guo Jing masih tidak menjawab, mukanya tampak muram, matanya memancarkan kemarahan. Melihat ekspresinya kecurigaan Huang Yaoshi bangkit. Ia takut putrinya mengalami malapetaka. “Apa yang kau lakukan kepadanya? Cepat katakan!” bentaknya. Guo Jing menggertakkan giginya dan menggigit bibirnya. Tangan kanannya, yang memegang pisau, agak gemetar. Perhatian Huang Yaoshi terpusat kepadanya, setiap gerakan sekecil apapun yang dibuat Guo Jing tidak luput dari matanya. Melihat ekspresi Guo Jing yang tidak biasa ia jadi semakin kuatir. “Kenapa tanganmu gemetar? Kenapa kau tidak bicara?” ia berteriak.

Guo Jing teringat bagaimana guru-gurunya tewas secara mengerikan di Pulau Bunga Persik, duka dan amarah meluap di hatinya. Tubuhnya bergetar hebat, matanya merah membara. Melihatnya tidak mau bicara, air mata membasahi mukanya, Huang Yaoshi makin kuatir. Ia tahu putrinya bertengkar sengit dengan Guo Jing mengenai urusan Putri Huazheng, ia takut Guo Jing mmbunuh Huang Rong. Ia menendang kakinya dan menerkam ke depan.

Begitu Huang Yaoshi bergerak, Qiu Chuji menikam dengan pedangnya, pada saat yang sama Formasi Bintang Utara mulai bergerak. Wang Chuyi dan Hao Datong menyerang dari sebelah kiri-kanan Huang Yaoshi, yang seorang dengan pedang di tangan, yag lainnya dengan tangan kosong. Telapak tangan Guo Jing mementahkan seragan yang datang, sementara pisaunya menyengat secepat kilat untuk melakukan serangan balik. Huang Yaoshi tidak menangkis, ia membalikkan tangannya untuk berusaha merebut pisau itu. Meskipun gerakannya akurat dan cepat, pedang Wang Chuyi telah tiba di punggungnya, ia tak punya pilihan kecuali memutar pinggangnya untuk mengelak, dengan demikian tangannya luput dari pisau Guo Jing sekitar da inci. Guo Jing menggunakan peluang ini untuk menikan ke depan. Pertarungan sengit ini lebih mencekam ketimbang sebelumnya.

Satu-satunya keinginan para Pendekar Quanzhen adalah membunuh Huang yaoshi untuk membalas dendam Zhou Botong dan Tan Chuduan. Huang yaoshi tahu persis bahwa ada suatu kesalahpahaman di sini, tapi ia sangat angkuh, ia juga merasa bahwa sebagai orang yang tingkatnya lebih tinggi akan merendahkan martabatnya jika ia mencoba menjelaskan. Ia ingin mengatahkan mereka semua dengan telak, untuk membuat mereka membuang pedang dan menyerah, dan kemudian barulah ia menjelaskan semuanya. Karena itu ia terus menerus menyerang tetapi pada saat bersamaan bersikap lunak. kalau tidak demikian, meskipun Ma Yu, Qiu Chuji dan lainnya mungkin mampu mempertahankan diri, tetapi mana mungkin Sun Bu’er dan Yin Zhiping masih bertahan hidup? Di luar dugaan Guo Jing muncul dan bukan hanya ia tidak membantu Huang Yaoshi, tapi tampaknya ia juga membenci Huang Yaoshi setengah mati. Huang Yaoshi berpikir, kalau Guo Jing tidak membunuh Huang Rong, lalu kenapa ia bisa begitu takut kepadanya?

Kali ini Huang Yaoshi tidak menunjukkan belas kasihan, ia ingin menangkap Guo Jing dan meminta beberapa penjelasan. Kalau Guo Jing betul-betul membunuh Huang Rong, meskipun ia mencabik-cabik tubuhnya sampai berkeping-keping, itu tetap tidak akan cukup untuk melampiaskan amarahnya. Untungnya Guo Jing menguasai posisi Bintang Kutub Utara, meskipun Yin Zhiping belum merangkak turun dari atap, situasi pertarungan telah berbalik. Formasi Tujuh Bintang Utara bergerak seperti ombak yang menggelembung, mereka bergerak menyerang tanpa henti.

Huang Yaoshi berusaha beberapa kali untuk menembus pertahanan Guo Jing, tetapi gagal. Ia mulai tidak sabar. Setiap kali ia melancarkan serangan dahsyat para Pendekar Quanzhen akan selalu hadir untuk menghalanginya. Ia ingin melancarkan serangan maut dan membunuh seorang dari mereka untuk mengacaukan formasi, tetapi Formasi Bintang Utara secara bertahap memperketat kepungannya. Ia mulai berpikir bahwa meskipun ia bisa meloloskan diri, tetapi akan sulit baginya untuk lolos tanpa cedera.

Setelah bertarung beberapa saat Ma Yu mengacungkan pedangnya dan berseru, “Tahan!”

Para Pendekar Quanzhen menahan tangan mereka, berdiri mantap di posisi masing-masing. Ma Yu berkata, “Huang Daozhu, kau adalah mahaguru dari perguruanmu. Mana mungkin kami, generasi yang lebih muda ini, berani menyinggungmu. Hari ini kami mengandalkan jumlah yang lebih besar untuk melawanmu. Ini karena situasi memaksa kami melakukannya. Kami ingin tahu bagaimana caramu menyelesaikan hutang darah dari Zhou Shishu dan Tan Shidi!”

Sambil tertawa Huang Yaoshi berkata, “Mau bilang apa lagi? Langsung saja bunuh Huang Laoxie untuk melindungi reputasi Perguruan Quanzhen, itu bagus kan? Hati-hati!” Tanpa menggerakkan tubuh atau mengangkat lengannya, telapak tangan kanannya telah membacok ke arah muka Ma Yu.

Ma Yu berusaha mengelak ke samping dalam epanikannya, tetapi telapak tanganHuang Yaoshi datang tanpa peringatan. Serangan tipuan itu segera disusul oleh serangan yang sebenarnya. Kombinasi tipuan dan sejati adalah jurus maut dari Luo Ying Shen Jian Zhang Fa. Huang Yaoshi menyempurnakannya selama sepuluh tahun, ia bermaksud menggunakannya dalam pertandingan Hua Shan yang kedua. Jurus ini tidak dirancang untuk menghadapi sekelompok musuh, tapi sangat efektif dalam pertarungan satu lawan satu. Ilmu Danyang Zi mungkin saja tinggi, tapi ia bukan tandingan Si Sesat Timur.

