Tetap tinggal di dalam ger, mereka berenam merundingkan masalah itu. “Orang ini mengajarkan ilmu tenaga dalam tingkat tinggi kepada Jing’er kita.” kata Han Xiaoying. “Jadi dia pasti tidak punya niat untuk melukai Jing’er.”

“Lalu kenapa dia tidak ingin kita tahu?” tanya Quan Jinfa. “Juga kenapa dia tidak memberi tahu Jing’er bahwa yang diajarkannya adalah neigong?”

“Aku kuatir orang ini adalah seseorang yang kita kenal,” kata Zhu Cong.

“Orang yang kita kenal?” ulang Han Xiaoying. “Kalau bukan teman ya pastilah musuh!”

“Di antara teman-teman kita,” kata Quan Jinfa lagi. “Tidak ada orang yang punya kungfu seistimewa ini.”

“Tapi kalau memang musuh,” lanjut Han Xiaoying, “lalu apa alasannya dia mengajarkan Jing’er ilmu tingkat tinggi ini?”

“Mungkin dia punya rencana jahat di baliknya,” gumam Ke Zhen’E dengan nada dingin. Yang lainnya terdiam membayangkan kalimat itu.

“Malam ini,” kata Zhu Cong, “biar aku dan Liu Di mengikuti Jing’er secara diam-diam, supaya kita tahu ada apa di balik semua ini, dan siapa mahaguru ini sebenarnya.”

Malam itu Zhu Cong dan Quan Jinfa bersembunyi di dekat ger milik Guo Jing dan ibunya. Setelah menunggu setengah jam, akhirnya mereka mendengar suara pemuda itu berpamitan dengan nada tinggi kepada ibunya, “Aku pergi dulu, Niang!” Ia pun meninggalkan ger itu, diikuti secara diam-diam oleh kedua gurunya, yang sangat terkejut melihat kecepatannya melaju meninggalkan mereka. Untungnya tidak terlalu banyak rintangan di dataran tandus itu, dan mereka masih bisa melihatnya dari kejauhan. Setelah tiba di dasar tebing, pemuda itu langsung memanjatnya tanpa mengurangi kecepatan. Pada saat itu Guo Jing sudah mengalami kemajuan sangat pesat dalam teknik meringankan tubuhnya. Karena sudah terbiasa memanjat tebing setiap malam, ia tidak lagi memerlukan bantuan Sang Pendeta lagi, dan ia melaju ke puncak dengan sangat cepat. Zhu Cong dan Quan Jinfa makin lama makin terpesona, dan mereka berdiri diam seperti patung sambil menunggu para Orang Aneh lainnya tiba di situ. Karena takut terjebak musuh, mereka semua membawa senjata masing-masing dan juga senjata rahasia. Zhu Cong menerangkan bahwa Guo Jing sudah sampai di puncak tebing.

Han Xiaoying mengangkat kepalanya dan melihat bahwa puncak tebing itu seolah menghilang di tengah awan, dan ia merinding. “Sulit sekali kalau mau mendaki ke situ,” katanya.

“Ayo kita sembunyi di semak-semak dulu,” ujar Ke Zhen’E. “Kita tunggu sampai mereka turun.” Kelima orang lainnya setuju. Han Xiaoying berpikir tentang peristiwa sepuluh tahun yang lalu, di mana mereka bertempur melawan Pembunuh Kembar Angin Kegelapan. Saat itu mereka juga bersembunyi menunggu kedatangan musuh. Saat itu hawa dinginnya sama seperti sekarang, terasa menusuk tulang. Cahaya bulan, bukit tandus yang sunyi, pusaran pasir, dan kesunyian malam hanya terpecahkan oleh suara dari kejauhan. Satu-satunya perbedaan nyata saat ini adalah, ia tidak lagi melihat Zhang Ahsheng dan wajahnya yang selalu tersenyum. Hatinya langsung diliputi duka yang mendalam.

Jam demi jam berlalu, tetapi mereka sama sekali tidak melihat atau mendengar apa-apa dari puncak tebing itu. Fajar mulai menyingsing, tapi tetap tidak ada jejak Guo Jing dan gurunya yang misterius itu. Mereka mencoba melihat ke atas, tetapi tidak bisa melihat apa-apa.

“Liu Di,” kata Zhu Cong. “Ayo kita coba lihat ada apa di atas sana.”

“Apa kita bisa mendakinya?” tanya Han Baoju.

“Aku juga tidak yakin,” jawab Zhu Cong, terus-terang. “Tapi kita hanya bisa tahu setelah mencoba.” Setelah berlari kembali ke ger mereka, ia kembali membawa dua utas tali panjang, dua kapak, dan beberapa paku besar. Zhu Cong dan Quang Jinfa saling menghubungkan tubuh mereka menggunakan tali itu, lalu mereka mulai mendaki. Mereka menggali beberapa lubang dan menanamkan paku kuat-kuat untuk menciptakan pegangan dan pijakan kaki. Dengan berkeringat dan susah payah mereka akhirnya sampai di puncak tebing. Mereka belum menjejakkan kaki ke atas puncak itu, ketika berseru dengan keras dan akhirnya menjadi pucat karena ketakutan.

Di sebelah batu besar, mereka melihat sembilan tengkorak disusun dengan sempurna seperti piramid, lima di bawah, tiga di tengah, dan satu di puncaknya. Susunan itu sama persis seperti yang pernah mereka lihat digunakan oleh Pembunuh Kembar Angin Kegelapan. Mengamati semua tengkorak itu, mereka juga menemukan bahwa semuanya berlubang lima di bagian depan dahinya. Ujung-ujung lubang itu begitu bersih, seolah-olah dibuat dengan mata pisau yang sangat tajam. Jelas sekali menunjukkan bahwa kekuatan jari Sang Pembunuh itu sudah meningkat berlipat ganda dibandingkan dengan saat berhadapan dengan mereka sepuluh tahun yang lalu. Dengan dada berdebar seperti genderang, mereka mengamati dengan seksama keadaan sekitar, dan mendapati bahwa tidak ada sesuatu yang istimewa di sekitar situ — kecuali tumpukan tengkorak itu sendiri. Lalu mereka segera menuruni tebing untuk memberi tahu semua saudara yang lain. Ketika melihat ekspresi muka keduanya, Han Baiju menjadi kuatir.

“Apa itu sungguh Mei Chaofeng?” tanya Zhu Cong.

“Dan Jing’er kita?” tanya Han Xiaoying.

“Mereka pasti turun dari sisi lain,” kata Quan Jinfa. Lalu ia menceritakan apa yang mereka lihat.

“Siapa sangka,” kata Ke Zhen’E geram. “Setelah sepuluh tahun — ternyata segala jerih payah kita selama ini — kita hanya memelihara ular berbisa!”

“Jing’er seorang anak yang terus-terang dan jujur, dan sebaik emas,” kata Han Xiaoying, tidak setuju. “Dia tidak akan pernah mengkhianati kita.”

“Terus-terang dan jujur!” dengus Ke Zhen’E. “Bagaimana dia bisa mempelajari semua ilmu silat dari iblis perempuan itu tanpa memberi tahu kita sama sekali?” Han Xiaoying terdiam dan merasa sangat tidak nyaman, tidak tahu harus berkata apa.

“Kecuali,” kata Han Baoju. “Mei Chaofeng yang buta itu ingin memanfaatkan Jing’er untuk mencelakai kita.”

“Itulah yang kemungkinan dia rencanakan,” kata Zhu Cong membenarkan.

“Kalau pun Jing’er punya niat tidak baik,” protes Han Xiaoying lagi, “dia tidak bakalan pernah setuju untuk mengkhianati kita seperti itu.”

“Mungkin,” usul Quan Jinfa, “Iblis Perempuan itu belum memutuskan kapan waktu yang tepat untuk memberi tahu dia.”

“Baiklah, kita akui saja, Jing’er sekarang punya qinggong yang bagus, dan dia juga punya dasar neigong yang sangat kuat, tapi bagaimana dengan kungfunya sendiri? Dia tetap jauh sekali dari kita, lalu kenapa si iblis itu tidak mengajarkan teknik apa pun?”

“Iblis itu hanya ingin memperalat dia, tapi tidak ingin membuatnya menjadi bagus,” kata Ke Zhen’E, berusaha menerangkan. “Bukankah suaminya mati di tangan Jing’er?”

“Itu dia! Itu dia jawabannya!” seru Han Baoju. “Dia ingin supaya kita semua mati di tangan Jing’er, lalu dia akan membunuh Jing’er! Dengan begitu balas dendamnya akan tuntas!” Mereka semua gemetar, terkejut melihat betapa logisnya penjelasan itu. Ke Zhen’E menggebrak tanah dengan tongkatnya, lalu berkata dengan tenang, “Ayo kita kembali dan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Waktu Jing’er pulang, kita akan menyingkirkannya. Setelah itu, pada saat si iblis itu datang untuk melatihnya, kita akan menanganinya. Dia bisa saja sudah jauh lebih kuat dari sebelumnya, tapi dia tidak bisa melihat apa-apa sekarang. Kalau kita berenam bisa kompak, maka aku yakin kita pasti bisa menyingkirkannya, sekali dan untuk selamanya!”

“Menyingkirkan Jing’er!” jerit Han Xiaoying dengan suara tertahan, ngeri. “Lalu bagaimana dengan tantangan yang kita sepakati dengan Qiu Chuji?”

“Mana yang lebih penting, menyelamatkan nyawa kita atau pergi menjawab tantangan itu?” balas Ke Zhen’E. Semuanya jadi terdiam beberapa saat.

“Tidak,” kata Nan Xiren memecahkan keheningan. “Kita tidak bisa berbuat begitu.”

“Maksudmu apa yang tidak bisa kita lakukan?” tanya Han Baoju.

“Kita tidak bisa menyingkirkan Jing’er,” kata Nan Xiren sambil menggelengkan kepalanya.

“Aku setuju dengan kakak keempat,” kata Han Xiaoying, agak buru-buru. “Kita perlu menginterogasi dia lebih dalam, sebelum membuat keputusan yang bisa jadi salah — dan tidak bisa diperbaiki lagi.”

“Masalahnya terlalu serius,” kata Quan Jinfa. “Kalau kita ragu-ragu, dan memperlihatkan sedikit saja kelemahan, dia bisa saja memanfaatkannya untuk diam-diam mengkhianati kita, lalu kita bagaimana?”

“Kalau kita tidak membuat keputusan yang tepat,” tambah Zhu Cong, “konsekuensinya bisa sangat mengerikan. Jangan lupa, lawan kita sebenarnya adalah Mei Chaofeng!”

“Apa pendapatmu, San Di?” tanya Ke Zhen’E, ia sejak tadi tidak mendengar Han Baoju bersuara.

Han Baoju sama sekali tidak yakin mau memutuskan yang mana, tetapi ia melihat bahwa Han Xiaoying sudah hampir meneteskan air mata. Ia terlihat sangat sedih. “Aku akan mengikuti pendapat Si Di,” katanya. “Aku juga tidak akan pernah bisa membunuh Jing’er.”

Dengan demikian berarti ada tiga Orang Aneh yang ingin menggunakan kekerasan terhadap Guo Jing, sedangkan tiga lainnya lebih memilih pendekatan yang penuh perhitungan dan lembut.

Kalau Wudi masih bersama kita,” kata Zhu Cong sambil menghela nafas, “mungkin dia bisa membebaskan kita dari kebuntuan ini.”

Mendengar Zho Cong menyinggung nama Zhang Ahsheng, Han Xiaoying merasa patah hati. Ia menahan air matanya, lalu dengan suara lirih berkata, “Bagaimana mungkin kita tidak membalas sakit hati Wuge. Baiklah, ayo kita turuti pendapat Dage!”

“Kalau begitu,” kata Ke Zhen’E, “kita kembali ke kemah.”

Sekembalinya ke ger mereka tetap berdiam diri, dan suasana maut tiba-tiba meliputi mereka.


Malam itu ketika Guo Jing tiba di puncak tebing, Pendeta Tao itu sudah tiba di sana. Ketika melihatnya, Si Pendeta berbisik pelan sambil menunjuk sesuatu di dekat batu besar di mana mereka biasa berlatih.

“Lihat!”

Guo Jing mendekat dan di bawah cahaya bulan ia segera melihat sembilan tengkorak yang tersusun rapi. Ia melompat ke belakang saking terkejut, “Pembunuh Kembar Angin Kegelapan!” katanya dengan suara gemetar. “Mereka datang lagi!”

“Kau tahu siapa mereka?” tanya Sang Pendeta. Pemuda itu menceritakan kembali pertarungan mengerikan yang disaksikannya ketika masih kecil, yang berakibat maut bagi gurunya yang kelima. Ia juga menceritakan betapa dalam keadaan panik ia menikam Chen Xuanfeng dengan belatinya sampai tewas. Bayangan tentang peristiwa malam itu begitu jelas di benaknya, sampai-sampai ia tidak bisa berhenti menggigil. Ketika menikam Si Mayat Tembaga usianya masih sangat kecil, tetapi peristiwa itu terukir begitu dalam di alam bawah sadarnya, pengaruhnya sampai saat ini.

“Mayat Tembaga menimbulkan banyak penderitaan,” ujar Si Pendeta sambil menghela napas. “Tapi ternyata dia tewas di tanganmu.”

“Guru-guruku seringkali bercerita soal mereka, menurut guru ketiga dan ketujuh Si Mayat Besi seharusnya sudah tewas, tapi kata guruku yang tertua hal itu belum tentu.” Ia merinding. “Karena semua tengkorak ini ada di sini, berarti Mayat Besi pasti belum mati. Kau melihat Mei Chaofeng?”

“Aku belum lama tiba di sini,” jawab Si Pendeta. “Waktu aku sampai, aku langsung melihat semua ini. Apa mungkin Mayat Besi datang untuk membalas dendam kepadamu dan guru-gurumu?”

“Da Shifu membutakan matanya,” jawab Guo Jing. “Kami tidak takut sama dia.”

Si Pendeta memegang salah satu tengkorak dan menelitinya dengan cermat. “Orang ini punya kungfu dengan kekuatan yang mengerikan.” katanya. “Aku kuatir keenam gurumu bukan tandingannya. Dan bahkan kalau pun aku membantu mereka, kami semua masih tetap bukan tandingannya.”

Ia begitu yakin akan apa yang dikatakannya, sampai Guo Jing terpana. “Sepuluh tahun yang lalu,” katanya, “dia tidak sukses melawan ketujuh guruku. Dan sekarang kita berdelapan… Kau — kau mau membantu kami apa tidak?”

“Aku sudah memikirkan hal ini,” jawab Sang Pendeta setelah diam beberapa saat. “dan aku tidak mengerti bagaimana jari-jarinya bisa sekuat ini. Seperti kata pepatah, ‘Semua orang yang mengharapkan kebaikanmu tidak datang mencarimu, dan yang datang mencarimu tidak mengharapkan kebaikanmu.’ — Karena dia berani datang untuk membalas dendam, berarti dia sangat yakin akan peluangnya untuk menang.”

“Apa alasannya dia menyusun semua tengkorak ini di sini, itu kan berarti kita bakal lebih waspada setelah melihatnya?”

“Kukira itu semacam bagian dari ritual untuk latihan Jiu Yin Baigu Chao. Karena mendaki ke sini adalah sangat sulit, dia pasti mengira tidak akan ada orang yang bisa naik. Hanya sungguh-sungguh kebetulan bahwa kita menemukan semuanya di sini.”

Karena takut bahwa Mei Chaofeng sudah dalam perjalanan untuk menemui guru-gurunya, Guo Jing berkata, “Aku akan memberi tahu semua guruku!”

“Pikiran bagus!” kata Sang Pendeta. “Katakan kepada mereka bahwa kau menyampaikan pesan dari seorang kawan, supaya mereka menghindar untuk sementara, dan mengambil waktu untuk memikirkan jalan keluar terbaik. Tidak ada alasan untuk menghadapinya tanpa perlu.”

Guo Jing setuju, tetap tepat di saat ia hendak turun dari tebing itu, Si Pendeta mencekalnya dan melompat ke balik sebuah batu besar untuk menyembunyikan diri. Guo Jing baru bermaksud menanyakan apa yang terjadi, ketika Si Pendeta menutup mulutnya dengan tangan. Ia meringkuk di dekat batu besar itu, tidak berani bersuara, hanya sesekali mencuri pandang.

Tak terlalu lama kemudian, sesosok bayangan muncul dari sisi lain, meluncur ke puncak tebing. Di bawah sinar bulan terlihat rambut panjangnya melayang-layang ditiup angin, itu jelas sekali Mei Chaofeng. Sisi lain dari bukit itu bahkan lebih terjal dari tebing yang biasa mereka daki. Karena Mei Chaofeng buta, barangkali ia tidak bisa membedakannya. Hal ini sungguh-sungguh keberuntungan, karena saat itu Keenam Orang Aneh justru sedang bersembunyi di bawah tebing. Kalau Mai Chaofeng mendaki dari sisi itu, kecil kemungkinannya ia tidak akan bertemu dengan mereka, dan barangkali akan langsung terjadi pertempuran.

Mei Chaofeng mendadak memalingkan muka ke arah mereka, dan Guo Jing yang ketakutan dengan segera merendahkan kepalanya. Lalu ia teringat bahwa Mai Chaofeng buta, dan ia pelan-pelan berdiri lagi. Ia melihat Mei Chaofeng duduk bersila di atas batu besar di mana ia biasa berlatih. Lalu ia mulai melatih pernapasannya. Sekarang Guo Jing baru mengerti bahwa cara bernapas seperti ini, dan menguasai pernapasan dengan sempurna adalah bagian dari latihan neigong. Ia mendadak sangat menghargai pengajaran Pendeta Tao itu.