Akan lebih baik jika Ma Yu tidak menghindar. Begitu ia bergerak ke kanan, serangan kedua datang. Ma Yu mengeluh dalam hati, “Celaka!” Ia hendak menangkis dengan mengulurkan tangannya, tapi telapak tangan lawan sudah tiba di dadanya. Begitu Huang Yaoshi mengerahkan tenaga, organ dalam Ma Yu akan terguncang dan ia akan mengalami luka dalam yang serius.

Kelima Pendekar Quanzhen terkejut. Pedang dan telapak tangan berdatangan untuk membantu, tapi sudah terlambat. Mereka melihat Ma Yu berada dalam posisi maut, yang mengejutkan adalah Huang Yaoshi tertawa dan menarik telapak tangannya, ia berkata, “Kalau aku mematahkan formasi kalian dengan cara ini, kalian tidak akan semudah itu mengaku kalah. Huang laoxie mungkin saja mati, tapi mana mungkin aku membiarkan diriku dijadikan bahan tertawaan para pahlawan di bawah kolong langit? Pendeta yang baik, ayo kita bertarung!”

Liu Chuxuan mendengus dan menggerakkan tinjunya, Wang Chuyi mengikuti dengan pedangnya. Formasi Bintang Utara siap untuk beraksi. Ini seharusnya jurus ke tujuh belas, Wang Chuyi seharusnya bergerak setelah Ma Yu. Ia menikamkan pedangnya ke udara, siap untuk menyerang, tetapi Ma Yu tidak bergerak, sebaliknya ia mundur dua langkah dan berseru, “Tahan!” Semua orang menahan langkah mereka lagi. Ma Yu berkata, “Huang Daozhu, terima kasih karena menahan tanganmu.”

“Kau memujiku,” jawab Huang Yaoshi.

Ma Yu berkata, “Bicara masuk akal, sekarang ini nyawa Wanbei seharusnya sudah hilang, dan formasi yang dikembangkan oleh almarhum guru kami ini seharusnya sudah kau patahkan. Kalau kami bisa membedakan yang baik dan yang jahat, maka seharusnya kami mengaku kalah dan megharapkan belas kasihanmu. Tapi kami tidak berani tidak membalas dendam karena permusuhan kami denganmu sangat dalam. Setelah masalah ini selesai, Wanbei akan menggorok leher sendiri sebagai tanda terima kasih kepada Daozhu.”

Air muka Huang Yaoshi muram, ia melambaikan tangannya dan berkata, “Tidak ada gunanya terlalu banyak bicara, kau bisa segera mulai. Masalah kebaikan dan permusuhan di dunia ini sulit dipahami.”

Guo Jing berpikir, “Ternyata Ma Daozhang dan yang lain bertarung melawan dia untuk membalas dendam paman dan saudara seperguruan mereka. Tapi Zhou Dage masih hidup dan sehat-sehat saja, juga kematian Tan Daozhang tidak ada hubungannya dengan Huang Daozhu. Tapi kalau aku menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya, para Pendekar Quanzhen pasti akan mengundurkan diri dari pertarungan, sisanya hanya Da Shifu dan aku, mana mungkin kami menandingi dia? Tak perlu bicara soal membalas dendam kematian guru-guru yang lain, kami bahkan tidak bisa dijamin bakalan tetap hidp setelah semuanya selesai.” Tapi kemudian ia teringat, “Kalau aku tidak mengatakan hal yang sebenarnya, lalu apa bedanya dengan pengecut? Guru-guruku selalu bilang, kita boleh saja kehilangan kepala, tapi tidak boleh kehilangan kebenaran.” Karena itu dengan suara nyaring dan jernih ia berkata, “Ma Daozhang, Qiu Daozhang, Wang Daozhang, Zhou Shishu kalian belum mati, dan Ouyang Feng yang membunuh Tan Daozhang.”

“Kau bilang apa?” tanya Qiu Chuji terkejut. Dari situ Guo Jing menceritakan bagaimana ia merawat lukanya di dalam ruang rahasia di Desa Niu, dari balik dinding ia melihat dan mendengar Qiu Qianzhang mengarang gosip untuk memancing kedua belah pihak untuk bertarung, bagaimana Ouyang Feng melemparkan kesalahan kepada Huang Yaoshi, ia menceritakan semuanya. Meskipun ia canggung dalam berbicara, semua orang memahami penjelasannya dengan baik.

Para Pendekar Quanzhen mendengarkan, mereka masih setengah percaya. Qiu Chuji bertanya dengan lantang, “Kau bicara yang sebenarnya?”

Guo Jing menudingkan jarinya ke arah Huang Yaoshi dan berkata, “Dizi sangat membenci bajingan tua ini, sampai-sampai Dizi tidak mau hidup di bumi yang sama dengan dia, mengapa Dizi harus membantunya? Tapi itu semua yang sebenarnya, jadi Dizi tidak bisa tutup mulut.”

Keenam pendekar itu mengenalnya sebagai seorang jujur. Ditambah lagi ia telah menunjukkan kebencian yang mendalam kepada Huang Yaoshi, jadi apa yang dikatakannya seharusnya benar.

Adalah melampaui harapan Huang Yaoshi bahwa Guo Jing mengatakan sesuatu demi dirinya. Ia takjub dan berkata, “Kenapa kau membenciku begitu rupa? Kemana perginya Rong’er?”

Ke Zhen’E memotongnya, “kau tidak tahu apa yang kau lakukan sendiri? Jing;er, meskipun kita tidak bisa menang, kita harus melawan bajingan tua ini sampai mati.” Begitu selesai bicara ia mengangkat tongkat besinya dan menyapunya ke arah Huang Yaoshi.

Mendengar ucapan gurunya, Guo Jing tahu bahwa ia telah diampuni. Ia merasa sangat bahagia dan dengan segera air mata turun membasahi mukanya. “Da Shifu,” serunya. “Er Shifu dan yang lain, mereka… mereka berlima semuanya tewas secara mengerikan!”

Huang Yaoshi sedang mencekal kepala tongkat Ke Zhen’E dengan tangan terulur, ia berpaling kepada Guo Jing dan bertanya, “Apa kau bilang? Zhu Cong, Han Baoju dan yang lain diterima baik-baik sebagai tamu di pulauku, kenapa kau bilang mereka tewas?”

Ke Zhen’E dengan marah berusaha menarik tongkat besinya, tapi tongkat itu bahkan tidak bisa digerakkan. Huang Yaoshi menanyai Guo Jing lagi, “Dengan mengabaikan orang yang lebih tua dan yang tingkatnya lebih tinggi, kau bicara ngawur, menyerangku seperti orang gila, ini semua karena Zhu Cong dan yang lain?”

Mata Guo Jing tampak seperti menyemburkan darah, ia berteriak, “Kau mencelakai kelima guruku dengan tanganmu sendiri, dan sekarang kau pura-pura tidak tahu?” Mengangkat pisaunya, ia menikam ke depan dengan tangan lurus.

Huang Yaoshi menggerakkan tongkat besi di tangannya untuk menangkis. ‘trang!’ tongkat dan pisau itu beradu, bunga api tersebar kemana-mana. Pisau itu sangat tajam, sampai merusak tongkat besi itu. Huang Yaoshi bertanya lagi, “Siapa yang melihat?”

Guo Jing berkata, “Aku sendiri yang menguburkan kelima guruku dengan tanganku sendiri, kau bilang aku memfitnahmu?”

Huang Yaoshi tertawa dingin dan berkata, “Jadi kenapa kalau kau memfitnahku? Sepanjang hidupku Huang Laoxie datang dan pergi sendirian. Kenapa aku harus menyangkal membunuh beberapa orang? Kau benar, aku yang membunuh guru-gurumu!”

Tiba-tiba ada suara perempuan berseru, “Tidak, ayah, itu bukan kau. Jangan memikul kesalahan orang lain di pundakmu.”

Semua orang memalingkan kepala mereka dan melihat orang yang bicara itu ternyata Huang Rong. Mereka begitu terpaku pada pertarungan sengit sampai-sampai tak seorang pun tahu ia datang. Ketika Guo Jing melihatnya lagi, ia melamun, ia tidak tahu ia seharusnya gembira atau kuatir.

Begitu Huang Yaoshi melihat putrinya hidup dan sehat, ia sangat gembira, kebenciannya kepada Guo Jing lenyap, ia tertawa keras-keras dan berkata, “Anak baik, ayo sini, biarkan ayah memelukmu.”

Selama beberapa hari belakangan ini Huang Rong merasa sakit hati, baru hari ini pertama kalinya ia mendengar kata-kata yang penuh kasih. Ia bergegas maju dan melemparkan diri ke pelukan ayahnya sambil menangis, “Ayah, anak bodoh ini memfitnahmu, dia… dia juga menganiaya aku.”

Huang Yaoshi memeluk putrinya dan erkata sambil tersenyum, “Huang Laoxie selalu melakukan apapun yang disukainya, sejak puluhan tahun yang lalu orang yang tidak tahu selalu menimpakan kejahatan dunia ke kepala ayahmu, jadi apa bedanya kalau tumpukan kejahatan itu ditambah satu lagi? Lima Orang Aneh dari Jiangnan itu adalah musuh bebuyutan Mei Shijie-mu, maka tentu saja aku membunuh mereka dengan tanganku sendiri.”

“Tidak, tidak,” kata Huang Rong dengan cemas. “Itu bukan ayah. Aku tahu itu bukan ayah.”

Huang Yaoshi tersenyum samar dan berkata, “Anak bodoh itu nekad sekali, dia berani menganiaya anakku yang baik. Lihat saja, ayah akan memberinya pelajaran.” Ia baru saja selesai bicara ketika mendadak secepat kilat punggung tangannya menghantam, tanpa bayangan, tanpa jejak. Guo Jing sedang memikirkan apa yang dibicarakan ayah dan anak itu, ketika ‘plal!’ ia merasakan sensasi panas di pipi kirinya. Ia baru hendak mengangkat tangannya untuk menangkis, tetapi tangan Huang Yaoshi sudah kembali ke kepala Huang Rong, dengan lembut mengelus rambutnya yang anggun.

Telapak tangan itu menimbulkan suara keras, tapi sebenarnya tenaganya lemah. Guo Jing merasa pipinya terbakar, tapi ia tidak menderita cedera apapun. Ia bingung, tidak tahu seharusnya maju menyerang atau tetapdiam di tempat.

Ke Zhen’E mendengar tamparan ke muka Guo Jing, ia kuatir Huang Yaoshi mungkin memberinya pukulan maut. “Jing’er, bagaimana keadaanmu?” tanyanya dengan cemas.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Guo Jing.

Ke Zhen’E berkata, “Jangan dengarkan kebohongan setan dan iblis perempuan ini. Aku tidak bisa melihat, tapi Si Shifu-mu bilang, dia melihat bajingan tua ini membunuh Er Shifu-mu dan memaksa Qi Shifu-mu…” Guo Jing tidak menunggu sampai ia selesai bicara, ia menerjang maju ke arah Huang Yaoshi. Ke Zhen’E menyusul dengan mengacungkan tongkat besinya.

Huang Yaoshi melepaskan anaknya dan menghindari telapak tangan Guo Jing, sementara pada saat yang sama mengulurkan tangannya untuk merebut tongkat besi Ke Zhen’E. Kali ini Ke Zhen’E telah mewaspadai cekalannya, jadi cekalan Huang Yaoshi luput. Guru dan murid itu bekerja sama dalam pertarungan melawan Huang Yaoshi.

Meskipun Guo Jing berulang kali bertemu dengan orang-orang luar biasa dan berilmu tinggi dan telah belajar ilmu silat yang tidak sedikit jumlahnya, ia masih sangat jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan guru besar sebuah perguruan silat ini, majikan Pulau Bunga Persik. Dengan bantuan Ke Zhen’E sekalipun, ia tidak bisa berbuat banyak. Hanya dalam dua sampai tiga puluh jurus ia telah mengalami kesulitan besar untuk sekedar menggerakkan tangan dan kakinya.

Qiu Chuji berpikir, “Di masa kritis Quanzhen menerima bantuan guru dan murid ini, saat ini mereka berdua sedang berada di ambang kekalahan, masa kami duduk diam dan menonton tanpa berbuat apa-apa? Entah Zhou Shishu masih hidup atau sudah mati, kami harus mengalahkan Huang Laoxie dulu, baru bicara nanti.” Sambil menghunus pedangnya ia berseru, “Ke Daxia, kembali ke posisi.”

Pada saat itu Yin Zhiping sudah merangkak turun dari atap Kedai Hujan Berkabut. Meskipun ia penuh lebam biru dan hitam, dan hidungnya bengkak karena jatuh, ia tidak menderita cedera yang serius. Ia bergegas maju ke belakang Ke Zhen’E dan mengacungkan pedangnya untuk melindunginya. Formasi Bintang Utara beraksi lagi, mengepung Huang Yaoshi, ayah dan anak di tengah.