Lalu ia mendengar suara gemeretak keluar dari tubuh Mei Chaofeng, mula-mula sesekali, lama kelamaan menjadi semakin sering dan cepat. Suaranya mirip kacang yang dipanggang di atas kuali, dan kacang itu mulai meletus. Suara ini keluar dari dalam tubuhnya yang tetap diam tidak bergerak. Guo Jing tidak memahami bahwa itu adalah sebuah ilmu yang sangat aneh dan tingkat tinggi, tetapi ia sangat takjub. Suara gemeretak itu berlangsung terus untuk beberapa saat, lalu iramanya mulai melambat, sampai akhirnya berhenti sama sekali. Guo Jing melihatnya bangkit perlahan-lahan, lalu mengambil sesuatu dari pinggangnya, yang diayunkannya seperti ular perak yang panjang. Cambuk Naga Emas milik gurunya yang ketiga tidak lebih dari enam kaki, tetapi yang ini panjangnya melampaui dua puluh kaki.

Ia pelan-pelan berpaling, dan sinar bulan menerangi wajahnya yang masih terlihat sangat cantik. Dengan rambut panjang dan matanya yang tertutup, ia terlihat begitu sinis dan menakutkan. Dalam keheningan, orang bisa mendengarnya menghela napas dan berbisik, “Zei Han Zi1, apa mungkin di neraka kau juga selalu memikirkan aku setiap hari?” Sambil menggenggam cambuk di bagian tengahnya, ia tertawa pelan dan mulai berlatih. Cambuk itu meliuk-liuk dengan irama yang membangkitkan rasa ingin tahu, gerakannya lambat dan tenang, suaranya tidak berisik. Ia melecut ke arah timur, lalu diikuti oleh lecutan yang mencengangkan ke arah barat. Setiap lecutan terlihat lebih mencengangkan dibanding lecutan sebelumnya. Mendadak tangannya seolah tergelincir dan menangkap pangkal cambuknya, sehingga panjangnya mencapai sebuah batu besar. Cambuk itu membelit, lalu mengangkatnya, seolah-olah berubah menjadi tangan. Guo Jing terpesona melihat semua itu. Setelah melemparkan batu itu ke kejauhan, cambuk itu bergerak kembali ke arah kepalanya. Di bawah cahaya bulan ia bisa melihat dengan jelas bahwa ujung cambuk itu dipasangi sekitar sepuluh kait yang sangat tajam.

Guo Jing sudah memegang belatinya. Ketika melihat cambuk itu bergerak ke arahnya, ia siap untuk menghindar tanpa berpikir panjang. Lalu ia merasa lengannya kesemutan dan sebuah tangan mendorongnya ke tanah. Laksana kilatan perak, ujung cambuk itu lewat di atas kepalanya. Sambil berkeringat dingin ia berpikir, “Kalau saja temanku Si Pendeta Tao ini tidak mencegah, dan pisauku sampai menyentuhnya, sekarang ini cambuk itu pasti sudah menghujam ke batok kepalaku!” Untungnya Si Pendeta melakukan semuanya dengan begitu efisien, sama sekali tidak bersuara, Mei Chaofeng sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi.

Ia masih melanjutkan latihannya beberapa saat, lalu melingkarkan kembali cambuk itu ke pinggangnya. Ia lalu mengambil seperangkat kain atau kulit dari dalam tasnya, yang kemudian dibuka dan diletakkannya di atas tanah dengan hati-hati. Ia menyentuh permukaannya, diam sambil berpikir, lalu berdiri sambil memperagakan beberapa gerakan. Ia berjongkok lagi untuk menyentuh barang itu, dan kembali berpikir sejenak. Akhirnya ia menyimpannya kembali di tasnya, dan pergi ke sisi lain bukit. Guo Jing menghela napas dan berdiri.

“Kita ikuti dia,” kata Si Pendeta dengan suara rendah. “Ayo kita lihat rencana jahat macam apa yang disiapkannya untuk kita.” Ia menarik ikat pinggang pemuda itu, dan mereka berdua menuruni bukit. Ketika sampai di dasar, mereka melihat Mei Chaofeng sudah berlari jauh ke arah utara. Si Pendeta Tao melingkarkan tangannya di pinggang Guo Jing, yang dengan segera merasa tubuhnya menjadi sangat ringan, dan mereka berdua segera meluncur dengan kecepatan tinggi untuk mengikuti Si Mayat Besi. Ketika fajar menyingsing mereka melihat sebuah perkemahan yang terdiri dari beberapa ger di kejauhan. Bayangan Mei Chaofeng dengan segera lenyap di tengah perkemahan itu. Mereka berakselerasi, menghindari para prajurit dan petugas yang berpatroli di situ, sampai akhirnya tiba di dekat sebuah ger kuning yang besar. Guo Jing menjatuhkan diri di atas tanah dan menaikkan penutup ger sedikit untuk mengintip ke dalam. Ia melihat seorang pria menghunus pedangnya yang besar dan memukul seorang pria bertubuh besar, yang jatuh ke lantai. Ketika jatuh mukanya berada di dalam jarak jangkauan pandangan Guo Jing dan Si Pendeta. Guo Jing mengenali orang itu, yang adalah pengawal pribadi Temujin. Ia tercengang. “Bagaimana ia bisa ada di sini, dan tewas dibunuh?” Ia makin penasaran dan menaikkan penutup ger itu agak lebih tinggi. Kali ini si pembunuh berpaling, dan Guo Jing dengan segera mengenali Senggum, putra dari Ong Khan.

Senggum membersihkan pedangnya dengan sol sepatunya dan berkata, “Sekarang kau tidak ragu lagi, kan?”

“Saudaraku Temujin sangat cerdas dan berani,” jawab orang yang satunya. “Rencana ini tidak akan mudah dilaksanakan.” Guo Jing dengan segera mengenalinya, itu Jamuka, saudara angkat Temujin.

“Karena kau begitu menyukai saudara angkatmu,” cibir Senggum, “maka kau bisa pergi dan memperingatkan dia.”

“Kau juga adalah saudara angkatku,” jawab Jamuka. “Ayahmu memperlakukan aku dengan sangat baik. Dan lagi, Temujin punya ambisi untuk menarik para prajuritku ke dalam pasukannya. Soal ini aku sudah tahu dengan jelas. Hanya karena sumpah persaudaraan aku sampai saat ini belum memutuskan hubungan dengannya.”

“Apa mungkin mereka bersekongkol untuk melawan Temujin?” Guo Jing bertanya-tanya dalam hati. “Mana mungkin begitu?”

“Orang yang mengambil inisiatif, dialah yang akan punya keuntungan,” sela seorang pria lain. “Kalau kau menunggu sampai dia menyerangmu, maka kau pasti kalah! Setelah kemenangan ini, semua milik Temujin, ternaknya, istri-istrinya, dan juga hartanya, akan jatuh ke tangan Senggum. Di lain pihak, para prajuritnya akan dimasukkan ke dalam pasukan Jamuka. Laksanakan semua itu, maka kau akan mendapat gelar Jendral Penakluk dari Utara — dari Kekaisaran Jin.”

Guo Jing hanya bisa melihat punggungnya, maka ia berusaha merangkak masuk lebih dalam supaya bisa melihat siapa yang terakhir bicara itu. Ia memakai jubah brokat kuning yang mewah yang ditutupi bulu musang. Ia mengenali pria itu, tapi perlu sedikit waktu untuk mengingatnya. “Ah, betul juga, dia Pangeran Keenam dari Kekaisaran Jin!”

Kelihatannya ucapannya berhasil meyakinkan Jamuka. “Kalau ayah angkatku, Ong Khan, memberi perintah,” kata Jamuka. “Maka aku akan menurut.”

“Karena kau bilang begitu,” kata Senggum yang sangat gembira, “kalau ayahku tidak memberi perintah, maka dia akan menyinggung Kekaisaran Jin. Sebentar lagi aku akan memintanya, dia tidak akan bisa menolak permintaan Pangeran Keenam.”

“Tidak lama lagi,” lanjut Wanyan Honglie, “pasukan Kekaisaran akan turun ke Selatan untuk menaklukkan Song. Pada saat itu kalian masing-masing akan memimpin dua puluh ribu orang, dan turut berpartisipasi dalam penyerbuan itu. Setelah kemenangan besar, beberapa penghargaan lagi sudah menanti kalian.”

“Aku selalu mendengar,” seru Senggum kegirangan, “daerah Selatan sungguh luar biasa. Seperti jalanan yang dilapisi emas, di mana wanita-wanitanya terlihat seperti bunga. Kalau Pangeran Keenam mengajak kami ke situ, itu luar biasa!”

“Tidak ada lagi yang lebih mudah dari itu,” kata Wanyan Honglie santai. “Aku cuma takut bahwa terlalu banyak wanita cantik di Selatan, kau tidak mungkin bisa melihat mereka semua.” Mereka tertawa terbahak-bahak.

“Sekarang,” kejar Wanyan Honglie, “ceritakan bagaimana kalian akan menangani Temujin. Sebenarnya aku sudah memintanya untuk membantu penyerbuan ke Song, tapi dia menolak. Dia orang yang sangat cerdas, kita tidak boleh memberinya alasan untuk meragukan kita. Inilah alasannya kenapa harus melipat gandakan tindak pencegahan kita.”

Tepata pada saat itu Guo Jing merasa lengan jubahnya ditarik oleh Si Pendeta, ia berpaling dan melihat Mei Chaofeng di sisi lain ger. Ia menangkap seseorang dan kelihatannya sedang menanyainya. “Apapun niat iblis perempuan ini,” pikir Guo Jing, “para guruku saat ini tidak terancam. Aku justru lebih perlu tahu tentang rencana busuk untuk mencelakai Khan, dan memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan.” Ia kembali lagi melongok ke dalam ger.

“Dia menjanjikan putrinya untuk menjadi istri putraku,” terdengar suara Senggum, yang sedang memandang mayat pria yang tergeletak di lantai ger. “Dan aku sudah mengirim utusan untuk menentukan tanggal pernikahan, dan memintanya datang ke sini menghadap ayahku. Dia pasti akan datang tanpa banyak pengawalan. Aku akan menempatkan orang-orang di beberapa titik sebagai perangkap di sepanjang jalan, meskipun dia punya tiga kepala dan enam tangan sekalipun, tidak mungkin dia akan lolos dalam keadaan hidup!” Ia meledak dalam tawa.

Jamuka berkata, “Segera setelah Temujin tersingkir, pasukan kita akan menyerbu perkemahannya.”

Guo Jing sangat marah dan kuatir. “Bagaimana mungkin hati manusia bisa sekejam ini, bersekongkol untuk mencelakai saudara angkatnya.” Ia masih ingin mendengar lebih lanjut, tetapi Si Pendeta Tao menarik ikat pinggangnya. Ia bergerak mundur sedikit, dan sempat tersentuh pelan oleh Mei Chaofeng, yang sedang bergerak secepat kilat sambil membawa seseorang dengan cara mencekik lehernya. Si Pendeta menarik lengan Guo Jing, dan mereka berdua menjauh dari ger.

“Dia sedang berusaha mengorek keterangan tentang tempat tinggal guru-gurumu,” kata Si Pendeta. “Kita harus segera ke sana untuk memberi tahu mereka, sebelum semuanya terlambat.” Keduanya menggunakan teknik meringankan tubuh untuk berpacu kembali. Ketika mereka tiba di depan ger Keenam Orang Aneh, hari sudah menjelang siang.

“Aku tidak ingin terlihat oleh orang lain,” kata Si Pendeta. “Karena itu aku memintamu supaya tidak memberi tahu soal aku kepada gurumu. Tapi saat ini keadaannya sangat genting, aku tidak peduli lagi soal itu. Cepat beri tahu semua gurumu bahwa Ma Yu dari Perguruan Quanzhen mohon ketemu dengan Enam Pendekar dari Jiangnan.”

Selama dua tahun Guo Jing bersamanya setiap malam, tapi baru saat itu ia mendengar nama Pendeta itu. Tanpa tahu apa artinya ‘Ma Yu dari Perguruan Quanzhen’, ia segera berlari masuk ke dalam ger dan berseru nyaring, “Da Shifu!”

Segera setelah ia masuk, pergelangan tangannya dicekal dengan brutal, dan ia merasa lututnya sakit, yang menyebabkan tubuhnya ambruk ke lantai ger. Ia melihat bahwa ternyata gurunya yang tertua, Ke Zhen’E, yang telah menjatuhkannya dengan menggunakan tongkat besinya. Sungguh-sungguh ketakutan, ia bahkan tidak berusaha melawan atau melindungi diri. Ia menutup matanya dan menunggu ajal. Ia mendengar suara benturan dua senjata, lalu ia merasa bahwa seseorang melemparkan diri untuk melindunginya. Ia membuka mata, dan melihat bahwa ternyata gurunya yang ketujuh, Han Xiaoying, yang melindunginya dengan menggunakan tubuhnya sendiri, sambil berseru, “Da Ge! Tolong tahan dulu!” Pedangnya, yang digunakan untuk menangkis serangan Ke Zhen’E, telah melayang jauh.

Ke Zhen’E menghela napas dan menghujamkan tongkat besinya ke lantai dengan berat. “Qimei selalu saja seperti ini, punya hati yang terlalu lembut.” Kemudian Guo Jing menyadari bahwa Zhu Cong dan Quan Jinfa telah mencekal pergelangan tangannya, selebihnya ia tidak bisa memahami apa-apa lagi.

“Mana orang yang mengajarimu neigong?” tanya Ke Zhen’E dengan nada tajam.

“Dia… dia…” Guo Jing tergagap. “Dia ada di luar… dia ingin menemui kalian semua.” Keenam Orang Aneh terkejut bahwa Mei Chaofeng ingin menemui mereka, dan segera menghambur keluar dengan senjata di tangan. Tapi yang mereka lihat hanya seorang Pendeta Tao berambut putih, yang sedang merangkapkan tangan untuk memberi salam. Tidak ada bayangan Mei Chaofeng sama sekali.

“Mana Si Iblis Mei Chaofeng?” teriak Zhu Cong tanpa melepaskan cekalannya pada pergelangan tangan Guo Jing.

“Aku melihatnya tadi malam,” kata Sang Taois. “Aku kuatir dia akan segera datang.”

Keenam Orang Aneh menatap Ma Yu dengan bingung. Pendeta itu cepat-cepat maju untuk memberi salam. “Aku sudah lama mengagumi Enam Pendekar dari Jiangnan, baru hari ini aku akhirnya bertatap muka. Sungguh suatu kehormatan.”

Zhu Cong, sambil masih mencekal pergelangan tangan Guo Jing, menganggukkan kepalanya untuk membalas hormat, sambil berkata, “Kami tidak berani menanyakan nama besar Dao Zhang.”

Guo Jing baru teringat bahwa ia belum sempat mengumumkan nama pendeta itu, dan buru-buru berkata, “Dia Ma Yu, dari Perguruan Quanzhen.”

Keenam Orang Aneh sungguh terperanjat. Mereka tahu bahwa Ma Yu, yang punya julukan Matahari Merah, adalah murid pertama dari pendiri Perguruan Quanzhen, Wang Chongyang. Setelah kematian Wang Chongyang, Ma Yu menjadi pendeta paling senior di Perguruan tersebut. Qiu Chuji adalah adik seperguruannya. Karena ia biasanya hidup dalam pertapaan, maka namanya jarang terdengar di dunia persilatan. Karena alasan inilah, maka reputasinya di dunia persilatan juga tidak sebanding dengan Qiu Chuji, meskipun bukan berarti kungfunya kalah. Mengenai kungfu, tak seorang pun pernah melihatnya beraksi, karena itu tidak ada yang bisa mengukur kemampuannya.

“Kami bertemu pendeta paling senior di Quanzhen,” kata Ke Zheb’E. “Kamilah yang merasa sangat beruntung. Apa yang membuat Dao Zhang datang ke padang rumput Utara ini? Apa ini ada hubungannya dengan kompetisi di Jiaxing dan tantangan antara kami dengan adik seperguruan Dao Zhang?”

“Adik seperguruanku yang sembrono,” kata Ma Yu. “Seharusnya dia memdedikasikan waktu dan tenaga untuk bermeditasi dan menekuni ajaran Tao. Tetapi malah lebih suka duel dengan orang lain. Dia selalu berusaha menang dan mengajukan pendapatnya sendiri, ini cukup bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup kami. Aku sudah berulang kali mengingatkan dia tentang masalah ini. Aku tidak bermaksud mencampuri soal taruhan antara dia dengan kalian semua, Enam Pendekar, karena memang tidak ada hubungannya dengan aku sendiri. Dua tahun yang lalu aku secara kebetulan bertemu dengan anak ini, kulihat dia punya hati yang murni dan baik. Lalu aku menggunakan kebebasanku untuk mengajarinya beberapa formula ritual untuk memperkuat tubuh, dan juga untuk mengembangkan karakternya. Ini juga punya khasiat untuk memperpanjang umur. Memang betul aku melakukan inisiatif ini tanpa sebelumnya bertanya kepada kalian, Keenam Pendekar. Kuharap para pendekar semua tidak marah karena urusan ini. Aku tidak mengajarinya ilmu silat, dan kami tidak punya hubungan guru — murid yang resmi. Kita bisa bilang bahwa aku kebetulan berteman dengan seorang anak muda, dan kami tidak melanggar aturan yang ada di dunia persilatan.” Setelah mengatakan semua ini, ia tersenyum hangat.

Keenam Orang Aneh terkesima, dan hanya bisa menerima penjelasan itu. Zhu Cong dan Quan Jinfa lalu melepaskan cekalan mereka dari pergelangan tangan Guo Jing.

“Jadi, muridku sayang,” kata Han Xiaoying yang sangat gembira. “Ternyata Ma Dao Zhang yang mengajarkan kungfu luar biasa itu. Kenapa kau tidak bilang dari awal. Kami semua sudah salah paham dan menyalahkanmu.” Ia menepuk-nepuk bahu pemuda itu dengan lembut.

“Dia…” kata Guo Jing tergagap. “Justru dia yang menyuruhku supaya jangan bilang.”

“Kenapa kau memanggil “dia”,” tegur Han Xiaoying. “Jing’er, itu tidak sopan. Seharusnya kau memakai istilah ‘Dao Zhang’!” Ia memang menegur, tapi wajahnya yang gembira menunjukkan suasana hati yang sebenarnya.

“Iya,” kata Guo Jing dengan patuh. “Dao Zhang…” Selama dua tahun ia selalu memperlakukan Ma Yu sebagai teman satu level, sama sekali tidak pernah terbersit di benaknya untuk memanggil pendeta itu dengan sebutan sebagai orang ketiga untuk menunjukkan rasa hormat. Dan Ma Yu sendiri juga tidak pernah tersinggung.

“Aku berkelana seperti awan,” kata Ma Yu menjelaskan. “Tanpa jadwal dan tujuan tertentu. Karena itu aku tidak suka ada orang yang mengenali aku, maka dari itu aku tidak mau kalian tahu kedatanganku. Jadi meskipun kita sudah bertetangga selama dua tahun, aku tidak pernah datang berkunjung. Kuharap kalian bisa memaklumi sikapku ini.” Ia sekali lagi membungkuk untuk memberi hormat.

Yang sebenarnya adalah, setelah mendengar cerita di balik perjalanan Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan ke Mongolia, ia jadi sangat mengagumi mereka semua. Ia menginterogasi Yin Zhiping yang sebelumnya dikirim oleh adik seperguruannya untuk bertemu dengan Guo Jing, dan mendapat konfirmasi bahwa Guo jing sama sekali tidak punya ilmu tenaga dalam. Sebagai pendeta paling senior di Perguruan Quanzhen, ia mengerti betul prinsip-prinsip ajaran Tao. Dan ia tidak mau adik seperguruannya memaksakan kehendak dalam taruhan itu. Ia sudah berusaha berbicara dengan Qiu Chuji mengenai hal ini, tetapi Qiu Chuji tidak mau mendengar. Sebagai solusi akhirnya ia datang ke padang rumput Mongolia dan berusaha untuk membantu Guo Jing tanpa memberi tahu siapa pun. Kalau bukan begitu, bagaimana mungkin ia bisa secara sangat kebetulan bertemu Guo Jing, di tengah-tengah padang rumput Utara, yang seolah tanpa batas ini? Apa alasannya dia mendedikasikan dua tahun hidupnya untuk memberikan pengajaran yang tak ternilai harganya kepada Guo Jing? Kalau saja Mei Chaofeng tidak muncul secara tak terduga, mungkin ia sudah menghilang kembali ke Selatan, setelah yakin bahwa dasar-dasar neigong Guo Jing sudah terbentuk dengan sempurna. Hasilnya adalah baik Enam Orang Aneh dari Jiangnan maupun Qiu Chuji tidak akan pernah curiga apa-apa.

Setelah melihat keagungan sikap dan kerendahan hati pendeta itu, yang sangat kontras dengan kegagahan dan keangkuhan adik seperguruannya, Qiu Chuji, Keenam Orang Aneh membungkuk penuh hormat untuk membalas sikapnya. Mereka baru hendak menanyakan sesuatu mengenai Mei Chaofeng, ketika terdengar suara derap kaki kuda datang mendekat. Mereka melihat beberapa penunggang kuda mendekati kemah Temujin yang besar.

Guo Jing sadar bahwa itu adalah para utusan Senggum yang akan menyampaikan amanat, yang akan membawa Temujin menuju jebakan maut. Ia mulai panik. “Da Shifu,” katanya kepada Ke Zhen’E. “Aku harus pergi sebentar.”

Ke Zhen’E hampir saja melukai murid kesayangannya secara fatal tidak lama sebelumnya. Sekarang ia merasa bersalah dan jadi sangat protektif terhadap keselamatan pemuda itu. Ia tahu bahwa kalau Guo Jing pergi, ada kemungkinan ia akan bertemu dengan Mei Chaofeng. “Jangan, kau harus ada di dekat kami!”

Guo Jing ingin menjelaskan situasi darurat yang diketahuinya, tapi Ke Zhen’E justru mulai bicara tentang pertarungan maut dengan Pembunuh Kembar Angin Kegelapan dengan Ma Yu. Meskipun merasa sangat gelisah, pemuda itu tidak berani menginterupsi pembicaraan gurunya yang tertua, yang dengan mudah akan marah hanya karena alasan kecil. Ia berharap bisa bicara kalau gurunya sedang berhenti sejenak untuk menarik napas. Tiba-tiba seekor kuda datang mendekat. Hua Zheng yang mengenakan mantel pendek dari kulit musang hitam datang. Ia berhenti sekitar sepuluh kaki dari situ dan memberi tanda kepada Guo Jing. Karena takut dihukum gurunya, Guo Jing tidak berani pergi, tapi memberi tanda supaya Hua Zheng yang ke situ. Mata gadis itu terlihat merah membengkak, seolah baru menangis.

“Ayah,” katanya sambil terisak. “Ingin supaya aku menikah dengan Dukhsh…”

“Cepat,” kata Guo Jing, seolah mengabaikan keluhannya. “Beri tahu Khan bahwa Senggum dan Jamuka sedang menyiapkan perangkap untuk membunuhnya.”

“Betulkah?” tanya Hua Zheng, tercengang.

“Tentu saja benar,” kata Guo Jing. “Aku mendengarnya dengan telingaku sendiri. Ayo cepat beri tahu ayahmu!”

“Baik!” kata Hua Zheng setuju. Dengan wajah penuh kegirangan ia segera melompat kembali ke atas kudanya, dan berlalu dengan kecepatan tinggi.

“Ada orang ingin membunuh Khan, dan kau malah gembira?” pikir Guo Jing heran. Lalu ia baru paham, bahwa itu berarti dia tidak harus menikahi Dukhsh. Ia selalu menyayangi gadis itu seperti adiknya sendiri, dan selalu melindunginya. Ia selalu bertanya-tanya bagaimana caranya gadis itu bisa menghindari perkawinan yang tidak sesuai itu, dan sekarang ia jadi merasa sangat bahagia untuk gadis itu. Ia tersenyum sendiri.

“Aku bukan ingin mengagung-agungkan lawan dan merendahkan kemampuan kita sendiri,” kata Ma Yu melanjutkan uraiannya mengenai topik mereka. “Tapi Mei Chaofeng memahami intisari ajaran pemilik Pulau Persik. Jurus Cakar Tengkorak Putihnya tak terkalahkan, dan lecutan cambuk peraknya, yang panjangnya sekitar dua puluh kaki, tidak bisa dihentikan. Kalau kita menyatukan kekuatan kita semua, barangkali kita tidak akan kalah, tapi kita juga tidak bakalan bisa menang tanpa cedera.”

“Wanita itu memang sangat berbahaya,” kata Han Xiaoying. “Tapi antara dia dan kami, Enam Orang Aneh dari Jiangnan, ada kebencian yang sangat dalam.”

“Ada yang memberi tahu aku,” lanjut Ma Yu, “bahwa saudara kalian, Pendekar Zhang Yang Pemberani, dan juga Naga Terbang, Pendekar Ke Pixie, keduanya tewas di tangan Chen Xuanfeng. Tetapi karena kalian juga sudah membunuh Si Mayat Tembaga, orang bisa bilang bahwa hutang tersebut telah lunas. Seperti pepatah kuno yang mengatakan, ‘Adalah lebih baik melepaskan kebencian daripada mengikatnya’. Mei Chaofeng seorang wanita sendirian, yang menderita cacat serius, yang sebetulnya membutuhkan belas kasihan…” Keenam Orang Aneh itu terdiam beberapa saat.

“Dia menguasai ilmu sesat dan berbahaya ini,” kata Han Baoju memecahkan keheningan. “Hal itu bisa membawa maut bagi orang lain, yang tak terhitung jumlahnya. Ma Dao Zhang, kalau pun Dao Zhang merasa tergerak oleh belas kasihan, tetap tidak boleh membiarkannya dengan bebas begitu…”

“Kali ini dialah yang datang mencari kami,” kata Zhu Cong. “Dan bukan sebaliknya.”

“Dan kalau pun kita menghindarinya sekali ini, lain kali kalau dia yang ingin mencari kita, maka kita tidak akan pernah aman.”

“Aku sudah memikirkan suatu strategi,” kata Ma Yu. “Tapi ini perlu kemurahan hati dan belas kasihan dari Para Pendekar semua kepada perempuan brengsek yang harus dikasihani ini. Berikan dia kesempatan untuk bertobat.” Zhu Cong tidak ingin bicara, ia membiarkan Ke Zhen’E yang mengambil keputusan.

“Kami, Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan,” kata Ke Zhen’E dengan hati-hati, “punya sifat yang kasar dan langsung, kami hanya mengerti cara berkelahi secara barbar. Kalau Dao Zhang ingin menunjukkan jalan ke arah yang lebih baik, maka kami sangat berterima kasih. Dao Zhang hanya perlu bicara.” Dari penuturan Ma Yu ia bisa memahami bahwa dalam waktu sepuluh tahun ini kungfu Mei Chaofeng telah mengalami kemajuan sangat pesat. Tampaknya memang Ma Yu ingin menyelamatkan nyawa Si Mayat Besi itu, tetapi dalam kenyataannya ia sebetulnya bermaksud menyelamatkan muka Enam Orang Aneh. Tujuan sebenarnya adalah untuk menunjukkan jalan supaya mereka bisa lolos dari cakar maut Mei Chaofeng. Para Orang Aneh lainnya merasa bahwa kakak tertua mereka telah berubah menjadi sangat berbelas kasihan, dan mereka semua tercengang.

“Dengan menunjukkan belas kasihan, Ke Daxia,” ujar Ma Yu lagi, “kalian semua akan menerima segala berkat dari Surga. Ada satu hal lagi yang sangat penting. Menurut sumber informasi yang kupercayai, dalam sepuluh tahun terakhir ini Mei Chaofeng telah menerima lebih banyak ajaran dari Huang Yaoshi2.”

“Tapi menurut isu yang beredar,” Zhu Cong bertanya-tanya, “Sepasang Iblis itu adalah murid murtad dari Pulau Persik. Bagaimana Huang Yaoshi bisa mengajar dia lagi.”

“Itu juga yang kupercayai,” kata Ma Yu setuju. “Tapi menurut keterangan kalian, aku mendapat kesan bahwa kungfu mereka sangat jauh dari apa yang diperlihatkan oleh Mei Chaofeng hari ini, dan kulihat sendiri. Kalau tidak ada petunjuk dari seorang ahli setingkat Huang Yaoshi, tidak mungkin dia bisa mencapai tingkat seperti sekarang dengan latihan sendiri. Dan kalau memang begitu, dan kita membunuh Mayat Besi hari ini, maka kita akan beresiko menyinggung Huang Yaoshi…” Ke Zhen’E dan Zhu Cong sudah seringkali mendengar cerita mengenai kehebatan Huang Yaoshi, dan seringkali juga dalam bentuk yang terlalu dibesar-besarkan, sampai mereka sulit mempercayai apa yang mereka dengar tentang kekuatan orang itu. Perguruan Quanzhen mewakili aliran kungfu ortodoks. Kalau Ma Yu sampai merasa takut kepada Huang Yaoshi, itu adalah sesuatu yang pantas diperhitungkan.

“Dao Zhang sudah memikirkan segala-galanya,” kata Zhu Cong. “Kami hanya bisa merasa kagum. Biarkan kami menjadi bagian dari rencana Dao Zhang yang bisa dipastikan bijaksana.”

“Rencana payah ini,” kata Ma Yu, “bisa jadi akan terasa sombong. Kuharap para pendekar semua tidak menertawakan aku.”

“Dao Zhang sungguh terlalu merendah,” kata Zhu Cong. “Reputasi ketujuh murid Wang Chongyang sudah begitu berakar di dunia persilatan. Dalam hal ini semua orang sudah kenal betul.” Rasa hormat Zhu Cong kepada Ma Yu adalah setulus hati dan murni, sebetulnya hal yang sama tidak dirasakannya kepada Qiu Chuji, yang juga adalah salah satu murid Wang Chongyang.

“Berkat kebajikan dari almarhum pendiri perguruan kami,” kata Ma Yu. “sekarang kami tujuh bersaudara menikmati keuntungan dari reputasi kecil di dunia persilatan. Kukira Mei Chaofeng tidak akan berani keluar sendirian menghadapi kami. Inilah sebabnya aku merancang sebuah tipuan untuk membuatnya pergi, berdasarkan keyakinan pada reputasi sia-sia kami. Strategi ini tentu saja kurang terhormat, tetapi karena niat kita baik, maka kukira ujung akhirnya bisa membenarkan kekurangan strategi itu, dan juga tidak merusak nama baik keenam pendekar sekalian.” Ia kemudian menerangkan secara detil tipuan yang dimaksud. Keenam Orang Aneh awalnya merasa rencana itu agak merendahkan. Karena meskipun kemajuan kungfu Mei Chaofeng sangat pesat, dan kalau pun Huang yaoshi sendiri datang secara pribadi, mereka bisa kehilangan apa lagi? Yang terburuk adalah mereka akan kehilangan nyawa, seperti yang sudah dialami Zhang Ahsheng lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Ma Yu berusaha meyakinkan mereka. Akhirnya, Para Orang Aneh, karena rasa hormat kepadanya, dan juga mengingat segala jerih payah tak kenal lelah yang telah dilakukannya untuk Guo Jing, menyetujui rencana itu.

Setelah beristirahat sejenak, mereka mulai bergerak ke arah tebing. Ma Yu dan Guo Jing mendaki di depan mereka. Keenam Orang Aneh melihat bahwa pendeta itu tidak berusaha memamerkan kemampuannya, dan mendaki pelan-pelan di belakang Guo Jing. Meskipun begitu, langkahnya mantap dan semua gerakannya sangat stabil, menunjukkan kekuatan ilmunya. “Dia sudah jelas tidak lebih lemah dibanding Qiu Chuji, tapi kenapa Qiu Chuji bisa begitu populer, sebaliknya orang bisa dikatakan tak pernah mendengar apa-apa tentang Ma Yu. Penjelasannya pasti karena perbedaan karakter di antara keduanya…” Setelah tiba di atas, Ma Yu dan Guo Jing menurunkan tali panjang dan menarik Enam Orang Aneh ke puncak. Di atas batu besar mereka bisa melihat sisa-sisa latihan cambuk Mei Chaofeng. Mereka terpukau, dan akhirnya mulai percaya kata-kata Ma Yu.

Kedelapan orang itu duduk dan menunggu sampai akhirnya malam tiba. Saat sudah mulai larut, Han Baoju kehilangan kesabarannya. “Kenapa dia begini lama.”

“Diam!” tegur Ke Zhen’E. “Itu dia datang!”

Mereka semua mendengarkan dengan seksama, tetapi tidak mendengar apa-apa. Hanya Ke Zhen’E dan pendengarannya yang luar biasa mampu menangkap suara langkah Mei Chaofeng dari jarak sejauh itu. Dan dia benar-benar datang. Di bawah sinar bulan mereka melihat samar-samar bayangan hitam mendekat dengan langkah cepat. Dalam sekejap mata ia telah mencapai kaki bukit, lalu mulai mendaki dengan gesit. Zhu Cong bertukar pandang dengan Quan Jinfa dan Han Xiaoying. Dilihatnya muka mereka pucat dan penuh ketegangan. Ia merasa mukanya juga pasti sama.

Dengan sangat cepat Mei Chaofeng sudah mencapai puncak. Di punggungnya ia membawa seseorang yang tidak bergerak, mereka tidak tahu apakah orang itu masih hidup atau sudah mati. Guo Jing merasa pakaian yang dikenakan orang itu sepertinya tidak asing baginya. Ia mencoba mengamati lebih teliti dan akhirnya ia mengenali mantel bulu warna hitam yang dikenakan Hua Zheng. Merasa sangat kuatir, ia hampir saja berteriak, tetapi Zhu Cong dengan matanya yang jeli dan gerakan yang cepat, segera menutup mulutnya dengan tangan, sambil berkata dengan nada tinggi, “Perempuan jahat itu, Mei Chaofeng, kalau sampai jatuh ke tanganku, Qiu Chuji, takkan pernah kubiarkan lolos!”

Setelah terkejut mendengar ada suara manusia di atas tebing, Si Mayat Besi lebih kaget lagi mendengar nama Qiu Chuji dan namanya sendiri. Ia bersembunyi di balik batu untuk mendengarkan pembicaraan itu. Ma Yu dan Keenam Orang Aneh melihat gerak-geriknya dengan jelas, dan bukannya merasa tegang mereka malah sangat geli dan hampir tertawa terbahak-bahak. Hanya Guo Jing yang kuatir akan keselamatan Hua Zheng gemetar karena cemas.