Huang Yaoshi murka, ia berpikir, “Sebelumnya ada kesalahpahaman, jadi aku bisa mengerti kalau kalian menyerangku. Tapi setelah anak bodoh ini menjelaskan semuanya, kumpulan orang berambut kacau ini masih juga mengeroyok aku. Kalian pikir Huang Laoxie tidak bisa membunuh orang?” Seperti bayangan berkelebat ia telah bergerak ke arah kiri Ke Zhen’E.

Huang Rong melihat raut muka sadis ayahnya, ia tahu tangannya tidak akan ringan, hatinya berubah jadi dingin. Ia melihat Wang Chuyi dan Ma Yu menangkis telapak tangan ayahnya. Tongkat besi Ke Zhen’E dengan ganas menghantam ke arah bahunya sementara mulutnya memaki, “Penjahat rendah yang tidak bisa diampuni, iblis betina! Pelacur Pulau Bunga Persik!”

Huang Rong tidak pernah rela menelan kekalahan secuil pun, ketika mendengarnya buka mulut dan mengeluarkan kata-kata kasar, amarah mulai meluap ke dadanya, ia berteriak, “Maki aku sekali lagi kalau kau berani!”

Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan tumbuh besar di pasar, di mana segala macam orang saling berjual-beli, saling memaki dari generasi ke generasi, apa sulitnya memaki orang lain? Ke Zhen’E membenci Huang Yaoshi, ayah dan anak. Mendengar ucapan Huang Rong, dengan segera koleksi bahasa joroknya meluncur keluar dari mulutnya. Huang Rong selalu sendirian sejak kecil, ia tak pernah punya pengalaman bergaul dengan kalangan yang menggunakan bahasa kasar seperti ini. Untungnya ia sangat cerdas, maka setiap kali Ke Zhen’E memakinya, ia bisa menebak apa yang dimaksud dan bahkan bisa membalas. Tapi setelah itu, semakin mendengar ia makin tidak bisa membalas karena ia makin tidak mengerti. Ia meludah dan berkata, “Memalukan! Kau ini seorang guru, tapi kau tidak takut ngomong jorok seenaknya.”

Ke Zhen’E balas memaki, “Dengan orang bersih aku memakai kata-kata bersih, dengan orang-orang rendahan dan bau aku ngomong jorok! Kau orang bau, jadi Laofu pakai kata-kata yang lebih jorok lagi.”

Huang Rong marah, ia mengangkat tongkat bambunya ke arah muka Ke Zhen’E. Ke Zhen’E membalas serangan itu dengan tongkat besinya, tapi tak disangka Tongkat Penggebuk Anjing ternyata jauh lebih hebat dari apa yang bisa dibayangkannya. Hanya dalam beberapa gebrakan tongkat besinya sudah dikendalikan Huang Rong, menggunakan cara ‘menggiring’ dari teknik itu. Ketika tongkat bambu ke kiri, maka tongkat besi juga ke kiri. Demikian juga kalau tongkat bambu ke kanan, maka tongkat besi akan mengikuti, seolah-olah tidak punya kemauan sendiri.

Ke Zhen’E sibuk di posisi Tian Xuan dari formasi itu. Begitu gerakannya terhambat, keseluruhan formasi itu juga ikut terhambat. Kilatan pedang Qiu Chuji menikam punggung Huang Rong, niatnya adalah untuk menolong Ke Zhen’E, tetapi Huang Rong mengandalkan rompi kulit landak yang dipakainya, di luar dugaan ia mengabaikan tikaman itu, mengubah gerakan tongkatnya ia mengirim tiga jurus berturut-turut. Pedang Qiu Chuji hampir menyentuh pakaiannya ketika ia tiba-tiba berpikir, “Si Tua Qiu ini orang macam apakah, masa aku menyakiti anak kecil?” Ujung pedang itu menyentuh punggung Huang Rong, tapi ia tidak mendorongnya lebih jauh.

Memanfaatkan keragu-raguan ini tongkat bambu Huang Rong menarik tongkat besi Ke Zhen’E. Dengan meminjam tenaga dari Fu Mo Zhang Fa yang dipakai Ke Zhen’E, Huang Rong mendorong tongkat besi itu ke bawah dan menghentakkannya ke kiri atas. Ke Zhen’E tidak bisa mengendalikan tenaganya, tongkat itu meluncur dari tangannya dan melayang ke udara, dan ‘byurr!’ — jatuh ke Danau Nan Hu.

Wang Chuyi kuatir Huang Rong akan menggunakan kesempaan itu untuk mencelakai Ke Zhen’E, ia bergegas ke depan Ke Zhen’E dengan pedangnya memblokir bagian dada Ke Zhen’E. Meskipun pengalamannya luas, tetapi ia belum pernah melihat Tongkat Penggebuk Anjing sebelumnya, dan ia terkejut.

Melihat gurunya kalah, Guo Jing berseru, “Da Shifu, istirahatlah, aku akan berjuang untukmu.” Meninggalkan posisi Bintang Kutub Utara ia melompat ke posisi Tian Xuan. Saat itu kungfunya telah melampaui para Pendekar Quanzhen, ditambah lagi ia sangat akrab dengan metode Bintang Utara, segera setelah ia bergerak, kekuatan formasi itu meningkat sebagian.

Sebenarnya Formasi Bintang Utara berputar mengelilingi posisi Tian Quan, tetapi begitu ia masuk, posisi kunci berubah ke posisi Tian Xuan, dan pergerakan formasi itu berubah. Perubahan itu sebetulnya lebih buruk ketimbang aslinya, tapi dalam waktu sesingkat itu Huang Yaoshi tidak bisa menemukan jalan untuk menembus pertahanan ketat formasi. Meskipun putrinya membantu, mereka bertahan dengan susah payah. Untungnya sebagian besar pendekar Quanzhen mengambil posisi bertahan, Guo Jing adalah satu-satunya orang yang berjuang mati-matian, memaksa Huang Yaoshi untuk berhadapan dengan dia.

Guo Jing terus mendesak maju, memaksa Huang Yaoshi bertarung ketat. Dengan dukungan para pendekar Quanzhen, Huang Yaoshi tidak berhasil melukainya, dan terpaksa menggunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk menghindari rangkaian serangan Guo Jing yang seperti harimau gila.

Huang Rong melihat muka Guo Jing yang biasanya ramah dan baik hati sekarang tertutup oleh nuansa membunuh, ekspresi mukanya mengerikan sampai ia tampak seperti orang yang sama sekali lain, berbeda total dibandingkan Guo Jing yang dikenalnya. Ia terkejut dan sekaligus ngeri, ia melangkah ke depan ayahnya dan berkata, “Bunuh aku dulu!”