“Mei Chaofeng menyusun tengkorak di sini,” seru Han Baoju. “Itu artinya dia sungguh akan datang. Kita tunggu saja di sini.” Karena tidak tahu berapa banyak lawan yang berkumpul di situ, Mei Chaofeng tetap diam tak bergerak di balik batu.

“Dia memang menyakiti kita, tapi Perguruan Quanzhen selalu penuh kasih dan pengampunan. Bagaimana kalau kita memberinya pilihan untuk bertobat?”

“Orang Bijak Yang Tenang3 selalu berhati lembut,” kata Zhu Cong sambil tertawa. “Tidak heran guru selalu berkata bahwa kau akan dengan mudah menemukan ‘jalan’.”

Wang Chongyang, pendiri Perguruan Quanzhen, punya tujuh orang murid dengan reputasi yang sangat baik dan sudah sangat terkenal di dunia persilatan, meskipun umumnya orang hanya mengenal Qiu Chuji, yang memang paling populer. Mulai dari yang tertua adalah Ma Yu, selanjutnya masing-masing adalah Tan Chuduan, Liu Chuxuan, Qiu Chuji, Wang Chuyi, Hao Datong, dan terakhir adalah Sun Bu’er. Sebelum menjadi penganut ajaran Tao, Sun Bu’er sebelumnya adalah istri dari Ma Yu, dan ia juga satu-satunya perempuan di jajaran murid Wang Chongyang.

Dalam sandiwara yang mereka mainkan untuk menipu Mei Chaofeng ini, peranan Sun Bu’er tentu saja dimainkan oleh Han Xiaoying, yang juga satu-satunya wanita di antara Enam Orang Aneh.

“Tan Shixiong, apa pendapatmu?” tanya Han Xiaoying lagi.

“Kejahatannya pantas dihukum seberat-beratnya,” jawab Nan Xiren.

“Tan Shixiong,” kata Zhu Cong menimpali. “akhir-akhir ini kemajuanmu dalam ‘Kaligrafi Jari’ sangat pesat. Kalau Iblis Perempuan itu datang nanti, mungkin kau bisa mendemonstrasikan ilmu itu.”

“Rasanya lebih adik Wang yang mendemonstrasikan teknik Kaki Besinya,” jawab Nan Xiren. “Hanya perlu satu tendangan untuk mengirimnya ke dasar tebing, tubuh dan jiwanya akan lenyap.”

Seperti telah diketahui, di antara mereka bertujuh, Qiu Chuji adalah yang paling populer, setelah itu adik seperguruannya, Wang Chuyi, yang bergelar “Matahari Pualam”. Gelar tersebut seolah tertutup oleh julukannya “Si Kaki Besi”, yang diperolehnya dalam sebuah taruhan menyerempet bahaya. Wang Chuyi berdiri di dekat jurang yang dalam hanya dengan satu kaki, tubuhnya terayun-ayun ke depan dan belakang tertiup angin kencang, yang membuat jubahnya berkibar-kibar. Para pendekar dari Shandong dan Hebei terpesona menyaksikan demonstrasi itu. Mulai saat itu Wang Chuyi dijuluki ‘Kaki Besi’. Ia kemudian hidup dalam pertapaan selama sembilan tahun untuk memperdalam ilmunya. Bahkan Qiu Chuji sangat mengagumi kungfunya. Ia menulis puisi ‘Sembilan Musim Panas Berdiri Di Matahari, Tiga Musim Dingin Berbaring Di Tanah’ untuk memperingati kekuatan neigong Wang Chuyi.

Semua percakapan di antara mereka itu sudah dipelajari dan direncanakan baik-baik sebelumnya. Hanya Ke Zhen’E yang sebelumnya sempat berbicara dengan Mei Chaofeng tidak ikut bersuara, karena ada kemungkinan Mei Chaofeng masih mengenali suaranya.

Si Mayat Besi makin lama makin terperanjat. “Kelihatannya ketujuh pendekar Quanzhen semuanya hadir di sini. Aku bahkan tidak yakin bisa mengalahkan salah seorang dari mereka, lalu bagaimana aku bisa menghadapi gabungan dari mereka bertujuh sekaligus? Kalau mereka menemukanku, matilah aku!”

Saat itu cahaya bulan menerangi puncak tebing itu dengan sempurna. Zhu Cong berkata, “Malam ini awan hitam tebal menyelimuti langit. Kita bahkan tidak bisa melihat tangan sendiri. Harap semuanya waspada, jangan sampai iblis perempuan itu memanfaatkan situasi ini untuk kabur!”

“Bagus sekali kalau malam ini gelap,” pikir Mei Chaofeng, meyakinkan diri. “Kalau tidak, mereka pasti sudah memergoki aku. Aku akan bersyukur kepada Langit dan Bumi selama bulan tidak muncul!”

Guo Jing tidak bisa berhenti mengamati Hua Zheng. Ia tiba-tiba melihat gadis itu membuka matanya. Saking girangnya melihat Hua Zheng sadar dari pingsan, ia segera memberi tanda dengan tangannya, berharap supaya gadis itu tetap tenang. Tetapi gadis itu ternyata juga melihatnya, dan langsung berteriak, “Tolong… tolong…!”

“Jangan bersuara!” teriak Guo Jing.

Teriakan itu mengejutkan Mei Chaofeng. Ia segera menekan salah satu titik akupuntur di tubuh Hua Zheng untuk membuatnya tidak bisa bicara. Tapi kecurigaan timbul di benaknya.

“Zhiping,” kata Zhu Cong. “Itu tadi kau yang bicara?”

Guo Jing memang seharusnya memainkan peran sebagai Yin Zhiping, Si Pendeta Tao muda yang pernah menyerangnya. “Ya… ya… itu aku!”

“Rasanya,” kata Zhu Cong lagi. “Tadi aku mendengar suara perempuan.”

“Tepat sekali,” jawab Guo Jing.

“Kalau ini jebakan,” pikir Mei Chaofeng. “Apa mungkin ketujuh Pendeta Tao semuanya ada di puncak tebing ini pada saat seperti ini? Masa begitu kebetulan? Mungkin ada orang yang sengaja memanfaatkan kebutaanku untuk menipuku!”

Ma Yu melihatnya pelan-pelan bangkit berdiri di belakang batu besar itu, ia mengerti bahwa Mei Chaofeng mulai curiga. Kalau tipuan mereka sampai terbongkar dan Mei Chaofeng menyerang, ia sendiri mungkin tidak punya resiko, tetapi Hua Zheng sudah pasti akan tewas, dan Keenam Orang Aneh akan menderita luka parah. Karena itu ia sangat cemas. Ia tidak pernah bisa berpikir cepat, dan ia sekarang tidak tahu harus berbuat apa.

Melihat Mei Chaofeng memegang cambuk peraknya, sepertinya siap menyerang. Zhu Cong dengan nekad berseru, “Da Shixiong, kau selama bertahun-tahun ini berlatih ilmu yang paling canggih ajaran guru kita, sudah jelas kemajuanmu pesat. Masa kau tidak mau menunjukkannya sedikit pun kepada kami?”

Ma Yu tahu bahwa Zhu Cong memintanya untuk mendemonstrasikan kebolehannya sekedar untuk meyakinkan Mei Chaofeng. “Aku jelaslah yang paling tua dari kita semua,” katanya. “Tapi aku secara alamiah lambat, kemampuanmu lebih baik dari aku. Semua ajaran yang diturunkan pendiri perguruan kita, dengan malu harus kubilang, aku bahkan tidak bisa memahami satu kalimat pun…” Ia mengucapkan setiap kata dengan sangat lambat, tetapi semuanya terisi dengan pernapasannya yang sempurna. Nada bicaranya sangat tenang dan rendah hati, tetapi suaranya terbawa sampai sangat jauh. Ia belum selesai mengucapkan kata terakhirnya, ketika gema dari kalimat pertama datang kembali, seperti geraman seekor harimau dan teriakan seekor naga. Ketika mendengar demonstrasi kekuatan neigong yang luar biasa itu, Mei Chaofeng sangat terkesan, lalu kembali merendahkan tubuhnya di balik batu.

“Kudengar,” lanjut Ma Yu, masih dengan suara yang sama, “bahwa wanita itu sudah hilang ingatan dan patut dikasihani. Kalau dia mau bertobat, dan berjanji untuk berhenti menyakiti orang-orang yang tidak berdosa, maka kita bisa mengampuninya. Dan kalau dia berjanji untuk tidak lagi mengganggu Keenam Orang Aneh dari Jiangnan, kita juga harus membiarkannya terus hidup, mengingat hubungan baik antara almarhum guru kita dan pemilik Pulau Persik. Qiu Shidi, kau teman baik Enam Orang Aneh dari Jiangnan, kau juga harus bicara dengan mereka, dan meminta supaya mereka menghentikan permusuhan dengan Mei Chaofeng. Kalau kedua belah pihak mau berusaha, maka segala dendam pasti akan lenyap dengan sendirinya.”

“Itu sangat mudah,” kata Zhu Cong. “Tapi masalah sebenarnya adalah kita tidak tahu apakah Mei Chaofeng bersedia untuk diampuni.”

Tiba-tiba mereka mendengar suara sedingin es berkata, “Terima kasih banyak kepada Tujuh Pendekar Quanzhen untuk kebaikan hatinya! Aku, Mei Chaofeng, ada di sini!” Mendadak, dan sangat mengejutkan, ia maju ke depan. Ma Yu sengaja menggertaknya dengan harapan bahwa ia akan pergi dari situ, menyesali semua tindakannya, dan memperbaiki kesalahannya. Tapi ternyata, begitu yakin akan kekuatan barunya, ia dengan berani maju dan menghadapi lawan-lawannya secara langsung.

“Sebagai wanita,” kata Mei Chaofeng, “aku tidak berani menguji diriku menghadapi para pendeta sekalian. Tetapi aku sudah lama mengagumi kungfu dari Orang Bijak Yang Pendiam, dan aku memberanikan diri meminta kehormatan untuk mengukur kemampuanku melawan dia.” Berbekal senjata cambuk peraknya, ia berdiri dalam keadaan siaga, menunggu tanggapan Han Xiaoying.

Sejak tadi Guo Jing sudah menyadari bahwa Hua Zheng jatuh tidak bergerak ke tanah. Ia tumbuh besar bersama-sama dengan gadis itu, dan secara alamiah punya perasaan khusus sebagai seorang kakak kepadanya. Tanpa berpikir sedetikpun, dan tanpa mempedulikan kehadiran Mei Chaofeng, ia melompat keluar untuk membebaskan Hua Zheng. Dengan gerakan cepat Si Mayat Besi mencekal pergelangan tangan kirinya. Selama dua tahun Guo Jing sudah berlatih ilmu tenaga dalam ortodoks dari Ma Yu, dan tubuhnya yang sehat secara alamiah bereaksi terhadap cekalan itu. Dengan tangan kanannya ia melemparkan Hua Zheng ke arah Han Xiaoying, lalu ia memutar pergelangan tangan kirinya untuk melepaskan diri dari cekalan Mei Chaofeng. Tapi wanita itu sungguh sangat cepat, begitu ia merasa Guo Jing lolos, tangannya segera bergerak untuk menangkapnya kembali. Kali ini selain mencekal lebih kuat, ia juga menekan pembuluh darah utama di pergelangan tangannya dengan sangat akurat, yang menyebabkan Guo Jing tidak lagi bisa bergerak.

“Siapa kau?” tanya wanita itu dengan sangat mendesak.

“Zhiping!” panggil Zhu Cong. “Dengar!”

Guo Jing yang sangat panik setelah menyadari tangannya tidak bisa digerakkan, hampir saja secara naluriah menjawab, “Aku Guo Jing!” tepat ketika ia mendengar suara peringatan dari Zhu Cong.

“Aku…” ia tergagap. “aku Yin Zhiping… Murid… Murid dari Quanzhen… Musim Semi…” Meskipun ia sudah mengulangi kalimat itu tiga atau empat puluh kali sebelumnya, tetapi dalam keadaan panik ia tidak bisa mengucapkannya tanpa tergagap.

“Dia hanya seorang murid biasa,” pikir Mei Chaofeng, “tapi tenaga dalamnya sudah begitu kuat. Dia bukan hanya berhasil menyelamatkan orang tepat di depan hidungku, ia malah bisa melepaskan diri dari cekalanku. Rasanya aku lebih baik mundur kali ini.” Ia melepaskan cekalannya. Guo Jing pulih, dan segera melarikan diri kembali kepada guru-gurunya. Bekas lima jari tangan seolah terpahat dalam daging pergelangan tangannya. Ia tahu dengan jelas bahwa wanita itu tidak menggunakan seluruh kekuatannya, kalau tidak pastilah saat ini pergelangan tangannya sudah patah.

Mei Chaofeng tidak lagi berani menantang Sun Bu’er palsu yang diperankan oleh Han Xiaoying. Sebaliknya ia bertanya kepada Ma Yu, “Ma Dao Zhang, apakah artinya ‘Timbal dan Merkuri diawetkan dengan baik’?”

“Timbal adalah logam berat,” jawab Ma Yu secara naluriah. “itu mewakili ginjal. Merkuri digolongkan sebagai cairan, ini adalah metafora untuk pemanasan di dalam tubuh. Kalimat itu bermakna ‘Adalah baik menstabilkan ginjal dan menyingkirkan api di dalam tubuh, dalam upaya untuk meraih manfaat dari meditasi’.”

“Lalu apa artinya ‘Bayi perempuan Cha’?” kejar Mei Chaofeng.

Ma Yu tiba-tiba tersadar bahwa wanita itu sedang berusaha untuk mengorek rahasia ilmu tenaga dalam. “Wanita Sesat!” serunya. “Jangan berusaha untuk mengorek rahasia ilmu perguruanku, ayo cepat pergi dari sini!”

Mei Chaofeng tertawa. “Terima kasih untuk penjelasannya, Dao Zhang!”

Mendadak ia melompat ke depan, berbekal cambuk peraknya ia meluncur turun dari puncak tebing dengan kecepatan yang sulit dipercaya. Mereka semua yang tersisa menatap kepergiannya, merasa sangat lega bisa terlepas dari konflik berbahaya. Jauh di tengah padang rumput, sebuah bayangan menghilang dengan gerakan secepat hantu.

Ma Yu segera membuka totokan di tubuh Hua Zheng, dan gadis itu kembali bisa bergerak. Ia bersandar di batu besar untuk beristirahat.

“Dalam waktu sepuluh tahun,” kata Zhu Cong, “ilmu silat perempuan iblis itu maju begitu pesat, kalau saja Dao Zhang tidak membantu kita, rasanya segala dendamnya akan lunas terbayar hari ini.” Ma Yu menanggapi dengan rendah hati, tetapi keningnya berkerut, seolah-olah ia sedang memendam kecemasan.

“Kalau ada sesuatu yang harus diselesaikan,” kata Zhu Cong lagi, “meskipun kami tidak bisa berbuat terlalu banyak, tapi setidaknya kami masih bisa berusaha. Dao Zhang bisa langsung menyuruh kami.”

“Karena kurang perhatian,” kata Ma Yu. “Tadi aku tertipu oleh perempuan licik itu.”

“Dao Zhang terluka oleh senjata rahasia?” tanya Enam Orang Aneh.

“Bukan,” jawab Ma Yu. “Masalahnya bukan itu. Waktu dia bertanya, aku langsung menjawab tanpa berpikir panjang. Dan itu mungkin bisa menimbulkan kejahatan selanjutnya.” Teman-temannya terlihat bingung dan tidak mengerti kalimat tersebut. Si Pendeta menjelaskan, “Kungfu Mei Chaofeng sudah mencapai tingkat yang sulit kita bayangkan. Bahkan seandainya kedua adik seperguruanku Qiu Chuji dan Wang Chuyi sungguh-sungguh hadir di sini, kita semua belum tentu mampu mengatasi dia. Bahwa pemilik Pulau Persik bisa menghasilkan murid setingkat dia, itu sudah membuktikan kualitasnya sendiri. Hanya neigong dari Mei Chaofeng yang sama sekali tidak sempurna. Aku tidak tahu dengan cara apa dia bisa mendapatkan rahasia ilmu aliran Tao, tetapi tanpa petunjuk dari seorang ahli, ia tidak akan memahaminya. Ia menanyakan formula rahasia tadi karena kurangnya pemahaman yang akhirnya menghambat kemajuan ilmunya. Aku akhirnya tersadar, dan tidak menjawab pertanyaan kedua. Tapi jawaban pertama itu akan memberi jalan bagi dia untuk mencapai kemajuan luar biasa dari sisi neigong.”

“Mari kita berharap,” kata Han Xiaoying, “bahwa dia akan sungguh-sungguh bertobat dan menyesali tindakannya di masa lalu, dan tidak lagi berbuat jahat.”

“Biarlah terjadi seperti itu,” kata Ma Yu. “Kalau tenaga dalamnya sampai berkembang pesat, maka ia akan makin sulit dihadapi. Ah! Ini semua salahku, aku terlalu naif, seharusnya aku tidak mempercayai dia…” Setelah berpikir sejenak, ia melanjutkan penuturannya, “Satu hal yang membuatku heran. Dasar-dasar ilmu silat Pulau Persik sangat berbeda dengan ilmu aliran Tao. Namun begitu, kedua formula yang dikutipnya tadi sangat sesuai dengan aliran Tao. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?”

Hua Zheng tiba-tiba melompat dari batu besar tempatnya bersandar. “Ah!” jeritnya. “Guo Jing, ayah tidak percaya keteranganku. Dia sudah pergi ke tempat Ong Khan!”

“Kenapa?” tanya Guo Jing.

“Aku sudah menjelaskan,” lanjut Hua Zheng, “bahwa Paman Senggum dan Paman Jamuka punya rencana jahat untuk membunuhnya. Tapi dia tertawa, katanya itu karena aku tidak mau menikahi Dukhsh, makanya aku mengarang cerita omong kosong. Aku sudah bilang kalau kau mendengarnya sendiri, tapi dia tetap tidak mau percaya. Dia bahkan bilang bahwa dia akan menghukummu waktu dia pulang. Aku melihatnya pergi dengan tiga kakakku dan hanya pengawalan kecil. Aku buru-buru kembali untuk mencarimu, tapi di tengah jalan aku ditangkap perempuan buta itu. Dia ingin membawaku untuk menemuimu, apa benar begitu?”

“Kalau kita semua tidak ada di sini,” kata Keenam Orang Aneh, “sekarang ini tengkorak kepalamu pasti sudah berlubang lima jari tangan!”

“Kapan Khan berangkat?” tanya Guo Jing cemas.

“Sudah lama,” sahut Hua Zheng. “Kata ayah ia ingin sampai di sana secepat mungkin. Dia bahkan tidak menunggu matahari terbit. Kuda mereka sangat cepat, mereka pasti sudah sangat jauh sekarang. Apa memang benar Paman Senggum ingin mencelakai ayah?” Ia mulai terisak. Ini adalah pertama kali dalam hidupnya menghadapai persoalan yang begitu besar. Ia sangat terganggu.

“Jing’er,” kata Zhu Cong. “Cepat turun bukit. Bawa kuda merahmu dan selamatkan Khan! Meskipun ini belum tentu benar, tapi kita harus mengirim orang untuk memastikan apa niat Senggum. Hua Zheng, kau harus meyakinkan kakakmu Tolui untuk memimpin prajurit dan mengejar Khan untuk menyelamatkannya.” Guo Jing mengerti, dan segera menuruni bukit. Ma Yu sambil membawa tali menyusul turun bersama Hua Zheng.

Pemuda itu dengan cepat sampai di ger-nya, mengambil kuda merahnya, dan berpacu dengan panik. Saat itu matahari mulai naik tinggi. Guo Jing sangat cemas, ia bergumam sendiri, “Takutnya saat ini Khan sudah masuk ke perangkap Senggum. Kalau sampai begitu akan mustahil untuk menyelamatkannya.”

Kuda merah kecil itu senang sekali bisa berlari tanpa pelana, dan hatinya menari riang. Karena takut kudanya jatuh, Guo Jing menarik sedikit tali kekangnya, tetapi kuda itu menolak, dan terus menerjang sambil meringkik riang. Lagipula, meskipun berpacu dengan kecepatan tinggi, ia sama sekali tidak tampak kelelahan. Setelah berpacu kira-kira dua jam, Guo Jing memperlambat lajunya untuk beristirahat sejenak. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Satu jam kemudian, ia melihat tiga kelompok orang di kejauhan, sepertinya tiga skuadron. Sementara bergerak mendekat, ia segera mengenali ciri-ciri pasukan Ong Khan. Panah dan busur mereka terpasang rapi, pedang terhunus, siap untuk bertempur.

“Khan ada di depan,” keluh Guo Jing. “Tapi jalur mundurnya sudah ditutup!” Ia menjepit perut kuda dengan kakinya, dan kuda merah itu segera melaju kencang seperti angin, melewati pasukan Ong Khan. Mereka berteriak-teriak untuk menghentikannya, tetapi pemuda itu sudah lenyap di tengah angin.

Guo Jing tidak berani membuang waktu. Ia melihat ada tiga skuadron lagi sedang berbaring menunggu, sebelum ia melihat di kejauhan ada panji-panji dengan bulu putih sebagai tanda kehadiran Temujin. Dengan dikawal beberapa ratus orang ia berkuda dengan tenang ke arah Utara. Guo Jing memcoba berdiri setinggi mungkin di atas kuda sambil berteriak memanggil, “Khan Agung! Harap berhenti, tidak boleh jalan terus!”

Temujin kaget dan berhenti. “Kenapa tidak boleh?” tanyanya.

Guo Jing menceritakan kembali apa yang didengarnya di dalam ger Senggum, dan berusaha menjelaskan bahwa jalan mundurnya sudah dipotong. Temujin memandangnya dengan skeptis, tidak pasti apakah harus mempercayai keterangannya. “Aku tidak pernah cocok dengan Senggum,” pikirnya. “Tapi ayah angkatku sekarang ini membutuhkan bantuanku, dan Jamuka adalah saudara angkatku. Bagaimana mungkin mereka bersekongkol untuk melawan aku — kecuali Pangeran Keenam dari Jin itu yang mengadu domba.”

Temujin ragu-ragu, dan Guo Jing berkata, “Khan Agung, kau hanya perlu mengirim orang kembali ke arah balik, maka kau akan lihat sendiri…”

Sejak masa anak-anak, Temujin hidup di tengah tipu muslihat dan pengkhianatan. Ia berhasil ratusan perang berkat keberanian dan kecermatannya. Meskipun ia berpikir bahwa sangat mustahil Jamuka dan Ong Khan bersekongkol untuk melawannya, tapi ia berkata, “Berhati-hati sepuluh ribu kali bukanlah berlebihan, justru mati sekali karena kurang hati-hati adalah berlebihan.” Ia kemudian mengutus putra keduanya, Chagatai bersama Tchila’un untuk memeriksa ke arah balik.

Temujin mengamati tata letak tanah dan memberi perintah, “Kita menuju ke atas bukit itu dan bersiap-siap.” Pengawalnya hanya terdiri dari beberapa ratus orang, tetapi semuanya adalah pasukan elit dan pejabat teras militer. Tanpa perlu perintah selanjutnya mereka menggali parit, mendirikan barikade, dan bersiap-siap untuk menhadapi sergapan. Tak lama kemudian mereka melihat kepulan debu dari arah Selatan, yang ditimbulkan oleh beberapa ratus penunggang kuda yang sedang mengejar Chagatai dan Tchila’un. Jebe yang memiliki mata tajam segera mengenali panji-panji milik para pengejar itu.

“Mereka prajurit Ong Khan,” serunya. Mereka membagi diri menjadi beberapa grup, dan berusaha mengepung Chagatai dan Tchila’un. Keduanya merapat ke depan di pelana, dan dengan panik melecut kudanya keras-keras.

“Guo Jing,” seru Jebe. “Bantu mereka!”

Keduanya menuruni bukit. Kuda merah kecil itu senang sekali bisa bertemu dengan kawanannya, tiba dengan cepat di depan Tchila’un. Guo Jing melepaskan tiga anak panah dengan kecepatan angin, memotong laju tiga pengejar terdekat, sebelum menyelipkan diri di antara para pengejar dan yang dikejar sambil terus menembakkan panahnya ke semua penjuru. Jebe juga sudah tiba, dan melepaskan panah-panahnya yang cepat dan mematikan. Namun demikian, para prajurit Ong Khan jumlahnya terlalu banyak untuk diatasi, mereka melaju kencang seperti gelombang tak tertahankan. Chagatai, Tchila’un, Jebe, dan Guo Jing akhirnya mencapai bukit. Rekan-rekan mereka menhujani para pengejar dengan anak panah, sampai akhirnya mereka tidak berani mendekat, dan hanya menunggu di luar jarak tembak.

Dari atas bukit Temujin mengamati keadaan sekitarnya. Tak lama kemudian, pasukan Ong Khan bergegas datang dari semua penjuru. Seorang pria di bawah panji kuning menaiki kuda besar ada di tengah mereka. Itu Senggum, putra Ong Khan. Temujin tahu bahwa mustahil bagi mereka untuk menerobos kepungan lawan, jalan terbaik saat itu adalah mengulur waktu sambil memikirkan jalan keluar. “Kenapa Kakak Senggum kelihatannya takut untuk mendekat dan berunding?” serunya.

Di bawah perlindungan para pengawalnya, yang melindunginya dengan perisai mereka, Senggum mendekat dengan sikap penuh keyakinan dan arogan. “Temujin, cepat mundur!”

“Bagaimana caraku menyinggung ayah angkatku, Ong Khan,” tanya Temujin, mendesak, “sehingga kau menyerangku seperti ini?”

“Dari generasi ke generasi, orang-orang Mongolia hidup terdiri dari berbagai suku yang berbeda-beda,” kata Senggum. “Di jantung dari suku-suku ini, semua ternak disebarkan dan dibagikan menurut aturan umum yang berlaku. Kenapa kau ingin melawan tradisi yang sudah berakar dan mencampur-adukkan semua suku? Ayahku sudah seringkali bilang bahwa kau salah kalau berbuat begitu.”

“Kita bangsa Mongol,” jawab Temujin, “adalah bawahan dari Kekaisaran Jin — yang setiap tahun menuntut agar kita membayar upeti berupa puluhan ribu sapi. Apakah itu sebuah keadilan? Kalau hal ini diteruskan, maka kita akan mati kelaparan. Kalau kita tidak saling berperang sendiri, kenapa kita harus takut kepada Kekaisaran Jin? Aku selalu menjaga hubungan baik dengan ayah angkatku, tidak pernah ada kebencian di antara kedua keluarga besar. Ini kesalahan Kekaisaran jin, yang memang ingin memecah-belah keluarga kita!” Para prajurit Senggum yang mendengar pidato ini merasa bahwa ucapannya sangat masuk akal.

“Kita bangsa Mongol adalah para pejuang pemberani,” lanjut Temujin. “Kenapa kita tidak pergi untuk mengambil harta bangsa Jin? Kenapa kita bahkan mau membayar upeti kepada mereka setiap tahun? Di antara orang-orang Mongolia, ada yang rajin menggembalakan dan mengembang-biakkan ternak, tetapi ada juga yang malas. Kenapa mereka yang bekerja keras itu harus memelihara orang lain yang tidak bekerja? Kenapa mereka yang berkeringat itu tidak punya lebih banyak sapi dan anak domba? Kenapa mereka tidak membiarkan saja yang malas itu mati kelaparan saja?”

Pada masa itu orang-orang Mongolia hidup menurut aturan sosialisme kesukuan. Semua harta mereka, sapi, domba, adalah milik bersama. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah dan ukuran ternak meningkat. Mereka telah banyak belajar dari orang-orang Han untuk membuat peralatan perang dan perabot rumah-tangga. Kebanyakan dari penggembala ternak ingin memelihara sebagian ternaknya untuk diri mereka sendiri, yang telah mereka perjuangkan dengan susah payah. Sama seperti para prajurit yang pergi berperang, tidak ingin membagi harta rampasan dan tawanan perang mereka dengan orang-orang lain yang tidak ikut berperang. Persoalan ini mengena tepat di hati semua prajurit, dan bukan hanya prajurit Temujin sendiri.

Melihat bahwa Temujin mulai menanamkan pengaruh kepada orang-orangnya, Senggum berteriak, “Letakkan segera semua senjata kalian dan menyerahlah! Kalau tidak, hanya dibutuhkan tanda dari cambukku untuk menghujani kalian dengan puluhan ribu anak panah. Kalian tidak akan punya peluang untuk lolos!”

Guo Jing melihat bahwa situasinya berkembang menjadi darurat, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Lalu ia melihat di kaki bukit, seorang pejabat muda, baju perangnya ditutupi mantel bulu musang kelabu, dengan golok panjang di tangan ia berarak kian kemari dengan penuh kebanggaan. Orang itu Dukhsh, putra Senggum, yang berkelahi dengannya ketika masih kecil. Dialah anak bengal yang jahat, yang ingin melepaskan macan tutul untuk mencelakai Tolui. Guo Jing tidak sungguh-sungguh memahami mengapa semua hal ini terjadi, mengapa Senggum, Ong Khan, dan Jamuka, sampai bersekongkol untuk melawan Temujin. “Khan dan Ong Khan selalu hidup rukun,” katanya kepada diri sendiri. “Ini kemungkinan besar adalah Dukhsh, di bawah perintah Pangeran Keenam dari Jin itu, yang menyebarkan fitnah dan kebohongan busuk! Kalau aku menangkapnya, dan memaksanya untuk mengaku salah, maka semua pihak akan bisa berdamai.” Memacu kuda merah kecilnya, ia segera menuruni bukit, dan memanfaatkan keterkejutan semua orang, ia menerjang paksa ke arah Dukhsh selagi mereka terkesima.

Menyerang dengan belatinya, Guo Jing setengah berdiri di atas pelana, belatinya dipegang di atas kepala, dan tangan kanannya mencekal pembuluh darah utama di pergelangan tangan Dukhsh. Ini adalah gerakan terkenal ‘Memutuskan Otot dan Memisahkan Tulang’, yang disempurnakan oleh Zhu Cong, Dukhsh tidak sanggup menahannya. Dengan sekali sentak ia merenggut Dukhsh dari atas pelana kudanya. Ia mendengar suara desingan senjata dari sebelah kirinya, sudah hampir mengenainya. Ia menjepit pelan perut kudanya, dan kuda merah kecil itu memahami tuannya. Dengan segera ia melesat seperti anak panah terbang menuju ke bukit.

Para prajurit Senggum berseru, “Tembak!” Guo Jing meletakkan Dukhsh di belakang, menggunakannya sebagai perisai, dan semua musuh tidak lagi berani menembak.

Ketika tiba kembali di atas bukit, Guo Jing melemparkan Dukhsh ke tanah sambil tertawa. “Khan Agung, orang ini pastilah orang yang bertanggung jawab atas semua ini. Biar dia mengaku!”

Temujin dengan sangat gembira mengarahkan tombaknya ke dada Dukhsh, dan berteriak ke arah Senggum, “Perintahkan orang-orangmu mundur sejauh dua ratus zhang4!”

Senggum yang cemas melihat putra kesayangannya yang dibekali senjata lengkap jatuh ke tangan musuh, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyuruh pasukannya mundur. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk mengepung bukit itu dengan barisan kereta yang tersusun rapi, sehingga pasukan Temujin tidak bisa menerobos keluar.

Di atas bukit, Temujin memuji Guo Jing dengan hangat, dan memerintahkannya untuk mengikat tawanan dengan tangan di belakang punggung.

Tiga kali Senggum mengirim orang untuk bernegosiasi, kalau Temujin melepaskan Dukhsh maka nyawanya akan diampuni. Setiap kali, Khan memotong telinga kurir itu sebelum mengirimnya kembali kepada tuannya.

Matahari mulai bergerak menuju cakrawala, karena kuatir Senggum memanfaatkan temaramnya senja untuk menyerang, Temujin memerintahkan supaya semua orang meningkatkan kewaspadaan.

Menjelang tengah malam, seorang pria berpakaian putih mendekat ke arah puncak bukit. “Aku Jamuka!” serunya. “Aku ingin bertemu saudara angkatku Temujin.”

“Kau boleh naik,” kata Khan.

Jamuka perlahan-lahan naik, dan melihat Temujin sedang berdiri di atas bukit. Ia mendekat dan bersikap seolah-olah akan melakukan ritual persaudaraan, tetapi Temujin yang tidak melepaskan kewaspadaannya berkata dengan kasar, “Kau masih menganggapku saudara?”

Jamuka menghela napas dan duduk sambil menyilangkan kakinya. “Saudaraku,” katanya. “Kau sudah menjadi seorang Kepala Suku, kenapa harus punya ambisi untuk menyatukan bangsa Mongol?”

“Apa yang kau percayai?” kata Temujin, balas bertanya.

“Para pemimpin suku semuanya bilang, ‘Kita sudah hidup seperti ini selama ratusan tahu, mengapa Temujin ingin mengubah tradisi? Surga tidak akan erestuinya!’”

“Kau masih ingat cerita tentang nenek-moyang kita, Bunda Alan Qo’a?” kata Temujin. “Dia punya lima orang anak yang selalu bertengkar. Ia lalu meminta semuanya untuk datang dan makan bersamanya. Ia memberikan sebuah anak panah kepada mereka masing-masing, dan menyuruh mereka mematahkannya. Ini mereka lakukan dengan sangat mudah. Berikutnya ia mengikat lima batang anak panah menjadi satu, dan menyuruh mereka untuk mematahkan kelima anak panah yang terikat itu. Mereka bergiliran mencoba, tetapi tak satu pun berhasil melakukannya. Kau masih ingat apa yang dikatakannya kepada mereka saat itu?”

“Kalau kalian tidak bersatu,” jawab Jamuka. “kalian akan bisa dikalahkan oleh orang yang tidak penting, sama seperti sebatang anak panah itu. Kalau kalian bersatu, maka kalian akan sangat solid seperti kelima anak panah yang terikat itu, dan tidak ada yang bisa mengalahkan kalian.”

“Jadi,” kata Temujin. “Kau masih ingat semua itu. Lalu apa yang terjadi selanjutnya?”

“Kelima orang anak itu menyatukan semua usahanya, dan berhasil menaklukkan wilayah yang sangat luas. Mereka adalah cikal-bakal dari suku Mongol kita.”

“Tepat sekali! Kita berdua sama-sama pejuang, dan juga pemberani. Mengapa kita tidak menyatukan semua orang Mongolia? Kalau kita tidak berperang sendiri, maka kita pasti akan bisa menaklukkan Kekaisaran Jin!”