Guo Jing menatapnya dan membentak, “Minggir!”

Huang Rong tersentak. “Kenapa kau bicara seperti itu kepadaku?” pikirnya.

Guo Jing menerjang maju dan mendorongnya ke samping, lalu mendorong ke arah Huang Yaoshi. Tiba-tiba ia mendengar seseorang tertawa keras dan berseru di belakangnya, “Jangan kuatir, Yao Xiong, aku datang membantumu!” Suaranya memekakkan telinga, seperti suara logam digergaji.

Tak seorang pun berani menengok dengan segera, secara keseluruhan Formasi Bintang Utara itu berputar mengelilingi punggung Huang Yaoshi sebelum akhirnya mereka melihat lima-enam orang yang tinggi dan pendek, berdiri di sisi danau, dipimpin oleh seorang laki-laki dengan tangan dan kaki panjang. yang tak lain adalah Racun Barat Ouyang Feng.

Keenam Pendekar Quanzhen berteriak marah. Qiu Chuji berkata, “Jing’er, ayo kita selesaikan dulu hutang darah dengan Ouyang Feng!” Pedang panjangnya terangkat, Keenam Pendekar Quanzhen mengepung Ouyang Feng. Di luar dugaan tatapan mata Guo Jing terpaku pada Huang Yaoshi, tampaknya ia tidak mendengar suara Qiu Chuji sama sekali. Begitu Enam Pendekar Quanzhen pergi, ia menerjang ke arah Huang Yaoshi lagi, dan dalam waktu singkat keduanya bergebrak lima-enam jurus.

Kedua belah pihak tidak mengenai sasaran mereka, maka mereka melompat mundur, saling mewaspadai, saling menatap. Guo Jing berseru nyaring dan panjang, lalu maju menyerang. Beberapa kali mereka bertukar pukulan dan kemudian berpisah lagi.

Kali ini Enam Pendekar Quanzhen mengatur ulang formasi mereka. Mereka menatap ke arah Ke Zhen’E dan melihatnya tidak bersenjata, berdiri di samping Huang Yaoshi, kepalanya terangkat, mendengarkan dengan seksama. Lengannya terbuka lebar, menunjukkan niatnya untuk mengorbankan diri, melemparkan dirinya untuk menangkap Huang Yaoshi, memberi Guo Jing kesempatan untuk memukul bagian vital di tubuh Huang Yaoshi. Karena hal ini Qiu Chuji mendekat ke arah Yin Zhiping, menyuruhnya mengambil alih posisi Tian Xuan.

Ma Yu membaca kutipan, “Bergandengan tangan jiwa yang berpulang memaksa diri untuk pergi seperti butiran mutiara. Hati terbuka mendengarkan suara alam, tidak seperti tiupan seruling!” Itu puisi yang dibaca oleh Tan Chuduan tepat sebelum ia menutup mata. Begitu para pendekar Quanzhen mendengarnya, amarah mereka meluap, dengan kilatan pedang dan telapak tangan mereka bersama-sama menyerang Ouyang Feng.

Tongkat ular di tangan Ouyang Feng mendorong dan menarik secara kasar, memaksa ketujuh orang Quanzhen untuk mundur. Ouyang Feng telah melihat kedahsyatan Formasi Tujuh Bintang Utara di Desa Niu. Ia cukup gentar menghadapinya, jadi ia memutuskan untuk bertahan ketat dan menunggu lawan membuka kelemahan mereka sendiri. Begitu Formasi Bintang Utara terbuka, serangan mereka seperti gelombang lautan ke segala penjuru. Ouyang Feng dengan cermat menghadapi jurus demi jurus, sambil membuka matanya lebar-lebar untuk mencari kemungkinan membongkar formasi itu. Sesaat kemudian ia memperhatikan bahwa posisi Tian Xuan yang ditempati oleh Yin Zhiping adalah titik terlemah dalam formasi. Ia merasa jika ia bisa menghancurkan titik itu, maka tidak ada lagi yang pantas ditakutinya. Karena itu ia mengacungkan tongkat ular di tangannya berusaha untuk merusak, sementara matanya menjelajah ke sekeliling, menilai situasi.

Guo Jing dan Huang Yaoshi masih trelibat pertarungan ketat. Huang Rong menggerakkan tongkat bambunya untuk menjaga jarak Ke Zhen’E lebih dari satu zhang dari kedua orang itu. Ia berseru, “Tolong berhenti berkelahi, tolong dengarkan aku!” Tapi Guo Jing pura-pura tidak mendengar seruannya, ia melancarkan pukulan demi pukulan dengan gencar, sama sekali tidak mempedulikan keselamatannya sendiri.”

Tadinya Huang Rong melihat ayahnya menahan diri, tetapi Guo Jing terus memancingnya, karena itu ia melihat amarah ayahnya mulai meluap, tangannya makin lama makin berat. Ia tahu situasinya sangat kritis, salah satu dari keduanya bisa terluka parah kalau membuat kesalahan sedikit saja. Ia mengangkat kepala dan melihat Hong Qigong bersandar di pagar Kedai Hujan Berkabut, menonton pertarungan. “Shifu, Shifu!” serunya dengan cemas. “Tolong turun untuk membantuku menjelaskan semuanya.”

Hong Qigong sejak tadi sudah melihat bahwa situasinya jauh dari baik, ia menyesali diri karena kehilangan kungfunya dan tak berdaya untuk membereskan urusan ini, karenanya ia juga cemas. Mendengar seruan Huang Rong ia mendapat sebuah gagasan. “Seandainya Huang Laoxie masih menghormatiku, kurasa aku bisa melakukan sesuatu.” Tangannya menekan pagar dan ia melayang turun di udara. “Tahan semuanya!” serunya. “Pengemis Tua mau bicara.” Dewa Pengemis Sembilan Jari punya nama besar di Jianghu, ketika mereka melihatnya tiba-tiba muncul, hati mereka tergetar dan mereka mau tak mau berhenti bertarung.

Ouyang Feng adalah orang pertama yang mengeluh diam-diam, ia berpikir, “Bagaimana caranya kungfu Pengemis Tua itu bisa pulih?” Ia tidak tahu bahwa setelah mendengarkan penjelasan Guo Jing tentang bagian Jiu Yin Zhen Jing yang ditulis dalam bahasa Sansekerta, Hong Qigong menghabiskan waktunya beberapa hari belakangan ini untuk berlatih sesuai panduan teknik itu, dan berhasil membuka delapan jalan darah istimewanya11.

Ilmu silat Hong Qigong memang sudah tinggi, setelah mendengarkan rahasia ilmu tenaga dalam yang hebat, seperti bagaimana cara menangani luka dalam, dengan pemahamannya yang luar biasa dalam waktu singkat ia berhasil membuka salah satu dari delapan jalan darah itu. Qinggong-nya tiga sampai empat puluh persen pulih. Faktanya adalah, jika ia terlibat perkelahian hanya dengan mengandalkan tinju dan telapak tangannya, ia tidak akan mampu mengalahkan seorang laki-laki yang kuat, yang tidak memahami kungfu jenis apapun. Tetapi dalam hal melompat ke atas maupun ke bawah, gerakannya sangat ringan dan hidup, setidaknya di mata Ouyang Feng ia tidak tampak seperti seseorang yang tidak punya tenaga dalam sama sekali.

Hong Qigong takjub melihat orang-orang ini ternyata masih sangat mengaguminya, ia menilai dengan cermat, “Kalau Pengemis Tua tidak beraksi sedikit, maka urusan hari ini akan sulit diselesaikan, tapi aku harus bilang apa supaya para pendekar Quanzhen mau menuruti suruhanku, dan juga Racun Tua akan menurut tanpa memberiku terlalu banyak kesulitan?” Karena untuk sementara ia belum tahu apa yang seharusnya dilakukan, ia melemparkan kepala ke velakang dan tertawa keras-keras, sementara mendongak, ia melihat bulan mulai naik, lingkaran terang itu tampak seperti roda dari es yang salah satu sisinya agak rusak. Sebuah gagasan melintas di benaknya, ia berkata, “Kalian semua ahli silat di Wulin, tapi cara kalian saling berhadapan persis seperti bajingan dan begal jalanan, omongan kalian seperti kentut!”

Semua orang kaget. Mereka tahu Hong Qigong selalu bicara seenaknya tanpa batas, jadi mereka tidak terlalu memikirkan gaya bahasanya. Akan tetapi ia pasti punya alasan tertentu untuk mengatakannya. Ma Yu membungkuk hormat dan bertanya, “Mohon petunjuk dari Qianbei.”

Hong Qigong dengan marah berkata, “Pengemis Tua mendengar ada orang bilang bulan delapan waktu Zhongqiu Jie tahun ini akan ada orang bertarung di Kedai Hujan Berkabut ini. Pengemis Tua kuatir kupingnya tidak beres, jadi mumpung masih belum saatnya, aku ingin bermalas-malasan dan tidur dengan tenang dan damai di sini. Tak kusangka sejak pagi ini aku terus mendengar klontang-klontang dan gedubrak, bak-bik-buk, dari orang-orang berkelahi tanpa henti. Kudengar ada formasi kakus atau formasi pispot, lalu ada suami memukuli istri, menantu menyerang mertua, berisik sekali seperti membunuh babi atau menggorok anjing, begitu berisiknya sampai-sampai Pengemis Tua tidak bisa tidur siang dengan tenang dan damai. Coba lihat bulan, hari ini tanggal berapa?”

Mendengar pidatonya semua orang teringat bahwa hari ini adalah tanggal empat belas bulan delapan, jadi kontes ilmu silat itu baru akan diadakan besok. Lagipula, Peng Lianhu, Sha Tongtian dan kawan-kawannya masih belum tiba, jadi pertarungan hari ini tidak masuk akal. Qiu Chuji berkata, “Lao Qianbei benar, kami seharusnya tidak membuat kekacauan hari ini.” Ia memalingkan kepalanya ke arah Ouyang Feng dan berkata, “Ouyang Feng, ayo kita cari tempat lain untuk menentukan siapa yang bakal mati atau hidup.”

“Luar biasa, luar biasa!” kata Ouyang Feng sambil tertawa. “Laofu akan menemanimu dengan senang hati.”

Air muka Hong Qigong berubah masam, ia berkata, “Sejak Wang Chongyang kembali ke Surga, kumpulan rambut kacau Quanzhen berubah menjadi komplotan orang sembrono yang tak punya otak. Kuberitahu ya, lima pendata dan satu pendeti, ditambah satu pendeta kecil dengan kungfu yang buruk, kalian semua bekerja sama, tetap saja kalian bukan tandingan Si Racun Tua. Wang Chongyang tidak pernah meninggalkan apa-apa yang baik untukku, sama sekali bukan urusan Pengemis Tua apakah sekelompok rambut kacau akan mati atau hidup, tapi coba kutanya, besok kalian masih punya janji untuk bertarung, lalu siapa yang akan memenuhi janji itu? Apa tujuh pendeta mati bisa bertarung?”

Pidato itu memng terdengar seperti menghina para pendeta Quanzhen, tetapi di dalamnya ia mengingatkan mereka bahwa dengan melawan Ouyang Feng mereka hanya akan tewas dan tidak akan hidup. Tadi mereka bertujuh tidak bisa mengalahkan Huang Yaoshi, sudah jelas sekarang ini mereka jug bukan tandingan Ouyang Feng. Keenam Pendekar Quanzhen itu adalah orang-orang yang berpengalaman di dunia persilatan, masa mereka tidak mampu menangkap arti sebenarnya dari ucapan Hong Qigong? Tapi saat itu mereka sedang berhadapan dengan musuh bebuyutan mereka, mereka mana bisa bersikap pengecut?

Dengan sudut maatanya Hong Qigong melihat Guo Jing sedang menatap Huang Yaoshi dengan marah, dan Huang Rong sedang menangis dengan air mata mengalir di pipinya. Ia tahu, apapun juga masalahnya, pastilah sangat rumit, ia berpikir dengan cermat, “Aku akan menunggu Lao Wantong, dengan kungfunya dia pasti mampu menundukkan mereka semua. Pada saat itu Pengemis Tua akan bicara lagi.” Karena itu ia berteriak, “Pengemis Tua ingin tidur dulu, siapapun yang mengangkat tinjunya atau kakinya berarti sengaja ingin menantangku. Kalian kembali lagi besok sore, aku tidak peduli kalian mau menjungkirbalikkan langit atau mengguncangkan bumi, Pengemis Tua tidak mau membantu siapapun. Ma Yu, ajak komplotan rambut kacau itu, duduk di sini bersamaku untuk menghimpun tenaga dalam. Secuil tenaga dalam kalau berhasil terkumpul artinya ya berhasil, menunggu sampai detik terakhir tidak akan menjamin kemenangan kalian. Jing’er, Rong’er, ayo cepat sini, pijat kakiku.”