“Tapi bagaimana caranya?” tanya Jamuka. “Kekaisaran Jin sangat kuat. Jumlah pasukan dan kekayaannya tidak bisa diukur. Bagaimana cara kita, bangsa Mongol, mengalahkan mereka?”

“Berarti kau lebih memilih tetap tunduk kepada Jin?”

“Kekaisaran Jin tidak menindas kita,” protes Jamuka. “Kaisar bahkan mengangkatmu menjadi Duta Besar Utara.”

“Mula-mula,” kata Temujin terus-terang. “Aku juga percaya bahwa Kekaisaran Jin berniat baik. Tapi ternyata ketamakan Jin tidak ada batasnya, dan setiap tahun mereka selalu menuntut lebih banyak dari kita. Mula-mula mereka ingin sapi, berikutnya kuda, dan sekarang mereka bahkan meminta kita mengirim pasukan untuk membantu mereka berperang! Negeri Song letaknya sangat jauh dari wilayah kita. Kalau pun Dinasti Song jatuh, semua tanah taklukan akan menjadi milik Kekaisaran Jin sendiri. Sedangkan kita akan kehilangan banyak prajurit, untuk memenangkan apa? Sejak kapan sapi-sapi kita berhenti makan rumput hijau dari tanah kita sendiri, dan mulai makan pasir negeri tetangga di seberang pegunungan? Kalau kita harus berperang, maka itu hanya akan kita lakukan untuk melawan Kekaisaran Jin!”

“Ong Khan dan Senggum tidak ingin mengkhianati Jin!” kata Jamuka.

“Mengkhianati!” ejek Temujin. “Mengkhianati? Dan kau?”

“Aku mohon kepadamu, saudaraku, jangan biarkan amarah menguasai dirimu. Lepaskan Dukhsh secepatnya, maka aku dan Senggum akan menjamin kau bisa pergi dari sini dengan aman.”

“Aku tidak punya keyakinan kepada Senggum, dan sekarang aku juga tidak punya keyakinan kepadamu!”

“Coba dengarkan ucapan Senggum. Kalau seorang anak mati, besok masih bisa lahir anak lain, tetapi kalau Temujin mati, maka tidak akan ada Temujin lainnya! Kalau kau tidak mau membebaskan Dukhsh, maka kau tidak akan melihat matahari terbit lagi!”

Temujin kenal betul karakter Senggum dan Jamuka. Kalau terserah kepada mereka, maka ia takkan pernah punya peluang untuk hidup. Kalau Ong Khan hadir di situ, maka ia masih punya peluang. Ia menghunus pedangnya dan mengayun-ayunkannya ke sekeliling.

“Aku lebih baik mati dalam perang daripada menyerah,” katanya. “Di bawah langit, hanya ada seorang Temujin yang tewas di medan tempur secara terhormat, dan bukan Temujin yang melarikan diri.”

Jamuka berkata, “Kau memberikan semua rampasan kepada para prajurit, dan bilang bahwa semua itu adalah hak mereka dan bukan hak seluruh suku! Semua kepala suku bilang kau salah, kau berlari ke arah kebalikan dari tradisi kita!”

“Tapi para pejuang muda sangat senang!” kata Temujin dengan kasar. “Kepala-kepala suku itu berdalih bahwa harta rampasan perang tidak bisa dibagikan secara adil kepada semua pejuang, itu supaya mereka yang akhirnya menyimpan semuanya, untuk diri mereka sendiri! Perilaku seperti itu sungguh menyinggung para pejuang yang mempertaruhkan nyawa untuk mendukung mereka. Kalau kita sedang berperang, kita lebih membutuhkan para kepala suku yang tolol dan serakah ataukah para pejuang muda yang kuat dan berani?”

“Saudaraku,” kata Jamuka. “Kau selalu bertindak sendiri dan tidak pernah mendengarkan para pemimpin suku lain. Jangan panggil aku tak tahu berterima kasih atau pengkhianat. Beberapa hari sebelum ini, kau terus-terusan mengirim orang untuk meyakinkan para prajuritku untuk bergabung dengan pasukanmu, dan bilang bahwa ketika pulang semua sumber daya yang didapat dalam perang akan menjadi milik orang yang berjuang untuk itu. Dan tidak akan disebarkan kepada para anggota suku lainnya. Kau kira aku tidak tahu mengenai urusan ini?”

“Kalau kau menyadari hal itu,” pikir Temujin, “maka kita memang tidak akan bisa hidup bersama dalam damai lagi.” Ia kemudian mengambil sebuah kantong kecil dari dalam saku bajunya, dan melemparkannya ke kaki Jamuka. “Itu adalah hadiah yang kau berikan ketika kita bersumpah, tiga kali, untuk saling setia sebagai saudara. Ambillah. Di kemudian hari, ketika kau memenggal leherku dengan pedangmu, kau hanya akan membunuh seorang musuh, dan bukan saudara. Aku seorang pahlawan, dan kau juga. Padang rumput Mongolia sangat luas, tapi sayangnya tidak muat untuk dua orang pahlawan.”

Jamuka memungut kantong itu, lalu mengambil sebuah kantong kulit kecil dari dalam saku bajunya sendiri, menjatuhkannya di kaki Temujin dalam diam, lalu ia turun dari bukit itu.

Temujin mengawasinya turun dari bukit, lalu ia berdiri diam sendirian di situ sangat lama. Lalu ia membuka kantong kulit itu, dan mengeluarkan batu dan mata panah dari dalamnya, dan mengenang semua permainan yang pernah mereka mainkan bersama-sama di masa anak-anak. Ia menghela napas, lalu menggali lubang di tanah dengan sebuah pisau, dan menguburkan hadiah yang dulu diberikannya kepada mantan saudara angkatnya di dalamnya.

Guo Jing berada di dekatnya, dan ikut merasa sakit hati. Apa yang dikubur Temujin, ia tahu betul, adalah sebuah tali persahabatan masa kanak-kanak yang tak ternilai harganya.

Khan bangkit berdiri dan mempelajari keadaan sekitarnya dengan cermat. Yang bisa dilihatnya saat itu adalah api unggun yang dinyalakan oleh pasukan Senggum dan Jamuka menerangi hamparan padang rumput, terlihat mirip gugusan bintang di langit. Pikirannya masih tetap bercabang. Ia berpaling dan melihat Guo Jing berdiri di dekatnya. “Kau takut?” tanyanya.

“Aku sedang memikirkan ibuku,” jawab pemuda itu.

“Kau sungguh seorang anak pemberani,” kata Temujin. “Anak pemberani sejati!” Ia menunjuk ke arah ribuan api unggun di tengah padang rumput. “Mereka juga,” lanjutnya, “adalah para pemberani! Kita bangsa Mongol punya begitu banyak anak pemberani, tetapi kita menghabiskan waktu untuk saling bertengkar sendiri. Jika kita berhasil menyatukan mereka semua, maka kita akan sanggup mengambil alih dunia, dan membuatnya menjadi lahan raksasa untuk memelihara ternak kita.”

Ketika Guo Jing mendengar ucapan yang sangat ambisius itu, ia merasa semakin kagum kepada Temujin. Ia menepuk dada dan berkata, “Khan Agung, kita pasti akan menang. Karema kita psti tidak bakalan kalah melawan seorang pengecut seperti Senggum!”

“Tepat sekali!” kata Temujin sambil tersenyum. “Mari kita ingat pembicaraan kita malam ini. Kalau kita berhasil keluar dari bahaya ini, mulai saat itu aku akan menganggapku sebagai anakku sendiri!” Ia memeluk pemuda itu erat-erat.

Sementara mereka bicara, hari baru telah tiba. Suara terompet terdengar bersahut-sahutan dari antara pasukan musuh.

“Pertolongan tidak akan datang,” kata Temujin. “Mari kita bersiap untuk mati di atas bukit ini.” Dari arah kubu lawan mereka mendengar suara dentingan senjata dan ringkikan kuda, serbuan mereka sudah menunggu.

“Khan Agung,” kata Guo Jing tiba-tiba. “Kuda merah kecilku sangat cepat. Bawalah untuk menjemput bala bantuan. Sementara itu kami akan tetap di sini melawan musuh.”

Temujin tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk membelai rambut si pemuda. “Kalau Temujin,” katanya, “sanggup meninggalkan kawan-kawan dan pasukannya, hanya karena takut mati menghadapi serbuan musuh, maka dia sama sekali tidak layak untuk menjadi Khan kalian!”

“Itu tepat sekali, Khan Agung,” kata Guo Jing mengiyakan. “Aku salah…”

Mereka menyembunyikan diri di balik gundukan tanah, sambil bersiap menembakkan panah ke arah musuh yang mmenyerbu.

Tak lama kemudian, tiga orang pria meninggalkan kerumunan pasukan musuh dengan membawa bendera kuning. Di sebelah kiri adalah Senggum, di kanan Jamuka, dan di tengah, sangat mengejutkan, adalah Pangeran Keenam Kekaisaran Jin, Wanyan Honglie! Ia berpakaian perang lengkap, memakai hem kuning keemasan, dengan perisai emas di tangan. Ia berteriak, “Temujin, kau berani mengkhianati Kekaisaran Jin?”

Jochi, putra sulung Temujin menembakkan panah ke arahnya, tetapi salah seorang pengawalnya berhasil menangkap anak panah itu di udara dengan kecepatan yang mencengangkan.

“Tangkap Temujin!” teriak Wanyan Honglie. Mendengar perintah itu, empat orang pria dengan segera berlari ke atas bukit. Gerakan mereka membuat Guo Jing terkejut. Ia melihat bahwa para pendatang baru itu menggunakan ilmu meringankan tubuh, dan mereka adalah para ahli kungfu dunia persilatan, bukan bagian dari prajurit padang rumput. Di tengah bukit mereka dengan gesit menghindari hujan anak panah yang ditembakkan oleh Jebe, Borchu dan kawan-kawannya. “Kita punya banyak pejabat militer dan para pejuang hebat dengan kekuatan tangguh di sini,” pikir Guo Jing cemas. “Tapi mereka semua bukan tandingan ahli silat dari Jianghu! Apa yang harus kita lakukan?”

Salah seorang dari mereka, yang berpakaian hitam, berhasil mencapai puncak bukit.

Ogedai berusaha menghalanginya, namun pendatang baru itu melukai lehernya dengan senjata rahasia dan mengayunkan golok bulan sabitnya ke arah orang yang terluka itu. Tetapi, secepat kilat sebuah pedang datang menyambar pergelangan tangannya dengan kecepatan dan ketepatan tingkat tinggi. Gerakan itu dilakukan dengan sangat baik, sehingga ia terpaksa mundur tiga langkah. Dengan terkejut ia melihat seorang pemuda bertubuh sangat kekar berdiri di depan Ogedai. Karena sama sekali tidak menduga bakal bertemu seorang pendekar pedang di antara para prajurit Temujin, ia berseru dalam bahasa Han, “Siapa kau? Siapa namamu?”

“Aku dipanggil Guo Jing!”

“Aku tidak pernah mendengar ada orang menyebut namamu. Ayo cepat menyerah!”

Guo Jing memandang ke sekeliling dan melihat ketiga orang lainnya sedang terlibat perkelahian tangan kosong dengan Tchila’un, Borchu dan beberapa orang lain. Ia sekali lagi menyerang orang yang menggunakan golok bulan sabit, yang menangkis, lalu mundur.

Ketika para prajurit Senggum sedang bersiap untuk menyerang bukit, Muqali meleakkan goloknya di leher Dukhsh. “Kalau kalian menyerang,” teriaknya. “Maka pedangku akan kehilangan belas kasihan!”

Senggum sangat cemas, ia berpaling kepada Wanyan Honglie dan berkata, “Pangeran Zhao, tolong perintahkan orangmu untuk mundur. Kita akan mencari jalan lain untuk menyerang, tak ada gunanya mengorbankan anakku!”

“Jangan kuatir,” kata Wanyan Honglie sambil tersenyum. “Tidak akan terjadi apa-apa kepada anakmu.” Tetapi dalam kenyataannya ia justru ingin memaksa Temujin membunuh Dukhsh, dan menciptakan dendan kesumat tak terpadamkan di antara kedua suku itu.

Para prajurit Senggum tidak berani bergerak, sementara anak buah Pangeran Keenam sedang bertarung sengit.

Guo Jing memakai Jurus Pedang Nona Yue yang diajarkan Han Xiaoying. Setelah beberapa jurus ia berada dalam bahaya, golok lawannya ternyata sangat kuat, tenaganya besar, dan semua jurusnya didukung oleh tenaga dalam yang kuat. Ia bukan lawan sembarangan. Pedang panjang Guo Jing bergerak dengan cepat, dan tampaknya berubah menjadi kilatan cahaya. Ujung pedangnya mengancam titik-titik berbahaya di tubuh lawan, dan setiap gerakan ditujukan untuk melukai lawan. Lawannya terlihat agak kewalahan menghadapi kecepatannya, dan terlihat resah.

Ketiga kawannya yang telah berhasil mengalahkan para prajurit Mongolia, melihatnya dalam kesulitan. Salah seorang di antaranya, yang bersenjatakan tombak besar, mendekat dengan sebuah lompatan jauh. “Da Ge, aku datang membantumu!”

Tapi orang yang bersenjata golok bulan sabit itu berteriak, “Jangan bergerak. Kau cukup menonton saja katangkasan kakakmu ini!”

Mengambil kesempatan pada saat perhatiannya terpecah, Guo Jing menyerang dengan menggunakan jurus Phoenix Terbang dan Ular Membelit, mengarahkan mata pedangnya ke bagian bawah tubuh lawan. Lawannya mundur, tetapi pedang itu telah merobek lengan kiri jubahnya.

Orang yang bersenjata golok bulan sabit itu berteriak, “Siapa gurumu? Kenapa kau cari mati di sini?”

Guo Jing tetap mempertahankan sikap defensif, dan menjawab dalam bahasa dunia persilatan yang diajarkan guru-gurunya, “Aku murid dari Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan. Siapa nama dan margamu?” Ia sudah lama berlatih mengucapkan kalimat sopan itu, tapi ini adalah pertama kalinya ia sungguh-sungguh menggunakannya.

“Nama kami,” kata orang yang bersenjata golok bulan sabit. “Kalau pun kukatakan, kau juga tidak akan kenal. Ayo lindungi dirimu!”

Dalam bentrokan pertama, Guo Jing sungguh merasa bahwa lawannya jauh lebih kuat dari dirinya. Tapi teknik yang diajarkan oleh guru ketujuhnya sangat canggih, dan membutuhkan banyak perhatian dari lawannya, sedemikian rupa sehingga ia bisa terus menyerang tanpa perlu memikirkan cara untuk mundur. Orang itu menggunakan teknik “Menjelajah Lautan dan Memenggal Naga’, sementara goloknya menebas kaki Guo Jing. Hanya dalam hitungan detik keduanya sudah bergebrak dua sampai tiga puluh jurus. Kedua kubu mengamati pertarungan itu dengan penuh ketegangan. Orang bersenjata golok itu mulai merasa gugup, dan serangannya makin kasar. Mendadak ia menyerang pinggang Guo Jing. Guo Jing berputar dan membalas dengan jurus ‘Berpaling dan Memetik Buah’ ke arah tangan yang memegang golok. Lawannya melihat bahwa dia sama sekali tidak mempedulikan sisi pertahanan, dan berpikir, “Waktu pedangmu menyentuh sasaran, golokku sudah memotongmu menjadi dua!”

Tetap Guo Jig yang yakin akan kekuatan tenaga dalamnya, menggerakkan pinggangnya tanpa memindahkan keseluruhan tubuhnya, berhasil menghindari tebasan golok dan menempatkan pedangnya di dada lawan.

Orang itu menjerit, melepaskan goloknya dan memukul sisi tajam pedang dengan tangan kosong, menyebabkannya terpental ke tanah. Tetapi mata pedang Guo Jing sudah masuk setengah inci ke dalam dadanya! Ia berhasil menyelamatkan nyawanya, tetapi telapak tangannya terpotong dan berlumuran darah.

Ia kemudian mendengar desingan senjata dari arah belakangnya, dan suara Jebe berteriak, “Awas, di belakangmu!”

Tanpa menengok, Guo Jing melakukan tendangan ke belakang dan menangkis serangan yang datang ke arahnya. Pada saat yang sama ia meraih golok yang terjatuh dan menebas tangan lawan dengan golok itu. Guo Jing melakukan gerakan ‘Maju Selangkah Merebut Keranjang’, menangkis tombak dengan tangan kirinya. Ia memutar telapak tangan kirinya untuk merebut tombak musuh, sementara tangan kanannya memagang golok yang menerabas ke pegangan tombak. Orang itu menggunakan seluruh tenaganya untuk merebut tombaknya kembali, tetapi ketika ia melihat sambaran golok, dengan terpaksa ia melepaskan pegangannya dan melangkah mundur.

Dengan kemenangan itu, pemuda itu merasa segar kembali. Ia melemparkan golok itu ke kaki bukit, lalu memungut tombak. Orang keempat melompat ke arahnya dan menyerang dengan menggunakan sepasang kapak pendeknya. Jurus tombak Guo Jing adalah hasil ajaran Quan Jinfa. Setelah beberapa jurus pemuda itu dengan sengaja membuka sebuah titik lemah sebagai tipuan, yang segera dilihat dengan gembira oleh orang yang bersenjata kapak, ia cepat-cepat menerobos ke arahnya. Tiba-tiba perutnya terasa sakit, ia terkena tendangan Guo Jing. Ia terpental ke belakang, sementara sisa tenaga yang ada di tangan kirinya menggerakkan kapak menuju ke kepalanya sendiri. Kakak seperguruan ketiga dari orang itu dengan segera menangkis kapak itu menggunakan cambuk besinya. Ketika kedua senjata bertemu, suara dentingan keras terdengar, diiringi oleh percikan api. Orang itu melepaskan kapaknya ketika kedua senjata itu bertabrakan, dan duduk di tanah dengan air muka ketakutan. Terdiam, tetapi masih hidup. Orang itu agak bodoh, perlu waktu beberapa saat sampai ia tersadar bahwa ia telah kalah. Ia berteriak marah dan memungut kedua kapaknya untuk mulai menyerang lagi. Setelah beberapa tebasan, ia berhasil mematahkan tombak Guo Jing menjadi dua. Guo Jing kehilangan senjata, dan menggunakan tangan kosong untuk melawannya. Orang yang bersenjata cambuk datang membantu adik seperguruannya. Guo Jing segera melihat bahwa ia dalam posisi kurang menguntungkan, tapi tidak punya pilihan lain kecuali terus melawan.

Hal ini membangkitkan cemoohan di antara para prajurit. Orang-orang Mongolia sangat sederhana dan terus-terang, dan mereka sangat menghormati seorang pemberani. Mereka sudah mulai mencemooh melihat keempat orang itu secara bergantian melawan Guo Jing, dan sekarang mereka malah main keroyok, dua lawan seorang yang tidak bersenjata! Mereka menganggap tindakan itu sangat tidak pantas, dan berteriak supaya mereka menghentikannya. Guo Jiang adalah lawan yang sangat layak, mereka menyorakinya untuk memberi semangat.

Borchu dan Jebe menghunus pedang dan terjun ke arena. Mereka sangat bagus, sehingga kedua penyerang lain dengan segera ikut bertempur. Para prajurit Mongolia sangat tangguh di medan perang, tetapi pada saat harus berhadapan satu lawan satu dengan pendekar dunia persilatan, mereka kalah jauh. Baru beberapa jurus, yang dihadapi dengan susah payah, mereka sudah kehilangan senjata dan terpaksa mundur. Guo Jing melihat bahwa Borchu dalam posisi berbahaya, ia segera mendekat untuk menyerang orang yang bersenjata golok. Guo Jing melayangkan telapak tangannya ke punggung kakak seperguruan tertua dari keempat orang itu, yang menggunakan goloknya untuk menikam pergelangan tangan Gou Jing. Guo Jing menarik telapak tangannya, dan menggunakan sikunya untuk menyodok si kakak kedua dan menyelamatkan Jebe. Upayanya untuk membantu mereka berdua kelihatannya sia-sia.

Keempat penyerang itu hanya punya satu tujuan, yaitu membunuh Guo Jing. Mereka melipat gandakan serangan ke arah Guo Jing. Para prajurit di kaki bukit semakin mencemooh dan memaki tindakan itu. Tetapi keempat orang itu pura-pura tidak mendengar. Orang yang bersenjata tombak memungut sebuah lembing dari atas tanah. Guo Jing melihat serangan datang bertubi-tubi ke arahnya, golok, lembing, kapak, dan cambuk. Karena tidak bersenjata, maka ia tidak bisa melawan serangan itu. Yang bisa dilakukannya adalah menghindar dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Bergerak kian-kemari untuk menghindari serangan brutal tersebut.

Selama dua puluh jurus selanjutnya, mereka terus menekan Guo Jing. Akhirnya lengannya luka terkena sambaran golok, dan ia dalam posisi genting.

Tiba-tiba timbul gangguan besar di antara kerumunan prajurit Senggum, ketika enam orang yang bergerak ringan melewati barusan prajurit dan mendaki ke puncak bukit. Orang-orang Mongolia mengira bahwa mereka adalah bala bantuan lain yang dikirim oleh Wanyan Honglie untuk membantu serangan ke puncak bukit, dan mereka bersuara untuk protes.

Para pengawal Temujin sudah bersiap untuk menembakkan anak panah mereka, ketika Jebe yang punya mata tajam melihat bahwa mereka adalah Enam Orang Aneh dari Jiangnan. “Jing’er!” serunya. “Guru-gurumu datang!”

Guo Jing yang sudah hampir tidak sanggup bertahan lagi, bersorak kegirangan.

Tiba terlebih dahulu, Zhu Cong dan Quan Jinfa segera menyadari betapa tidak menguntungkan posisi murid mereka. Quan Jinfa melompat ke depan untuk memukul keempat senjata itu dengan menggunakan timbangannya. “Kalian sungguh tidak tahu malu!” teriaknya.

Merasa tangannya kesakitan, keempat orang itu sadar bahwa musuh yang jauh lebih kuat telah tiba, dan mereka segera mundur. Zhu Cong telah menyelamatkan Guo Jing. Sementara itu Orang-orang Aneh lainnya telah tiba.

“Berandalan tidak tahu malu,” omel Quan Jinfa. “Minggir! Kalian sungguh tidak punya malu!”

Orang yang bersenjata golok itu sadar bahwa mereka telah kehilangan posisi unggul. Kalau diteruskan, maka mereka pasti akan kalah. Tapi kalau mundur, mereka akan kehilangan muka dan tidak bisa lagi melayani Pangeran Keenam.

“Apa kalian Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan?” tanyanya, untuk mengulur waktu, setidaknya untuk bernapas lega.

“Betul,” jawab Zhu Cong sambil tertawa. “Kalian siapa?”

“Kami murid-murid Raja Naga dari Gerbang Iblis.”

Para Orang Aneh sangat terkejut. Melihat cara mereka mengeroyok Guo Jing, mereka pikir orang-orang ini pastilah berandalan biasa tanpa guru, yang jelas tidak kenal aturan. Tapi Raja Naga dari Gerbang Iblis, Sha Tongtian, adalah tokoh berbobot di dunia persilatan.

“Kalian menyalahgunakan nama orang lain ya?” desak Ke Zhen’E dengan nada dingin. “Raja Naga dari Gerbang Iblis adalah orang terkenal. Mana mungkin dia punya murid-murid payah seperti kalian?”

“Menyalahgunakan nama orang lain?” kata Si Manusia Kapak. “Ini kakak seperguruanku yang tertua, Shen Qinggang, julukannya ‘Golok Pencabut Nyawa’. Yang ini kakak kedua Wu Qinglie, julukannya ‘Tombak Pengejar Nyawa’. Yang ini kakak ketiga, Ma Qingxiong, julukannya ‘Cambuk Pengejar Jiwa’. Dan aku sendiri Qian Qingjian, julukanku ‘Kapak Maut’.”

“Jadi kelihatannya benar,” kata Ke Zhen’E. “Kalian adalah Empat Iblis dari Sungai Kuning. Kalian cukup punya nama di dunia persilatan, bagaimana kalian bisa merendahkan diri main keroyok, empat lawan satu?”

“Apa empat lawan satu?” kata Wu Qinglie dengan licik. “Bukankah muridmu dibantu oleh orang-orang Mongol ini? Yang sebetulnya terjadi adalah kami berempat lawan beberapa ratus orang!”

“San Shixiong,” desak Qian Qingjian kepada Ma Qingxiong. “Orang buta ini kelihatannya sombong sekali. Siapa dia sebenarnya?”

Ia mengucapkan pertanyaan itu dengan nada rendah dan pelan, tetapi Ke Zhen’E mendengarnya, dan sangat murka. Ia melompat ke depan dan menghantam Qian Qingjian dengan tongkatnya. Ia mencengkeram kerah baju orang itu, lalu melemparkannya ke kaki bukit. Ke Zhen’E yang terlanjur ada di tengah-tengah mereka, lalu mencengkeram mereka satu persatu dan melemparkan mereka ke kaki bukit menyusul adik seperguruan mereka. Para prajurit Mongolia bersorak kegirangan. Empat Iblis Sungai kuning bangkir berdiri dengan tubuh dipenuhi pasir, sekujur tubuh mereka terasa sakit, dan muka mereka terlihat malu.

Pada saat itu, kepulan debu tebal naik di kejauhan, seolah-olah ada puluhan ribu penunggang kuda sedang berpacu kencang dari arah itu. Kegelisahan dengan segera menyelimuti pasukan Senggum.

Temujin yang gembira melihat bala bantuan datang, menyadari betapa disiplin tangan besi terlihat jelas di antara para prajurit Jamuka. Para pejabat dan perwira semuanya mengeras, siap tempur. Senggum yang dilindungi oleh reputasi ayahnya terlihat jauh lebih lemah sebagai pemimpin. Temujin menunjuk ke arah sayap kiri dari pasukan Senggum dan berteriak, “Serang bagian itu!”

Jebe, Borchu, Jochi dan Chagatai memberi tanda kepada yang para perwira baris terdepan mereka. Orang bisa mendengar teriakan para prajurit di seberang mereka. Muqali menyapukan pedangnya di leher Dukhsh sambil berseru, “Minggir, minggir!”

Senggum yang bermaksud memerintahkan orang-orangnya mencegat mereka, tampak bimbang melihat ancaman pedang di leher anaknya. Dalam sekejap mata, pasukan kecil Temujin bergerak ke kaki bukit. Jebe membidik dengan cermat, dan melepaskan anak panah dengan sasaran kepala Senggum. Ia segera berlindung di balik perisai, tetapi anak panah yang cepat itu mengenai pipi kirinya, dan ia terjungkal dari kudanya. Ketika melihat pemimpin mereka jatuh, semua perwiranya berlarian kacau-balau berusaha menyelamatkan diri.

Temujin dan kawan-kawan menerobos keluar dari kepungan, menghujani siapapun juga yang menghalangi jalan mereka dengan anak panah. Beberapa li dari situ, di dalam kepulan debu tebal, ternyata adalah Tolui dan para prajuritnya. Para pengejar sejak awal memang takut akan keberanian Temujin, sekarang mereka tidak lagi menang jumlah, mereka berbalik mundur.

Ternyata, karena usia Tolui yang masih sangat muda, para pemimpin dan jendral menolak perintah karena Tolui tidak memiliki Tanda Perintah dari Temujin. Ia hanya bisa meyakinkan beberapa ribu prajurit muda untuk mengikutinya datang ke situ. Ia kemudian mendapat ide untuk mengikat ekor kuda mereka dengan ranting pohon. Dengan cara itu kepulan debu yang timbul akibat derap langkah kuda mereka akan meningkat drastis, menimbulkan kesan seolah-olah jumlah bantuan yang datang berkali-kali lipat lebih banyak dari yang sesungguhnya. Gagasan itu terbukti sangat efektif.

Pasukan Temujin kembali ke perkemahan mereka. Di tengah jalan mereka berpapasan dengan Hua Zhen yang memimpin sejumlah kecil perwira. Ketika melihat mereka tidak menderita cedera yang berarti, ia begitu gembira sampai tidak bisa berhenti bicara.

Malam itu Temujin mengadakan perjamuan besar sebagai hadiah kepada para prajuritnya, tetapi ia menempatkan Dukhsh di tempat terhormat, hal mana menyebabkan banyak orang merasa tersinggung. Khan tiga kali bersulang untuk memberikan penghormatan kepada Dukhsh dan berkata, “Ayah angkatku, Ong Khan, dan Senggum, selalu memperlakukan aku dengan sangat baik, tidak ada alasan untuk saling bermusuhan di antara kedua keluarga kita. Tolong sampaikan permohonan maafku untuk mereka, berikut persembahan-persembahan yang berharga. Aku tidak akan menyimpan dendam kepada kalian karena apa yang telah kalian lakukan. Setelah pulang, kau harus mempersiapkan pernikahanmu dengan putriku. Kita akan mengadakan perjamuan besar-besaran, dan kita akan mengundang semua pemimpin dari berbagai suku. Di situ akan ada sukacita besar. Kau akan menjadi menantuku, yang berarti anakku. Mulai saat ini kedua keluarga harus bersatu dalam damai, dan jangan biarkan kita terpecah-belah oleh gosip.”

Dukhsh yang merasa lega bahwa ia tidak dibunuh, menerima semua tawaran tersebut. Ia memperhatikan bahwa sementara bicara, Khan terus menekan dadanya dengan tangan, di balik jubahnya, dan batuk-batuk tanpa henti. Ia bertanya-tanya, “Mungkinkah ia cedera berat?”

“Hari ini,” kata Khan, “aku terluka oleh panah. Perlu waktu tiga bulan untuk pulih. Kalau tidak ada kejadian ini, aku sendiri yang akan mengantarmu pulang. Ia melepas tangannya dari dada, dan ternyata berdarah. “Tidak perlu menunggu sampai aku pulih untuk menikah, kalau tidak… kalau tidak kalian akan menunggu lama.”

Semua pejabat yang hadir merasa heran dan marah melihat Khan tunduk dan sangat mengalah kepada Ong Khan, dan sungguh terlalu mendesak untuk menikahkan Hua Zheng dengan Dukhsh. Komandan divisi yang putranya tewas ketika mempertahankan bukit merasa sangat tersinggung melihat sikap Khan. Ia menghunus pedangnya dengan kalap, dan bermaksud membunuh Dukhsh. Khan menyuruh orang menangkapnya, lalu memberikan hukuman berupa pukulan di hadapan Dukhsh, sampai ia pingsan, dan berdarah-darah.

“Dia akan dipenjara,” kata Temujin. “Dan ia juga akan dipenggal bersama dengan seluruh anggota keluarganya dalam tempo tiga hari!” Keesokan harinya Dukhsh pulang ke perkemahannya, membawa serta dua kereta penuh dengan emas dan bulu binatang mahal, seribu ekor domba gemuk, dan seratus ekor kuda perang. Ia juga dikawal oleh lima puluh orang prajurit. Temujin juga mengirim utusan untuk membela kasusnya di hadapan Ong Khan dan Senggum. Menjelang keberangkatan Dukhsh, Temujin yang terlihat tidak punya tenaga untuk naik kuda, datang dengan tandu, dan mengucapkan selamat jalan, sambil masih batuk-batuk.

Delapan hari kemudian, Temujin mengumpulkan semua pejabatnya. “Kumpulkan semua prajuritmu,” perintahnya. “Kita akan menyerang Ong Khan!” Semua pejabat terlihat kaget. Ia melanjutkan, “Ong Khan punya pasukan besar, sedangkan kita kecil. kalau kau tidak bisa menang dengan cara frontal, maka perlu memakai akal-akalan. Aku membiarkan Dukhsh pulang, bahkan memberinya banyak hadiah, aku juga berpura-pura terluka hampir mati. Semua itu kulakukan supaya mereka lengah.”

Para pejabat memandangnya dengan penuh kekaguman. Temujin membebaskan komandan yang ditawannya beberapa hari lalu untuk meyakinkan Dukhsh. Ia juga memberinya hadiah besar. Ketika tahu bahwa mereka akan menyerang Ong Khan, komandan itu merasa kegirangan. Ia berlutut untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, dan memohon supaya ia boleh memimpin pasukan di garis depan, yang dikabulkan oleh Temujin. Pasukan Khan dibagi menjadi tiga jalur, yang berarak di tengah malam menyusuri jalan setapak yang jarang digunakan orang, dan mereka berkemah di siang hari. Kalau bertemu gembala, mereka menangkapnya dan membawanya serta untuk menghindari pembicaraan yang tidak perlu mengenai perjalanan mereka.

Semula Ong Khan dan Senggum, yang takut bahwa Temujin akan datang untuk membalas dendam meningkatkan penjagaan dan kewaspadaan. Tetapi kemudian kepulangan Dukhsh yang membawa kemenangan, keterangan utusan Temujin sendiri, dan juga persembahan-persembahan yang menyertai anak itu, serta kabar akan cedera berat yang diderita Temujin, meyakinkan mereka. Mereka bahkan menarik pulang pengawal di garis depan, dan menghabiskan waktu untuk berpesta bersama Wanyan Honglie dan Jamuka. Suatu malam, pasukan tiga jalur Temujin melabrak mereka seperti halilintar. Pasukan besar Ong Khan dan Jamuka berhamburan dengan panik, kehilangan semua naluri perangnya. Ong Khan dan Senggum melarikan diri ke arah Barat, di mana mereka tewas dibunuh oleh orang-orang Naiman dan Liao tidak lama kemudian. Dalam kebingungan, Dukhsh terinjak-injak kuda.

Wanyan Honglie sendiri meloloskan diri di tengah malam, dalam perlindungan Empat Iblis dari Sungai Kuning, dan kembali ke ibukota Kekaisaran Jin. Ditinggalkan oleh para prajuritnya, Jamuka mengungsi ke Gunung Tangnu bersama lima orang pengawalnya. Mereka mengkhianati dia, dan membawanya ke hadapan Temujin. Temujin sangat murka. “Pengawal pribadi yang mengkhianati majukannya!” teriaknya. “Bagaimana aku bisa membiarkan orang-orang semacam ini hidup!” Ia memerintahkan supaya kelima orang itu dipenggal di hadapan Jamuka. Lalu ia berpaling kepada Jamuka. “Bisakah kita bersahabat lagi?”

“Kalau pun kau mengampuni nyawaku,” kata Jamuka berlinang air mata, “aku sudah tidak punya muka lagi untuk terus hidup. Aku hanya memohon supaya kau membiarkan aku mati tanpa menumpahkan darah5, supaya arwahku tidak meninggalkan tubuhku.”