Ouyang Feng agak takut kepadanya, ia berpikir kalau Hong Qigong bekerja sama dengan para pendekar Quanzhen, mereka akan sulit dihadapi. Ia berkata, “Pengemis Tua, Yao Xiong dan aku punya urusan yang belum selesai dengan Quanzhen. Ucapan Dewa Pengemis Sembilan Jari seperti gunungm aku akan mengikuti arahanmu hari ini, dan besok kautidak boleh membela pihak mana pun.”

Hong Qigong diam-diam merasa geli. “Kalau kau mendorongku dengan kelingkingmu sekarang juga, rasanya aku akan langsung terjengkang.” Karena itu ia berkata keras-keras, “Kentut Pengemis Tua tetap masih lebih wangi dari omonganmu. Kalau kubilang tidak akan membantu, artinya ya tidak akan membantu. Kau yakin bakal menang?” Lalu ia berbaring telentang di tanah, menggunakan kendi araknya sebagai bantal dan berseru, “Anak-anak, ayo cepat sini, pijat kakiku!”

Saat itu hanya tinggal tulang yang tersisa dari kaki domba di tangannya, tapi ia masih enggan membuangnya, ia menggigit dan menjilatinya seolah-olah tulang itu masih enak dimakan. Ia memandang ke arah awan yang menyelubungi cakrawala dan berkata, “Awan itu kelihatannya aneh, aku kuatir cuaca akan segera berubah!” Ia juga memperhatikan lapisan kabut tipis timbul di atas permukaan air danau, ia menarik nafas dalam-dalam beberapa kali dan menggelengkan kepalanya. “Ini aneh sekali!” Memalingkan kepalanya ke arah Huang yaoshi ia erkata, “Yao Xiong, boleh kupinjam anakmu untuk memijat kakiku?”

Huang Yaoshi hanya tersenyum tipis. Huang Rong datang mendekat dan duduk di sebelah Hong Qigong, lalu mulai memijat kakinya dengan lembut. Hong Qigong menghela nafas. “Aih, tulang tua ini belum pernah mengalami nasib baik seperti ini!” Menatap Guo Jing ia berkata, “Anak bodoh, tanganmu dipatahkan Huang Laoxie ya?”

“Ya,” jawab Guo JIng. Ia mendekat ke sisi lain kaki Hong Qigong dan mulai memijatnya.

Ke Zhen’E bersamdar di pohon Willow di tepi danau, sepasang matanya yang buta terpaku ke arah Huang Yaoshi. Ia menggunakan telinga untuk menggantikan matanya. Huang Yaoshi sedang mondar-mandir di air. Kalau ia berjalan ke timur, kepala Ke Zhen’E mengikutinya ke timur, begitu ia berbalik ke barat, Ke Zhen’E mengikutinya ke barat. Huang Yaoshi sama sekali tidak mempedulikannya, hanya sudut bibirnya yang tersenyum dingin.

Keenam Pendekar Quanzhen dan Yin Zhiping duduk bersila di tanah, mempertahankan posisi masing-masing dalam Formasi Tujuh Bintang Utara, kepala mereka tertunduk dalam-dalam, mereka sedang melatih tenaga dalam dalam diam.

Para pelayan Ouyang feng, para gembala ular, mengambil sebuah meja dan kursi, mengatur semuanya di bawah Kedai Hujan berkabut untuk menyajikan arak dan makanan. Dengan punggungnya menghadap ke arah semua orang lain, Ouyang feng duduk sendirian untuk makan dan minum. Ia bertanya-tanya dalam hati bagaimana caranya Hong Qigong bisa pulih secepat itu dari luka parah yang disebabkan oleh telapak tangannya.

Sementara itu cuaca panas menyengat, serangga-serangga kecil beterbangan di mana-mana, dan kabut tipis muncul di permukaan danau. Hong Qigong berkata, “Tulang lututku lelah, pasti sebentar lagi ada badai. Kalau kita bisa melihat bulan besok waktu Zhongqiu Jie, aku akan memotong pahaku dan memberikannya kepada kalian.” Melirik ke arah Guo Jing dan Huang Rong ia memperhatikan bahwa mata mereka selalu melihat ke arah lain, dan tidak pernah bertemu pandang. Hong Qigong selalu jujur dan terus terang, melihat situasi seperti ini bagaimana ia bisa merasa damai? Tapi setelah bertanya beberapa kali kedua orang itu bergumam tidak jelas tanpa memberinya jawaban.

Hong Qigong mengeraskan suaranya untuk bertanya kepada Huang Yaoshi, “Yao Xiong, apa nama lain danau Nan Hu ini?”

“Disebut juga Yuan Yang Hu12,” jawab Huang Yaoshi.

“tepat sekali!” kata Hong Qigong. “Kenapa di Yuan Yang Hu ini anakmu dan menantumu bertengkar dan ayah dan mertua tidak memberi nasihat?”

Guo Jing segera bangkit berdiri, ia menuding Huang Yaoshi dan berkata, “Dia… dia… membunuh lima orang guruku, mana mungkin aku masih bisa memanggilnya Yue Fu13?”

Huang Yaoshi tertawa dingin dan berkata, “Apanya yang aneh? Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan belum mati total, masih ada seorang anak buta yang tersisa. Menurutku dia tidak akan hidup untuk melihat hari esok.”

Tanpa menunggu ia selesai bicara Ke Zhen’E sudah menerjang ke arahnya. Guo Jing juga melompat maju, dan meskipun ia bergerak belakangan, tetapi ia tiba lebih cepat. Huang yaoshi melancarkan satu jurus, telapak tangannya menyilang dan ‘plok!’ ia mengguncangkan tubuh Guo Jing, memaksanya mundur dua langkah.

Hong Qigong berteriak, “Aku sudah bilang jangan berkelahi! Kalian kira omongan Pengemis Tua hanya kentut?”

Guo Jing tidak berani menyerang lagi, ia menatap marah ke arah Huang Yaoshi. Hong Qigong bertanya, “Huang Laoxie, Enam Orang Aneh dari Jiangnan adalah pahlawan gagah berani, kenapa kau membunuh orang yang tidak bersalah? Menurut Pengemis Tua kelakuan seperti ini tidak enak dilihat.”

Huang Yaoshi berkata, “Aku membunuh siapapun juga yang kuinginkan, kenapa kau harus peduli?”

Huang Rong berseru, “Ayah, lima orang gurunya bukan dibunuh oleh ayah, aku tahu itu. Tolong bilang bukan ayah yang membunuh mereka.”

Di bawah cahaya bulan Huang yaoshi melihat muka putrinya kurus dan pucat, ia mau tak mau merasa kasihan, tetapi ketika ppandangannya beralih kepada Guo Jing ia melihat di mukanya terlukis keinginan untuk membunuh, hatinya mengeras, ia berkata, “Aku membunuh mereka semua.”