Temujin terdiam lama dalam kesedihan. “Baiklah,” akhirnya ia berkata. “Aku setuju dengan cara kematian itu. Dan aku akan menguburkanmu di tempat di mana kita biasa bermain waktu masih anak-anak.” Jamuka berlutut di hadapannya, lalu bangkit dan meninggalkan ger. Beberapa hari kemudian, Temujin menyatukan semua suku Mongolia di tepi Sungai Onon6, di dalam sebuah Kurultai7. Popularitas sungai itu jauh melampaui perbatasan padang rumput, dan semua suku, gembala ternak, para perwira, pejabat, bahkan Khan sendiri, sangat segan terhadap otoritas dan nuansa mistis sungai ini. Para prajurit Ong Khan dan Jamuka telah dipersatukan ke dalam pasukan Temujin. Di tengah kurultai itu, Temujin ditunjuk menjadi Khan Besar bagi seluruh Mongolia. Sejak saat itu ia dijuluki ‘Genghis Khan’, yang maknanya kurang lebih adalah ‘Pemimpin Tertinggi’.

Genghis Khan memberikan anugerah kenaikan pangkat yang sepatutnya kepada seluruh perwiranya. Semua ‘Empat As’, Muqali, Borchu, Boroqul, dan Tchila’un. Sementara para pejabat seperti Jebe, Jelme, dan Subutai semuanya menjadi jendral. Selama peperangan Guo Jing telah memberikan pelayanan istimewa, ia juga diangkat menjadi jendral! Seorang pemuda yang bahkan belum genap berusia dua puluh tahun, disetarakan dengan pejabat teras dengan reputasi besar! Selama perjamuan, Khan menerima penghormatan dari para jajarannya dan minum tanpa batasan. Dalam keadaan setengah mabuk ia berkata kepada Guo Jing, “Anakku yang baik, aku akan memberikan hartaku yang paling berharga untukmu.” Guo Jing berlutut di hadapannya. “Aku akan memberikan Hua Zheng untukmu!” kata Genghis Khan. “Mulai besok pagi dan seterusnya, kau akan menjadi Jin Dao Fu Ma.”

Seluruh perwira meledak dalam tawa penuh sukacita, dan saling berebut memberikan selamat kepada Guo Jing. “Anak menantu, memakai Golok Emas Besar! Hore!”

Yang paling berbahagia dari semuanya adalah, tak diragukan lagi, Tolui, yang dengan segera merangkul saudara angkatnya. Tetapi orang yang menjadi pusat perhatian terdiam dalam kebingungan. Ia selalu menganggap Hua Zheng adiknya, dan tidak pernah merasakan perasaan khusus lainnya. Ia selalu menghabiskan waktunya untuk kungfu, mana punya waktu untuk belajar soal lain. Dalam hal yang satu ini Guo Jing memang ‘bodoh’ dalam arti yang sejati. Kata-kata Genghis Khan membuatnya terganggu, dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Melihatnya tidak bisa bicara, semua orang tertawa terbahak-bahak.

Setelah perjamuan, Guo Jing pulang untuk memberi tahu ibunya. Li Ping diam sambil berpikir lama, lalu menyuruhnya pergi untuk mengundang keenam gurunya ke ger mereka. Mereka semuanya bersukacita melihat murid mereka tercinta mendapat penghargaan besar, dan mereka buru-buru mengucapkan selamat kepada ibunya. Tetapi wanita itu tidak mengatakan apa-apa. Lalu tiba-tiba ia menjatuhkan diri, berlutut di hadapan Enam Orang Aneh.

“Tolong bangun,” kata mereka buru-buru. “Kalau Da Sao punya sesuatu untuk dibicarakan, langsung bicara saja, kenapa harus banyak adat begini.”

Han Xiaoying membantunya bangkit berdiri. “terima kasih untuk semua pengajaran keenam shifu. Anakku akhirnya menjadi orang. Aku tidak bakalan bisa membalas jasa kalian semua. Tapi sekarang aku jadi sangat sulit, dan aku harus minta pendapat kalian semua.” Ia kemudian menceritakan tentang rencana perkawinan yang diatur oleh almarhum suaminya dan saudara angkatnya, Yang Tiexin. “Kalau Khan menginginkan dia menjadi seorang menantu,” lanjutnya, “tentu saja itu sebuah kehormatan besar. Tapi kalau ternyata adik Yang punya anak perempuan, dan aku tidak mematuhi permintaan terakhir suamiku, lalu bagaimana aku nantinya bisa bertemu suamiku dan adik Yang di dunia akhirat?”

“Soal itu Dasao tidak usah kuatir,” kata Zhu Cong sambil tertawa. “Yang terhormat, Saudara Yang, memang punya anak, tapi bukan anak perempuan, anaknya laki-laki…”

Li Ping kaget dan senang pada saat yang sama. “Bagaimana guru Zhu bisa tahu soal ini?”

“Seorang teman,” jawab Zhu Cong, “yang tinggal di wilayah pusat, menulis surat dan menceritakan hal ini. Omong-omong, Dasao, dia juga berharap supaya kami bisa membawa Jing’er ke Jiangnan untuk bertemu dengan putra Saudara Yang itu, dan membandingkan kungfu mereka.”

Keenam Orang Aneh tidak pernah membicarakan soal taruhan yang mereka buat dengan Qiu Chuji. Kalau Guo Jing bertanya mengenai si pendeta Tao muda, Yin Zhiping, mereka hanya bergumam tidak jelas di antara mereka sendiri, tanpa sungguh-sungguh menjawab. Karena tahu jelas watak dasar murid mereka, mereka berpikir, kalau ia sampai tahu cerita mengenai Yang Kang, maka ketika tiba waktunya mereka harus bertarung, ia tidak akan menggunakan seluruh kemampuannya dalam pertarungan itu, yang mana akan merusak inti dari pertarungan itu sendiri.

Jawaban Zhu Cong sangat menarik bagi Li Ping. Ia lalu menanyakan apakah Nyonya Yang masih hidup? Dan bagaimana karakter Yang Kang itu? Tetapi Keenam Orang Aneh tidak bisa menjawab pertanyaannya, mereka memang tidak tahu. Li Ping dan Keenam Orang Aneh akhirnya memutuskan bahwa mereka akan membawa Guo Jing ke Jiangnan dan bertemu dengan Yang Kang. Pada saat yang sama mereka akan berusaha menemukan Duan Tiande untuk membalas dendam. Setelah itu mereka akan kembali, dan Guo Jing harus menikah dengan Hua Zheng. Guo Jing pergi untuk melaporkan keputusan itu kepada Genghis Khan.

“Baik,” kata Temujin. “Karena kau akan pergi ke Selatan, bisakah kau membawa kepala Pangeran keenam, Wanyan Honglie, untukku? Saudara angkatku Jamuka mengkhianati aku dan kehilangan nyawanya, dan itu semua adalah salah bajingan ini. Berapa orang yang kau perlukan untuk melaksanakan misi ini?”

Setelah berhasil menyatukan seluruh suku Mongolia, Genghis Khan menjadi ancaman besar untuk Kekaisaran Jin. Konfrontasi cepat atau lambat pasti akan terjadi, itu tidak bisa dihindari. Setelah bertemu dengan Wanyan Honglie dalam beberapa peristiwa penting, Temujin tahu jelas mengenai kecerdasan dan kompetensinya. Orang itu harus cepat-cepat disingkirkan. Mengenai putusnya hubungan antara dia dan Jamuka, itu alasannya ada di tempat lain. Ia menantang tradisi, dan menyerahkan rampasan perang kepada prajuritnya sendiri, dan ia juga berusaha menarik minat para prajurit Jamuka untuk masuk ke dalam pasukannya. Yang sebenarnya adalah, mereka berdua sama-sama melanggar sumpah setia persaudaraan, tetapi mereka sama-sama tidak mau mengakui hal itu, dan lebih memilih untuk melemparkan kesalahan kepada Wanyan Honglie.

Sepanjang masa kanak-kanaknya, ibu Guo Jing selalu menceritakan masa lalu, dan ia tanpa sadar terbawa arus kebencian terhadap bangsa Jin. Hal itu diperkuat lagi dengan pertarungannya melawan Empat Iblis dari Sungai Kuning, yang sudah jelas adalah anak buah Wanyan Honglie. Berpikir tentang cara menjawab pertanyaan Genghis Khan, ia berkata kepada diri sendiri, “Kalau keenam guruku bisa menolong, sudah pasti misiku akan sukses. Kalau aku membawa serta para prajurit pemberani, tetapi yang tidak mengerti ilmu silat, mereka sudah pasti malah akan menjadi beban.” Ia kemudian menjawab Temujin, “Kalau keenam guruku ikut serta, aku tidak perlu bantuan lain.”

“Bagus sekali,” kata Temujin. “Kita masih lemah sekarang ini, kita belum bisa berhadapan langsung dengan Kekaisaran Jin. Kau harus berhati-hati, jangan sampai mereka membaca tujuanmu yang sebenarnya.”

Guo Jing setuju. Genghis Khan memberinya sepuluh tail emas sebagai bekal perjalanannya ke Selatan. Dan ia juga memberikan sebagian hasil rampasan perang dari Ong Khan kepada Enam Orang Aneh. Setelah tahu bahwa ia akan menuju ke Selatan dalam sebuah misi, teman-teman Mongolia Guo Jing berebut memberinya hadiah untuk menambah bekal.

“Saudaraku,” kata Tolui. “Orang-orang Selatan seringkali tidak menepati janji. Kau harus berhati-hati, jangan sampai dipermainkan orang.”

Tiga hari kemudia, pagi-pagi sekali, Guo Jing dan keenam gurunya mengunjungi makam Zhag Ahsheng untuk memberikan penghormatan. Lalu mereka kembali ke kemah untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Li Ping sebelum memulai perjalanan ke Selatan. Li Ping mengawasi bayangan tinggi anaknya yang sedang menunggangi kuda merah kecil sampai bayangan itu menghilang di padang rumput. Ia terbayang kelahirannya di tengah medan perang, dan ia mulai merasa hatinya diliputi kesedihan dan kecemasan.

Setelah berkuda sejauh sepuluh li, Guo Jing melihat dua ekor elang putih terbang dengan gagah di udara. Tolui dan Hua Zheng datang untuk mengucapkan selamat jalan. Tolui memberikan sebuah mantel mahal yang terbuat dari bulu musang hitam. Mantel itu adalah hasil rampasan perang melawan Ong Khan. Hua Zheng, dengan pipinya yang bersinar, memandang calon suaminya tanpa mengatakan apa-apa.

“Oh, silakan, adikku…” kata Tolui sambil tertawa. “Bicaralah, aku tidak akan mendengar apa-apa.” Ia menyingkir sambil tetap tertawa.

Hua Zheng menundukkan kepala, tidak menemukan kata-kata. “Cepat pulang…” akhirnya ia bergumam pelan.

Guo Jing mengangguk. “Apa lagi yang ingin kau katakan?” tanyanya. Gadis itu menggelengkan kepala. “Kalau begitu aku pergi sekarang.” Hua Zheng merendahkan kepalanya tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Guo Jing maju sedikit dan memeluknya dengan ringan. Ia kemudian mendekat ke arah Tolui dan memeluknya juga. Lalu ia memacu kudanya untuk mengejar keenam gurunya yang sudah jauh di depan.

Melihatnya bersikap begitu formal, tanpa kelembutan sedikitpun, meskipun mereka sudah dijodohkan untuk segera menikah, dan ia sekarang sedang dalam perjalanan ke tempat jauh, Hua Zheng merasa sangat marah. Dalam perjalanan pulang ia mencambuk kudanya dengan kasar, meskipun hewan itu tidak ada kaitannya dengan situasi mereka.


Nei Gong (内功)
Tenaga dalam, atau bisa jadi akan diterjemahkan menjadi "kekuatan batin".
Qing Gong (tradisional: 輕功 atau disederhanakan: 轻功)
Secara umum dalam cerita silat akan diterjemahkan menjadi "ilmu meringankan tubuh", dianggap sebagai bagian dari kungfu, dan memang demikian. Tetapi dalam realita tentu saja bukan seajaib yang digambarkan dalam cerita silat, yang memang dibesar-besarkan. Ini sebuah keterampilan yang bisa dilatih.
Si Di (四弟)
Adik laki-laki keempat. Sebagai pengingat, ini sudah disinggung dalam Bab 2 sampai 5, tetapi ada baiknya diulangi di sini. Dalam bahasa mandarin "kakak" dibedakan antara laki-laki (哥哥 Gege, atau "Koko") dan perempuan (姐姐 Jiejie, atau "Cici"). Sedangkan untuk "adik", laki-laki (弟弟 Didi atau "Titi"), perempuan (妹妹 Mei Mei). Untuk urutan dalam hirarki persaudaraan berdasarkan nomor, di sini angka 1 — 10 adalah "yi er san si wu liu qi ba jiu shi" (一二三四五六七八九十). Angka 1 dalam konteks ini hampir selalu digantikan oleh kata "Da" (大), yang berarti "besar" atau tepatnya dalam konteks ini adalah "tertua". Dengan demikian, "kakak tertua" akan dipanggil Dage (大哥) atau dalam istilah Hokkian ala Kho Ping Hoo/Gan KL menjadi "Toako". Atau untuk kakak perempuan tertua akan menjadi Dajie (大姐), atau istilah Hokkian Toaci, atau malah populer dengan istilah "Tacik" atau "Encik" di Indonesia. Selanjutnya kakak nomor dua akan dipanggil Erge (laki-laki) atau Erjie (perempuan) oleh adik-adiknya, dan seterusnya. Begitu juga seorang kakak tertua akan memanggil adiknya yang nomor dua dengan panggilan Erdi (laki-laki) atau Ermei (perempuan). Contoh dalam konteks Tujuh Orang Aneh dari Jiangnan, Han Xiaoying akan selalu dipanggil Qimei oleh kakaknya yang manapun, karena memang ia akan selalu "Mei Mei" bagi mereka. Sedangkan Ke Zhen'E akan selalu dipanggil Dage oleh yang manapun, karena dia akan selalu Gege/Koko bagi semuanya. Sedangkan Nan Xiren yang nomor empat, akan dipanggil Sige oleh adik-adiknya, tetapi dipanggil Sidi oleh Ke Zhen'E, Zho Cong, dan Han Baoju, yang lebih tua dari dia sendiri. Aturan pemanggilan akan sama dalam konteks saudara seperguruan atau saudara dalam arti lainnya.
Dao Zhang (道长)
Panggilan umum untuk seorang Pendeta Tao
Shi Xiong (师兄)
Seperti disinggung di atas, panggilan ini untuk kakak seperguruan laki-laki, tetapi tanpa embel-embel urutannya. Istilah lain bisa jadi Shi Ge, yang artinya sama.
Jin Dao Fu Ma (tradisional: 金刀駙馬, disederhanakan: 金刀驸马)
Terjemahan literalnya adalah "Pangeran Golok Emas", tetapi makna sesungguhnya kurang lebih adalah "Menantu Raja Bergolok Emas". Istilah "Fu Ma" (驸马) itu sendiri berarti "Selir", tetapi dalam hal ini ditujukan bagi seorang pria.
Da Sao (大嫂)
Arti literalnya adalah "Kakak Ipar Perempuan", atau istri dari kakak laki-laki. Tetapi ini seringkali juga dipakai untuk memanggil istri seseorang yang sudah dianggap saudara sendiri, tanpa mempedulikan urutan usia.
  1. Panggilan sayang Mei Chaofeng untuk suaminya, arti literalnya adalah “Maling” atau “Bajingan”. 

  2. (黃藥師) Nama pemilik Pulau Persik. Nama “Yaoshi” ini sendiri secara literal berarti “Ahli Pengobatan”, yang di jaman itu biasanya sekaligus juga ahli dalam alkimia. Dengan demikian bisa disetarakan dengan istilah “The Alchemist”. Kalau kita memakai Google Translate, “Yao Shi” malah diterjemahkan menjadi “apoteker”, yang berarti juga ahli obat. Karakter kedua “Yao” itu sendiri berarti “obat”. Sedangkan “Shi” (師) berdiri sendiri berarti “divisi”. 

  3. Qingjing Sanren (清靜散人), julukan untuk Sun Bu’er (孫不二), satu-satunya murid wanita Wang Chongyang, yang bermakna ‘Orang Bijak Pendiam’ atau ‘Orang Bijak Yang Tenang’, meskipun bisa juga bermakna ‘Orang Bijak Yang Murni’. 

  4. Satu zhang kira-kira 3.3 meter, atau 11 kaki. 

  5. Dalam kepercayaan Shamanisme, arwah seseorang berada di dalam darahnya. Para pangeran dan bangsawan lain yang harus dihukum mati, tetapi masih tetap dihormati akan menerima hukuman dengan cara dicekik. 

  6. Sungai Onon terletak di perbatasan antara Mongolia dan Rusia, dan secara otomatis terbagi menjadi dua wilayah. Dalam beberapa teks sejarah, Sungai Onon diklaim sebagai tempat kelahiran Genghis Khan. Kurang lebih seperti “Laut Selatan” atau “Laut Kidul”, yang dipenuhi cerita rakyat berbau mistis di Pulau Jawa, Sungai Onon juga seringkali disinggung dalam cerita rakyat berbau mistis. 

  7. Kurultai adalah pertemuan besar seluruh suku Mongolia, yang biasanya membahas topik yang teramat sangat penting, seperti pemilihan Khan, atau keputusan politik besar yang menyangkut keselamatan negara, dsb. Keputusan yang dihasilkan di dalam kurultai tidak dapat diganggu gugat.