Dengan suara tersedak Huang Rong berkata, “Ayah, kenapa musti ngotot mengaku membunuh sih?”

Dengan suara keras Huang yaoshi menjawab, “Semua orang bilang ayahmu ini jahat dan aneh, apa kau tidak tahu? Masa orang jahat bisa berbuat baik? Semua kejahatan di dunia ini ayahulah yang melakukannya. Enam Orang Aneh dari Jiangnan menganggap diri mereka gagah berani dan benar, waktu aku melihat orang-orang yang megaku diri pahlawan ini, aku jadi marah.”

Tawa Ouyang Feng meledak, dengan lantang ia berkata, “Yao Xiong, kata-katamu itu sungguh tepat sasaran. Biar Xiongdi bersulang untukmu!” Mengangkat cawan araknya, ia mengeringkannya dalam sekali teguk. Ia berkata lagi, “Yao Xiong, aku memberimu hadiah.” Ia mengibaskan tangan kanannya sedikit untuk melemparkan sebuah bungkusan kain.

Ia sedang terpisah beberapa zhang dari Huang Yaoshi, tapi kibasan tangannya yang santai itu telah membuat bungkusan kain terbang seperti peluru memecah udara, semua orang sangat takjub dan terkesan. Huang Yaoshi mengulurkan tangan untuk menerimanya, isinya terasa seperti kepala manusia. Setelah membuka bungkusan ia melihat bahwa isinya memang adalah kepala manusia, baru saja dipenggal, kepala itu memakai topi persegi, dagunya berjenggot, mukanya bukan seperti orang yang pernah dikenalnya.

Ouyang Feng berkata sambil tertawa, “Xiongdi meninggalkan daerah Barat pagi ini dan beristirahat di sebuah sekolah. Kudengar sastrawan busuk ini mengajar murid-muridnya supaya menjadi menteri yang setia dan anak yang berbakti. Xiongdi benci sekali mendengar hal-hal seperti ini, jadi aku membunuh sastrawan busuk itu. Kau dan aku adalah Sesat Timur dan Racun Barat, kita berdua orang yang sejenis.” Lalu ia tertawa panjang.

Air muka Huang yaoshi berubah, ia berkata, “Sepanjang hidupku aku selalu menghormati menteri yang setia dan anak yang berbakti.” Ia membungkuk untuk menggali lubang dengan tangannya, menguburkan kepala manusia itu, dan membungkuk hormat tiga kali.

Ouyang feng kehilangan minat, tapi ia tertawa dan berkata, “Reputasi Huang Laoxie ternyata palsu, dia juga menuruti aturan dan etika.”

Dengan berwibawa Huang yaoshi berkata, “Setia dan berbakti adalah integritas, itu bukan aturan atau etika!”

Ia baru menutup mulutnya ketika petir menyambar. Semua orang memendang ke atas dan melihat awan hitam menyelimuti setengah bagian langit, badai akan tiba. Tepat pada saat itu mereka mendengar suara musik keras. Tujuh sampai delapan kapal besar di danau datang mendekat. Kapal itu dihias dengan lentera merah, di lambung kapal-kapal itu tertera tanda seperti ‘Su Jing’ dan ‘Hui Bi’, tampaknya semua kapal itu milik pejabat teras.

  1. Kalimat itu bermakna ‘Makam Harum Majikan Perempuan Pulau Bunga Persik yang bermarga Feng’. 

  2. Timur dalam bahasa mandarin adalah Dong (东). 

  3. Karakter Zhao (招) punya beberapa makna, salah satunya adalah ‘merekrut’. 

  4. Karakter Bi (比) bermakna ‘kontes’ atau ‘lomba’. 

  5. Karakter ‘sepuluh’ dalam bahasa mandarin adalah Shi (十), yang adalah simbol plus, tetapi yang ditulis Nan Xiren adalah dalam bentuk karakter kecil, yang adalah bagian dari karakter lain. 

  6. Karakter Huang (黄) adalah marga dari Huang Yaoshi, dan otomatis juga Huang Rong. Perhatikan dua karakter kembar di bagian atasnya adalah karakter Shi atau ‘sepuluh’ (十). 

  7. Zui Xian Lou (醉仙楼) secara literal berarti ‘Paviliun Dewa Mabuk’. Karena tempat itu adalah sebuah kedai atau rumah makan, atau bahkan restoran, sebaiknya kita menggunakan istilah ‘Gedung’ yang lebih umum dan luwes, ketimbang ‘Paviliun’. 

  8. Pi Kong Zhang Fa (劈空掌法) adalah ilmu pukulan tangan kosong jarak jauh yang mengandalkan tenaga dalam. Istilah itu sendiri secara literal berarti ‘Teknik Membelah Dengan Tangan Kosong’. Berbagai aliran punya variasi teknik yang agak berbeda dengan tujuan yang sama. Karena Huang Yaoshi juga menciptakan Ilmu Pedang Dewa, dengan tangan berfungsi sebagai pedang, maka teknik ini sedikit banyak terpengaruh, dan gerakannya mirip pedang yang membelah sesuatu. 

  9. untuk menyederhanakan penjelasan, Anda bisa membayangkan bentuk formasi itu seperti panci yang biasa kita pakai untuk memasak mie instan, yang pegangannya lurus. Posisi ‘ekor biduk’ itu adalah pegangan panci. 

  10. Yin Yang Wu Hang (阴阳五行), secara literal berarti ‘Negatif Positif Lima Elemen’ atau ‘Yin Yang Lima Elemen’. Lima elemen yang dimaksud di sini adalah logam, kayu, air, api dan tanah. Ini semua berkaitan dengan kosmologi tradisional Tiongkok dan ajaran Tao. Yin dan Yang adalah Im dan Yang dalam dialek Hokkian, yang adalah simbol negatif/positif, pria/wanita, dst. 

  11. Jalan darah stimewa yang dimaksud di sini adalah Qi Jing Ba Mai, yaitu jalan darah yang bukan termasuk ‘utama’ dalam akupuntur. Kedelapan jalan darah ini umumnya hanya dipakai oleh mereka-mereka yang menekuni seni bela diri. 

  12. Yuan Yang Hu (鴛鴦湖) secara literal berarti ‘Danau Bebek Mandarin’. Sejak dahulu kala bebek mandarin selalu dijadikan simbol sepasang kekasih. 

  13. Yue Fu (岳父) adalah sebutan bagi seorang mertua laki-laki.